Selasa, 05 Januari 2016

Perempuan yang Diperjuangkan









Dia termasuk orang-orang awal yang saya informasikan tentang kabar itu. Dan responnya persis seperti dugaan saya. Ia turut berbahagia dan segera menghujani saya dengan doa-doa yang baik. Selanjutnya, chit-chat kami pun berlanjut dengan pembicaraan tentang segala hal yang berkaitan dengan hari bahagia itu. Ada rasa hangat di dalam hati saya, saat saya menyadari bahwa kami telah berbagi banyak hal dalam rentang waktu kebersamaan ini.

Dibandingkan sahabat-sahabat kental saya yang lain, yang saya kenal sejak jaman TK, SD, SMP, ataupun SMA, dari segi kuantitas waktu perkenalan, mungkin kebersamaan kami memang belum begitu lama. Baru sejak kuliah kami dipertemukan. Dan dalam masa sekitar lima tahun di kampus merah hingga menambah dua gelar di belakang nama, masa-masa akhirnya pun tidak diisi dengan perjumpaan saya yang intens dengannya. Meski sesekali kami kerap kali masih saling bertukar kabar. Saya ingat, waktu itu dia turut hadir dan tersenyum pada saya, saat saya keluar dari ruangan tempat penyumpahan apoteker, meski waktu itu dia belum menjalani prosesi yang sama.

Darinya, saya belajar tentang banyak hal. Sungguh. Bahkan di perkenalan paling pertama kami, dia langsung mengajak saya untuk beristirahat di kamar kostnya sambil menunggu jadwal kuliah selanjutnya. Di waktu-waktu berikutnya, saya kerap kali melakukan aktivitas yang  sama. Menumpang istirahat di kamar kosnya di sela waktu kuliah, shalat maghrib di sana jika kemalaman keluar dari laboratorium, ataupun menjadikannya sebagai tempat transit saat dapat shift malam waktu praktek kerja apoteker di rumah sakit. Dan dia selalu saja begitu. Mengamalkan pemuliaan terbaik kepada tamunya, dan membuat saya selalu merasa nyaman.

Di suatu waktu di antara persiapan jelang pernikahan saya, ia menelpon saya dari Lombok, tempatnya sekarang mengabdi. Seperti biasa, dia memang selalu lebih sering menelpon saya lebih dulu dibanding sebaliknya. Dan teleponnya yang kali ini dijeda dengan mati lampu di rumah saya rupanya membawa sebuah kabar yang saya tunggu-tunggu. Ini tentang seorang laki-laki yang tiba-tiba hadir dalam sebuah pesan singkat. Pesan tanpa basa-basi yang hanya sekadar ingin mengonfirmasi apakah ia belum dilamar siapapun, dan jika memang belum, maka laki-laki itu berniat untuk melamarnya. Wow. Emejing.

Saya membelalakkan mata. Bertanya tentang siapa gerangan lelaki yang begitu to the point itu. Actually, saya tahu bahwa saudari saya itu memang punya kepribadian yang baik. Di mata saya –dan mungkin di mata banyak orang, dia adalah sosok yang istri-able. Wajahnya manis, masakannya maknyus, senang rapi-rapi dan bersih-bersih, sifatnya ramah dan supel, namun di sisi lain juga punya ketegasan dan perhatian yang besar kepada hal-hal yang berbau sosial. Oh iya, yang paling penting, ia adalah sosok wanita shalihah yang selalu semangat memperbaiki diri.

Maksud saya, ia memang termasuk perempuan yang gampang dicintai, tapi menyampaikan maksud untuk ingin melamarnya dengan cara yang begitu direct seperti itu, rasa-rasanya juga terlalu... gimana gitu...

