Kamis, 23 Juli 2009

Suatu Sore, Seorang Kernet Berkata…


Kira-kira pukul tiga sore lewat beberapa menit, saat saya menumpang di sebuah angkutan kota. Si angkot kemudian berhenti di suatu titik dan menungg lebih lama. Di sanalah, saya kemudian dapat menangkap percakapan antara supir angkot dengan kernet yang nampak lelah namun terus menerus berteriak-teriak mengarahkan penumpang untuk naik ke angkot yang berada di hadapannya.

“Jam berapa sekarang?” Tanya sang kernet pada supir angkot. Si Supir lalu melirik sekilaspada jam tangannya dan mengatakan bahwa waktu telah sampai pada pukul tiga sore, lebih beberapa menit. Mendengar jawaban si Supir, lelaki separuh baya berambut abu-abu itu melengos dan menunjukkan ekspresi yang menyemburatkan kelelahan.

“Memangnya kenapa?” Tanya supir angkot, penasaran.
Sang kernet lalu mengangkat wajahnya yang sempat beberapa saat tertunduk, “Saya baru dapat tiga ribu sejak pagi tadi, padahal ini sudah jam tiga…” ujarnya kemudian.

Percakapan selanjutnya antara kedua lelaki itu tidak lagi saya perhatikan. Pikiran saya melayang-layang pada perenungan saya dengan hati ini. Tiga ribu rupiah? Sudah bekerja seharian Cuma dapat tiga ribu? Pikir saya dengan miris. Saya kemudian membawa sejumlah uang itu pada diri ini. Uang tiga ribu, ongkos sekali naik angkot saja sudah habis, dipakai jajanpun kadang tak cukup. Saya lalu membayangkan sang kernet akan membawa uang itu kepada istrinya, dan menyakinkan keluarganya bahwa rejeki dari Allah hari ini memang hanya tiga ribu saja. Ah…., saya masih harus banyak belajar tentang kehidupan, rupanya. Juga banyak hal tentang kesyukuran yang kadang kita lupakan.

True Love; Kesetiaan Seorang Suami


Tadi siang saya menyaksikan sebuah tayangan di Liputan 6, tentang kesetiaan seorang suami pada istirinya. Dua orang pasutri ini hidup di Madiun, Jawa Tengah dengan kondisi social menengah kebawah. Dapat dikatakan cukup kekurangan, bahkan. Sang istri bernama Tumini, Nampak sudh renta. Tak jauh berbeda dengan suaminya, Marto. Kedua kakek-nenek itu hidup di sebuah rumah sangat sederhana. Konon, Tumini menderita semacam kanker kulit selama 35 tahun, dan selama itu pul sang suami dengan setia berada di sampingnya dan merawatnya dengan sabar. Wajah istrinya yang tinggal separuh tidak membuat lelaki ini meninggalkan sang kekasih seperti yang banyak dilakukan oleh lelaki lainnya. Subhanallah…

Tentang Anak Kos (Dari Seseorang yang Bukan Anak Kos)


Selama sekitar dua tahun mengecap dunia kampus, saya kadang berpikir bahwa tidak ada perbedaan yang terlalu mencolok antara kuliah dan sekolah, kecuali bahwa jadwalnya memang gak serapih waktu SD-SMA atau bahwa saya harus menempuh jarak yang cukup jauh dibandingkan jika akan ke sekolah. Saat pendapat itu saya utarakan pada beberapa teman kuliah, mereka tidak mengaminkan. Mereka justru merasakan begitu jauhnya perbedaan antara kedua masa tersebut. Tapi belakangan, saya menyadari bahwa tidak adanya perbedaan yang signifikan yang saya rasakan adalah karena saya bukan anak kos, bebeda dengan kebanyakan teman-teman lain yang memang nge-kos.

Tidak menjadi anak kos adalah suatu hal yang otomatis bagi saya. Yah, saya memang bukan perantau melainkan tetap kuliah di kota tempat saya lahir, di kota tempat keluarga saya berada dan rumah saya pun terletak di sini. So, tak ada alasan buat nge-kos khan kalo sudah punya home sweet home, meskipun lumayan jauh dari kampus.

Dari sanalah saya kemudian memandang anak kos sebagai sesuatu yang ‘beda’ bahkan ‘mengagumkan’. Hidup jauh dari orangtua, harap-harap cemas menanti kiriman, berdampingan dengan teman se-kos dengan seabreg karakter masing-masing, makan sendiri, nyuci sendiri, bersih-bersih sendiri, bahkan mungkin memendam kesedihan sendiri.

Jadi ingat waktu masih MaBa, pas heboh-hebohnya dikerjain sama senior. Waktu itu seorang kawan kena labrak dan dimaki habis-habisan di depan mukanya sama seorang senior, sampe-sampe dia nangis didepan semua senior dan MaBa yang lain. Karena kasihan, setelah eksekusi itu, beberapa dari kami mencoba memberi support dan mengantar dia ke kosannya. Tapi di tengah jalan, dia malah berhenti jalan trus jongkok sambil nangis, diantara isaknya dia bilang, “Saya kangen sama ibu saya…”.
Dan oooooh…, hai saya tersentuh. Tidak bisa membayangkan kalau saya ada di posisinya, pas lagi sedih-sedihnya, pasti merasa terdampar di tempat baru tanpa orang-orang yang disayangi dulu…

Lain lagi dengan kawan yang terkenal rajin banget kerja laporan. Suatu hari dia kelihatan kelabakan menyalin laporan dari teman lain ditengah-tengah jeda kuliah. Pas saya tanya kenapa tidak kerja di rumah, dia bilang kalo uangnya tinggal beberapa ratus rupiah yang tersisa. Trus tinta pulpennya habis. Jangankan buat beli pulpen baru, buat makan saja dia tidak sanggup. Katanya, sejak kemarin dia hanya menjejalkan perutnya dengan susu kaleng yang kebetulan masih sisa sejak dibeli awal bulan lalu. Hmm…, tidak terbayang deh menahan lapar karena uang kiriman belum datang!

Tentunya kawan-kawan yang anak kos punya cerita yang lebih ‘inspiratif’ lagi dibanding yang saya tulis di atas. Tapi cukuplah kedua hal itu membuat saya terus menganggap para anak kos sebagai ‘pejuang-pejuang’ hidup yang tangguh plus membuat saya banyak bersyukur atas segala keadaan saya saat ini.

Sungai-Sungai Bening, Temani Perjalanan Panjang


Sebelum memilih jalan ini, dan masih berada di lintasan di mana banyak manusia saat ini masih berada di dalamnya, saya selalu merasa sebagai orang yang biasa-biasa saja. Bahkan tepatnya ; cuek. Saya merasa tidak penting untuk peduli pada orang lain dan mengambil peranan apapun untuk mereka. Warna hati saya kala itu cukup buram, jika tidak disebut gelap. Sebuah pengalaman yang menempa saya membuat saya tidak begitu dapat percaya pada orang lain meski kadang tak jarang ada saja kawan yang mempercayakan beberapa hal pada saya, dalam hal ini tepatnya mereka banyak menjadikan saya tempat curhat.

Dalam perjalanan hidup selanjutnya, Sang Khalik mengantarkan langkah saya untuk mengayun pada jalan yang kini saya pilih. Sebuah jalan yang sepi dan tak banyak orang dapat bertahan di dalamnya hingga akhir hidup. Di jalan inilah saya berhadapan dengan begitu banyak orang dengan karakter mereka yang membuat saya banyak belajar. Saya belajar dari mereka yang selalu ’strong’ mempertahankan idealismenya hingga saya percaya pada kekuatan keistiqomahan. Saya belajar dari mereka yang gugur dalam jalan ini karena berbagai alasan dan membuat saya yakin bahwa orang-orang yang bertahan adalah orang-orang pilihan. Saya belajar dari mereka yang pernah terjatuh namun kembali lagi ikut bergabung dalam jalan ini, jadi saya tak ragu lagi pada hak Allah untuk menentukan hidayah. Selebihnya, masih banyak hal lain yang dapat saya pelajari dari orang-orang tadi.

Kebersamaan dengan orang-orang hebat di jalan ini terkadang perasaan tak pantas berada bersama mereka kadang menyergap. Teringat pada setiap noda yang belum diperlihatkan olehNya. Teringat pada kotornya jiwa yang hanya diketahui oleh Allah semata.

Terlepas dari itu, ternyata saya juga bisa belajar dari diri saya sendiri. Dan sayapun sadar, interaksi di jalan ini telah merubah warna hati saya menjadi lebih cerah. Menjadi lebih peka untuk melihat banyak hal. Membuat saya melihat dengan cakupan yang lebih luas dari pandangan sempit saya dahulu.

Saya terperanjat saat sadar tentang doa di sela sujud saat saya mengucap nama-nama itu dengan penuh pengharapan. Nama-nama yang sebenarnya tak punya hubungan darah apapun dengan saya. Nama-nama yang mungkin tak akan pernah memberi manfaat finansial sedikitpun pada saya. Nama-nama yang bahkan baru saya kenal atau bahkan baru saya temui. Tapi saya dapat berdoa kebaikan dengan begitu khusyu’nya untuk mereka. Saat itu saya yakin, warna hati saya telah berubah.

Terkadang saya sering malu saat berhadapan dengan mereka- adik-adik saya yang sanggup membakar semangat saya untuk lebih baik. Masya Allah..., seandainya mereka tahu siapa saya sebenarnya. Maksiat yang berlumur pada diri. Kealpaan yang senantiasa melingkupi. Kesia-siaan yang selalu menghiasi. Dan begitu banyak hal negatif lain yang hingga kini tetap saja tak mampu untuk saya hindari.

Sementara saya dapat begitu Pdnya duduk di hadapan mereka. Memimpin majelis dan berbicara tentang keindahan agama ini. Memberi nasehat pada mereka dan meminta mereka untuk tetap semangat menuntut ilmu. Sementara diri ini begitu tak pantas. Sementara diri ini begitu tak pantas. Demi Allah, diri ini begitu tak pantas !

Tak ada hal lain yang bisa menjadi alasan logis selain bahwa Allah menakdirkan saya untuk lebih dahulu lahir dari mereka. Selebihnya, saya tidak pernah yakin bahwa diri ini lebih mulia dari mereka. Mungkin bahkan diantara mereka sayalah yang paling banyak kesalahannya. Innalillah...

Tapi, begitulah ajaibnya jalan ini. Saat kita lelah dan serasa ingin berhenti, selalu saja ada jeda untuk beristirahat, mengambil setangkup air jernih dari sungai-sungai yang mengalir di samping-sampingnya. Sungai-sungai itu bernama saudari dan adik-adik saya. Betapa mereka selalu menjadi motivasi untuk memperbaiki apa yang ada dalam raga. Merekalah yang membuat saya kembali kuat berjalan dan melanjutkan perjalanan ini dengan langkah yang lebih mantap.

Terbayang saat nanti perpisahan datang. Sanggupkah saya tanpa mereka ?
Entahlah...

