Senin, 28 Desember 2009

Saat Hidayah Ucapkan Selamat Tinggal


Ukhti, kalau ada yang harus hancur, jangan biarkan yang hancur adalah amanah dakwah, atau hubungan kita dengan orangtua, atau masalah akademik kita. Jika ada yang harus hancur, maka ia adalah diri kita sendiri, jangan korbankan yang lainnya!

Bersyukurlah ukhti, karena setidaknya, meskipun dengan bersusah payah, ukhti masih punya keinginan untuk tetap menuntut ilmy syar’I dan tergabung dalam barisan dakwah ditengah aktifitas kuliah ukhti yang padat. Itu masih lebih baik dibandingkan dengan orang yang meninggalkan jalan ini sama sekali

Dua buah perkataan diatas sengaja saya tuliskan disini agar siapapun yang membacanya dapat mengambil manfaat darinya, dan agar orang yang mengucapkannya dulu pada saya juga mendapat pahala atas apa yang beliau sampaikan itu

Mungkin, bagi kedua akhwat yang mengucapkannya, perkataan mereka tersebut bukanlah sesuatu yang special. Mungkin pula, mereka sudah lupa dengan hal itu. Tapi bagi saya yang mendengarkannya di saat memang saya membutuhkan kata-kata itu, saya rasa saya tak akan pernah melupakannya.

Hal lain yang membuat saya semakin tak dapat lupa adalah, sebab saat saya kembali melihat barisan dakwah tempat saya berdiri sekarang, saya tak lagi mendapati wajah mereka berdua di sana. Saya tak pernah tau dengan jelas atas alasan apa mereka memilih mundur. Itulah juga salah satu hal yang membuat saya tidak ingin tergesa-gesa memberikan cap negative pada mereka. Sebab bisa jadi, yang membuat mereka melakukan hal itu adalah karena campur tangan saya juga. Mungkin, ada kesalahan kecil dari saya yang membuat mereka pergi. Mungkin sebab seulas senyuman yang terlupa, atau karena masing-masing kami terlampau sibuk dengan urusannya sendiri. Wallahu a’lam.

Dulu, saya pernah merasakan hal yang sama semasa SMA. Saat barisan dakwah yang kecil dan sederhana itu, yang diisi oleh sekelompok muda belia yang teramat sangat dangkal ilmunya, namun sangat besar semangatnya untuk melanjutkan perjuangan para Rasul, menyapaikan risalah Islam ini. Saat itu, konsep mundur dari jalan dakwah dapat dibaca dari jarangnya hadir di mushalla, tidak pernahnya nampak pada musyawarah kami yang sangat sederhana, ataupun dengan menjauhnya dari komunitas akhwat. Saat itu, saya pernah melihat sebuah fenomena seorang akhwat yang menjauh hingga akhirnya menjadi teramat jauh. Sayangnya, akhwat itu adalah ia yang dulunya begitu bersemangat dan saya yakin bukan hanya menularkan semangatnya itu pada saya saja, tapi juga pada yang lain.

Mengingat bahwa kami bersama-sama memulai perjalanan ini dari titik yang sama. Dari seorang remaja polos yang mencari jati diri, hingga menemukannya di mushalla kecil itu. Sedikit demi sedikit menata busana agar tak hanya nampak ‘rapi’ di hadapan manusia, tapi juga di mata Allah. Perlahan tapi pasti berupaya berkomitmen dengan semua majelis ilmu yang kami hadiri. Hingga rela pulang sore karena harus menyelesaikan urusan proker rohis. Mengingat itu semua, saya saat itu begitu teriris melihat keadaannya sekarang. Melihat bahwa sekarang kami tak lagi berada di jalan yang sepi itu. Ia pergi.