Ia pun akhirnya bercerita panjang tentang sosok lelaki itu. Saya banyak mengangguk-angguk-ria meski tahu bahwa di sana ia tidak bisa melihat anggukan saya. Dan dari apa yang ia ceritakan, saya dapat menarik kesimpulan bahwa lelaki itu cukup baik. Di kali pertama saya mendengar tentang  dirinya, feeling saya sudah cukup bagus dan entah mengapa malah saya yang merasa yakin bahwa ia adalah orang yang tepat untuk mendampingi kawan saya itu. Meski di lubuk hati yang terdalam, saya menyimpan sebuah rahasia, yang di kala itu masih saya tahan untuk menceritakannya kepadanya. Hmm... apa gerangan?

Well, sudah saya katakan bahwa saudari saya yang satu ini adalah salah satu orang yang ditakdirkan oleh Allah untuk menjadi salah satu manusia terbaik yang pernah saya kenal. Beberapa hal pada dirinya mengingatkan saya pada hal-hal yang diinginkan Mama kepada saya. Dari sana, saya terinspirasi bahwa tentu akan menyenangkan sekali jika status saudari-fillah ini bisa di-upgrade menjadi lebih kuat; menjadi saudari ipar, mungkin? Hehehe... Saya kemudian mengingati kakak laki-laki saya yang masih betah menjomblo nun jauh di rantau sana. Dan ide itu pun muncul.

Tapi, yang terjadi, terjadilah. Ide itu bahkan masih berupa benih yang belum berkecambah saat kemudian saya tahu bahwa ada laki-laki lain yang sudah selangkah lebih maju. Dan saat saya tahu bahwa ia adalah laki-laki yang baik, saya kemudian sadar bahwa kecintaan saya pada saudari saya itu telah melebihi keinginan saya untuk menjadi keluarga beneran dengannya. Saya mencintainya karena Allah, sehingga saya ingin melihatnya bahagia. Dan mungkin, lelaki itu lebih dapat membahagiakannya dibanding kakak saya yang hingga tulisan ini dibuat, nampaknya belum ditakdirkan untuk menemukan sang belahan jiwa. (Bang, ingat umur, Bang...)

Baiklah, lupakan tentang niatan tidak kesampaian saya itu dan mari kita kembali kepada kisah ini.

Katanya, dunia ini panggung sandiwara. Cerita-cerita yang berlangsung di dalamnya mungkin bisa jadi lebih drama dibandingkan drama apapun yang pernah ditulis oleh penulis naskah manapun. Dan salah satu kisah nyata yang menurut saya mengandung kadar drama yang cukup tinggi itu, ternyata adalah kisah tentang perjalanan cinta saudari saya ini. (Backsound: jengjengjeeeng...)

Awalnya semuanya berjalan lancar. Perihal lelaki yang saat itu sedang berada di Makassar, dan kawan saya yang berada di pulau lain itu, sebenarnya bagi saya sudah cukup seru untuk diceritakan. Singkatnya, si lelaki harus melipat jarak untuk sekadar memperkenalkan diri kepada ayah dari kawan saya itu. Di antara jadwal aktivitasnya yang padat, dan rupa-rupa halangan dan rintangan yang harus ia lalui demi mendapatkan selembar tiket kapal laut untuk tiba di tujuan, akhirnya jadwal keberangkatannya pun ditetapkan. Itu adalah kali pertama ia mendatangi kampung kawan saya itu. Dari cerita tentangnya, saya tahu bahwa laki-laki itu memang gemar berpetualang ke alam bebas dan menaklukkan gunung-gunung. Kali ini, Bung, harus kau arungi samudra dan taklukkan hati laki-laki pertama saudari saya itu; Ayahnya!

Dan rencananya pun tidak muluk-muluk. Sebab itu pengalaman pertama, dan tidak ada sanak saudara di tempat tujuan, ia berencana untuk menumpang nginap di masjid mana saja selama berada di sana. Asal bisa numpang tidur! Mungkin demikian prinsipnya. Namun selanjutnya, saudara kawan saya itu menawarkan rumahnya untuk ditempati olehnya. Dan pertemuan itu pun berlangsung. Sebagai seseorang yang tidak banyak bicara, bisa bayangkan betapa tegangnya ia menghadapi calon mertua. Konon sebelum-sebelumnya, dia sudah berlatih untuk momentum penting itu, namun hasilnya selalu gagal total. Namun ia maju saja. Tidak ada pilihan lain / kita harus berjalan terus / sebab berhenti atau mundur berarti hancur. Mungkin ia menginsyafi kalimat dalam puisi Taufik Ismail itu.

