Sabtu, 27 November 2010

Liontin Berukir Nama Allah, Bertahta Permata


Suatu saat, orang itu memanggil saya untuk membicarakan sesuatu. Saya pun mendatangi tempatnya dengan tanda tanya di kepala. Saat saya sudah berada di hadapannya, ia mengansurkan sebuah gulungan tissue yang dibentuk menyerupai bola-bola, sambil memperbaiki letak tas tangan di pangkuannya. Refleks, saya segera berlari kecil menuju tempat sampah di dekat saya. Membuang gulungan tissue yang saya taksir adalah sampah yang ia minta untuk dibuangkan.

Saat saya kembali di hadapannya, ia mengernyitkan keningnya seketika.

“Tissue tadi,” ujarnya sambil menatap tangan saya yang kini melompong, “Kamu letakkan dimana?”

Saya menunjukkan tempat sampah dan menjelaskan bahwa tissuenya sudah saya buangkan. Seketika ia terlihat sedikit panik dan segera meminta saya untuk mengambilnya kembali.

“Itu bukan buat dibuang…” pekiknya
Tanpa tedeng aling-aling, saya segera kembali ke tempat sampah dan mengambil tissue tadi.
“Memangnya ini apa?” tanya saya dengan sedikit kesal. “Bukan buat dibuangkah?”
“Buka saja gulungan tissuenya…” ujarnya dengan wajah lebih lega

Saya pun segera membuka gulungan tissue itu, lalu sejenak kemudian langsung tertegun demi menyaksikan sebuah leontin berkilap dengan ukiran nama Allah di atasnya. Nampak berjejeran permata-permata putih di pinggiran logam mulia itu.

“Ini…” ujar saya dengan takjub, “Emas betulan?”

Orang itu tersenyum simpul. Mungkin geli dengan ke-katro-an saya pada segala jenis ‘barang berharga’.

“Untuk itulah kamu saya panggil. Emas itu beratnya delapan gram. Mau saya sumbangkan.” katanya.

Saya semakin terbelalak. Delapan gram? Disumbangkan?

“Pokoknya saya mau emas itu digunakan di jalan Allah, terserah disalurkannya kemana. Yang jelas saya niatnya sedekah.” lanjutnya lagi, seolah tidak peduli dengan tampang saya yang shock.

“Semoga dengan itu, Allah memberikan kemudahan bagi saya. Doakan, yah!”

Dan saya pun masih terbelalak.

Kawan, kita mungkin sudah sering mendengar orang-orang yang menyumbangkan hartanya yang melimpah. Dibandingkan nilai delapan gram emas, tentu telah banyak manusia di jaman ini yang pernah bersedekah lebih dari itu. Tapi bagi saya, baru kali ini saya menyaksikan langsung, sekaligus dijadikan wasilah untuk menyalurkan sedekah dengan jumlah segitu.

Setelah kejadian tadi, saya jadi sibuk mengerjap-ngerjapkan mata saya yang berair. Terharu karena telah menjadi saksi bagaimana Allah mampu menuntun seseorang memiliki hati yang berkilau seperti itu. Apalagi, saya tahu betul bahwa akhir-akhir ini dia sedang menjalankan rencana-rencana yang juga membutuhkan dana yang besar. Dan saya tahu, dana yang ia butuhkan belum juga cukup untuk rencananya itu. Maka menyaksikannya dapat memutuskan untuk bersedekah dalam jumlah demikian dalam keadaan tersebut, membuat saya makin takjub!

“Pemilik toko emasnya bilang,” seorang kakak yang diamanahkan untuk menjual emas –tentunya agar dananya dapat lebih mudah disalurkan sesuai keinginan penyumbangnya, mengisahkan “Harga emasnya jadi lebih tinggi, karena leontin itu masih sangat baru…” ujarnya, tanpa bisa menutupi ketakjubannya. Persis seperti saya.

Setiap mengingat itu, hati saya bergemuruh. Lalu tidak bisa membayangkan jika saya juga hadir dalam salah satu fragmen kisah para salaf, saat Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam meminta para sahabatnya untuk bersedekah. Datanglah sang gagah Umar bin Khattab dengan separuh hartanya. Namun, kemudian muncul Abu Bakar dengan seluruh hartanya. Baik, saya ulangi: SELURUH HARTANYA!

Lalu Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam, bertanya pada lelaki yang paling dicintainya tersebut, “Lalu apa yang kau tinggalkan untuk keluargamu?”

Abu Bakar, pria dengan keimanan kualitas langit, dan dengan keyakinan yang sekokoh gunung itu berucap, “Aku tinggalkan untuk mereka Allah dan RasulNya.”

Ah, begitu indahnya kalimat itu…

“Aku tinggalkan untuk mereka Allah dan RasulNya.”
Jika saya ditakdirkan Allah untuk menyaksikan langsung kejadian tersebut, mungkin saya sudah guling-guling dan menangis sesunggukan karena tertampar pada aura keimanan mereka yang membuncah-buncah. Subhanallah!

Sementara saya sendiri, apa yang sudah saya sumbangkan untuk agama ini?
Lalu saya kembali meretas-retas, mengingat-ingat, membuka-buka memori masa silam, yang dekat dan yang telah jauh tertinggal. Kemudian, menemukan bahwa belum ada apa-apa. Yah, belum ada apa-apa yang saya berikan.

Sekarang, saya mulai paham, untuk apa seharusnya saya menangis.

Ya, menangisi diri sendiri.

“Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui” (QS. Al Baqarah [2]: 261)

1 komentar:

  1. semoga lebih menyemangatkan diri tuk berkarya...
    *syukron

    ~ dy ~

    BalasHapus

Terima kasih sudah berkunjung. Jika kamu berkenan meninggalkan jejak di kolom komentar, lebih baik lagi :)