Hingga waktu semakin berlalu. Kepengurusan dakwahpun semakin kompleks. Bukan hanya sekedar urusan satu sekolah tempat kami belajar, namun lebih luas lagi. Kami sudah dapat menyebut bahwa apa yang kami lakukan ini untuk kemaslahatan ummat, ummat yang lebih luas lagi. Namun, rupanya fenomena itu tetap saja ada. Fenomena bergugurannya orang-orang di jalan yang sepi, saat mereka menemukan persimpangan yang mungkin jauh lebih nyaman jalannya, dan lebih hingar bingar dengan manusia.

Semakin berjalan ke depan, semakin banyak yang kemudian memilih mundur. Dan kembali lagi terulang, bahwa banyak dari mereka yang pergi justru adalah orang-orang yang pernah membekaskan semangat mendalam dan spirit pada saya untuk terus bertahan. Orang-orang yang pernah membuat saya mengalami ‘aha-moment’, saat saya menemukan kembali titik-titik cahaya dari apa yang mereka lakukan, atau apa yang mereka katakan.

Saya memang bukanlah orang yang lurus. Saya bukan orang yang selalu istiqomah dengan semua yang harus saya hadapi saat memilih jalan ini. Saya mungkin malah orang yang paling sering merasa down dan berpikir untuk mundur sebelum perjuangan berakhir. Tapi melihat diri saya tetap bertahan meski dengan napas yang satu-satu dan segala kesalahan dan kelalaian di jalan ini, membuat saya merasa betapa Allah begitu baik pada hambaNya yang hina ini. Bagaimana Allah masih mempercayakan hidayah ini pada saya. Mempercayakan jilbab ini untuk tetap saya kenakan. Mempercayakan saya untuk tetap pada amanah yang saya pegang ini. Seburuk apapun saya.

Memikirkan dan menghitung-hitung orang-orang hebat yang kemudian memilih mundur itu, membuat saya kadang merasa takut dan terus bertanya-tanya; “Sampai kapan Allah akan terus percaya pada saya? Akankah saya juga akan mengalami hal yang sama seperti mereka yang pergi?”. Saya khawatir dengan masa depan, akankah saya akan tetap seperti ini?
Tapi, terlepas dari itu semua. Terlepas dari ALASAN APAPUN yang membuat mereka memilih mundur dan menghilang. Saya yakin, mereka telah menorehkan banyak cahaya pada banyak hati. Mereka telah memiliki unta-unta merah yang setiap amalan yang ia kerjakan karena telah ia ajarkan padanya, akan berimbas pula pada mereka. Unta merah itu termasuk pula saya. Dan itu tidak akan pernah berubah, seperti apapun mereka berubah. Meski sebenarnya, dengan tetap berada di sini, mereka akan punya kesempatan yang lebih untuk memenuhi pundi-pundi amal mereka untuk perbekalan perjalanan panjang menuju kampung akhirat. Tapi mereka telah memilih. Mereka telah pergi.

Namun barisan ini akan terus menunggu siapapun untuk datang kembali. Meski semuanya berpulang pada kehendak Sang Ilahi. Apakah kepercayaan itu akan datang dua kali? Wallahu a’lam.

Tapi saya terus berharap, selama nafas berhembus, saya tetap berada di jalan ini. Semoga.

Yaa muqallibal qulub, tsabbbit qalbi ‘ala diinika…

Saat Hidayah Menyapa


Semakin waktu berlalu dalam kehidupan saya, semakin saya pahami betapa manusia memang tak pernah tau akan nasibnya sendiri, kecuali saat takdir itu benar-benar berlaku kepadanya. Bahkan untuk semenit atau sedetik berikutnya pun kita tidak dapat menerka apa yang akan menimpa diri ini. Sehingga kadang, jika kita mencoba berdiam dan berhenti di tempat sejenak, maka akan kita rasakan betapa penantian, terkaan-terkaan, dan tebakan tentang apa yang akan menimpa kita selanjutnya adalah sesuatu yang sangat…. Ehm… saya kesulitan memilih kata yang tepat untuk menggambarkannya! Yang jelas, kadang saya merasa sangat excited untuk menerka apa yang akan terjadi pada saya selanjutnya?

