Senin, 29 November 2010

Sore yang Biru


Setelah beberapa rencana tidak berhasil saya eksekusi dalam beberapa hari ini, maka saya kemudian meninggalkan kampus sambil mencemarkan pemandangan sore dengan tampang kusut. Kemudian berusaha menekuk-nekuknya agar terlihat lebih rapi, tapi masih dengan setengah hati.

Di dalam perjalanan, saya hanya bisa ikut mendengarkan perbincangan sekelompok mahasiswi lain dengan mata yang tinggal segaris. Antara ngantuk dan suntuk. Lalu menatap langit lewat jendela angkot dan mulai merasakan hawa-hawa ‘winter blue’ yang menerpa hati saya lamat-lamat.

Ditengah-tengah keadaan yang menjengkelkan itu, saya mencoba menerka-nerka. Biasanya, dalam kondisi seperti ini, saya akan ditakdirkan bertemu dengan seseorang atau menyaksikan sesuatu yang akan membawa saya pada ‘aha-moment’ untuk kembali bangkit dari jiwa yang terserak-serak itu.

Dan benarlah.

Bermula dari sebuah pesan singkat yang mengantarkan saya pada sebuah perbincangan sore hingga pulsa saya yang limit ludes, sampai ke bonus-bonusnya! Tapi tak mengapa, toh saya mendapat pelajaran besar dari percakapan saya dengan ‘Arai’.

“Siapa yang sakit?” tanya saya, lewat pesan singkat.

Dia lalu menjawab bahwa dirinyalah yang sedang tidak sehat. Penyakit masa lalu yang sempat hilang kini muncul lagi. Sakit menusuk di dada kiri yang tembus hingga punggung.

“Bagaimana kalau saya mati, Din?” ucapnya, setengah bercanda, setengah getir.

“Kadang saya mau lari dari semua ini,” ujarnya dengan nafas tertahan, “ Tapi mereka, adik-adik saya khan amanah…”

Ia menceritakan tentang betapa beratnya bebannya. Betapa tidak mendukungnya kenyataan.

“Saya cuma butuh orang untuk berbagi, Din. Orang yang bisa memeluk saya dalam keadaan seperti ini. Mungkin ibu, atau Ayah…” ucapnya. Mengenang kedua orangtua yang kini tak ada lagi di dunia.

Dan saya, hanya dapat mengucap kata-kata enteng yang berat penjabarannya, “Sabarlah, kawan…”

Malamnya, sambil menyantap makan malam yang nikmat itu, saya menyaksikan tayangan televisi. Nampak seorang ibu sedang membuat kue kecil untuk jualan.

“Dari usaha ini,” seorang gadis yang sengaja tinggal di rumah ibu itu untuk program TV ini bertanya, “Berapa keuntungan yang ibu dapat sehari?”

“Empat ribu…” ujar wanita tua itu.

“Segitu…” gadis tadi berucap sambil menyembunyikan selaput kaca di matanya, “Bisa buat apa, Bu?”

“Yah…bisa buat beli beras, Neng..” sang wanita berucap sambil tersenyum. “Satu liter…”

Dan…

Perbincangan sore itu, dan tayangan malam ini, dengan telak menampar-nampar saya. Menikam dengan tepat pada tempatnya. Menusuk-nusuk jiwa kerdil yang picik ini. Lalu menghamburkan bentakan-bentakan ke hati yang bengkak: “MEREKA JAUH LEBIH MENDERITA DARIMU, GADIS CENGENG!”

Saya ngos-ngosan.

Lebam di sana sini mulai terasa. Tonjokan dan tikaman dari kejadian-kejadian itu memang perih dan menyakitkan. Tapi sepertinya memang harus demikian adanya. Agar saya belajar bahwa hidup memang tak mudah. Tapi mengeluh tak akan membuat berkurang kesulitannya. Bergeraklah!

Sabtu, 27 November 2010

Liontin Berukir Nama Allah, Bertahta Permata


Suatu saat, orang itu memanggil saya untuk membicarakan sesuatu. Saya pun mendatangi tempatnya dengan tanda tanya di kepala. Saat saya sudah berada di hadapannya, ia mengansurkan sebuah gulungan tissue yang dibentuk menyerupai bola-bola, sambil memperbaiki letak tas tangan di pangkuannya. Refleks, saya segera berlari kecil menuju tempat sampah di dekat saya. Membuang gulungan tissue yang saya taksir adalah sampah yang ia minta untuk dibuangkan.