Buat semua saudariku seperjuangan,
Akhwat FUM Mks
Spesial untuk adik-adikku di SMK Telkom Makassar
Terima kasih untuk segalanya.
Seandainya kalian tahu siapa saya sebenarnya...



UHIBBUKIFILLAH

Pagi, di Atas Pete-Pete


Hampir tiap hari, saat akan bepergian saya selalu menfaatkan jasa angkutan umum yang di kota saya disebut pete-pete (semacam angkutan kota berbentuk mobil minibus). Terkhusus di hari kuliah, saya memanfaatkan jasa pete-pete berkode 07 yang selalu nangkring di ujung jalan Pettarani. Karakterstik petepete yang berhenti di tempat itu adalah ; tidak bakalan mau jalan kalau penumpang belum cukup dua belas orang, alias pete-petenya sudah penuh !

Bisa kamu bayangkan jika saya menjadi orang pertama yang naik di petepete yang menguji kesabaran itu. Dan hal itu sering saya alami. Terkadang waktu saya terbuang bersama supir pete-pete yang menunggu penumpang itu bahkan hingga setengah jam lamanya ! Tapi, karena saya termasuk orang yang tidak suka cari gara-gara (kalau tidak dibilang takut sama tampang sangarnya supir pete-pete... ), saya tidak pernah mengeluh secara nyata, apalagi kalau mencoba turun dari angkutan tersebut dan mencari angkutan lain. Saya menganggap hal itu bisa mempersulit saya, mengingat ada kemungkinan saya bisa ‘dikeroyok massa’ karena tempat itu memang sarangnya supir angkutan umum.

Tapi, diamnya saya bukan berarti saya tidak mengeluh dalam hati..., kadang, saat sedang buru-buru sekali, lalu ketemu dengan supir petepete yang begitu ‘setia’ menanti penumpangnya, tak jarang saya kesal dan geregetan sendiri, yang palingan saya wujudkan dalam bentuk ‘decak-decak cecak’ yang pastinya tidak akan dipeduli sama Pak Supir. Sekali lagi, karena saya tidak mau cari gara-gara.

Suatu pagi, saya kembali menumpang angkutan umum di tempat itu. Dan saya kembali menjadi penumpang pertama. Mind-set saya sudah mempola bahwa penantian saya pasti akan panjang. Dan memang benar, karena hari itu adalah hari Ahad, jadi mahasiswa yang biasanya mempercepat penuhnya angkutan umum ini tak nampak. Hasilnya, mungkin sekitar 15 menit setelah saya naik, penumpang kedua baru muncul dari balik becak. Hmm..., begitu setianya Pak Supir ini..., pikir saya.

Penumpang selanjutnya baru bertambah setelah hampir terlewat angka 20 menitan. Namun, mobil itu baru terisi sekitar delapan orang. Dan diantara delapan orang ini ternyata termasuk dalam kategori yang saya bahasakan ; berani cari gara-gara. Mereka mendesak supir agar segera jalan karena tak sabar lagi menanti. Pembicaraan antara penumpang yang mengeluhkan ‘ulah setia’ Pak Supirpun terus bergulir, sementara penumpang tak bertambah, dan Pak Supir hanya diam seribu bahasa. Berkali-kali ia memundurkan dan memajukan mobilnya untuk menjemput penumpang, tapi orang yang bertengger di petepetenya tak kunjung nambah. Sementara para penumpang yang sudah siap luncur termasuk saya- semakin tak sabar agar mobil segera melaju. Beberapa dari mereka mulai mendesak Pak Supir agar segera jalan.

Didesak seperti itu, akhirnya membuat si supir gerah juga, dengan nada tak kalah jengkel ia berujar, “Kalau saya jalan, memangnya kamu mau bayar kursi yang kosong ...?!” Setelah itu, ia akhirnya menjalankan pete-pete tersebut dan melaju ke jalan raya. Di antara kemudinya, Pak Supir tadi mengeluhkan betapa penumpang sebenarnya hanya ingin enaknya saja. Tidak tau kalau mereka –para supir angkot bisa rugi kalau jalan dengan mobil yang tidak penuh. Bahwa untuk parkir di tempat strategis itu juga kadang dipungut bayaran. Dan kesimpulannya adalah bahwa banyak orang tak merasakan jerit hati para supir angkot....

Yah..., kejadian itu membuat saya berpikir. Betapa seringnya kita menginginkan keadaan sesuai dengan keinginan kita, hingga kadang kita tidak peduli bagaimana nasib orang lain di balik keinginan kita. Pernahkah kita berpikir bahwa mungkin saja, seorang kerabat supir tadi ada yang sedang sakit keras dan membutuhkan pengobatan, sehingga sang supir harus kejar setoran ? Atau mungkin istri sang supir akan segera melahirkan dan membutuhkan biaya ? Atau anak-anaknya terancam putus sekolah karena tak lagi punya dana ?

Begitu sering mungkin, tanpa kita sadari kita menganggap orang lain salah karena hanya melihat sesuatu dari sudut pandang kita saja. Padahal di kesempatan yang sama kita selalu menuntut agar orang lain mengikuti pendapat kita. Apakah sifat egois memang telah dilumrahkan bagi makhluk bernama manusia seperti kita ?

Padahal sesungguhnya bila kita ingin berkaca, begitu banyak kekurangan dalam diri yang menuntut kita untuk selalu berbenah. Begitu banyak masalah yang dihadapi orang lain yang mungkin bila kita yang berhadapan dengannya, kita tidak akan sanggup melewatinya. Dan dengan segala kekosongan dalam diri ini, mengapa kita selalu ingin diri ini didahulukan dari orang lain ?

Suatu Hari di Bulan Ramadhan


Waktu belum lagi menunjukkan pukul empat, saat aktivitas dimulai di rumah itu. Mungkin juga di rumah-rumah yang lain. Yah, ini bulan Ramadhan. Semua rumah nampak mulai bersinar di seperempat malam, bersiap untuk sebuah ‘kegiatan hangat’ yang mengakrabkan; sahur.

Adik kelihatan masih betah tinggal di kasur saat ia mengucek-ucek matanya yang masih merah di hadapan meja makan. Sementara kakak perempuannya yang terkenal memang sulit dibangunkan terlihat menerawang. Sejatinya, ia sedang tidur dengan mata terbuka.

Namun saat satu persatu menu mulai tersaji, dan jari-jari mereka ‘menyergap’ tiap item masakan yang mereka pilih, kedua pasang bola mata itu mulai bersinar, menyamakan sinarnya dengan yang terpancar dari sepasang bola mata lain di hadapan meja bundar itu. Bola mata Bapak !

Ditengah hangar bingar suara TV yang memang terletak di hadapan meja makan, ketiga orang itu dengan lahap menyatap sahurnya. Tanpa ibu. Yah, masih tanpa ibu, seperti sejak sepuluh tahun yang lalu. Meski kadang-kadang wanita pilihan itu sesekali menyempatkan dirinya untuk ikut sahur ditengah anggota keluarganya yang lain.

Bapak sahur
Adik sahur
Kakak perempuannya sahur

Mereka sahur dengan pikiran masing-masing. Mungkin adik masih menghayal tentang kejuaraan futsal yang tak mengikutkannya karena ia bukan seorang pria. Mungkin kakak perempuannya berpikir tentang laporan kuliah yang tak kunjung tuntas. Mungkin bapak sedang melamunkan buah hati tertuanya, bertanya-tanya ; sedang sahur apa kau sekarang, Nak ?
Lepas dari meja bundar itu, sebuah meja bundar kecil di atas karpet menyajikan sisa buka puasa kemarin. Lengkap dengan teh hangat di ketiga cangkir masing-masing. Dan aktivitas selanjutnya diisi dengan menunggu waktu subuh lalu segera shalat dan kembali terpejam dalam tidur masing-masing.

Ibulah yang bangun paling pagi. Sebab saat yang lain kembali mendarat di pulau kapuk, ibu memulai harinya dengan rumah yang sepi. Sesekali dengkuran terdengar, lalu kemudian hening, dan terdengar lagi. Selanjutnya, ayah ke kantor, adik yang liburan masih terlelap dengan mulut yang mengaga, kakak perempuannya juga bersiap menuju perjalanan panjang, menuju tempat ia bebas memuaskan laparnya pada ilmu untuk hari itu, atau mungkin juga berjuang, mendaki tiap anak tangga, menaklukkan tiap Lab yang juga menyita sisa-sisa kesabaran.

Sebelum matahari terbenam, semua anggota keluarga telah kembali berkumpul. Kali ini mengelilingi meja kayu kecil, mirip meja orang-orang Jepang yang memaksa pemakainya untuk tak menggunakan kursi. Sebuah meja yang entah kapan mulai menjadi tradisi dan baru eksis saat bulan puasa datang, selebihnya, ia mendekam di atap kamar mandi, bertumpuk dengan barang-barang lain yang tak lagi terpakai.

Hidangan buka tergelar di atas meja makan itu. Juga dengan teh hangat, air putih, dan setoples kurma dari toko buah dari salah satu sudut kota. Saat adzan berkumandang, tiap jemari di depan meja bundar kecil itu segera meraih gelasnya masing-masing. Merasakan kebahagiaan pertama orang-orang yang berpuasa, kebahagiaan yang mereka dapat disyurga, sambil terus berharap memiliki kesempatan untuk kebahagiaan kedua, memandang wajahNya di Jannah.

Ibu memandang wajah anaknya satu persatu. Tanpa dua orang gadis itu sadari, ada tatapan getir bercampur haru dari kedua bola mata itu. Tatapan harap suatu saat juga ikut berbuka sambil menghitung-hitung ; Ah..., begitu cepat waktu berlalu, ternyata sepuluh tahun terasa begitu singkat, meski perjuangan panjang detik demi detik bukannya tak terasa.
Ibu memandang wajah anaknya sat per satu. Lalu tak lupa mengingat wajah si Sulung di perantauan, berharap ia juga ikut berada di hadapannya senja itu. Agar dapat ditatapnya pula wajah yang terpaut jarak begitu jauh dari dirinya kini. Dalam hati ia bertanya ; Apa yang nanti kau nikmati saat berbuka, Nak ?

Dan waktu terus berlalu, bapak, adik, dan kakak perempuannya kini berada di tengah-tengah masjid diantara para jama’ah yang lain. Saat bapak dipersilakan naik ke mimbar sebagai khatib, ada senyum kecil yang menyimpul di sudut bibir kedua gadisnya ; bangga. Namun, tak ada yang tau bahwa kedua sedang bertanya-tanya, teringat tentang kakak yang berada jauh dari mereka ; “Ceramah tarawih siapa yang kau dengar sekarang, Kak ? Aa’ Gym kah ?”

Lalu dengan apa kau ingin masuk syurga?


