Rabu, 22 Juli 2009

Ruang Baca


Di masa awal-awal kehidupan saya di dunia, saya sudah banyak bersinggungan dengan ruangan itu. Ruang baca. Bukan, bukan sarana umum seperti perpustakaan yang menyimpan banyak buku dan terdapat di tiap kota itu. Jauh sebelum saya mengetahui adanya perpustakaan yang sebenarnya, saya sudah duluan berkenalan dengan sebuah ruangan yang kami sekeluarga sebut : ruang baca

Ruangan itu adalah kamar kecil yang terdapat di bagian depan rumah kami. Jendelanya yang kecil menghadap tepat ke jalan depan rumah saya. Terletak tepat di samping ruang tamu meski sangat jarang dimasuki. Dalam ruangan kecil yang terkesan pengap itu, bapak saya meletakkan sebuah rak buku kayu yang lumayan besar dan berisi penuh dengan buku-buku ‘berumur’. Dalam ruangan itu pula diletakkan sebuah mesin jahit yang kerap kali digunakan oleh ibu saya.

Di masa kecil, saya seringkali menganggap bahwa buku-buku itu akan berkembang biak memperbanyak diri di malam hari. Pasalnya, tak beberapa lama kemudian, bapak saya kembali memanggil tukang kayu ke rumah kami untuk membuat rak buku baru yang dengan cepatnya kembali dipenuhi oleh buku-buku. Ruangan itupun menjadi ruangan yang paling jarang digunakan di rumah kami. Bapak saya kadang hanya mengambil buku yang ingin dibacanya lalu memboyong buku itu ke tempat lain.

Ruang baca kami memang tak dapat dikatakan nyaman. Debu menempel di sana-sini. Bagaimanapun ruangan itu dibersihkan, tetap kelihatan berdebu kecuali jika buku tersebut dilap satu persatu. Sementara tidak ada orang yang kurang kerjaan yang betah membersihkan buku-buku yang saya kira berjumlah ratusan itu.

Memasuki masa sekolah, bapak saya mulai memberikan kami ‘jatah’ belanja buku di Gramedia. Setelah beberapa lama intensif ke toko buku, koleksi komik dan buku cerita saya yang sudah terkumpul, menunut saya memiliki tempat khusus untuk meletakkannya. Lalu, sayapun meminta bapak untuk membagi sekotak kecil bagian dari salahsatu rak buku di ruang baca untuk meletakkan koleksi saya, Sejak itulah saya merasa memiliki ‘daerah territorial’ sendiri di ruang baca tersebut.

Setelah saya mungkin dianggap cukup berani, orang tua saya meletakkan sebuah tempat tidur bersusun (dimaksudkan untuk tempat tidur saya dan adik saya yang kemudian meninggalkan saya sendiri karena merasa tak nyaman) setelah mengeluarkan mesin jahit dari ruang baca. Ditambah dengan sebuah meja belajar kecil, orang tua sayapun meminta saya menempati kamar tersebut mulai hari itu. Dan sejak saat itu, saya mempublikasikan penggantian nama untuk ruangan tersebut, dari ruang baca, menjadi kamar saya !

Dan usaha saya mengganti nama ruangan itupun saya lakukan dengan cukup terengah-engah karena orang rumah sudah sangat terbiasa menyebut ruangan itu dengan ruang baca, meski saya sudah menggiring semua barang-barang saya (kala itu, barang-barang saya hanya berupa buku-buku sekolah dan tas sekolah) ke ruangan itu. Maka jadilah ruangan yang saya sebut kamar saya itupun berisi tempat tidur, meja belajar, dan dua buah rak buku besar terisi penuh buku-buku berdebu. Sangat tidak lazim untuk kamar seorang anak perempuan kecil.

