Senin, 20 Juli 2009

Andai Majalah Layaknya Kacang Goreng

Saat menulis ini saya sedang berada dalam masa-masa cukup sibuk dalam sirkulasi majalah tempat saya banyak menyumbang kata saat ini. Setelah lumayan ribet menangani beberapa rubrik dan revisi beberapa kali hingga penerbitan tertunda beberapa saat, akhirnya si Majalah terbit juga. Tapi, ternyata usaha tidak sampai di situ saja. Sebab ternyata saya mulai merasakan dampak dari minat baca bangsa Indonesia yang jongkok itu. Yah..., begitu sulitnya mereka merogoh kocek untuk bahan bacaan, apalagi yang bernuasa keislaman !

Maka saya teringat dengan buku yang berjudul Andai Buku Itu Sepotong Pizza [kalo tidak salah yah, kalo salah, ya maap !] . Maka dalam lingkup kecil, saya berharap Majalah –apalagi yang konsen di bidang keislaman, bisa laku layaknya kacang goreng ! Dari segi harga, majalah mungkin tidak semahal buku, namun muatan di dalamnya juga tidak kalah dengan ilmu yang bisa kita dapat saat membaca buku khan ? Sama seperti kacang goreng yang tentunya lebih murah dari pizza, tapi tetap sama juga peminatnya ; banyak !

Sayangnya, tetap saja pada akhirnya kami harus menerima kenyataan betapa sulitnya menjejalkan fikrah seseorang dengan berbagai keutamaan menuntut ilmu, apalagi dengan media tulisan yang cenderung sangat fleksibel dan bisa dinikmati di mana saja. Yah, orang-orang lebih gemar menghabiskan uangnya untuk membeli pulsa buat nelepon dan sms kemana-mana, bahkan untuk hal paling tidak penting sekalipun. Mereka juga lebih rela menghabiskan uang untuk ongkos keliling kota buat cuci mata di berbagai tempat nongkrong yang ada saat ini. Atau buat tiket nonton film di bioskop yang akan langsung habis dalam beberapa jam.

Sayangnya mereka tidak tau bahwa ilmu tidak akan lekang dimakan jaman. Bahkan hingga generasi keberapapun, bila ia dirawat, maka ilmu itu akan tetap ada dan bisa dikonsumsi siapa saja sebagai warisan yang sangat berharga.

Saya kembali teringat perkataan ibu saya saat saya masih ‘jahiliyah’ –kira-kira masa SMP, saat saya meminta dua buah rak buku besar (tentang dua benda ini baca di tulisan Ruang Baca) disingkirkan dari kamar saya. Saat itu, ibu hanya menjawab ; “Kami, kedua orang tuamu tidak bisa meninggalkan warisan layaknya sepetak sawah atau harta yang melimpah. Warisan kami bagi kalian hanyalah buku-buku ini, yang bisa kalian baca, kalian ambil ilmunya, sampai kapanpun juga.”

Dan kebenaran perkataan ibu saya itu baru sangat saya sadari saat ini. Betapa masih banyak orang yang memiliki pemikiran yang sama seperti saya yang dulu. Sayangnya ibu saya hanya ada satu, jadi entah kapan mereka bisa punya pemikiran yang baru.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih sudah berkunjung. Jika kamu berkenan meninggalkan jejak di kolom komentar, lebih baik lagi :)