Saat saya kembali di hadapannya, ia mengernyitkan keningnya seketika.

“Tissue tadi,” ujarnya sambil menatap tangan saya yang kini melompong, “Kamu letakkan dimana?”

Saya menunjukkan tempat sampah dan menjelaskan bahwa tissuenya sudah saya buangkan. Seketika ia terlihat sedikit panik dan segera meminta saya untuk mengambilnya kembali.

“Itu bukan buat dibuang…” pekiknya
Tanpa tedeng aling-aling, saya segera kembali ke tempat sampah dan mengambil tissue tadi.
“Memangnya ini apa?” tanya saya dengan sedikit kesal. “Bukan buat dibuangkah?”
“Buka saja gulungan tissuenya…” ujarnya dengan wajah lebih lega

Saya pun segera membuka gulungan tissue itu, lalu sejenak kemudian langsung tertegun demi menyaksikan sebuah leontin berkilap dengan ukiran nama Allah di atasnya. Nampak berjejeran permata-permata putih di pinggiran logam mulia itu.

“Ini…” ujar saya dengan takjub, “Emas betulan?”

Orang itu tersenyum simpul. Mungkin geli dengan ke-katro-an saya pada segala jenis ‘barang berharga’.

“Untuk itulah kamu saya panggil. Emas itu beratnya delapan gram. Mau saya sumbangkan.” katanya.

Saya semakin terbelalak. Delapan gram? Disumbangkan?

“Pokoknya saya mau emas itu digunakan di jalan Allah, terserah disalurkannya kemana. Yang jelas saya niatnya sedekah.” lanjutnya lagi, seolah tidak peduli dengan tampang saya yang shock.

“Semoga dengan itu, Allah memberikan kemudahan bagi saya. Doakan, yah!”

Dan saya pun masih terbelalak.

Kawan, kita mungkin sudah sering mendengar orang-orang yang menyumbangkan hartanya yang melimpah. Dibandingkan nilai delapan gram emas, tentu telah banyak manusia di jaman ini yang pernah bersedekah lebih dari itu. Tapi bagi saya, baru kali ini saya menyaksikan langsung, sekaligus dijadikan wasilah untuk menyalurkan sedekah dengan jumlah segitu.

Setelah kejadian tadi, saya jadi sibuk mengerjap-ngerjapkan mata saya yang berair. Terharu karena telah menjadi saksi bagaimana Allah mampu menuntun seseorang memiliki hati yang berkilau seperti itu. Apalagi, saya tahu betul bahwa akhir-akhir ini dia sedang menjalankan rencana-rencana yang juga membutuhkan dana yang besar. Dan saya tahu, dana yang ia butuhkan belum juga cukup untuk rencananya itu. Maka menyaksikannya dapat memutuskan untuk bersedekah dalam jumlah demikian dalam keadaan tersebut, membuat saya makin takjub!

“Pemilik toko emasnya bilang,” seorang kakak yang diamanahkan untuk menjual emas –tentunya agar dananya dapat lebih mudah disalurkan sesuai keinginan penyumbangnya, mengisahkan “Harga emasnya jadi lebih tinggi, karena leontin itu masih sangat baru…” ujarnya, tanpa bisa menutupi ketakjubannya. Persis seperti saya.

Setiap mengingat itu, hati saya bergemuruh. Lalu tidak bisa membayangkan jika saya juga hadir dalam salah satu fragmen kisah para salaf, saat Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam meminta para sahabatnya untuk bersedekah. Datanglah sang gagah Umar bin Khattab dengan separuh hartanya. Namun, kemudian muncul Abu Bakar dengan seluruh hartanya. Baik, saya ulangi: SELURUH HARTANYA!

Lalu Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam, bertanya pada lelaki yang paling dicintainya tersebut, “Lalu apa yang kau tinggalkan untuk keluargamu?”

Abu Bakar, pria dengan keimanan kualitas langit, dan dengan keyakinan yang sekokoh gunung itu berucap, “Aku tinggalkan untuk mereka Allah dan RasulNya.”