Saudariku,
Mari duduk di sini sebentar dan kita merenung sesaat.
Pandangilah diri ini dari ujung jilbab hingga ujung kaki
Dan akan kau temukan betapa nikmat Allah telah begitu banyak mengalir lewat tiap darah yang mengalir di pembuluh.
Betapa hidayah Allah telah Nampak lewat sketsa penampakanmu

Lalu lihatlah di sekeliling kita
Saudari-saudari kita yang lain dengan penampakan yang sama
Dengan penampilan yang serupa
Yang bersamanya, kita selama ini melangkah
Secara kasat mata, mungkin kalian Nampak sama
Namun begitu pulakah dengan apa yang tersimpan di hat-hati kita?

Saudariku,
Lihatlah saudari kita yang lain dengan segala semangat mereka
Mereka begitu loba dengan amalan-amalan akhiratnya
Mereka senantiasa berada dalam keheningan
Ambruk sujud-sujud mereka di sepertiga malam
Basah pipi-pipi mereka karena tangis agar dihindarkan dari azabNya
Tak henti bibir mereka dari dzikir
Tak henti jiwa mereka dengan lantunan ayat-ayat Allah
Tak lelah langkah mereka di jalan dakwah

Lalu lihatlah diri kita,
Adalah kita orang yang dicari oleh amal baik
Saat sang amal menyapa, kita bahkan masih sempat terus berkelit
“Afwan..., saya sudah ada agenda lain...”
“Afwan, ukhti yang itu kayaknya lebih cocok, saya tidak bisa...”
Dan ‘afwan-afwan’ lainnya yang seolah menjadi legitimasi atas ketidakberdayaan kita
Ketidakberdayaan untuk sekedar menundukkan hawa nafsu dan segala kemalasan

Saudariku,
Tak kah kau bayangkan saat hari perhitungan kelak
Saat dibacakan amal-amal kita
Lalu kita hanya dapat memandang iri saudar-saudari kita dengan segala perbekalan mereka
Lalu kita dapati diri ini dengan bekal yang pas-pasan
Shalat yang ala kadarnya
Puasa yang karang
Amanah dakwah yang kadang-kadang
Dan berbagai keterbatasan lainnya

Saudariku,
Mari duduk sejenak dan kita merenung sesaat
Apakah jilbab lebar yang kita kenakan
Penampilan kita yang hampir serupa dengan mereka
Telah cukup menjadi pegangan untuk kita merasa aman?

Lalu dengan apa kau ingin masuk syurga?



Saat Sampai di Thaif-mu, Istirahatlah Sejenak pada Kisah Ini


Jalan dakwah adalah jalan yang sejatinya sangat indah. Di penghujungnya telah dijanjikan oleh Allah begitu banya karunia kepada orang yang istiqomah di dalamnya. Namun, tak dapat dipungkiri betapa terjal dan penuh dengan tantangannya jalan ini. Dimana-mana ada halang dan rintangan, baik dari dalam diri, maupun dari luar.


Kadang kita sakit hati saat menyaksikan kegiatan keagamaan yang begitu sepi pengunjung, sementara konser music dan acara sejenis lainnya dipehunuhi oleh banyak orang. Kadang kita harus menerima pil pahit saat ada saja orang yang menyakiti hati karena menganggap apa yang kita lakukan tidak lagi sesuai dengan jaman dan tidak berarti. Tak jarang kita harus meneguhkan diri diantara orang-orang yang seolah tidak mau mengerti dan bahkan memicingkan mata dengan ejekan karena penampilan kita yang dianggap asing.


Namun, sesungguhnya kita sudah benar-benar tahu bahwa hal ini bukan pertama kita yang mengalami. Jauh sebelum kita, bahkan manusia paling mulia-pun mengalami hal yang mungkin jauh lebih menyakitkan lagi…


Pada bulan Syawwal tahun ke-10 dari kenabian atau tepatnya pada penghujung bulan Mei atau Juni tahun 619 M Rasulullah shallallâhu 'alaihi wa sallam keluar menuju Thaif yang letaknya sekitar 60 mil dari kota Mekkah. Beliau datang dan pergi kesana dengan berjalan kaki, didampingi budak beliau (ketika itu), Zaid bin Hâritsah. Setiap melewati perkampungan sebuah kabilah, beliau mengajak mereka kepada Islam namun tidak satupun yang memberikan responsnya. Tatkala tiba di Thaif, beliau mendekati tiga orang bersaudara yang merupakan para pemuka kabilah Tsaqîf. Mereka masing-masing bernama ‘Abd Yalail, Mas’ud dan Habib. Ayah mereka bernama ‘Amru bin ‘Umair at-Tsaqafiy. Beliau Shallallâhu 'alaihi wasallam duduk-duduk bersama mereka sembari mengajak mereka kepada Allah Ta’ala dan membela Islam.


Salah seorang dari mereka berkata: “Jika Allah benar-benar mengutusmu, maka Dia akan merobek-robek pakaian ka’bah”. Yang seorang lagi berkata: “apakah Allah tidak menemukan orang lain selain dirimu?” Orang terakhir berkata: “Demi Allah! Aku sekali-kali tidak akan mau berbicara denganmu! Jika memang engkau seorang Rasul tentu engkau adalah bahaya besar bila aku menjawab pertanyaanmu dan jika engkau seorang pendusta terhadap Allah, maka tidak patut pula aku berbicara denganmu”.

Lalu beliau shallallâhu 'alaihi wa sallam berkata kepada mereka:”Jika kalian melakukan apa yang ingin kalian lakukan, maka rahasiakanlah tentang diriku”.

Rasulullah berdiam di tengah penduduk Thaif selama sepuluh hari. Dan selama masa itu, dia tidak menyia-nyiakan kesempatan untuk bertemu dan berbicara dengan para pemuka mereka. Sebaliknya, jawaban mereka hanyalah: “keluarlah dari negeri kami”. Mereka membiarkan beliau menjadi bulan-bulanan orang-orang iseng di kalangan mereka. Maka, tatkala beliau ingin keluar, orang-orang iseng tersebut beserta pengabdi mereka mencaci-caci dan meneriaki beliau sehingga khalayak berkumpul. Mereka menghadang beliau dengan membuat dua barisan lalu melempari beliau dengan batu dan ucapan-ucapan tak senonoh serta mengarahkannye ke urat diatas tumit beliau sehingga kedua sandal yang beliau pakai bersimbah darah.

Zaid bin Hâritsah yang bersama beliau, menjadikan dirinya sebagai perisai untuk membentengi diri beliau shallallâhu 'alaihi wa sallam. Tindakan ini mengakibatkan kepalanya mengalami luka-luka sementara orang-orang tersebut terus melakukan itu hingga memaksanya berlindung ke tembok milik ‘Utbah dan Syaibah, dua orang putera Rabi’ah yang terletak 3 mil dari kota Thaif. Manakala sudah berlindung disana, merekapun meninggalkannya.

Beliau menghampiri sebuah pohon anggur lalu duduk-duduk dan berteduh di bawah naungannya menghadap ke tembok. Setelah duduk dan merasa tenang kembali, beliau berdoa dengan sebuah doa yang amat masyhur. Doa yang menunjukkan betapa hati beliau dipenuhi rasa getir dan sedih terhadap sikap keras yang dialaminya serta menyayangkan tidak adanya seorangpun yang beriman. Beliau mengadu:”Ya Allah! Sesungguhnya kepada-Mu lah aku mengadu kelemahan diriku, sedikitnya upayaku serta hinadinanya diriku di hadapan manusia, wahai Yang Paling Pengasih diantara para pengasih! Engkau adalah Rabb orang-orang yang lemah, Engkaulah Rabbku, kepada siapa lagi Engkau menyerahkan diriku? (apakah) kepada orang yang jauh tetapi bermuka masam terhadapku? Atau kepada musuh yang telah menguasai urusanku? Jika Engkau tidak murka kepadaku, maka aku tidak ambil peduli, akan tetapi ‘afiat yang Engkau anugerahkan adalah lebih luas bagiku. Aku berlindung dengan perantaraan Nur wajah-Mu yang menyinari segenap kegelapan dan yang karenanya urusan dunai dan akhirat menjadi baik agar Engkau tidak turunkan murka-Mu kepadaku atau kebencian-Mu melanda diriku. Engkaulah yang berhak menegurku hingga Engkau menjadi ridla. Tidak daya serta upaya melainkan karena-Mu”.

Kedua putra Rabi’ah yang menyaksikan hal itu menjadi tergerak rahim nya sehingga mereka memanggil seorang hamba beragama Nashrani yang mengabdi kepada mereka bernama ‘Addas sembari berkata kepadanya: “ambillah setandai anggr ini dan bawakan untuk orang tersebut”. Tatkala dia menaruhnya diantara kedua tangan Rasulullah, beliau mengulurkan tangannya untuk menerimanya sembari membaca: “bismillah”, lalu memakannya.

‘Addas berkata: “Sesungguhnya ucapan ini tidak biasa diucapkan oleh penduduk negeri ini. Lantas Rasulullah bertanya kepadanya: “kamu berasal dari negeri mana? Dan apa agamamu?”.
Dia menjawab: “Aku seorang Nashrani dari penduduk Ninawy (Nineveh)”.
Rasulullah berkata lagi: “dari negeri seorang shalih bernama Yunus bin Matta?”.
Orang tersebut berkata:” apa yang kamu ketahui tentang Yunus bin Matta?”.
Beliau menjawab: “dia adalah saudaraku, seorang yang dulunya adalah Nabi, demikian pula dengan diriku”.

‘Addas langsung merengkuh kepala Rasulullah shallallâhu 'alaihi wa sallam, kedua tangan dan kedua kakinya lalu diciuminya.

Sementara masing-masing dari kedua putera Rabi’ah, berkata salah satunya kepada yang lain: “pembantumu itu telah dibuatnya menentangmu”.

Maka, tatkala ‘Addas datang, keduanya berkata kepadanya: “celakalah dirimu! Apa yang terjadi dengan dirimu ini?”

“Wahai tuanku! Tidak ada sesuatupun di muka bumi ini yang lebih baik dari orang ini! Dia telah memberitahukan kepadaku suatu hal yang hanya diketahui oleh seorang Nabi”. Jawabnya.

“Celakalah dirimu, wahai ‘Addas! Jangan biarkan dia memalingkanmu dari agamamu sebab agamamu lebih baik dari agamanya”, kata mereka berdua.

Setelah keluar dari tembok tersebut, Rasulullah shallallâhu 'alaihi wa sallam pulang menuju Mekkah dengan perasaan getir dan sedih serta hati yang hancur lebur. Tatkala sampai di suatu tempat yang bernama Qarn al-Manâzil, Allah mengutus Jibril kepadanya bersama malaikat penjaga gunung yang menunggu perintahnya untuk meratakan al-Akhasyabain (dua gunung di Mekkah, yaitu gunung Qubais dan yang di seberangnya, Qu’ayqa’ân-red) terhadap penduduk Mekkah”.