Saya yang kala itu gemar nonton film kartun kemudian jatuh cinta pada kamar Sakura, tokoh utama dalam kartun Card Captor Sakura, yang terlihat begitu cantik dan nyaman. Saya juga ingin punya kamar dengan cat cerah dan pernak-pernik khas gadis kecil seperti kamar Sakura. Tapi, meskipun saya berusaha untuk membereskan kamar saya, meletakkan benda-benda yang pernah disebut ‘jualan’ karena saya letakkan berderet-deret, tetap saja tak bisa seindah kamar Sakura. Dan hal ini saya anggap akibat keberadaan dua rak buku besar tersebut. Lama kelamaan, saya menyimpan dendam membara (hehehe) untuk menyingkirkan kedua benda besar itu dari kamar saya. Apalagi, karena benda itulah kamar saya masih sering disebut ruang baca…

Suatu saat, saya meminta ibu saya untuk membuang buku-buku itu, saya anggap buku-buku itu tidak berguna dan tidak bisa dibaca lagi. Tapi, kala itu, ibu memberikan alasan yang masuk akal tapi tetap tidak bisa diterima oleh otak anak kecil saya. Ibu bilang, bahwa buku itu tidak akan kadaluarsa sepanjang masa, ilmu didalamnya akan terus berguna bagi sapapun yang ingin mengkajinya, dan bahwa sebagai seorang pegawai negeri biasa, orang tua saya hanya dapat mewariskan buku-buku tersebut kepada kami, anak-anaknya. Dan hal itu baru saya sadari beberapa tahun kemudian saat saya menggunakan beberapa buku dari rak itu untuk keperluan karya tulis ilmiah yang saya buat di masa SMA.

Beberapa tahun saya tidur sekamar dengan buku-buku itu. Beberapa tahun pula saya harus berkali-kali memberi penjelasan pada kawan yang datang ke kamar saya yang kerap kali menganggap saya ‘jenius’ karena memiliki begitu banyak buku yang sebenarnya punya bapak saya. Hingga sayapun terbiasa dengan keberadaan rak-rak itu meski tetap menyimpan angan untuk mengenyahkannya. (hehehe)

Hingga akhirnya, ibu saya membeli sebuah lemari besar yang diletakkan di ruang tengah dan diisi dengan buku-buku dari salah satu rak buku di kamar saya. Misi saya terwujud setengahnya ! Sekarang, tinggal sebuah rak buku di kamar saya. Rak buku yang paling tua dengan cat biru tua yang juga sudah tua dan usang. Selanjutnya, sambil terus menjalani hari-hari dengan biasa, saya sesekali memikirkan cara untuk mewujudkan kamar anak gadis normal (tanpa rak buku besar maksudnya)…

Saat kakak saya berangkat sekolah ke kota lain dan meninggalkan rumah, saya mulai membidik kamarnya sebagai sasaran melemparkan rak buku besar tersebut. Dan misi sayapun sempurna saat rak buku tersebut berpindah ke kamar kakak saya yang sudah tak ada yang menempati itu.. Meski saya kadang takut-takut jika kakak saya yang kadang emosian itu memprotes keberadaan benda besar itu di kamarnya saat ia pulang kampung. Tapi, untungnya tidak.

Selanjutnya, setelah berhasil menyingkirkan buku-buku itu dari kamar saya, saya kadang merasa kangen juga dengan keberadaan mereka. Malah, saya sempat menganggap turunnya prestasi saya di sekolah akibat ‘kutukan’ buku-buku tua yang saya singkirkan…, meskipun itu tentunya tak masuk akal.

Tapi, meski sekarang kamar saya terlihat lebih apik dengan penambahan beberapa perabot baru dan tak pernah lagi disebut ruang baca, saya kadang sering teringat ketika masa kecil duduk di kamar-ruang-baca saya, di depan meja belajar di senja hari, memandang lewat jendela ditemani dua buah rak buku dengan buku-bukunya yang saat ini telah saya rasakan manfaatnya. Dan benarlah, itulah memang warisan paling berharga kepada kami, dari ibu dan bapak.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih sudah berkunjung. Jika kamu berkenan meninggalkan jejak di kolom komentar, lebih baik lagi :)