Ah, begitu indahnya kalimat itu…

“Aku tinggalkan untuk mereka Allah dan RasulNya.”
Jika saya ditakdirkan Allah untuk menyaksikan langsung kejadian tersebut, mungkin saya sudah guling-guling dan menangis sesunggukan karena tertampar pada aura keimanan mereka yang membuncah-buncah. Subhanallah!

Sementara saya sendiri, apa yang sudah saya sumbangkan untuk agama ini?
Lalu saya kembali meretas-retas, mengingat-ingat, membuka-buka memori masa silam, yang dekat dan yang telah jauh tertinggal. Kemudian, menemukan bahwa belum ada apa-apa. Yah, belum ada apa-apa yang saya berikan.

Sekarang, saya mulai paham, untuk apa seharusnya saya menangis.

Ya, menangisi diri sendiri.

“Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui” (QS. Al Baqarah [2]: 261)

Rabu, 24 November 2010

Saat Pesta Pernikahan Berdampingan dengan Rumah Duka




Siang itu, matahari sedang terik-teriknya bersinar. Meski tak ada yang pernah tahu bahwa sorenya hujan akan mengguyur bumi, sejenak mengaburkan ingatan kita tentang terik.

Saya sedang membelah jalanan menuju kampus saat melewati sebuah rumah dengan warna-warni hiasan di pagarnya, khas menandakan ada sebuah hajatan bahagia di sana. Mobil-mobil berderet-deret, mengambil separuh badan jalan yang sejak awal sudah cukup sempit itu. Ada pesta pernikahan di rumah tersebut.

Entah mengapa, saat menyaksikan pemandangan itu, saya justru membayangkan hal lain. Membayangkan bagaimana jika, di samping rumah tadi, berdampingan pula sebuah rumah yang salah satu penghuninya baru saja dipanggil untuk kembali pada Rabbnya. Pulang kampung ke negeri akhirat.

Tentu akan menjadi pemandangan yang ganjil, saat kedua takdir itu bersanding. Pastinya akan ada perasaan tak enak yang menggelayuti pemilik rumah masing-masing. Sementara, tak ada satu pun diantara keduanya yang dapat menangguhkan hal tersebut.

Pesta pernikahan yang telah didesign sedemikian rupa dengan perencanaan yang matang sejak jauh-jauh hari, tak mungkin ditunda, apalagi dibatalkan karena tiba-tiba ada tetangga yang meninggal. Terlebih lagi tentang ajal, meninggalnya seseorang, tak mungkin bisa ditahan-tahan karena kerabat sebelah rumah sedang ada hajatan walimah.

Beberapa menit kemudian, saya sudah sampai di jalan raya. Lalu tiba-tiba terdengar suara sirene yang diikuti dengan pemandangan segerombolan pengendara sepeda motor yang membawa bendera putih. Dan saya pun takjub. Meski mungkin kedua peristiwa tadi tidak berlangsung di area yang sama –seperti yang saya khayalkan, tapi setidaknya kedua hal ini terjadi di waktu yang dekat jaraknya.

Sekali lagi tentang kematian.

Tiba-tiba saya disergap ketakutan, mata berkaca, dan perasaan bergemuruh, teringat pada kelalaian saya semalam –belum lagi dengan segala dosa selama ini, ah…. Tapi belum lagi saya selesai dengan gemuruh itu, kembali muncul gerombolan lain yang juga membawa bendera putih.

Dua.

Dua kematian yang saya saksikan hari ini. Mungkin saya hanya melihat iring-iringan jenazahnya saja. Tapi cukuplah itu menjadi sebuah pengingat, nasihat yang nyata.

Kawan, tak perlulah kukabarkan bagaimana kematian itu bisa saja datang tiba-tiba. Tanpa pernah direncakan seperti sebuah acara pernikahan. Tak pernah bisa kita mengancang-ancang dimana kita akan tertimpa takdir itu nanti. Tak bisa kita berencana busana apa yang akan kita kenakan saat itu. Terlebih lagi bahwa tak ada seorang pun yang bisa kita ajak turut serta saat tamu terakhir itu datang menjemput. Dan tentu tak mungkin kita berucap, “Tunggu dulu, saya belum siap!”

Mungkin ada baiknya jika kita duduk sejenak, menghadirkan diri dan hati secara utuh untuk kembali bertanya; untuk apa kita hidup? Kembali mengevaluasi apa saja yang telah kita lakukan selama nafas ini berhembus.

