Rabu, 22 Juli 2009

Cerita Senja


Hari gini, susah jadi mahasiswa, apalagi mahasiswa Unhas ! Terlihat betul betapa angkatan 2008 ini perlu ikhtiar (baca: usaha) yang lebih untuk meninggalkan gelar siswanya pun agar tak jadi pengangguran. Coba tengok kebijakan pemerintah yang boro-boro menghapuskan UN, malah menambah daftar pelajaran yang diujiankan! Belum lagi dengan keputusan dari perguruan tinggi dengan UMB-nya yang menggunakan soal dengan standar yang lebih tinggi namun meloloskan lebih banyak peserta dan ‘Senam Petani’ (SNMPTN) yang soalnya konon lebih mudah namun hanya menerima 30% dari kursi yang ada.


aku mendengar cerita tentang senja
berakhir pada mentari yang tergelincir di
biru laut

Ingatan saya terbawa ke sebuah sore kira-kira setahun silam. Beberapa saat setelah mengikuti SPMB, sebuah TV dan juga koran memuat kunci jawaban dan ulasan soal-soal yang diujiankan tempo hari. Saya yang sempat membuat ‘arsip’ jawaban lalu dengan semangat mencocokkan jawaban yang ada dengan yang dikunci jawaban tadi.
Telapak tangan saya berkeringat. Degup jantung seolah bisa saya dengar sendiri. Hembusan angin yang sesekali memainkan daun-daun di halaman tidak saya pedulikan. Sesekali saya mengusap peluh yang mengalir di dahi sambil tetap fokus pada deretan huruf A hingga E tersebut. Waktu terus merajut dirinya dengan mantap. Tak terasa hampir satu jam saya mencocokkan jawaban, lama memang, karena saya harus mengulangnya berkali-kali dan meyakinkan diri telah memeriksa dengan benar.

apakah yang bawa ia untuk kembali datang di esoknya?
pancarkan sinar yang
sama meski tertutup awan atau menyeruak lewat titik-titik yang pecah

Akhirnya saya selesai. Hasil yang saya dapat saya persentasikan dan saya tuliskan dengan font yang besar di lembaran soal SPMB yang saya bawa pulang. Dan hasilnya, mengecewakan. Saya hampir dapat memastikan diri tidak bisa lulus untuk pilihan pertama. Saya memandag rangkaian angka yang saya tulis sendiri. Telapak saya masih dingin dan basah oleh keringat. Tiba-tiba ada sesuatu yang hangat yang saya rasakan di pelupuk mata. Namun saya tahan sebisanya agar ia tak mengalir dan menyentuh pipi saya. Saya mencoba merenungi sesaat tiap detik yang saya habiskan untuk berikhtiar agar mendapatkan hasil yang terbaik. Juga tiap sujud yang saya ambrukkan untuk berdoa padaNya.

ia pancarkan sinar yang sama
hanya kita yang rasakan beda
lalu ia
kembali tenggelam pada senja
namun tetap datang lagi pada esoknya

Setelah beberapa saat merenungi nasib dan drop ke kondisi mental yang selemah-lemahnya, saya kemudian tertegun saat menyaksikan fenomena alam yang terbingkai lewat jendela kamar saya saat itu. Ya, senja semakin jingga. Mewarnai alam dengan rona keemasan, seolah mengucap kalimat perpisahan pada hari yang sebentar lagi berganti malam. Lewat sinaran itulah kemudian saya tersadar. Tersadar untuk tidak menekuk diri pada kegagalan. Dan tidak memutuskan untuk tidak lagi bersinar.

maka ajarkanlah, mentari,
apa yang bawamu kembali ke sini ?
katanya ;
“sebab segalanya terus berputar, bukan kita penentu hentinya, maka pantaskah
kita padamkan cahaya?”.

Itulah mentari, benda bulat besar yang menunjukkan kegarangan plus kegagahannya di siang hari yang gerah. Namun kemudian memperlihatkan kelembutan dan keanggunan saat sore tiba. Lalu saat malam, ia kemudian menghilang. Mundur bersama hilangnya sinaran. Tapi, meski kemudian sempat kehabisan cahaya dan merelakan posisinya digantikan oleh bulan, dengan penuh ke-tawadhu-an, sang mentari kembali menampakkan diri pada esoknya. Menampakkan sinar yang sama, hangat yang sama, panas yang tak berbeda, dan kelembutan yang tak berubah.
Hilangnya mentari pada malam hari menunjukkan saat ia berada di titik terbawah. Sebagai makhluk Allah yang terus bersinar, padamnya cahaya seharusnya berpotensi menjadikannya mundur dan tak lagi punya muka. Tapi saat pagi tiba, sesuai dengan kehendak Rabbnya, ia kembali datang. Ia kembali bersinar.
Lewat fenomena ini saya kemudian merangkai asa. Ya, bukan saatnya menyerah.
Meski kemudian tidak lulus pada pilihan pertama, bukan bebarti kiamat bagi saya. Saat saya menyampaikan kegalauan itupun, seseorang berkata , “Allah akan memberi yang terbaik, Insya Allah...” Dan saat yang samapun saya yakin, segala sesuatu telah ditakdirkan. Bukan kita yang menetukan akhirnya. Bukan kita yang menentukan kemunduran, bahkan untuk langkah kita sendiri. Bukan kita yang pantas memadamkan cahaya.
Selang beberapa hari kemudian. Hari yang ditunggu oleh ribuan orang pun tiba. Pengumuman SPMB. Saat mengecek kelulusan lewat internet, saya bahkan tak mampu mengetik nomor ujian saya sendiri. Maka kakak sayapun saya daulat untuk melakukannya. Dan lewat jari jemarinya yang menekan tobol ENTER saya kemudian tahu, saya lulus di pilihan pertama ! Alhamdulillah !

Allah akan memberi yang terbaik, Insya Allah. Kata-kata itu terngiang di telinga saya. Ya, Insya Allah. Jika Allah menghendaki. Lalu apakah yang tak mungkin jika diriNya menghendaki. Insya Allah-lah itu sebuah kalimat yang penh dengan motivasi, sebuah optimisme tingkat tinggi. Segalanya benar bisa terjadi.
Saya lalu teringat cerita senja. Sebuah cerita yang membuat saya tidak terjatuh demikian dalam saat mencapai posisi yang lemah. Mengajarkan saya dan juga kita semua agar tidak cepat menyerah.

Salam hangat untuk semua rekan seperjuangan,
Mahasiswa farmasi angkatan 2007
Kala senja datang, lihatlah matahari yang tak pernah menyerah,
Kitapun demikian, bukan ?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih sudah berkunjung. Jika kamu berkenan meninggalkan jejak di kolom komentar, lebih baik lagi :)