Imam al-Bukhary meriwayatkan rincian kisah ini dengan sanadnya dari ‘Urwah bin az-Zubair bahwasanya ‘Aisyah radliallâhu 'anha bercerita kepadanya bahwa dia pernah berkata kepada Nabi shallallâhu 'alaihi wa sallam : “Apakah engkau menghadapi suatu hari yang lebih berat daripada perang Uhud?”.

Beliau bersabda: “Aku pernah mendapatkan perlakuan kasar dari kaummu, tetapi perlakuan mereka yang paling berat adalah pada waktu di ‘Aqabah ketika aku menawarkan diriku kepada Ibnu ‘Abd Yalail bin ‘Abd Kallal tetapi dia tidak merespons apa yang aku maui sehingga aku beranjak dari sisinya dalam kondisi bermuram muka karena sedih. Ketika itu, aku belum tersadarkan kecuali sudah di dekat tepat yang bernama Qarn ats-Tsa’âlib (sekarang disebut Qarn al-Manâzil). Waktu aku mengangkat kepalaku, tiba-tiba datang segumpal awan menaungiku, lalu aku melihat ke arahnya dan ternyata di sana ada Jibril yang memanggilku. Dia berkata: “sesungguhnya Allah telah mendengar ucapan kaummu kepadamu dan respons mereka terhadapmu. Allah telah mengutus kepadamu malaikat penjaga gunung untuk engkau perintahkan kepadanya sesuai keinginanmu terhadap mereka”.

Malaikat penjaga gunung tersebut memanggilku sembari memberi salam kepadaku, kemudian berkata: “wahai Muhammad! Hal itu terserah padamu; jika engkau menginginkan aku meratakan mereka dengan al-Akhasyabain, maka akan aku lakukan.
Nabi menjawab: “bahkan aku berharap kelak Allah memunculkan dari tulang rusuk mereka orang-orang yang menyembah Allah ‘Azza Wa Jalla semata, Yang tidak boleh disekutukan dengan sesuatupun”.

Melalui jawaban yang diberikan oleh Rasulullah shallallâhu 'alaihi wa sallam ini tampaklah sosok unik yang tiada duanya dari kepribadian dan akhlaq beliau yang demikian agung yang sulit untuk diselami.


Sumber: Sirah Nabawiyah

Rabu, 22 Juli 2009

Ruang Baca


Di masa awal-awal kehidupan saya di dunia, saya sudah banyak bersinggungan dengan ruangan itu. Ruang baca. Bukan, bukan sarana umum seperti perpustakaan yang menyimpan banyak buku dan terdapat di tiap kota itu. Jauh sebelum saya mengetahui adanya perpustakaan yang sebenarnya, saya sudah duluan berkenalan dengan sebuah ruangan yang kami sekeluarga sebut : ruang baca

Ruangan itu adalah kamar kecil yang terdapat di bagian depan rumah kami. Jendelanya yang kecil menghadap tepat ke jalan depan rumah saya. Terletak tepat di samping ruang tamu meski sangat jarang dimasuki. Dalam ruangan kecil yang terkesan pengap itu, bapak saya meletakkan sebuah rak buku kayu yang lumayan besar dan berisi penuh dengan buku-buku ‘berumur’. Dalam ruangan itu pula diletakkan sebuah mesin jahit yang kerap kali digunakan oleh ibu saya.

Di masa kecil, saya seringkali menganggap bahwa buku-buku itu akan berkembang biak memperbanyak diri di malam hari. Pasalnya, tak beberapa lama kemudian, bapak saya kembali memanggil tukang kayu ke rumah kami untuk membuat rak buku baru yang dengan cepatnya kembali dipenuhi oleh buku-buku. Ruangan itupun menjadi ruangan yang paling jarang digunakan di rumah kami. Bapak saya kadang hanya mengambil buku yang ingin dibacanya lalu memboyong buku itu ke tempat lain.

Ruang baca kami memang tak dapat dikatakan nyaman. Debu menempel di sana-sini. Bagaimanapun ruangan itu dibersihkan, tetap kelihatan berdebu kecuali jika buku tersebut dilap satu persatu. Sementara tidak ada orang yang kurang kerjaan yang betah membersihkan buku-buku yang saya kira berjumlah ratusan itu.

Memasuki masa sekolah, bapak saya mulai memberikan kami ‘jatah’ belanja buku di Gramedia. Setelah beberapa lama intensif ke toko buku, koleksi komik dan buku cerita saya yang sudah terkumpul, menunut saya memiliki tempat khusus untuk meletakkannya. Lalu, sayapun meminta bapak untuk membagi sekotak kecil bagian dari salahsatu rak buku di ruang baca untuk meletakkan koleksi saya, Sejak itulah saya merasa memiliki ‘daerah territorial’ sendiri di ruang baca tersebut.

Setelah saya mungkin dianggap cukup berani, orang tua saya meletakkan sebuah tempat tidur bersusun (dimaksudkan untuk tempat tidur saya dan adik saya yang kemudian meninggalkan saya sendiri karena merasa tak nyaman) setelah mengeluarkan mesin jahit dari ruang baca. Ditambah dengan sebuah meja belajar kecil, orang tua sayapun meminta saya menempati kamar tersebut mulai hari itu. Dan sejak saat itu, saya mempublikasikan penggantian nama untuk ruangan tersebut, dari ruang baca, menjadi kamar saya !

Dan usaha saya mengganti nama ruangan itupun saya lakukan dengan cukup terengah-engah karena orang rumah sudah sangat terbiasa menyebut ruangan itu dengan ruang baca, meski saya sudah menggiring semua barang-barang saya (kala itu, barang-barang saya hanya berupa buku-buku sekolah dan tas sekolah) ke ruangan itu. Maka jadilah ruangan yang saya sebut kamar saya itupun berisi tempat tidur, meja belajar, dan dua buah rak buku besar terisi penuh buku-buku berdebu. Sangat tidak lazim untuk kamar seorang anak perempuan kecil.

Saya yang kala itu gemar nonton film kartun kemudian jatuh cinta pada kamar Sakura, tokoh utama dalam kartun Card Captor Sakura, yang terlihat begitu cantik dan nyaman. Saya juga ingin punya kamar dengan cat cerah dan pernak-pernik khas gadis kecil seperti kamar Sakura. Tapi, meskipun saya berusaha untuk membereskan kamar saya, meletakkan benda-benda yang pernah disebut ‘jualan’ karena saya letakkan berderet-deret, tetap saja tak bisa seindah kamar Sakura. Dan hal ini saya anggap akibat keberadaan dua rak buku besar tersebut. Lama kelamaan, saya menyimpan dendam membara (hehehe) untuk menyingkirkan kedua benda besar itu dari kamar saya. Apalagi, karena benda itulah kamar saya masih sering disebut ruang baca…

Suatu saat, saya meminta ibu saya untuk membuang buku-buku itu, saya anggap buku-buku itu tidak berguna dan tidak bisa dibaca lagi. Tapi, kala itu, ibu memberikan alasan yang masuk akal tapi tetap tidak bisa diterima oleh otak anak kecil saya. Ibu bilang, bahwa buku itu tidak akan kadaluarsa sepanjang masa, ilmu didalamnya akan terus berguna bagi sapapun yang ingin mengkajinya, dan bahwa sebagai seorang pegawai negeri biasa, orang tua saya hanya dapat mewariskan buku-buku tersebut kepada kami, anak-anaknya. Dan hal itu baru saya sadari beberapa tahun kemudian saat saya menggunakan beberapa buku dari rak itu untuk keperluan karya tulis ilmiah yang saya buat di masa SMA.

Beberapa tahun saya tidur sekamar dengan buku-buku itu. Beberapa tahun pula saya harus berkali-kali memberi penjelasan pada kawan yang datang ke kamar saya yang kerap kali menganggap saya ‘jenius’ karena memiliki begitu banyak buku yang sebenarnya punya bapak saya. Hingga sayapun terbiasa dengan keberadaan rak-rak itu meski tetap menyimpan angan untuk mengenyahkannya. (hehehe)

Hingga akhirnya, ibu saya membeli sebuah lemari besar yang diletakkan di ruang tengah dan diisi dengan buku-buku dari salah satu rak buku di kamar saya. Misi saya terwujud setengahnya ! Sekarang, tinggal sebuah rak buku di kamar saya. Rak buku yang paling tua dengan cat biru tua yang juga sudah tua dan usang. Selanjutnya, sambil terus menjalani hari-hari dengan biasa, saya sesekali memikirkan cara untuk mewujudkan kamar anak gadis normal (tanpa rak buku besar maksudnya)…

Saat kakak saya berangkat sekolah ke kota lain dan meninggalkan rumah, saya mulai membidik kamarnya sebagai sasaran melemparkan rak buku besar tersebut. Dan misi sayapun sempurna saat rak buku tersebut berpindah ke kamar kakak saya yang sudah tak ada yang menempati itu.. Meski saya kadang takut-takut jika kakak saya yang kadang emosian itu memprotes keberadaan benda besar itu di kamarnya saat ia pulang kampung. Tapi, untungnya tidak.

Selanjutnya, setelah berhasil menyingkirkan buku-buku itu dari kamar saya, saya kadang merasa kangen juga dengan keberadaan mereka. Malah, saya sempat menganggap turunnya prestasi saya di sekolah akibat ‘kutukan’ buku-buku tua yang saya singkirkan…, meskipun itu tentunya tak masuk akal.

Tapi, meski sekarang kamar saya terlihat lebih apik dengan penambahan beberapa perabot baru dan tak pernah lagi disebut ruang baca, saya kadang sering teringat ketika masa kecil duduk di kamar-ruang-baca saya, di depan meja belajar di senja hari, memandang lewat jendela ditemani dua buah rak buku dengan buku-bukunya yang saat ini telah saya rasakan manfaatnya. Dan benarlah, itulah memang warisan paling berharga kepada kami, dari ibu dan bapak.

Orang-Orang yang Dulu Ada



rerumput meranggas hijau di balik kelam
dari yang dulu segar ikut
mewangikan meski hanya sesaat kejap

Pertama kali menginjakkan kaki di jalan ini. Begitu banyak wajah yang terlihat. Gemilang. Berbicara dengan penuh kemantapan, bahkan disertai dengan semangat yang membakar. Wajah-wajah itulah sebenarnya yang sempat membuat orang-orangpun dapat merasa yakin, bahkan merasa malu dan segera ingin ikut berbenah diri.

Saudaraku,

Masih ingatkah kau saat pertama kali mencium wangi hidayah ?
Saat mungkin kau begitu menikmatinya, bahkan melahapnya dengan rakusnya. Namun, tak ada yang dapat melarang. Toh, itu semua hanyalah Allah yang menetukan.
Saat itu, tak kau pedulikan bagaimana cercaan orang tentangmu. Tak lagi kau gentar bahkan walau ditegur oleh orang tuamu. Bahkan, mungkin tanpa kau tau, sebab dirimulah beberapa orang di belakangmu, juga ikut dengan langkahmu. Malah mungkin hingga saat ini.