Makanya, saat kita memandang diri kita sekarang, mungkin kita akan terbawa kepada suatu pemikiran, ‘kok bisa yah saya jadi seperti ini?’ . Sebab perubahan adalah sesuatu yang niscaya, baik yang sangat signifkan, ataupun yang biasa-biasa saja.

Pertanyaan seperti yang diatas, tidak jarang saya lontarkan kepada diri saya sendiri, saat saya puya waktu untuk mengambil jeda sejenak untuk memaknai hidup. Membayangkan kenyataan bahwa saya dulu bermodel ‘A’, rasanya sulit untuk saat itu membayangkan bahwa saat ini saya sudah seperti ini. Dengan penampilan saya. Dengan kegiatan saya sekarang. Dengan pendidikan yang saya tempuh sekarang. Dulu, saya benar-benar tidak pernah membayangkan akan seperti sekarang.

Tapi, jika kembali dirunut, maka memang tak ada yang kebetulan dalam hidup ini. Bahwa segala sesuatunya memang telah dengan teramat sempurna digariskan olehNya untuk setiap hamba yang berjalan di atas muka bumi. Siapa yang mengira jika iseng-isengnya saya mengikuti ‘Kajian Jum’at’ di masa SMA beberapa tahun silam, telah membawa saya pada jalan cahaya yang saya tempuh sekarang. Mempertemukan saya dengan banyak sosok-sosok luar biasa yang ikut meringakan beban saya saat memulai pendakian dan menyediakan tangannya saat saya mulai merasa lemah. Saat hidayah itu menyapa, mungkin hanya bermula dari sebuah senyuman yang mungkin tidak terlalu istimewa bahkan bagi pemilik senyum itu sendiri, namun ternyata dapat membekas di hati dan membawa perubahan yang besar dalam sebuah pribadi.

Setiap orang punya jalan ceritanya masing-masing saat pertama kali berjumpa dengan hidayah. Ada yang biasa-biasa saja. Ada pula yang luar biasa dan penuh dengan kisah yang mengharu-biru. Tapi tetap saja itu semua merupakan sebuah nikmat yang teramat besar dan sebuah pemilihan yang agung yang tidak sembarangan dapat ditujukan pada setiap manusia.
Saya sempat merinding saat melihat bagaimana tetesan-tetesan hidayah dapat mengalir kepada siapa saja yang Allah mau.

Suatu hari saya shalat di mushallah kampus, disamping seorang muslimah lain. Setelah selesai shalat, saya sempat sedikit mengerling pada muslimah di samping saya yang kemudian saya rasakan cukup familiar wajahnya. Tapi saya kembali tenggelam dalam rutinitas ba’da shalat saat mendapatinya kemudian melanjutkan shalat wajibnya dengan shalat sunnah setelahnya. Beberapa hari setelah itu, saya kadang mendapati kembali muslimah tersebut di mushallah kampus. Dalam majelis kultum. Atau saat ia sedang membaca-baca majalah Islami yang ada di perpustakaan mushallah.

Beberapa waktu kemudian, saya baru disadarkan oleh seorang teman tentang sosok yang tak nampak asing bagi saya itu. Muslimah yang saat ini tampil dengan jilbab rapinya, dan dengan semangat keberislaman yang nampak begitu kuat dalam tingkah polahnya.
Ya, saya ingat sekarang. Perjumpaan saya dengannya adalah saat ia bergabung di kelas kami (kelas regular pagi) yang saat itu digabung dengan kelasnya (regular sore). Ia kayaknya memang tidak seangkatan dengan kami. Tapi saya masih ingat bagaimana gayanya saat itu. Dia dengan wajahnya yang cantik, khas Arab. Namun terlihat kontas dengan rambutnya yang cepak dan dibuat agak2 jabrik. Dengan celana botol yang nge-press dan baju kaos yang hampir sama jenisnya dengan celananya; membentuk. Waktu itu dia terlambat, lumayan fatal. Tergolong nekat untuk tetap masuk mengetuk pintu sebenarnya. Namun dengan santai ia lenggang kangkung masuk ke kelas saat dosen mempersilakannya dengan ekspresi lumayan kaget juga.

