Rabu, 03 November 2010

Menikmati Cinta dalam Gelas di Padang Bulan


“Saya sedang rindu setengah mati…” ucap saya dalam perbincangan sore itu

“He?” adik saya mendelik, tatapan seperti itu khusus ia hamburkan hanya saat mendapati saya sedang heboh mendramatisir sesuatu (baca: lebay)

“ Rindu sama Gramedia…, lama kayaknya kita tidak kesana.” lanjut saya dengan tampang sok melankolis. Dan obrolan itupun berlanjut dengan konspirasi terselubung antar kakak beradik yang menghasilkan sebuah action yang sesuai tujuan: ayah dan bunda bersedia men-drop kami ke Gramedia malam itu juga! Sek aseeek…

Saya, meminjam istilah sobat saya Gabriella Dwiputri, telah tumbuh dan berkembang bersama nama toko buku itu. Mulai dari saat ia berada di lantai dua Swalayan pertama Makassar, Makasa –yang berakhir dengan kebakaran maut yang mengenaskan, karena memusnahkan begitu banyak komik dan buku cerita yang di masa itu selalu rutin dibelikan ayah tiap habis gajian. Lalu setelah beberapa waktu kami, tiga bersaudara, merana tanpa Gramedia, toko buku itu muncul lagi saat Mall pertama di Makassar berdiri; MaRI. Hingga saat ini, Gramedia favorit kami adalah yang di Mall Panakukang. Gramedianya luas, nyaman, ada tempat duduk, dan yang paling penting; selalu ada buku sampel yang bisa dibaca gratis karena telah lepas dari sampul plastik!

Lalu, setelah mengentaskan rindu pada toko yang telah ikut mencerdaskan kehidupan bangsa itu –maaf, saya lagi lebay, saya akhirnya memutuskan untuk berfokus pada tujuan utama saya. Sebuah karya penulis favorit saya, Salim A. Fillah, Dalam Dekapan Ukhuwah. Dan setelah bersitegang dengan karyawan Gramedia yang tidak bisa menunjukkan rak dimana buku itu berada –karena tenyata stoknya kosong, saya akhirnya memutuskan untuk kembali ke rak depan pintu masuk. Rak tempat buku-buku laris berjejal dengan anggun. Saya menimang-nimang sebuah buku yang sebenarnya sudah lama saya incar, tapi selalu berat di angka-angka yang berderet pada label harganya.

Kemarin-kemarin, saya selalu berhasil membaca buku-buku keren karya penulis itu dari hasil boleh minjem. Kali ini, saya berinisitif akan membelinya. Bagaimana pun, walau sudah beratus-ratus ribu manusia yang membeli bukunya, saya tetap merasa perlu melakukan hal yang sama. Lebih kepada wujud apresiasi saya kepada beliau dan bahwa setelah bergelut langsung di dunia media cetak –walau masih dalam taraf media lokal, saya merasa betapa pentingnya seorang pembeli karya kita. Bahwa terkadang ini bukan masalah uang yang harus dikeluarkan, tapi bahwa tiap orang yang memutuskan untuk menyisihkan hartanya demi membeli tulisan kita, adalah pelecut semangat tersendiri agar kita terus berkarya. Baiklah, anggap saja ini sebagai semacam solidaritas.

Saya jadi teringat sebuah malam saat saya melihat ayah membuka amplop yang diberikan panitia masjid kepada beliau, sehabis beliau mengisi ceramah tarawih. Saya sempat bertanya seberapa etiskah kita menerima ‘honor’ atas kebenaran yang kita sampaikan. Terlebih lagi atas ilmu agama yang kita bagi. Pantaskah?

Tapi, malam itu, Ayah mengajarkan saya bahwa ini bukan masalah nominal. Ini adalah perihal penghargaan kita terhadap ilmu. Mengapa umat manusia bersedia menghabiskan uang-uang mereka untuk baju, make up, rumah, kendaraan, atau pulsa handphone? Sementara untuk membeli majalah islami seharga Rp 6000 saja, harus berpikir hingga kening berkerut –maaf, yang ini lagi curhat. Baiklah, anggap saja ini sebagai apresiasi.