Begitu banyak yang kemudian yang dapat kau katakan. Kau lalu dari orang yang begitu pemalu, menjelma seorang pembicara yang ulung. Kau dapat begitu mudahnya mengajak oranglain bersamamu. Kau bahkan bisa menegur apa yang kau anggap salah, dan membenarkannya dengan caramu.

Ya, kau begitu percaya diri dengan eksistensimu saat itu. Dan kita, berbekal dengan ilmu yang mungkin masih begitu dangkal kemudian memutuskan untuk memilih jalan ini sebagai jalan hidup. Kita seolah mengumumkan pada dunia, mungkin lewat lambaian jilbab kita yang makin lebar, atau lewat sejumput janggut yang muncul di dagu. Kita katakan bahwa kitalah ulat kecil yang telah berubah menjadi kupu-kupu. Lalu kita sematkan sebuah nama baru. Nama hijrah, katamu.

Tapi saudaraku,

Saat ini, mengapa tak kudapat lagi wajahmu di antara para penikmat majelis ilmu ?
Tak kusaksikan lagi keberadaanmu ditiap jumpa saat shaf perjuangan kembali dirapatkan. Adakah waktu telah menggerus diri, hingga satu persatu orang-orang tumbang dan begitupun dirimu ? Adakah perjumpaan yang jarang, atau berubahnya lingkungan, dapat dengan mudah mengubah semangat yang dulu ? Atau telah adakah pembenaran atas tiap goresan kecil di hatimu ?
Lalu dimanakah lagi semangat yang dulu ?
Di mana lagi binar mata yang dulu meyakinkanku ?
Di mana letupan semangat yang begitu menggebu ?
Dan dimana kau letakkan segala keyakinan yang dulu telah kita patri, keyakinan akan janji Allah yang pasti, dan keyakinan bahwa inilah jalan yang kita pilih ?

Saudaraku,
Sesungguhnya jalan ini masih seperti yang dulu. Di ujungnya tetap ada cahaya. Dan cahaya itu telah pasti binarnya. Kita tinggal menentukan, inginkah menjadi salah satu bagian yang kemudian mendapatkan bias darinya.

Jalan ini masih terbuka untuk siapapun yang ingin datang, ataupun yang ingin kembali. Selama nafas itu masih berhembus, maka waktu belum berhenti untuk kembali berpikir, bahwa selamanya, kita tak ingin terganti.

Yaa muqallibal qulub, tsabbit qalbi ala diinika...

Makassar, 18 Oktober 2008

Nostalgia Masa Putih Merah


Dari balik jendela kamar ini, ingatannya tertumbuk pada suatu masa, beberapa tahun silam. Saat kedewasaan adalah sesuatu yang jauh dan tak terpikirkan. Sedangkan kepolosan menjadi sesuatu yang niscaya. Masa itu, masa putih-merah. Saat sulit saja dusta terucap, karena hati dan pikiran masih putih dan belum ternoda oleh derapan roda jaman.


Mengingat masa itu, adalah mengingat dua sosok, satu profesi. Guru SD. Guru SD dengan segala kesederhanaannya, baru lepas dari perguruan tinggi sekaligus universitas kehidupan.


Menyongsong sebuah gerbang baru yang penuh tanda tanya bagi mereka, saat itu.
Yang seorang adalah seorang sosok lelaki bertampang innocent dengan garis-garis keramahan yang begitu terasa lewat senyumnya. Oleh murid-murid kecilnya, beliau disapa; Pak Kholil. Nuansa ke-ikhwa-an masih membekas disana. Baik dari tutur kata, maupun tingkah lakunya. Ia adalah pemuda dengan sepeda sederhana yang berusaha untuk mendidik anak-anak pejabat, dokter, dosen, dan berbagai profesi lain yang nampak sangat jauh dari kesederhanaannya. Selanjutnya, dia mengajarkan tentang banyak hal, tentang penghargaan, ketulusan, dan persahabatan.

Berikutnya adalah pemuda dengan garis keras di wajahnya, namun tetap memiliki khas seorang pendidik; keteduhan. Langkahnya senantiasa mantap, pandangannya tegak ke depan. Tapi dia tetaplah pemuda sederhana yang biliknya menempel pada sebuah kelas, bekas gudang tepat di sebelah sebuah WC yang sering diramaikan oleh bocah-bocah yang suka lupa menyiram kloset. Tapi toh ia tetap percaya diri masuk ke kelasnya. Sesekali menegur dengan tegas, atau memarahi dengan keras. Saat murid-murid lain menikmati setengah jam waktu istirahat, ia mengumpulkan murid kelas enamnya saat lima belas menit telah usai. Digempurnya murid-muridnya dengan tes sebelum dan setelah pelajaran usai. Diajarkannya banyak pemaknaan, tentang kejujuran dan semangat memperbaiki diri, juga tentang obsesi bahwa dari tangannya ia harap akan tumbuh insan-insan cendikia yang kelak akan membuatnya bangga. Pak Idrus, namanya.

Tujuh tahun berselang….
Sekelompok muda-mudi nampak berbeda diantara bocah-bocah SD itu. Mereka berkumpul di satu titik dan saling menanyakan kabar masing-masing. Diantaranya bahkan ada yang sudah tak saling mengenal. Tapi toh ingatan mereka tentang tempat itu tetap saja sama. Disana mereka pernah habiskan enam tahun masa hidupnya. Disana mereka pernah torehkan kenangan.
Selanjutnya mereka menuju ke suatu kelas tempat seorang guru nampak serius belajar, sama seriusnya dengan bocah-bocah dihadapannya. Guru itu tidak banyak berubah. Tetap seperti itu, dengan ketegasan yang terlihat jelas dari sosoknya. Dan rombongan pemuda itupun tak dapat berdusta, entah mengapa ada degup di hati seolah takut dimarahi saat pe-er tak mereka kerjakan. Ah…, tak ada lagi pe-er itu sekarang, kawan.


Tak lama sang guru-pun keluar. Menyapa murid-muridnya yang ia hadapi di awal-awal kariernya sebagai seorang pendidik. Murid-murid pertamanya. Murid pertama yang hingga kini masih tidak ia lupa wajah dan namanya masing-masing. Adakah kami juga tak dapat kau lupakan?
Lihatlah, Pak!
Dihadapanmu bukan lagi seorang anak kecil yang sering ribut saat kau menjelaskan di depan kelas. Bukan pula mereka yang kadang kau marahi karena tak dapat menjawab soal ujian dengan benar semua. Di hadapanmu kini kami bawakan masa depan kami masing-masing. Calon dokter, dokter gigi, apoteker (ehem!), musikus handal, ahli mesin, psikolog terkenal, ekonom handal, pengacara, dan ada pula yang akan meneruskan jejakmu mengabdi pada pendidikan. Bahkan diantara kami ada yang benar-benar telah menjadi polisi wanita, kaget khan Pak? Dia yang dulu senang bernyanyi di depan kelas itu…

Sebelumnya, sesosok yang tak asing lewat. Sepeda sederhanya kini berganti motor yang melaju mantap. Tapi senyum itu tetap tak berubah. Senyum yang selalu membuat kami merasa berharga, persis seperti apa yang selalu ia ajarkan.

Ingatannya kembali pada tempatnya sekarang. Menulis sebuah kenangan tentang masa lalu tempat ia belajar banyak tentang kejujuran. Kejujuran yang sempat terkikis beberapa saat namun kembali ia temukan. Kejujuran yang menuntunnya untuk mengejawantahkan keimanannya pada takdir. Betapa skenario ini terlampau sempurna dan sudah seharusnya dimaknai dengan kesempurnaan pula.

Dedicated to almamaterku; SDN Komp IKIP Makassar, dan dua orang guru yang entah bagaimana cara kami melupakannya. Inilah kami, Pak. Tak lama lagi akan jadi orang!

Lelaki Sejati


Adalah mereka yang menundukkan pandangannya darimu, bukan karena kau tak layak dilihat, namun karena ia tahu kau begitu indah

Adalah mereka yang tak ingin menyentuhmu sedikitpun, bukan kerena jijik padamu, tapi karena ia taat dengan apa yang diperintahkan oleh Tuhannya

Adalah mereka yang tak mudah mengumbar kata kasih dan cinta, bukan karena ia tak memilikinya, tapi karena ia tak ingin keduanya hanya atas nafsu belaka

Adalah mereka yang tak ingin berada di dekatmu, bukan karena benci padamu, tapi karena ia takut bisikan syaitan datang menyapa

Adalah mereka yang datang padamu dengan akad yang pasti, bukan dengan janji palsu yang berlabuh tanpa jelas tujuan dan arah.


Untuk semua saudariku,
Jangan sampai nafsu melenakanmu.

Jika Ia Bicara, Merindukanmu


Masih kuingat kebersamaan kita dulu. Saat itu, kau adalah seorang bocah kecil yang lugu. Namun, persahabatan itu telah terjalin dengan sangat erat antara kita. Kita mulai dengan kebersamaan di suatu tempat sederhana dengan teman-teman yang lain. Tempat itu kemudian kita sebut, masjid dekat rumahmu.

Saat senja datang, kau tentu sudah bersiap-siap di rumahmu. Mandi sore dibantu oleh ibu atau kakakmu. Bersiap-siap rapi dengan mukenah dan sarung mungil itu. Sesekali ibu memoleskan bedak di pipimu, menambah ceria wajah lugumu. Selanjutnya, dengan langkah penuh dengan semangat, kau membawaku bersama dengan langkahmu. Celotehan-celotehan penuh ceria dengan teman-teman sebayamu ikut bersama tiap langkah-langkah itu.

Dan saat kita telah tiba di masjid itu, dengan semangat terkadang kau berlari menuju ustadzah, mencium tangannya dengan takzim, karena hari ini kau bahagia bisa kembali menjalakan aktivitas suci itu.

Kaupun segera tunaikan shalat maghrib bersama kawan-kawanmu saat adzan selesai dikumandangkan dengan indah oleh sang muadzin. Mengalun-alun dalam kepalamu dan membuatmu merasa nyaman dengan semua itu. Meski kadang shalat kau jalani dengan sesekali bercanda dengan kawan di sebelah shaf-mu. Namun, itupun karena kau belum paham betapa sakralnya ibadah itu. Tapi toh, tak pernah pula kau bermaksud meninggalkannya.

Dan waktu ba’da maghrib itulah favoritku. Saat kau mengambilku dengan lembut. Membuka tiap helaiku penuh senyuman. Lalu ayat-ayat dengan cadel namun penuh dengan semangat. Tak peduli begitu banyak kesalahan ucapan yang kau lakukan, namun kau terus berusaha untuk mengucapkannya dengan kemampuanmu yang terbaik...

Ah kawan, betapa indahnya masa-masa itu bagiku....