Kita, seorang anak dari kedua orang tua, sudah berapa banyak amal bakti yang kita beri kepada ayah dan bunda?

Kita, seorang saudara atas kaum muslimin yang lain, kemanfaatan apa yang telah kita sumbang untuk jiwa-jiwa yang dengannya Rasulullah menjadikan ‘satu tubuh’ sebagai analoginya?

Kita, pemuda yang diberi begitu banyak nikmat, seberapa besar rasa syukur itu datang, seberapa mampu kita bersabar atas cobaan, seberapa jauh kita bisa ikhlas atas takdir, bandingkan dengan seberapa sering kita mengeluh -bukan kepada siapa-siapa, Kawanku! Tapi esensi keluahan sebanrnya adalah kita sedang mengeluh pada Allah yang telah menggariskan semua perjalanan ini!

Kita, seorang penuntut ilmu yang ingin menjejalkan cahaya pada hati dan pikirannya, sejauh mana segala teori itu berbuah amal?

Kita, manusia yang hidup berdampingan dengan makhluk Allah yang lain, seberapa mampu kita mengejawantahkan jalan ini sebagai rahmatan lil alamin?

Kita, seorang hamba atas Rabbnya yang Maha Kuasa, sudah seberapa tundukkah kita pada aturanNya, sudah seberapa kuat kita menghindari larangannya, sudah sebesar apa rasa harap, takut, dan cinta itu bermuara?

Kutuliskan kata ‘kita’ itu, kawan, meski sebenarnya segala pertanyaan itu lebih tepat terhujam pada diri ini saja.

Bukankah saat gigi dicabut itu sakit? Lalu bagaimana pula saat nyawa ini yang dicabut dari jasadnya?

Bukankah ujian sidang itu menegangkan? Lalu bagaimana saat kita diuji dengan pertanyaan para malaikat?

Tidakkah nilai E di kartu hasil studi itu menggelisahkan? Lalu bagaimana gelisahnya saat yang error tenyata adalah amalan kita selama hidup di dunia?

Tidakkah api dari sebatang lilin itu panas? Lalu bagaimana pula dengan api neraka? Yang siksa paling ringannya adalah terompah yang dapat mendidihkan hingga ke otak.

Lalu bukankah kita sudah tahu betul dengan itu semua? Tapi ah, kata ‘lupa’ itu, kawan, itu yang selalu membuat kita silau dengan dunia, dan rela menukarkan masa yang kekal dengan sesuatu yang tidak lebih berharga dengan sayap nyamuk saja.

Wahai Allah, sebelum masa itu tiba, telah tuntaskah segala peran yang Engkau amanahkan? Peran sebagai khalifah di muka bumi, bukan sebagai perusak yang menumpahkan darah dan air mata, persis seperti apa yang dikhawatirkan para malaikat, saat nenek moyang kami Engkau cipta. Wallahu a’lam. T_T

“Kami telah menentukan kematian di antara kamu dan Kami sekali-sekali tidak akan dapat dikalahkan” (QS. Al Waaqi’ah [56]: 60)

Senin, 15 November 2010

Inilah yang Kumaksud dengan Cinta


Mengapa harus cinta? Sebab ia adalah kata ajaib yang menggiring Anda untuk meng-klik judul ini. Selamat membaca!

Seorang lelaki telah melewatkan masa mudanya dengan pencarian yang berat. Ada pula kisah penghancuran berhala di sana, hingga ia dapat terbebaskan dari panasnya api yang membakar. Namun, lain halnya saat ananda yang telah lama dinantikan akhirnya datang juga masanya, namun telah datang perintah agar ia membawa anak dan istrinya ke sebuah gurun pasir tak bertuan.

Berat perasaannya meninggalkan keduanya begitu saja. Lalu sang istri bertanya, “Mengapa?”, begitu berkali-kali. Namun, tak juga mampu dijawabnya. Ia terus melangkah menjauh.

“Apakah ini perintah Allah?” tanya istrinya kemudian.

“Ya.” jawabnya pada akhirnya.

Maka inilah yang kumaksud dengan cinta, saat segala beban dan perasaan harus rela dikesampingkan demi sebuah perintah agung dari langit. Meski berat terasa, meski seolah tak sanggup terlewatkan.