Dan alhamdulillah, pertemuan itu lumayan sukes. Jadwal pertemuan selanjutnya telah ditetapkan, dengan agenda menghadirkan orang tuanya. Artinya, ia sudah dapat lampu hijau untuk datang melamar. Well done!

Namun tentu tak seru jika ceritanya sampai di sini saja. Sudah kukatakan kepadamu, duhai sidang pembaca, bahwa kisah ini akan mengandung kadar drama yang intens. Dan saat nama bulan yang dijanjikan sebagai saat untuk mengkhitbah itu telah menari-nari dengan indah di kepala keduanya, ternyata Allah berkehendak lain. Layaknya cerita novel yang selalu bertabur kejutan, tokoh lain kemudian muncul untuk turut menyemarakkan jalan cerita. Mereka adalah orang-orang yang sejatinya telah mendengar kabar perihal anak gadis yang sudah bakal dilamar orang, namun mereka menutup mata dari kabar itu. Mungkin mereka berprinsip; selama janur kuning belum melengkung, berarti masih milik bersama! Alamak!

Dan mereka pun menemui orangtua kawan saya itu. Memperkenalkan sosok yang sebenarnya sudah sangat dikenal oleh dua orang tua itu. Sosok yang sudah mereka sangat tahu kredibilitasnya sejak masa kecilnya. Bocah kecil yang santun dengan traderecord idaman-para-mertua yang kini telah bertransformasi menjadi pemuda yang tak sembarangan. Sebenarnya, lelaki pertama tadi tidak juga kalah-kalah amat. Sayangnya, ia tidak punya sesuatu yang dimiliki oleh pemuda kedua ini. Sesuatu yang bahkan meski ia cari dan ia usahakan, tetap tak dapat ia miliki. Itulah, identitas kesukuan yang sama.

Kawan saya itu memang bukan berasal dari suku bugis maupun makassar. Kampung kelahirannya saja berada di pulau berbeda, nun jauh dari tanah Sulawesi. Sedangkan lelaki pertama itu adalah pria bugis tulen yang masih bisa dicurigai bakal ‘membawa jauh’ gadis ini. Sebuah pertimbangan klasik yang mungkin memang menjadi bahan pikiran para orang tua yang ingin tetap dekat dengan anak perempuan yang mereka cintai.

Maka konfliknya pun pecah di sana, saat kemudian orangtua kawan saya itu lebih cenderung hatinya pada calon yang muncul belakangan tadi. Hingga mencak-mencak saya mengobrol dengan kawan saya itu saat ia menceritakan tentang part yang ini. Geregetan. Kenapa pula ada peristiwa tikung menikung macam ni?

Dan jika sudah bicara tentang keinginan ortu, tentu kawan saya yang merupakan anak yang berbakti ini akan menjadi sangat dilema hatinya. Dalam pada itu, saya hanya dapat memberikan kepadanya pandangan yang senetral mungkin. Berusaha untuk memaparkan tentang berbagai kemungkinan yang bisa ia tempuh dan apa resiko yang bisa jadi ia hadapi jika ia melangkah ke sini, atau ke situ. Waktu itu pun saya tengah dalam masa menuju hari pernikahan yang semakin dekat waktunya. Namun entah mengapa konsentrasi saya masih bisa terpecah untuk memikirkan hal yang satu ini. Saya ikutkan perkara ini dalam doa-doa saya semoga Allah memberikan jalan terbaik dan melembutkan setiap hati yang berada di antara pusarannya.

