Senin, 29 November 2010

Sore yang Biru


Setelah beberapa rencana tidak berhasil saya eksekusi dalam beberapa hari ini, maka saya kemudian meninggalkan kampus sambil mencemarkan pemandangan sore dengan tampang kusut. Kemudian berusaha menekuk-nekuknya agar terlihat lebih rapi, tapi masih dengan setengah hati.

Di dalam perjalanan, saya hanya bisa ikut mendengarkan perbincangan sekelompok mahasiswi lain dengan mata yang tinggal segaris. Antara ngantuk dan suntuk. Lalu menatap langit lewat jendela angkot dan mulai merasakan hawa-hawa ‘winter blue’ yang menerpa hati saya lamat-lamat.

Ditengah-tengah keadaan yang menjengkelkan itu, saya mencoba menerka-nerka. Biasanya, dalam kondisi seperti ini, saya akan ditakdirkan bertemu dengan seseorang atau menyaksikan sesuatu yang akan membawa saya pada ‘aha-moment’ untuk kembali bangkit dari jiwa yang terserak-serak itu.

Dan benarlah.

Bermula dari sebuah pesan singkat yang mengantarkan saya pada sebuah perbincangan sore hingga pulsa saya yang limit ludes, sampai ke bonus-bonusnya! Tapi tak mengapa, toh saya mendapat pelajaran besar dari percakapan saya dengan ‘Arai’.

“Siapa yang sakit?” tanya saya, lewat pesan singkat.

Dia lalu menjawab bahwa dirinyalah yang sedang tidak sehat. Penyakit masa lalu yang sempat hilang kini muncul lagi. Sakit menusuk di dada kiri yang tembus hingga punggung.

“Bagaimana kalau saya mati, Din?” ucapnya, setengah bercanda, setengah getir.

“Kadang saya mau lari dari semua ini,” ujarnya dengan nafas tertahan, “ Tapi mereka, adik-adik saya khan amanah…”

Ia menceritakan tentang betapa beratnya bebannya. Betapa tidak mendukungnya kenyataan.

“Saya cuma butuh orang untuk berbagi, Din. Orang yang bisa memeluk saya dalam keadaan seperti ini. Mungkin ibu, atau Ayah…” ucapnya. Mengenang kedua orangtua yang kini tak ada lagi di dunia.

Dan saya, hanya dapat mengucap kata-kata enteng yang berat penjabarannya, “Sabarlah, kawan…”

Malamnya, sambil menyantap makan malam yang nikmat itu, saya menyaksikan tayangan televisi. Nampak seorang ibu sedang membuat kue kecil untuk jualan.

“Dari usaha ini,” seorang gadis yang sengaja tinggal di rumah ibu itu untuk program TV ini bertanya, “Berapa keuntungan yang ibu dapat sehari?”

“Empat ribu…” ujar wanita tua itu.

“Segitu…” gadis tadi berucap sambil menyembunyikan selaput kaca di matanya, “Bisa buat apa, Bu?”

“Yah…bisa buat beli beras, Neng..” sang wanita berucap sambil tersenyum. “Satu liter…”

Dan…

Perbincangan sore itu, dan tayangan malam ini, dengan telak menampar-nampar saya. Menikam dengan tepat pada tempatnya. Menusuk-nusuk jiwa kerdil yang picik ini. Lalu menghamburkan bentakan-bentakan ke hati yang bengkak: “MEREKA JAUH LEBIH MENDERITA DARIMU, GADIS CENGENG!”

Saya ngos-ngosan.

Lebam di sana sini mulai terasa. Tonjokan dan tikaman dari kejadian-kejadian itu memang perih dan menyakitkan. Tapi sepertinya memang harus demikian adanya. Agar saya belajar bahwa hidup memang tak mudah. Tapi mengeluh tak akan membuat berkurang kesulitannya. Bergeraklah!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih sudah berkunjung. Jika kamu berkenan meninggalkan jejak di kolom komentar, lebih baik lagi :)