Dan kaupun makin beranjak dewasa. Turut pula kusaksikan betapa cepat waktu berlalu dan kudapati kau kini bukan lagi seorang gadis kecil yang dulu begitu akrab denganku. Segala kesibukanmu di sekolah telah membuatmu tak lagi ada kesempatan untuk mengunjungi masjid dekat rumahmu itu. Mungkin, usia yang juga telah beranjak terus membuatmu merasa tak lagi cocok dengan keadaanmu yang dulu itu. Tapi tak masalah kawan, jika tetap kau baca ayat-ayat cinta itu meski hanya di rumahmu saja.

Tapi ternyata, kudapati diriku kini berdebu. Kudapati diriku hanya teronggok kesepian di sudut rak buku atau meja belajarmu. Kini kau sibuk berkutat dengan buku-buku pelajaranmu yang tebal-tebal itu. Kau begitu bangganya menenteng buku-buku ilmiah itu jika engkau pergi kemanapun. Tapi entah mengapa, kau begitu enggan menentengku seperti itu, takut dibilang sok alim, katamu.

Dan saat kau senggangpun, aku seolah bersaing dengan novel-novel fiksi atau majalah remaja yang kau gemari, atau bersaing dengan TV yang seolah tak pernah tertidur, atau dengan alunan musik yang dapat kau hapal dalam sekejap. Hingga kau lupa dengan kebersamaan kita dulu. Kau tak lagi mengenalku, mungkin akan sangat terbata jika kembali membacaku. Namun kau seolah tak peduli, mungkin terasa tak penting bagimu. Kau tak lagi mengenalku.

Kau tak lagi mengenalku.

Kawan,
Mengapa begitu mudah kau lupa akan kebersamaan itu dulu. Saat begitu sulit sebenarnya bagimu untuk membacaku karena keterbatasan ilmu dan otak yang kau miliki. Tapi kau tetap berusaha, khan? Kau membuatku yakin, bahwa suatu saat kau bahkan bisa menghapal seluruh ayat-ayat itu jika kau tetap dengan semangat yang dulu. Kau membuatku menyimpan harap, begitu cerahnya hatimu karena cahaya yang memancar lewat apa yang senantiasa kau pelajari.

Kawan,
Mungkin kau merasa tak seakrab yang dulu lagi denganku. Tapi aku tetap akan menanti tanganmu yang meraihku untuk kembali kau buka. Kau sela debu-debu yang menempel padaku dengan telapak tangan dan dengan hatimu. Untuk kau renungi kembali betapa beruntungnya kau dulu, dan betapa keberuntungan itu dapat kembali kau raih jika kau ingin membuka dirimu untuk mempelajari agama ini.

Kawan,
Aku masih meringkuk di sudut kamarmu dengan berdebu. Inilah diriku dengan lautan ilmu dan hikmah tak berbatas. Masih kutunggu jemarimu untuk meraihku. Kutunggu lisanmu untuk melantunkan kembali ayat-ayat itu. Dan hatimu untuk menyelami samudra luas cintaNya yang tak berbatas.


“Sesungguhnya orang-orang yang adalah mereka yang apabila disebut
nama Allah gemetar hatinya, dan apabila dibacakan ayat-ayatNya kepada mereka,
betambah (kuat) imannya, dan hanya kepada Tuhan mereka
bertawakkal.”
(QS. Al Anfal[8]:2)

Jalan yang Sepi



Senja ini ada tanya dari hati
Mengapa jalan ini begitu sepi
Bahkan kosong
dan sunyi
Diisi oleh gemerisik angin
Atau dengan isakan tangis

Suatu hari, saya menyaksikan sebuah acara roadshow sebuah talkshow yang laris di TV Nasional. Kala itu, saya kaget dengan jumlah pesertanya yang membludak, Hingga tiga ribuan orang lebih. Meski, yang ditampilkan sebenarnya bukan sesuatu yang hura-hura atau yang mengobral nafsu seperti yang sangat ini sangat banyak peminatnya. Diam-diam, saya merasa sedikit bersyukur, ternyata, orang Indonesia sudah bisa memilih dan meminati hal-hal berbobot dan membawa pesan pendidikan (meski tentu tidak 100% syar’i).


Tak terlihatkah cahaya di ujungnya ?
Bersinar keemasan bersama untai
keagungan
Memanggil dengan jelas sebenarnya
Sayup-sayup menusuk
relung-relung di dada

Pada beberapa hari setelahnya, saya menjadi penyelenggara sebuah acara. Tidak besar memang. Tapi sebenarnya memiliki esensi besar dan tujuan yang mulia. Namun, saya harus gigit jari dengan jumlah peserta yang hanya sekian orang. Padahal banyak pihak telah berusaha dengan keras dan mengajak dengan semangat, dan melakukan persiapan hingga titik yang paling matang, tapi hasilnya, tetap tidak maksimal.


Mungkin, karena kita belum melihat dengan jiwa
Hanya mendengar lewat
telinga saja
Dan sepi inipun,
Semakin terasa.

Saya terhenyak. Saat mendengar seseorang berkata, meyakinkan kami bahwa memang telah beginilah mungkin yang ditakdirkan oleh Allah.
”Jalan kebaikan..., memang jalan yang sepi...”
Saya merinding.
Ya, nampaknya memang benar. Jalan ini begitu sunyi. Mungkin karena banyaknya duri dan onak di dalamnya. Mungkin karena ia dilingkari oleh banyak hal yang tak sesuai dengan nafsu manusia.

Tapi kemudian ada syukur yang terucap
Sebab setidaknya, saya berada di jalan yang sama
Meski sepi, tapi saya yakin ada tangan-tangan yang selalu di samping saya
Orang-orang yang merasakan nikmatnya sepi itu. Nikmatnya tangis itu. Nikmatnya tertusuk duri dan terhalang onak itu.
Tapi harap saya belum pupus. Pada bertambah dan semakin bertambahnya orang-orang yang ingin meramaikan jalan ini. Meski mungkin akan tetap sepi. Tapi harap saya belum berhenti.

Makassar, 14 Juli 2008
Buat semua akhwatfillah !
Sepi inilah yang mengikat hati kita, ya khan ?

Hmm..., Afwan! Rambutnya Kelihatan..


Saya terkenang dengan cerita Ibu tentang keadaan muslimah masa lalu. Saat jilbab merupakan sesuatu yang asing dan sangat aneh di mata bangsa dengan penduduk Islam terbesar di dunia ini, kala itu. Maka saat itu, bermunculanlah para ‘pejuang-pejuang’ jilbab yang berusaha berdiri kokoh ditengah keterasingan mereka. Dalam sebuah komunitas besar mungkin mereka hanya bersendirian dan tak punya teman. Namun mereka tetap bertahan.

Konon, sempat santer berita tentang jilbab beracun, para ‘jilbaber’ dituduh ikut andil dalam menyebarkan racun pada makanan melalu selang yang disembunyikan di balik jilbabnya pada masa itu. Di masa lalu pula, begitu sulit untuk menggunakan jilbab di sekolah, bahkan ada sekolah yang katanya sampai melarang siswinya menggunakan jilbab, padahal mayoritas dari mereka adalah muslimah ! Betapa sulitnya menggunakan foto berjilbab untuk KTP atau SIM. Para jilbaber sekolah bahkan harus menandatangani surat pernyataan jika tetap keukeuh untuk berjilbab pada penjepretan untuk ijazah mereka. Belum lagi kejar-kejaran dengan guru untuk mempertahankan sehelai kain lambing supremasi keislaman mereka, atau rela mendapat nilai minus karena disensi oleh guru yang tak senang. Namun mereka tetap bertahan.

Kini…
Kita rupanya harus banyak mengucap syukur untuk begitu banyak kemudahan yang kita dapatkan. Tak dapat dipungkiri, menjamurnya jilbaber saat ini tak lepas dari andil para pejuang jilbab yang dulu terus bertahan dari segala kesulitan yang ada. Dan lihatlah ! Di kota kita, Makassar, dengan mudah kita melihat warna-warni jilbab dimana-mana, ia tumbuh seolah jamur di musim penghujan. Bahkan toko-toko yang khusus menjual jilbab juga bermunculan. Kita dengan mudah menunjukkan jati diri kita sebagai muslimah dengan jilbab-jilbab kita. Dan jilbabpun terus menjadi pesona di mana saja. Tanpa melihat status, mulai selebriti ibukota sampai dengan Mbak-Mbak jamu dengan beras kencurnya. Masya Allah !

Bahkan jangankan ‘jilbab-jilbab sederhana’ yang lazim ditemui, para pejilbab lebar bahkan yang lengkap dengan cadarnya pun bukan menjadi sesuatu yang asing, malah mulai menyentuh layer TV, meskipun dengan penggambaran yang kadang membuat kita miris sendiri. Seorang akhwat bercadar bahkan berkomentar bahwa mengapa seolah-olah syari’at tersebut dipermainkan dan katanya ada yang sampai dijadikan bahan komedi dan lawakan, digambarkan dengan tidak semestinya dan membuat para akhwat tersebut yang tadinya sering ‘dijahili’ dengan panggilan semisal ‘ninja’ atau dengan ucapan salam, kini berubah disapa menjadi ‘Aisyah….’ Dan kadang itu justru lebih memiriskan jiwa-jiwa mereka, wong Aisyah itu khan nama Ummahatul Mu’minin, istri dari Baginda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, kok malah dijadikan bahan bercandaan ?

Maka, seiring dengan perkembangan jaman, jilbabpun rupanya juga ikut berkembang. Mulai dari yang dulunya berupa kain segiempat yang dilipat segitiga lalu disematkan dengan sebiji peniti, lalu berkembang dengan jilbab kaos yang praktis, terus berkembang dengan bordiran di sana-sini, ditambah aksesoris nan cantik, dengan berbagai motif dan ukuran !
Kita dapat melihat jilbab hitam kelam yang menutup rapat dari ujung kepala hingga nyaris ujung kaki, juga bersanding dengan jilbab imut berwarna ngejreng dengan ornament berkilap di sana-sini.