Perjuangan lelaki pertama itu untuk menemui ayah kawan saya menurut saya sudah merupakan satu nilai plus. Di sisi lain, caranya mengutarakan niat tanpa banyak omong  -meski sebelumnya ia sudah mengenal kawan saya ini lewat satu komunitas, juga saya nilai sebagai sesuatu yang positif. Namun apa daya jika kemudian ternyata ia masih harus memperlihatkan perjuangan yang lebih, untuk meraih apa yang ia inginkan kali ini. Hingga gemas saya memikirkan tentang jalan cerita ini.

Lelaki itu? Jangan ditanya bagaimana galaunya dia. Segera ia mencari apa yang salah dari dirinya, dan menjadwalkan untuk kembali bertandang menemui sang calon mertua yang bisa jadi bakal tidak jadi calon mertua itu. Perjalanan sekian waktu dengan kapal laut pun harus kembali ia tempuh untuk meluruskan apa yang telah bengkok, meski ia tahu; kans-nya tidak besar! Di pihak keluarga kawan saya itu sendiri, praktis hanya saudara kawan saya –yang tempo lalu ia tempati rumahnya, yang mendukungnya. Selebihnya, lebih ridha melihat kawan saya itu bersanding dengan pemuda kedua yang dinilai lebih dikenal bibit bebet dan bobotnya.

Dan dalam kemungkinan yang kecil untuk memenangkan pertarungan, ia memilih untuk tetap berangkat. Mungkin ia tersengat dengan pesan dari kawan saya itu saat mengabari tentang kondisi medan yang akan ia hadapi. Tentang keluarganya yang sudah berpaling kepada calon yang lain. Tentang ibunya yang telah kukuh ingin memberi restu kepada pemuda kedua, dan tentang ayahnya yang hanya banyak diam saat kawan saya melobi perihal lelaki yang lebih dulu datang itu.

“Tunjukkan bagaimana karakter lelaki bugis..” tulis kawan saya di akhir pesannya itu.

Dan sisi dramatis saya turut terpanggil saat membayangkan betapa cerita ini berkembang menjadi begitu filmis. Saya jadi ingat sebuah semboyan Bugis-Makassar yang begitu patriotik; Kualleangi tallanga natowalia; sekali layar terkembang, pantang biduk surut ke pantai. Ahhay! Ya, lelaki ini harus menuntaskan apa yang sudah ia mulai. Ingin rasanya saya turut berpesan kepadanya untuk tetap maju pantang mundur, perlihatkan semangat ayam jantan dari timur, dan jangan coba-coba bikin malu Sultan Hasanuddin! Tunjukkan merahmu!

Lalu keseruan itu pun terjeda dengan pikiran saya yang harus segera fokus pada pernikahan saya sendiri. Hehehe... Bahkan setelah menikah pun, kawan saya itu tidak pernah lagi memberikan update tentang perkembangan baru kasusnya itu. Ia hanya hadir dalam sebuah kado pernikahan yang manis beserta sebuah surat cinta untuk saya. Mungkin ia tidak mau muncul dahulu di masa-masa pasca pernikahan saya waktu itu.

Lalu kemudian saya pun penasaran sendiri. Jarak kami sudah terbentang lebih jauh lagi sebab kala itu saya sudah menyeberang ke negeri jiran. Di antara kehidupan berdua dengan suami, saya mengecek kabar-kabarinya lewat chatting sebagaimana yang kerap saya lakukan dahulu. Saya menebak-nebak, bahwa tentu sudah banyak hal yang terjadi. Bahwa mungkin lelaki pertama itu sudah pergi meninggalkan kampung halaman kawan saya itu dengan tangan kosong dan kepala yang tertunduk lesu. Mungkin kawan saya itu akhirnya harus tunduk pada keinginan keluarga besarnya. Mungkin keluarga pihak pemuda yang kedua itu tak juga pantang menyerah untuk mengatur perjodohan mereka. Mungkin dan mungkin...

Hingga balasan pesan dari kawan saya itu datang.

Insya Allah, ia akan menikah di awal tahun 2016. Tapi dengan siapa?

Ada yang bisa menebak?