Nah, kembali ke Gramedia tadi. Akhirnya saya resmi menjadi satu diantara begitu banyak pemilik dwilogi Padang Bulan-Cinta dalam Gelas karya (yang saya hormati) Bung Andrea Hirata. Membuka halaman awalnya saja sudah membuat saya tersenyum sendiri. Di sana berderet huruf yang menyusun kalimat yang manis: “Untuk A Ling”. Dan seketika saya merasa bahwa perempuan Tiong Hoa itu adalah wanita yang paling beruntung seluruh dunia! ^_^

Memasuki bagian awal, kita disuguhi dengan potret keteguhan seorang Enong dan keluarganya. Dibuka dengan gambaran cinta sederhana Syalimah dan Zamzani (orang tua Enong). Pria penyayang itu ternyata hanya bertahan satu bab di buku ini, diakhir bab, beliau meninggal dunia. Meninggalkan perempuan yang akan membawa cinta padanya hingga akhir hayat pula.

Tokoh Enong kemudian digambarkan sebagai wanita perkasa yang membanting tulang menggantikan peran ayahandanya. Ia kubur mimpinya menjadi guru Bahasa Inggris –pelajaran kesukaannya. Gadis itu lalu banting stir menjadi buruh timah pertama di dunia.

Padang Bulan banyak diisi dengan dilema cinta pertama Ikal. Bagaimana ia gusar saat mendapati gadisnya konon bakal dibawa lari oleh seorang pria tampan nan tinggi pula; Zinar. Langkah lulusan luar negeri ini lalu maju mundur untuk mengadu nasib di Jakarta. Ibunya uring-uringan menyaksikan pemuda itu hanya tinggal menganggur, hingga sang ibu menerawang ijazahnya dibawah matahari, menyangsikan keaslian ijazah-ijazah itu! Hehehehe…

Dari dua belah dwilogi itu, saya lebih menjuarakan bagian Cinta dalam Gelas. Mungkin, karena Padang Bulan lebih banyak diisi dengan kisah jenaka perjalanan cinta dan tipu muslihat Ikal dengan Detektif M. Nur (pemilik burung merpati bernama Jose Rizal yang sangat cerdas cendekia).

Cinta dalam Gelas sendiri banyak bercerita tentang Enong, yang selanjutnya disebut Maryamah. Setelah menemukan ladang tambangnya, Maryamah memutuskan untuk mengisi harinya dengan mengikuti kursus bahasa Inggris di kota. Suatu hari, ia mengundang Ikal dan M. Nur untuk menghadiri wisuda kursusnya. Ia nampak paling dewasa diantara wisudawan lainnya. Lalu berkacalah mata kedua sahabatnya itu saat ternyata Enong berada di peringkat lima dalam penamatan itu.

Selanjutnya, Cinta dalam Gelas banyak diisi dengan seluk beluk dunia catur, saat Maryamah memutuskan mengikuti turnamen catur 17 Agustus untuk melibas mantan suaminya, Matarom. Matarom dinikahinya atas permintaan ibunda yang telah sakit-sakitan. Namun, tidak ada yang tahu bahwa pernikahan itu harus berakhir tragis sebab lelaki tersebut ternyata sama mengerikannya di dunia nyata dengan saat melibas musuh di atas papan catur peraknya yang fenomenal; tak terkalahkan.

Dan papan catur menjadi sebuah medan dimana balasan atas budi baik terjadi, saat Maryamah mengalahkan seorang kakek tionghoa yang pernah menolongnya di masa kecil. Ia mengalahkan pria tua itu dengan cara terhormat, mengundang tepuk tangan pada permainan yang anggun itu. Lalu papan catur juga menjadi ajang saat wanita kekar itu membalas dendam pada Overste Djemalam, pria buas yang pernah bersekongkol hingga nyaris memperkosa dan membunuhnya demi sepetak ladang timah. Hingga akhirnya kecerdasan Maryamah membawanya pada partai final yang tak terbayangkan; menghadapi Matarom, juara bertahan catur warung kopi itu. Lalu setelah raja-nya telah tegang karena disasar oleh bji catur Matarom, Maryamah berhasil membalikkan keadaan dan menyelesaikan game dengan gilang gemilang!