Yang sering saya perhatikan dari para jilbaber masa kini adalah dengan model jilbab-jilbab mini macam itu. Kadang, sang jilbab sebenarnya tidak mini-mini amat, tapi karena dipentul sana-sini, dijepit atau dipasangi bros sedemikian rupa, jadinya seperti membentuk kepala dengan jelas dan juga membentuk konde-konde sang jilbaber. Belum lagi dipadukan dengan baju-baju yang memang menutup aurat tapi dalam waktu bersamaan juga menampakkan lekuk-lekuknya karena saking ketatnya. Bawahannyapun tak mau kalah dengan perkembangan mode celana ‘botol’ yang menjadi kiblat gaya saat ini. Yang paling miris lagi kalau jilbab mini itu kemudian dimeriahkan dengan kemunculan beberapa lembar poni miring yang seolah tak mau kalah menampilkan diri. Lalu sebenarnya apa yang ingin ditutupi ? Jika ternyata leherpun tercetak, pun demikian dengan ikatan rambutnya yang terlihat, belum lagi dengan kainnya yang tidak cukup bahkan hanya untuk sekedar menjuntai menutupi dada, bukankah jilbab ini adalah syari’at atas dalil :
“…Dan hendaklah mereka menutup kain kerudung ke dadanya…” (QS. An Nur[24]31)

Si jilbab mini ini malah muncul dengan ‘kekurangan kain’ yang boro-boro menutupi seluruh tubuh, bahkan hanya menutup kepala sang pemakainya. Tidakkah kita ingin menengok salah satu lagi dalil jilbab ini :
“…Hendaklah mereka menutupi jilbabnya ke seluruh tubuh mereka…” (QS. Al Ahzab[33]:59)

Sangat sering saya jumpai pejilbab-pejilbab dengan jilbab rapi dari atas kepala hingga leher, tapi eh…, malah ujung rambutnya nongol dari baik si jilbab mini yang ternyata lebih pendek dari rambutnya sendiri. Tak jarang saya berlari-lari kecil mengejar mereka, mencolek bahunya dari belakang, lalu berkata dengan miris, “Hmm…afwan, rambutnya kelihatan…”


Untuk semua sudariku karena Allah,
Syari’at inilah yang memuliakan kita…
Seiring doa untuk kita semua,
Moga mendapatkan hidayah Allah,
Moga kita terus nasehat-menasehati dalam menetapi kebenaran
Dan nesehat-menasehati dalam menetapi kesabaran

Makassar, 29 Nov 2008

Cerita Senja


Hari gini, susah jadi mahasiswa, apalagi mahasiswa Unhas ! Terlihat betul betapa angkatan 2008 ini perlu ikhtiar (baca: usaha) yang lebih untuk meninggalkan gelar siswanya pun agar tak jadi pengangguran. Coba tengok kebijakan pemerintah yang boro-boro menghapuskan UN, malah menambah daftar pelajaran yang diujiankan! Belum lagi dengan keputusan dari perguruan tinggi dengan UMB-nya yang menggunakan soal dengan standar yang lebih tinggi namun meloloskan lebih banyak peserta dan ‘Senam Petani’ (SNMPTN) yang soalnya konon lebih mudah namun hanya menerima 30% dari kursi yang ada.


aku mendengar cerita tentang senja
berakhir pada mentari yang tergelincir di
biru laut

Ingatan saya terbawa ke sebuah sore kira-kira setahun silam. Beberapa saat setelah mengikuti SPMB, sebuah TV dan juga koran memuat kunci jawaban dan ulasan soal-soal yang diujiankan tempo hari. Saya yang sempat membuat ‘arsip’ jawaban lalu dengan semangat mencocokkan jawaban yang ada dengan yang dikunci jawaban tadi.
Telapak tangan saya berkeringat. Degup jantung seolah bisa saya dengar sendiri. Hembusan angin yang sesekali memainkan daun-daun di halaman tidak saya pedulikan. Sesekali saya mengusap peluh yang mengalir di dahi sambil tetap fokus pada deretan huruf A hingga E tersebut. Waktu terus merajut dirinya dengan mantap. Tak terasa hampir satu jam saya mencocokkan jawaban, lama memang, karena saya harus mengulangnya berkali-kali dan meyakinkan diri telah memeriksa dengan benar.

apakah yang bawa ia untuk kembali datang di esoknya?
pancarkan sinar yang
sama meski tertutup awan atau menyeruak lewat titik-titik yang pecah

Akhirnya saya selesai. Hasil yang saya dapat saya persentasikan dan saya tuliskan dengan font yang besar di lembaran soal SPMB yang saya bawa pulang. Dan hasilnya, mengecewakan. Saya hampir dapat memastikan diri tidak bisa lulus untuk pilihan pertama. Saya memandag rangkaian angka yang saya tulis sendiri. Telapak saya masih dingin dan basah oleh keringat. Tiba-tiba ada sesuatu yang hangat yang saya rasakan di pelupuk mata. Namun saya tahan sebisanya agar ia tak mengalir dan menyentuh pipi saya. Saya mencoba merenungi sesaat tiap detik yang saya habiskan untuk berikhtiar agar mendapatkan hasil yang terbaik. Juga tiap sujud yang saya ambrukkan untuk berdoa padaNya.

ia pancarkan sinar yang sama
hanya kita yang rasakan beda
lalu ia
kembali tenggelam pada senja
namun tetap datang lagi pada esoknya

Setelah beberapa saat merenungi nasib dan drop ke kondisi mental yang selemah-lemahnya, saya kemudian tertegun saat menyaksikan fenomena alam yang terbingkai lewat jendela kamar saya saat itu. Ya, senja semakin jingga. Mewarnai alam dengan rona keemasan, seolah mengucap kalimat perpisahan pada hari yang sebentar lagi berganti malam. Lewat sinaran itulah kemudian saya tersadar. Tersadar untuk tidak menekuk diri pada kegagalan. Dan tidak memutuskan untuk tidak lagi bersinar.

maka ajarkanlah, mentari,
apa yang bawamu kembali ke sini ?
katanya ;
“sebab segalanya terus berputar, bukan kita penentu hentinya, maka pantaskah
kita padamkan cahaya?”.

Itulah mentari, benda bulat besar yang menunjukkan kegarangan plus kegagahannya di siang hari yang gerah. Namun kemudian memperlihatkan kelembutan dan keanggunan saat sore tiba. Lalu saat malam, ia kemudian menghilang. Mundur bersama hilangnya sinaran. Tapi, meski kemudian sempat kehabisan cahaya dan merelakan posisinya digantikan oleh bulan, dengan penuh ke-tawadhu-an, sang mentari kembali menampakkan diri pada esoknya. Menampakkan sinar yang sama, hangat yang sama, panas yang tak berbeda, dan kelembutan yang tak berubah.
Hilangnya mentari pada malam hari menunjukkan saat ia berada di titik terbawah. Sebagai makhluk Allah yang terus bersinar, padamnya cahaya seharusnya berpotensi menjadikannya mundur dan tak lagi punya muka. Tapi saat pagi tiba, sesuai dengan kehendak Rabbnya, ia kembali datang. Ia kembali bersinar.
Lewat fenomena ini saya kemudian merangkai asa. Ya, bukan saatnya menyerah.
Meski kemudian tidak lulus pada pilihan pertama, bukan bebarti kiamat bagi saya. Saat saya menyampaikan kegalauan itupun, seseorang berkata , “Allah akan memberi yang terbaik, Insya Allah...” Dan saat yang samapun saya yakin, segala sesuatu telah ditakdirkan. Bukan kita yang menetukan akhirnya. Bukan kita yang menentukan kemunduran, bahkan untuk langkah kita sendiri. Bukan kita yang pantas memadamkan cahaya.
Selang beberapa hari kemudian. Hari yang ditunggu oleh ribuan orang pun tiba. Pengumuman SPMB. Saat mengecek kelulusan lewat internet, saya bahkan tak mampu mengetik nomor ujian saya sendiri. Maka kakak sayapun saya daulat untuk melakukannya. Dan lewat jari jemarinya yang menekan tobol ENTER saya kemudian tahu, saya lulus di pilihan pertama ! Alhamdulillah !

Allah akan memberi yang terbaik, Insya Allah. Kata-kata itu terngiang di telinga saya. Ya, Insya Allah. Jika Allah menghendaki. Lalu apakah yang tak mungkin jika diriNya menghendaki. Insya Allah-lah itu sebuah kalimat yang penh dengan motivasi, sebuah optimisme tingkat tinggi. Segalanya benar bisa terjadi.
Saya lalu teringat cerita senja. Sebuah cerita yang membuat saya tidak terjatuh demikian dalam saat mencapai posisi yang lemah. Mengajarkan saya dan juga kita semua agar tidak cepat menyerah.

Salam hangat untuk semua rekan seperjuangan,
Mahasiswa farmasi angkatan 2007
Kala senja datang, lihatlah matahari yang tak pernah menyerah,
Kitapun demikian, bukan ?

Laki-Laki Istimewa Itu


Sudah cukup lama aku mengenalnya. Tapi tak pernah kutemukan lelaki yang lebih baik darinya. Lelaki dengan sinar purnama di wajahnya. Ketampanan memancar bersama dengan keindahan akhlaknya. Wanita mana yang bisa lupa? Atau bisa berhenti mengenang dan menyebut namanya? Aku rasa tak ada.

Dialah lelaki dengan ketabahan teramat sangat bahkan di usianya yang sangat belia. Meninggal ayahnya saat ia dalam kandungan. Dan ibunya pergi untuk selamanya saat beliau masih sangat muda umurnya. Sang kakek tercinta-pun meninggalkannya saat ia berusia delapan tahun.

Dialah yang menjadi kekasih Allah dan menyampaikan risalahNya untuk seluruh umat manusia. Tak ada letih yang ia rasa. Tak ada keluh dari bibirnya.

Terkisahlah saat perjalanan menuju sebuah daerah bernama Thaif. Tempat dimana ia akan menyampaikan kebenaran kepada para penduduknya. Ia berjalan kaki 60 mil menuju tempat itu bersama pembantunya, Zaid bin Haritsah. Sepuluh hari lamanya ia di tempat itu untuk menyampaikan kebenaran, namun tak ada jawaban lain selain ‘keluarlah dari tempat ini’. Bahkan penduduk negeri itu menghadangnya dengan lemparan batu dan ucapan kotor, hingga bersimbahlah darah pada sandal beliau karena kakinya yang terluka. Sang pembantu yang setia tetap berdiri melindunginya hingga kepalanya pun terluka.

Sakit dirasakannya hatinya karena begitu banyak orang-orang yang tak ingin menerima kebenaran yang ia bawa, bahkan membalasnya dengan sesuatu yang sangat menyakitkan. Beliau mengadu kepada Allah :
”Ya Allah! Sesungguhnya kepada-Mu lah aku mengadu kelemahan diriku, sedikitnya upayaku serta hinadinanya diriku di hadapan manusia, wahai Yang Paling Pengasih diantara para pengasih! Engkau adalah Rabb orang-orang yang lemah, Engkaulah Rabbku, kepada siapa lagi Engkau menyerahkan diriku? (apakah) kepada orang yang jauh tetapi bermuka masam terhadapku? Atau kepada musuh yang telah menguasai urusanku? Jika Engkau tidak murka kepadaku, maka aku tidak ambil peduli, akan tetapi ‘afiat yang Engkau anugerahkan adalah lebih luas bagiku. Aku berlindung dengan perantaraan Nur wajah-Mu yang menyinari segenap kegelapan dan yang karenanya urusan dunia dan akhirat menjadi baik agar Engkau tidak turunkan murka-Mu kepadaku atau kebencian-Mu melanda diriku. Engkaulah yang berhak menegurku hingga Engkau menjadi ridla. Tidak daya serta upaya melainkan karena-Mu”.