Dan sebagaimana awal-awal proses kehidupannya, sang anak tumbuh menjadi buah hati yang tak akan terganti. Baik budinya, halus perangainya. Menyenangkan bila dipandang dan meneduhkan untuk perasaan. Lalu saat pertemuan pertama dengan sang ayah ditakdirkan, pecahlah segala rindu. Tuntaslah semua gundah yang menggelayut oleh jarak yang terbentang.

Hingga dalam kebersamaan yang indah itu, datanglah sebuah mimpi yang merupakan perintah yang sekali lagi menguji diri. Kali ini bukan sekadar meninggalkan di gurun pasir, tapi lebih dari itu, bahkan mengakhiri nyawa buah hatinya dengan tangannya sendiri.

Namun, rupanya perintah itu kembali disambut dengan keyakinan yang sama; ini perintah Allah.

Maka, inilah yang kumaksud dengan cinta, waktu bibir pemuda itu berucap kata yang abadi dan terjaga hingga akhir dunia, “Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar." (QS. Ash Shaffat: 102)

Lalu kisah selanjutnya telah diceritakan di masa kanak-kanak kita. Saat digantikanlah sang ananda dengan hewan sembelihan. Lalu kembali abadi ‘reka ulang’ kisah ini dalam setiap tahun kehidupan kaum muslimin, setiap 10 Dzulhijjah.

Inilah yang kumaksud dengan cinta. Tentang Ibrahim Alaihissalam, Siti Hajar, dan Ismail Alaihissalam. Wallahu a’lam.

Belajar dari Ibrahim, belajar takwa kepada Allah…

Belajar dari Ibrahim, belajar untuk mencintai Allah…

Selamat menyambut Hari Raya Idul Adha!



(Makassar, 8 Dzulhijjah 1431 H)

Kamis, 11 November 2010

Perjalanan Senja


Seperti pertemuan sahabat lama di sebuah angkutan kota. Seperti itu pula setiap cerita dari hidup mengajarkan kita tentang skenarionya. Saat seorang adik tersenyum di hadapan, pada suatu sore, di beranda masjid. Lalu berikutnya, namanya terucap dalam sebuah kabar tentang perpisahan abadi yang tak bisa dicegah.

Seperti pemuda yang tak lekat matanya dari sebuah buku bersampul biru muda. Demikianlah kita dituntut untuk bersabar, mendidik jemari saat membuka tiap helai ilmu. Bersabar dengan waktu yang tergadai dalam setiap detik yang terlewat padamu. Adakah datangnya adalah cahaya yang kelak ditukar syurga? Atau justru menjadi saksi atas amal yang tak pernah menjadi nyata?

Seperti jalan yang basah oleh air hujan. Saat tiap perciknya bersatu dengan tanah lalu selesai begitu saja. Waktu ibunda Aisyah mengajarkan kita arti ketidakbermaknaan manusia. Lalu Umar berharap, lebih baik bila ia menjadi tanah yang terlupa. Lalu kita, sepantasnya menjadi apa?

Makassar, 11 November 2010

Dalam perjalanan senja menuju rumah. Diatas 07 yang membelah anging mammiri, sejuk sekali!

Dedicated to Kak Fitri Salsabila; “Ayo rayakan hari dengan menggapai cita-cita ^_^”

Special for Kak Achie (Ummu Azka Khadijah): “Ajari saya punya hati bernuansa langit sepertimu, kak!”

Jumat, 05 November 2010

Volunteer Wanna Be


[WARNING: Postingan GeJe. Tidak perlu lanjutkan membacanya jika Anda punya hal lain yang lebih bermanfaat untuk dikerjakan!]
“Seharusnya saya di sana…” ucap saya sambil memandangi layar televisi dengan mata meradang. Benda eketronik itu menampilkan berita bencana alam yang kian memilukan.

“He…?” adik saya mendelik. Khas seperti biasanya.

“Jiwa ini bergejolak. Seharusnya saya di sana. Menjadi relawan… Menjadi relawan!” ucap saya dengan berapi-api. Ditambahkan tangan yang mengepal mantap ke angkasa

Mata adik saya membentuk garis. Mulutnya mengatup kuat, tapi siap menyemburkan kata-kata pedas. “Memangnya kalo di sana kamu mau apa? Mau bikin shake herbalife rasa Dutch chocolate, ha?!” ucapnya. Ya, pedas, Kawan. Pedas bukan buatan!