Membandingkan sosoknya dengan saat pertama kali saya melihatnya, dengan perjumpaan saya dengannya selanjutnya membuat saya tidak henti-hentinya mengucap Subhanallah, Maha Suci Allah yang Maha Berkehendak. Saat ia ingin, maka terjadilah. Saat Ia memilih, maka dapat berubah segalanya.

Dan saya tak pernah berhenti terkagum-kagum pada sosok-sosok semacam itu. Sosok dengan semangat yang membara, semangat perubahan. Saat saya dengan sangat nyata dapat melihat tiap tetes hidayah mengalir pada dirinya.


Yaa muqallibal qulub, tsabbit qalbi ala diinika…

Rabu, 23 Desember 2009

Dunia dari Mataku

Dengan mata telanjang. Tanpa sepasang kaca berlensa minus yang membantu di hadapannya…
Adalah dunia dengan buram yang menyambut meski dalam jarak yang kadang membuat orang tercengang saat mengetahuinya. Dunia yang membuat tulisan di papan tulis hanya nampak sebagai garis-garis tak jelas yang menjuntai-juntai tanpa bisa terbaca sedikitpun. Saat senyuman dari jauh tak dapat saya tangkap, ataupun orang yang saya kenal yang kadang mengecap saya dengan sebutan ‘sombong atau cuek atau tidak pedulian atau apapun itu’ hanya karena saya memang tak mengenal wajah mereka yang nampak rata itu di mata ini dalam jarak tertentu.

Dunia yang kadang membuat saya puyeng karena mungkin mengharuskan si mata bekerja lebih ekstra untuk menangkap sebuah obyek. Atau saat kepala saya hampir sepekan nyut-nyutan karena beberapa gores kecil pada lensanya yang membuat kemampuannya membantu saya malah menyebabkan masalah baru yang mengantarkan saya pada dokter mata yang memaksa menjawab pertanyaan “huruf apa ini?” saat ia memperlihatkan deret huruf sekecil bakteri pada sebuah kotak yang bersinar.


Kaca mata berlensa minus itu telah menjadi sahabat karib sejak berada di tahun terakhir di sekolah dasar, saat saya masih mengenakan seragam putih-merah dan menjadi orang pertama di kelas saya yang mengenakannya. Dalam perjalanan bertahun-tahun selanjutnya, berkali-kali sang kacamata berganti bentuk dan lensanya karena bingkainya yang patah saat saya gunakan hingga tempat tidur atau karena angka yang berada di belakang kata ‘minus’ itu semakin bertambah jumlahnya.

Mengenakan ‘alat bantu’ itu kadang membuat hidung saya lelah karena menopang beban benda kaca yang bertengger di atasnya. Membuat keringat di bawah mata saya menggenang sebab angin yang berhembus tak dapat mengeringkannya karena dihalangi oleh kacamata. Kadang ia berembun saat saya menikmati mie kuah yang masih panas. Atau saat saya bernapas dalam udara dingin
Maka wajarlah jika ternyata nikmat sebiji bola mata ini ternyata memang masih lebih berat dibanding amalan seumur hidup seorang abid.


Dan nikmat Tuhanmu yang manakah yang kau
dustakan?



Buat semua pemakai kacamata…, dan buat semua orang yang matanya normal; selamat mensyukuri nikmat Allah yang tiada terkira! Makassar,23 Desember 2009

sumber gambar: http://wicakz.multiply.com/