Namun saat malaikat penjaga gunung menawarkan padanya untuk meluluhlantakkan negeri dengan penduduk yang kepala batu itu, ia justru berkata :
“Bahkan aku berharap kelak Allah memunculkan dari tulang rusuk mereka orang-orang yang menyembah Allah ‘Azza Wa Jalla semata, Yang tidak boleh disekutukan dengan sesuatupun”.

Subhanallah...

Dialah orang yang tidak pernah mengatakan tidak saat dimintai sesuatu. Tak pernah ingin disambut kedatangannya bak para raja. Ia menjenguk orang sakit dan duduk-duduk bersama kaum miskin, memenuhi undangan hamba sahaya, mencuci pakaian, dan memerah susu dombanya sendiri. Padahal dialah lelaki yang paling mulia !

Hindun bin Abu Halah menggambarkan sifat beliau dan berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam seperti tampak berduka, terus menerus berpikir, tidak punya waktu untuk beristirahat, tidak bicara jika tidak perlu, lebih banyak dia, memulai dan mengakhiri perkataan dengan seluruh bagian mulutnyadan tidak dengan ujung-ujungnya saja, berbicara dengan menggunakan kata-kata yang luas maknanya, terinci, tidak terlalu banyak dan tidak terlalu sedikit, dengan nada yang sedang-sedang, tidak terlalu keras, dan tidak terlalu pelan, mengagungkan nikmat sekalipun kecil, tidak mencela sesuatu, tidak pernah mencela rasa makanan dan tidak terlalu memujinya, tidak terpancing untuk cepat-cepat marah jika ada sesuatu yang bertentangan dengan kebenaran, tidak marah untuk kepentingan dirinya, lapang dada, jika memberi isyarat beliau memberi isyarat dengan seluruh telapak tangannya, jika sedang kagum beliau dapat membalik kekagumannya, jika sedang marah beliau berpaling dan nampak semakin tua, jika sedang gembira beliau menundukkan pandangan matanya. Tawanya cukup dengan senyuman, yang senyumnya mirip dengan butir-butir salju”

Ya, beliaulah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Manusia paling mulia sepanjang masa. Lewat dirinyalah kenikmatan Islam hari ini dapat kita kecap. Apa yang dulu beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bayar dengan rasa lelah bahkan dengan tetesan darah. Saat begitu banyak orang yang menyalahkan bahkan hingga menginginkan kematiannya. Namun ia tetap bertahan dan terus menyampaikan kebenaran.

Bahkan Allah Subhana Wata’ala berfirman memuji beliau,

“ Dan, sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung” (QS. Al
Qalam:4)

Allahummashalli ala Muhammad, wa ala ali Muhammad...

Selasa, 21 Juli 2009

Aku Masih Sangat Ingat (Catatan SMAGA Masa Lampau)


Aku masih sangat ingat...

Saat pertama kuinjak tempat itu sebagai salah satu dari ratusan siswinya yang lain. Waktu bahkan belum sampai pada pukul tujuh saat kami, para siswa baru, berkumpul di lapangan dalam sebuah acara Penyambutan Siswa Baru.

Angin mendesir sejuk, masih menyisakan dingin malam pada ujungnya. Memainkan rerimbun daun pohon besar yang berdiri kokoh, memayungi sebuah tepat duduk dari semen yang mengitarinya. Sebuah ruang dengan segala kesederhanaannya. Tak ada kendaraan mewah yang terparkir di sana. Bahkan beberapa teman pada perjalanan waktu selanjutnya tidak perduli masih mengendarai sepeda dengan seragam putih abu-abu mereka.

Segerombolan siswa baru dengan baju olah raga biru yang lumayan nyentrik berkumpul mendengarkan pengarahan. Kakak-kakak dengan seragam yang berbeda nampak mulai ’beraksi’ di depan para pendatang baru. Salah seorang dari mereka kemudian berkata, kira-kira begini ; ”Selamat datang di masa SMA, Masa-Masa yang paling indah !” ujarnya dengan bangga. Dan kebenaran pernyataan itu baru benar-benar saya akui sekarang. Saat kebersamaan dengan masa-masa itu tak lagi ada.

SMA Negeri 3 Makassar, dalam kurun waktu saya tercatat sebagai siswinya (kira-kira tahun 2004-2007) di mata saya adalah sebuah sekolah yang tidak begitu istimewa. Menengok fasilitas, penampakan luar, dan penampilan murid-muridnya, mungkin banyak orang yang akan sependapat dengan saya. Namun pemikiran saya sedikit demi sedikit mulai bergeser setelah melihat sekolah ini dari sudut yang berbeda. Menyaksikan tiap hari senin yang jarang sekali alpa dari riuh rendah tepukan bangga saat piala-piala kembali lagi disumbangkan. Melihat betapa beberapa ekskulnya lumayan disegani oleh sekolah-sekolah lainnya. Melihat prestasi akademik muridnya yang juga cukup untuk menimbulkan decak kekaguman. Di sisi itulah, saya melihat SMAGA yang berbega. SMAGA yang bisa saya banggakan.

Terlepas dari itu, SMAGA tetaplah SMAGA, yang entah mengapa berjalan bak siput jika kita membicarakan tentang sarana dan prasarana yang ada di dalamnya. Jangan tanyakan tentang aktifitas di lab yang kadang terkendala dengan alat dan bahan, atau paling minimal kami harus cukup puas menggunakan peralatan dengan debu tebal atau usia peralatan yang telah cukup uzur. Atau tentang salah satu ruangan di lantai dua yang dengan ajaibnya bisa ’tenggelam’ di musim hujan. Atau bagaimana kami bisa menemukan WC dengan menutup mata, yang penting punya penciuman yang sempurna. Ya, WC dengan bau ’semerbak’.

Namun, itulah SMAGA, dengan segala plus minusnya, dengan plusnya yang tak jarang disanjung oleh banyak orang. Atau minusnya yang tak jarang dimuat di buletin Jenius’03, yang sempat membuat angkatan saya geger karena pemanggilan-pemanggilan dari beberapa pihak. Sebuah gambaran bahwa kadang kita tak bisa bijak dalam menuai kritik, ataukah karena semangat idealisme masa remaja yang membuat pena kami terlalu tajam dan juga kurang pandai memilih kata yang ’cukup sopan’, entahlah..., yang jelas, semua pihak harus banyak berbenah.

Dalam perjalanan selanjutnya, dengan pergantian kepemimpinan, SMAGA juga mengalami beberapa perubahan. Mulai dari perbaikan tempat parkir dan pagar sekolah yang menyebabkan ditebangnya beberapa pohon (waktu masih jadi pengurus Jenius, saya pernah menuliskan hal ini dalam ’Pagar Makan Tanaman’), pemasangan ’Pagar Ari’, sebutan kami untuk pagar SMAGA yang berlapis-lapis, dan juga peremajaan tampilan SMAGA dari luar lainnya. Namun, perubahan itu, rupanya tak juga merubah beberapa hal yang masih saja mendarah daging di SMAGA. Beberapa hal yang seharusnya lebih dahulu kita ubah. Beberapa hal tentang kejujuran dan kehormatan kita sebagai insan pendidikan.

Aku masih sangat ingat...
Saat kebersamaan dengan SMAGA telah sampai pada ujungnya. Menatap pohon besar yang masih beridiri dengan kokoh di sana. Menemani perjalanan panjang sebuah sekolah dengan segala suka-dukanya. Semilir angin mamainkan ujung jilbab saya, masih terasa sama dengan hembusan halus yang pertama sekali saya rasakan. Melihat tiap pintu kelas yang menunggu penghuninya masuk dan memulai hari dengan semangat perjuangan. Juga lapangan dengan luas sederhana yang digunakan untuk berbagai macam keperluan. Dan saya masih memandang bangunan sekolah tempat banyak orang telah memulai kisahnya. Memandang dengan banyak harap, semoga kelak ia akan benar-benar berubah.

Untuk SMAGA tercinta,
Kenangan tentangmu tak akan terlupa..

Senin, 20 Juli 2009

Andai Majalah Layaknya Kacang Goreng

Saat menulis ini saya sedang berada dalam masa-masa cukup sibuk dalam sirkulasi majalah tempat saya banyak menyumbang kata saat ini. Setelah lumayan ribet menangani beberapa rubrik dan revisi beberapa kali hingga penerbitan tertunda beberapa saat, akhirnya si Majalah terbit juga. Tapi, ternyata usaha tidak sampai di situ saja. Sebab ternyata saya mulai merasakan dampak dari minat baca bangsa Indonesia yang jongkok itu. Yah..., begitu sulitnya mereka merogoh kocek untuk bahan bacaan, apalagi yang bernuasa keislaman !

Maka saya teringat dengan buku yang berjudul Andai Buku Itu Sepotong Pizza [kalo tidak salah yah, kalo salah, ya maap !] . Maka dalam lingkup kecil, saya berharap Majalah –apalagi yang konsen di bidang keislaman, bisa laku layaknya kacang goreng ! Dari segi harga, majalah mungkin tidak semahal buku, namun muatan di dalamnya juga tidak kalah dengan ilmu yang bisa kita dapat saat membaca buku khan ? Sama seperti kacang goreng yang tentunya lebih murah dari pizza, tapi tetap sama juga peminatnya ; banyak !

Sayangnya, tetap saja pada akhirnya kami harus menerima kenyataan betapa sulitnya menjejalkan fikrah seseorang dengan berbagai keutamaan menuntut ilmu, apalagi dengan media tulisan yang cenderung sangat fleksibel dan bisa dinikmati di mana saja. Yah, orang-orang lebih gemar menghabiskan uangnya untuk membeli pulsa buat nelepon dan sms kemana-mana, bahkan untuk hal paling tidak penting sekalipun. Mereka juga lebih rela menghabiskan uang untuk ongkos keliling kota buat cuci mata di berbagai tempat nongkrong yang ada saat ini. Atau buat tiket nonton film di bioskop yang akan langsung habis dalam beberapa jam.

Sayangnya mereka tidak tau bahwa ilmu tidak akan lekang dimakan jaman. Bahkan hingga generasi keberapapun, bila ia dirawat, maka ilmu itu akan tetap ada dan bisa dikonsumsi siapa saja sebagai warisan yang sangat berharga.

Saya kembali teringat perkataan ibu saya saat saya masih ‘jahiliyah’ –kira-kira masa SMP, saat saya meminta dua buah rak buku besar (tentang dua benda ini baca di tulisan Ruang Baca) disingkirkan dari kamar saya. Saat itu, ibu hanya menjawab ; “Kami, kedua orang tuamu tidak bisa meninggalkan warisan layaknya sepetak sawah atau harta yang melimpah. Warisan kami bagi kalian hanyalah buku-buku ini, yang bisa kalian baca, kalian ambil ilmunya, sampai kapanpun juga.”

Dan kebenaran perkataan ibu saya itu baru sangat saya sadari saat ini. Betapa masih banyak orang yang memiliki pemikiran yang sama seperti saya yang dulu. Sayangnya ibu saya hanya ada satu, jadi entah kapan mereka bisa punya pemikiran yang baru.