“Memangnya apa yang bisa kau lakukan selain bikin shake!” lanjunya lagi. Cabai. Sepedas cabai, Kawan!

Saya menggelepar tak karuan. Membentuk body language yang tidak menerima kata-katanya yang menyayat hati. Sambil sesekali melirik shaker Ibu yang sudah nampak tandas, menunggu saya menggunakannya juga.

“ Setidaknya…” ucap saya dengan wajah memelas yang berusaha menyakinkan makhluk keriting yang tidak lain dan tidak bukan adalah penghuni rahim yang sama setelah saya mbrojol ke dunia, “Saya di sana bisa membuatkan mereka puisi…” saya menghembuskan nafas berat, dramatis. “Untuk mengentaskan duka lara mereka…” lanjut saya dengan syahdu.

“He?” mata adik saya kembali membentuk garis. tatapan itu berkata lebih sengit dari ucap lisannya: Katakanlah, dan aku tak peduli!

Percayalah, Kawan. Seharusnya saya ada di sana, seharusnya KITA di sana. Menjadi relawan. Become a volunteer! Baiklah, kesepatan saja yang belum datang.

Rabu, 03 November 2010

Menikmati Cinta dalam Gelas di Padang Bulan


“Saya sedang rindu setengah mati…” ucap saya dalam perbincangan sore itu

“He?” adik saya mendelik, tatapan seperti itu khusus ia hamburkan hanya saat mendapati saya sedang heboh mendramatisir sesuatu (baca: lebay)

“ Rindu sama Gramedia…, lama kayaknya kita tidak kesana.” lanjut saya dengan tampang sok melankolis. Dan obrolan itupun berlanjut dengan konspirasi terselubung antar kakak beradik yang menghasilkan sebuah action yang sesuai tujuan: ayah dan bunda bersedia men-drop kami ke Gramedia malam itu juga! Sek aseeek…

Saya, meminjam istilah sobat saya Gabriella Dwiputri, telah tumbuh dan berkembang bersama nama toko buku itu. Mulai dari saat ia berada di lantai dua Swalayan pertama Makassar, Makasa –yang berakhir dengan kebakaran maut yang mengenaskan, karena memusnahkan begitu banyak komik dan buku cerita yang di masa itu selalu rutin dibelikan ayah tiap habis gajian. Lalu setelah beberapa waktu kami, tiga bersaudara, merana tanpa Gramedia, toko buku itu muncul lagi saat Mall pertama di Makassar berdiri; MaRI. Hingga saat ini, Gramedia favorit kami adalah yang di Mall Panakukang. Gramedianya luas, nyaman, ada tempat duduk, dan yang paling penting; selalu ada buku sampel yang bisa dibaca gratis karena telah lepas dari sampul plastik!

Lalu, setelah mengentaskan rindu pada toko yang telah ikut mencerdaskan kehidupan bangsa itu –maaf, saya lagi lebay, saya akhirnya memutuskan untuk berfokus pada tujuan utama saya. Sebuah karya penulis favorit saya, Salim A. Fillah, Dalam Dekapan Ukhuwah. Dan setelah bersitegang dengan karyawan Gramedia yang tidak bisa menunjukkan rak dimana buku itu berada –karena tenyata stoknya kosong, saya akhirnya memutuskan untuk kembali ke rak depan pintu masuk. Rak tempat buku-buku laris berjejal dengan anggun. Saya menimang-nimang sebuah buku yang sebenarnya sudah lama saya incar, tapi selalu berat di angka-angka yang berderet pada label harganya.

Kemarin-kemarin, saya selalu berhasil membaca buku-buku keren karya penulis itu dari hasil boleh minjem. Kali ini, saya berinisitif akan membelinya. Bagaimana pun, walau sudah beratus-ratus ribu manusia yang membeli bukunya, saya tetap merasa perlu melakukan hal yang sama. Lebih kepada wujud apresiasi saya kepada beliau dan bahwa setelah bergelut langsung di dunia media cetak –walau masih dalam taraf media lokal, saya merasa betapa pentingnya seorang pembeli karya kita. Bahwa terkadang ini bukan masalah uang yang harus dikeluarkan, tapi bahwa tiap orang yang memutuskan untuk menyisihkan hartanya demi membeli tulisan kita, adalah pelecut semangat tersendiri agar kita terus berkarya. Baiklah, anggap saja ini sebagai semacam solidaritas.

