Minggu, 20 Januari 2019

Namanya Syafri Kelana

Bocah lelaki itu lagi-lagi melakukan kesalahan. Dia kembali kebingungan saat ia tiba di tempat yang bukan rumahnya. Perempuan yang sedari tadi ia ikuti itu kemudian membalikkan badan, menggeleng-geleng sambil tertawa kecil. Ah, ini bukan ibuku! Runtuknya dalam hati.

Ya, ibunya memang punya saudara kembar. Dan sekali lagi ia terkecoh. Sepulang dari ikut ibunya ke sungai, ia malah pulang mengikuti 'ibu yang salah'. Alhasil, bukannya tiba di rumahnya sendiri, ia malah tiba di rumah bibinya itu. Ia mendengus kesal sambil kembali melalui jalan pulang. Berharap ibunya masih di sungai dan menunggunya untuk pulang.

“Kenapa tidak mau sekolah?” sang ibu bertanya kepada anak lelaki nomor limanya itu. Si bocah hanya menggeleng kuat. Entah apa yang ada di pikirannya. Bapaknya seorang guru, dan di usia seharusnya ia mulai masuk SD, ia malah menolak mentah-mentah untuk berangkat sekolah.

Tapi, hal yang 'unik' justru terjadi saat ia tiba-tiba mengiyakan ajakan ke sekolah itu, setelah melewati masa yang panjang menjadi bocah 'pengangguran'. Ternyata, prestasinya di sekolah, melejit. Ia bahkan sanggup menjawab soal berhitung kakak kelasnya. Sesuatu yang membuatnya mendapat kehormatan dari guru untuk menjewer telinga siswa yang lebih tua yang tidak sanggup menjawab soal yang mampu ia selesaikan dengan mudah. Sesuatu yang membuatnya menjadi bulan-bulanan setelah itu. Dikejar ke sana ke mari, hingga berakhir dengan salah satu tulang di pundaknya yang harus cedera karena dijepit dengan pintu kelas. Alamak!

Bocah kecil tadi kemudian tumbuh dewasa. Memasuki usia kuliah, ia memutuskan untuk hijrah ke ibukota. Meski ia tahu, untuk itu ia harus bekerja keras. Bapaknya hanya seorang guru, ibunya tinggal di rumah. Kedua orangtuanya itu bertanggung jawab atas kehidupan ketujuh buah hati mereka yang kesemuanya mereka antarkan hingga bangku kuliah.

Di tempat perantauan, disingkirkannya semua rasa malu, disingsingkannya lengan baju. Dengan status sebagai mahasiswa, ia rela menjalaninya sambil merangkap sebagai tukang batu. Lalu suatu hari ia didapati oleh seorang kerabat dari kampungnya saat tengah asyik masyuk mengaduk semen.

“Nak, apa yang kamu lakukan? Di kampung, Bapakmu itu terhormat. Seorang guru! Kenapa kamu harus bekerja begini?” sahut kerabatnya itu dengan heran.

Lelaki itu hanya tersenyum dan melanjutkan pekerjaannya. Baginya, tidak semua hal harus dijelaskan.

Saat ia kemudian memperoleh beasiswa. Disisihkannya untuk dikirim ke orangtuanya di kampung.
“Mungkin bisa membantu untuk menambah uang membeli seng untuk memperbaiki atap rumah yang bocor” tulisnya dalam sepucuk surat yang ia kirimkan dengan sejumlah uang itu.

Lalu, selayaknya jiwa muda lainnya. Lelaki itu pun jatuh hati. Seorang perempuan berkulit putih dengan julukan 'srikandi berkuda hitam' telah mencuri perhatiannya. Mereka sama-sama aktif di lembaga mahasiswa. Hubungan keduanya pun terrahasiakan dengan rapi, tak ada yang benar-benar tahu, kecuali berpucuk-pucuk surat cinta yang menjadi saksi.

“Apa itu primordial?” perempuan yang ia cintai itu suatu hari berkisah. “Ya, ia menggunakan kata-kata sesulit itu dalam apa yang ia sebut surat cinta. Saya tahu, ia hanya sedang mencoba membuat saya kagum. Ia tahu betul saya menyukai lelaki yang cerdas. Dan waktu itu, memang hanya itu yang ia punya.”

“Saya tidak bisa membawa buah tangan apa-apa. Tapi saya hanya ingin kau tahu, bahwa dalam forum itu, saya terpilih sebagai pembicara terbaik.” Ujarnya dalam surat yang ia jadikan oleh-oleh sepulangnya dari pertemuan mahasiswa tingkat nasional itu .

Nama lelaki itu, Syafri Kelana. Di masa berikutnya, kariernya bersinar. Seiring dengan deretan gelar pendidikannya yang terus bertambah. Dijalaninya hari-hari membangun rumah tangga dengan sang srikandi. Tak redup cintanya, meski harus mendampingi sang belahan jiwa dalam sakit menahun hingga menginjak angka sembilan belas tahun lamanya. Dan ia, tidak pernah beranjak dari sana.

Suatu hari seorang kerabat datang padanya untuk meminta bantuan. Kerabatnya itu terlilit hutang hingga rumahnya akan di sita. Ditelusuri, agaknya ketidakseimbangan gaya hidup yang membuat ekonominya carut marut. Setelah kejadian itu, Syafri Kelana berpesan kepada puterinya;

“Menjadi sederhana itu terkadang bukan masalah banyak sedikitnya harta. Tapi, ia adalah sikap hidup untuk tampil seadanya, dan tidak tergoda untuk bersaing tentang dunia. Bagi sebagian orang, itu yang sulit.”

Namanya Syafri Kelana. Nama yang ia pilih untuk menjadi identitas pada setiap buku yang ia punya. Juga pada lembaran surat cinta yang dulu ia tulis. Nama yang merupakan singkatan namanya dan nama perempuan yang menjadi istrinya, hingga di penghujung usianya. Syafri, Salehuddin Yasin Fatamorgana Djufri. Kelana? Mungkin itu hanya sebuah kata yang terdengar puitis saja. Sesuatu yang membuat saya, anak perempuannya, menjadi sadar, mengapa begitu menyukai puisi dan kata-kata indah.

20012019