Permainan catur dituliskan dengan begitu deskriptif dan menarik. Bagaimana papan catur menjelma Laut China Selatan. Dan gambaran saat Raja catur tertunduk lemas saat kena skak hingga berakhir tragis dan meregang nyawa di atas papan kotak-kotak. Sungguh menarik dan keren sekali!

Lalu apa pula yang membawa seorang buruh timah menjadi begitu cerdas memainkan olahraga intelek itu? Ternyata, dibelakangnya berdiri kawan-kawan klub catur dadakannya Klub Catur Kemenangan Rakyat Adalah Kebahagiaan Kita Semua. Belum lagi dengan tuntunan langsung Grand Master dunia, Ninochka Stronovsky, sahabat Ikal semasa kuliah di Sorbonne.

Cinta dalam Gelas juga membuka rahasia bagaimana Ikal menjadi seorang karyawan Warung Kopi pamandanya yang berkepribadian ganda. Juga bagaimana ia menyusun Buku Besar yang berisi tetek bengek per-kopi-an yang mengundang gelak tawa.

Buku ini, seperti buku-buku Andrea Hirata sebelumnya, mengandung motivasi dosis tinggi. Motivasi untuk terus belajar dan tidak menyerah pada berbagai tantangan. Melintasi setiap tembok yang menghalang dan mematangkan ikhtiar sebelum tertunduk menyerah.

Buku ini juga adalah buku paling jenaka karya Andrea Hirata yang pernah saya baca. Berkali-kali ibu memandangi saya dengan tatapan heran karena tergelak sendiri saat membaca buku ini di sampingnya.

Ada dua bagian favorit saya di halam 11 dan 99 Cinta dalam Gelas;

Meski tak terkatakan, anak-anaknya tahu bahwa senyum itu adalah ucapan saling berterima kasih antara ayah dan ibu mereka untuk kasih sayang yang balas-membalas, dan kopi itu adalah cinta di dalam gelas

Saya berhenti beberapa detik dan mengulum senyum setelah membaca deret kata ini. Lezat sekali! Membacanya seperti menikmati sepotong pizza dengan lelehan keju yang meletup, lalu membayar dosa junkfood itu dengan segelas Shake Herbalife rasa Dutch Chocolate yang kental dan dingin. Luar biasa!

Ia tidak dapat disurutkan oleh bimbang, tak dapat dinisbikan oleh gamang. Darinya, aku mengambil folisofi bahwa belajar adalah sikap berani menantang ketidakmungkinan; bahwa ilmu yang tak dikuasai akan menjelma dalam diri manusia menjadi sebuah ketakutan. Belajar dengan keras hanya bisa dilakukan oleh seseorang yang bukan penakut

Bagian ini seharusnya dibaca oleh seluruh pelajar Republik Indonesia agar tidak mudah memutuskan untuk membolos jam pelajaran atau seenaknya menyontek pas ujian karena malas untuk belajar lebih keras!

Akhirnya, saya memberikan full bintang lima untuk dwilogi ini! Mencerahkan dan sangat indah. Membacanya seperti membawa kita menyusuri Belitong yang berwarna-warni dengan manusianya dan memesona dengan keindahan alamnya.

Membuat saya menambah nama tempat yang ingin saya jejaki setelah Makkah dan Madinah. Tempat itu adalah Rumah Puisi Andrea Hirata di pinggir kampung Ikal, dekat sekolah Laskar Pelangi di Belitong. Tunggu saya di sana! Insya Allah.



(Makassar, 3 November 2010)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih sudah berkunjung. Jika kamu berkenan meninggalkan jejak di kolom komentar, lebih baik lagi :)