Saya jadi teringat sebuah malam saat saya melihat ayah membuka amplop yang diberikan panitia masjid kepada beliau, sehabis beliau mengisi ceramah tarawih. Saya sempat bertanya seberapa etiskah kita menerima ‘honor’ atas kebenaran yang kita sampaikan. Terlebih lagi atas ilmu agama yang kita bagi. Pantaskah?

Tapi, malam itu, Ayah mengajarkan saya bahwa ini bukan masalah nominal. Ini adalah perihal penghargaan kita terhadap ilmu. Mengapa umat manusia bersedia menghabiskan uang-uang mereka untuk baju, make up, rumah, kendaraan, atau pulsa handphone? Sementara untuk membeli majalah islami seharga Rp 6000 saja, harus berpikir hingga kening berkerut –maaf, yang ini lagi curhat. Baiklah, anggap saja ini sebagai apresiasi.

Nah, kembali ke Gramedia tadi. Akhirnya saya resmi menjadi satu diantara begitu banyak pemilik dwilogi Padang Bulan-Cinta dalam Gelas karya (yang saya hormati) Bung Andrea Hirata. Membuka halaman awalnya saja sudah membuat saya tersenyum sendiri. Di sana berderet huruf yang menyusun kalimat yang manis: “Untuk A Ling”. Dan seketika saya merasa bahwa perempuan Tiong Hoa itu adalah wanita yang paling beruntung seluruh dunia! ^_^

Memasuki bagian awal, kita disuguhi dengan potret keteguhan seorang Enong dan keluarganya. Dibuka dengan gambaran cinta sederhana Syalimah dan Zamzani (orang tua Enong). Pria penyayang itu ternyata hanya bertahan satu bab di buku ini, diakhir bab, beliau meninggal dunia. Meninggalkan perempuan yang akan membawa cinta padanya hingga akhir hayat pula.

Tokoh Enong kemudian digambarkan sebagai wanita perkasa yang membanting tulang menggantikan peran ayahandanya. Ia kubur mimpinya menjadi guru Bahasa Inggris –pelajaran kesukaannya. Gadis itu lalu banting stir menjadi buruh timah pertama di dunia.

Padang Bulan banyak diisi dengan dilema cinta pertama Ikal. Bagaimana ia gusar saat mendapati gadisnya konon bakal dibawa lari oleh seorang pria tampan nan tinggi pula; Zinar. Langkah lulusan luar negeri ini lalu maju mundur untuk mengadu nasib di Jakarta. Ibunya uring-uringan menyaksikan pemuda itu hanya tinggal menganggur, hingga sang ibu menerawang ijazahnya dibawah matahari, menyangsikan keaslian ijazah-ijazah itu! Hehehehe…

Dari dua belah dwilogi itu, saya lebih menjuarakan bagian Cinta dalam Gelas. Mungkin, karena Padang Bulan lebih banyak diisi dengan kisah jenaka perjalanan cinta dan tipu muslihat Ikal dengan Detektif M. Nur (pemilik burung merpati bernama Jose Rizal yang sangat cerdas cendekia).

Cinta dalam Gelas sendiri banyak bercerita tentang Enong, yang selanjutnya disebut Maryamah. Setelah menemukan ladang tambangnya, Maryamah memutuskan untuk mengisi harinya dengan mengikuti kursus bahasa Inggris di kota. Suatu hari, ia mengundang Ikal dan M. Nur untuk menghadiri wisuda kursusnya. Ia nampak paling dewasa diantara wisudawan lainnya. Lalu berkacalah mata kedua sahabatnya itu saat ternyata Enong berada di peringkat lima dalam penamatan itu.

Selanjutnya, Cinta dalam Gelas banyak diisi dengan seluk beluk dunia catur, saat Maryamah memutuskan mengikuti turnamen catur 17 Agustus untuk melibas mantan suaminya, Matarom. Matarom dinikahinya atas permintaan ibunda yang telah sakit-sakitan. Namun, tidak ada yang tahu bahwa pernikahan itu harus berakhir tragis sebab lelaki tersebut ternyata sama mengerikannya di dunia nyata dengan saat melibas musuh di atas papan catur peraknya yang fenomenal; tak terkalahkan.