Ya, ternyata dengan lelaki yang pertama tadi! Masya Allah, double-emejing! Saya tidak tahu apa yang telah mereka usahakan sehingga takluklah hati keluarga besar kawan saya itu. Saya pun tidak mengerti mengapa kemudian konon si pemuda kedua itu yang memilih untuk mundur dan mempersilakan lelaki pertama itu melanjutkan prosesnya. Yang jelas, pada akhirnya perhelatan itu akan berlangsung, dan undangan itu akan disebarkan. Di dalamnya, ada nama kawan saya dan nama lelaki yang telah berhasil mencuri perhatiannya. Wajar saja menurut saya, sebab dalam kadar kesulitan yang cukup tinggi, lelaki Bugis itu telah berhasil menunjukkan bukti konkret kepada kawan saya, dan memperlihatkan satu hal yang sangat diinginkan oleh setiap perempuan; diperjuangkan.

Dalam pada itu, saya pun tahu bahwa sejak awal sujud-sujud istikharah kawan saya itu telah mengarahkan hatinya kepada hati lelaki yang pertama. Saya sadar bahwa ia pun turut merasakan hal yang sama, mengusahakan perjuangan yang sama, serta menjalani hal-hal yang tidak ringan untuk menjemput takdir kebersamaan itu. Saya tiba-tiba ingin menuliskan pesan balasan yang menjadi jawaban sang lelaki saat kawan saya itu menantang entitas ke-bugis-annya saat konflik itu pecah. Dalam bahasa saya sendiri, lelaki itu berpesan;

Aku tidak akan mundur sedikitpun hingga kau sendiri yang mengatakan tidak. Namun jika memang Allah menakdirkan lain atas hal ini, maka satu permohonanku; Kelak, ajarkanlah kepada anak-anakmu tentang makna perjuangan...

Ah, betapa saya berbahagia atas kebahagiaan kalian hari ini. Semoga Allah memberikan keberkahan dalam perjalanan yang baru saja kalian mulai. Saya yakin, meski mungkin tidak mudah, tentu kalian dapat memperlihatkan kepada para orang tua dan orang-orang yang kalian cintai, lewat akhlak dan sikap terbaik, bahwa tidak ada yang salah pada ketetapan itu, insya Allah.

Ukhtifillah, uhibbukifillah... Selamat memasuki rimba raya pernikahan dengan segala pernak perniknya. Saya tahu kau adalah saudari yang baik, kelak akan menjadi istri yang baik dan ibu yang baik, insya Allah. Semoga kebaikan selalu menyertai kalian. Dan isilah kisah-kisah kalian berikutnya dengan syukur dan sabar. Mungkin ia tidak melulu berisi scene-scene romantis seperti saat seorang suami mengimami istrinya shalat di puncak sebuah gunung. Tidak pula selalu berisi canda tawa yang menyenangkan hati dan menggembirakan diri. Namun apapun yang kalian hadapi nanti, tetaplah bergandeng tangan dan membawa biduk yang kalian nahkodai meski badai dan hujan sesekali mengancam keseimbangannya. Teruslah melaju dan mengarungi samudera kehidupan hingga berlayar di pulau kebahagiaan yang tiada lagi akhirnya. Ialah surga yang kita rindukan, ukhti. Selamat merayakan cinta.

tentang saudariku; Rismawati binti Burhanuddin. Telah kukatakan kepadamu bahwa ini adalah satu hal yang paling ingin kutuliskan sejak berbulan-bulan lalu kau menceritakannya. Ini kado untukmu, mewakili pelukan hangat yang tentu sangat kuinginkan di hari bahagiamu. Semoga ia bisa menjadi penanda dari kisah kalian, dan menjadi awal dari perjuangan-perjuangan berikutnya. Dan pada hari bahagia kalian, di penanggalan paling awal pada 2016 yang semoga terisi dengan keberkahan, tak ada doa yang lebih indah untukmu dan untuknya selain; Barakallahu lakuma wa baraka alaikuma wa jama’a bainakuma fii khairin! Berbahagialah, telah genap separuh agama...