Dan papan catur menjadi sebuah medan dimana balasan atas budi baik terjadi, saat Maryamah mengalahkan seorang kakek tionghoa yang pernah menolongnya di masa kecil. Ia mengalahkan pria tua itu dengan cara terhormat, mengundang tepuk tangan pada permainan yang anggun itu. Lalu papan catur juga menjadi ajang saat wanita kekar itu membalas dendam pada Overste Djemalam, pria buas yang pernah bersekongkol hingga nyaris memperkosa dan membunuhnya demi sepetak ladang timah. Hingga akhirnya kecerdasan Maryamah membawanya pada partai final yang tak terbayangkan; menghadapi Matarom, juara bertahan catur warung kopi itu. Lalu setelah raja-nya telah tegang karena disasar oleh bji catur Matarom, Maryamah berhasil membalikkan keadaan dan menyelesaikan game dengan gilang gemilang!

Permainan catur dituliskan dengan begitu deskriptif dan menarik. Bagaimana papan catur menjelma Laut China Selatan. Dan gambaran saat Raja catur tertunduk lemas saat kena skak hingga berakhir tragis dan meregang nyawa di atas papan kotak-kotak. Sungguh menarik dan keren sekali!

Lalu apa pula yang membawa seorang buruh timah menjadi begitu cerdas memainkan olahraga intelek itu? Ternyata, dibelakangnya berdiri kawan-kawan klub catur dadakannya Klub Catur Kemenangan Rakyat Adalah Kebahagiaan Kita Semua. Belum lagi dengan tuntunan langsung Grand Master dunia, Ninochka Stronovsky, sahabat Ikal semasa kuliah di Sorbonne.

Cinta dalam Gelas juga membuka rahasia bagaimana Ikal menjadi seorang karyawan Warung Kopi pamandanya yang berkepribadian ganda. Juga bagaimana ia menyusun Buku Besar yang berisi tetek bengek per-kopi-an yang mengundang gelak tawa.

Buku ini, seperti buku-buku Andrea Hirata sebelumnya, mengandung motivasi dosis tinggi. Motivasi untuk terus belajar dan tidak menyerah pada berbagai tantangan. Melintasi setiap tembok yang menghalang dan mematangkan ikhtiar sebelum tertunduk menyerah.

Buku ini juga adalah buku paling jenaka karya Andrea Hirata yang pernah saya baca. Berkali-kali ibu memandangi saya dengan tatapan heran karena tergelak sendiri saat membaca buku ini di sampingnya.

Ada dua bagian favorit saya di halam 11 dan 99 Cinta dalam Gelas;

Meski tak terkatakan, anak-anaknya tahu bahwa senyum itu adalah ucapan saling berterima kasih antara ayah dan ibu mereka untuk kasih sayang yang balas-membalas, dan kopi itu adalah cinta di dalam gelas

Saya berhenti beberapa detik dan mengulum senyum setelah membaca deret kata ini. Lezat sekali! Membacanya seperti menikmati sepotong pizza dengan lelehan keju yang meletup, lalu membayar dosa junkfood itu dengan segelas Shake Herbalife rasa Dutch Chocolate yang kental dan dingin. Luar biasa!

Ia tidak dapat disurutkan oleh bimbang, tak dapat dinisbikan oleh gamang. Darinya, aku mengambil folisofi bahwa belajar adalah sikap berani menantang ketidakmungkinan; bahwa ilmu yang tak dikuasai akan menjelma dalam diri manusia menjadi sebuah ketakutan. Belajar dengan keras hanya bisa dilakukan oleh seseorang yang bukan penakut

Bagian ini seharusnya dibaca oleh seluruh pelajar Republik Indonesia agar tidak mudah memutuskan untuk membolos jam pelajaran atau seenaknya menyontek pas ujian karena malas untuk belajar lebih keras!

Akhirnya, saya memberikan full bintang lima untuk dwilogi ini! Mencerahkan dan sangat indah. Membacanya seperti membawa kita menyusuri Belitong yang berwarna-warni dengan manusianya dan memesona dengan keindahan alamnya.

Membuat saya menambah nama tempat yang ingin saya jejaki setelah Makkah dan Madinah. Tempat itu adalah Rumah Puisi Andrea Hirata di pinggir kampung Ikal, dekat sekolah Laskar Pelangi di Belitong. Tunggu saya di sana! Insya Allah.



(Makassar, 3 November 2010)