Kamis, 23 Juli 2009

Saat Sampai di Thaif-mu, Istirahatlah Sejenak pada Kisah Ini


Jalan dakwah adalah jalan yang sejatinya sangat indah. Di penghujungnya telah dijanjikan oleh Allah begitu banya karunia kepada orang yang istiqomah di dalamnya. Namun, tak dapat dipungkiri betapa terjal dan penuh dengan tantangannya jalan ini. Dimana-mana ada halang dan rintangan, baik dari dalam diri, maupun dari luar.


Kadang kita sakit hati saat menyaksikan kegiatan keagamaan yang begitu sepi pengunjung, sementara konser music dan acara sejenis lainnya dipehunuhi oleh banyak orang. Kadang kita harus menerima pil pahit saat ada saja orang yang menyakiti hati karena menganggap apa yang kita lakukan tidak lagi sesuai dengan jaman dan tidak berarti. Tak jarang kita harus meneguhkan diri diantara orang-orang yang seolah tidak mau mengerti dan bahkan memicingkan mata dengan ejekan karena penampilan kita yang dianggap asing.


Namun, sesungguhnya kita sudah benar-benar tahu bahwa hal ini bukan pertama kita yang mengalami. Jauh sebelum kita, bahkan manusia paling mulia-pun mengalami hal yang mungkin jauh lebih menyakitkan lagi…


Pada bulan Syawwal tahun ke-10 dari kenabian atau tepatnya pada penghujung bulan Mei atau Juni tahun 619 M Rasulullah shallallâhu 'alaihi wa sallam keluar menuju Thaif yang letaknya sekitar 60 mil dari kota Mekkah. Beliau datang dan pergi kesana dengan berjalan kaki, didampingi budak beliau (ketika itu), Zaid bin Hâritsah. Setiap melewati perkampungan sebuah kabilah, beliau mengajak mereka kepada Islam namun tidak satupun yang memberikan responsnya. Tatkala tiba di Thaif, beliau mendekati tiga orang bersaudara yang merupakan para pemuka kabilah Tsaqîf. Mereka masing-masing bernama ‘Abd Yalail, Mas’ud dan Habib. Ayah mereka bernama ‘Amru bin ‘Umair at-Tsaqafiy. Beliau Shallallâhu 'alaihi wasallam duduk-duduk bersama mereka sembari mengajak mereka kepada Allah Ta’ala dan membela Islam.


Salah seorang dari mereka berkata: “Jika Allah benar-benar mengutusmu, maka Dia akan merobek-robek pakaian ka’bah”. Yang seorang lagi berkata: “apakah Allah tidak menemukan orang lain selain dirimu?” Orang terakhir berkata: “Demi Allah! Aku sekali-kali tidak akan mau berbicara denganmu! Jika memang engkau seorang Rasul tentu engkau adalah bahaya besar bila aku menjawab pertanyaanmu dan jika engkau seorang pendusta terhadap Allah, maka tidak patut pula aku berbicara denganmu”.

Lalu beliau shallallâhu 'alaihi wa sallam berkata kepada mereka:”Jika kalian melakukan apa yang ingin kalian lakukan, maka rahasiakanlah tentang diriku”.

Rasulullah berdiam di tengah penduduk Thaif selama sepuluh hari. Dan selama masa itu, dia tidak menyia-nyiakan kesempatan untuk bertemu dan berbicara dengan para pemuka mereka. Sebaliknya, jawaban mereka hanyalah: “keluarlah dari negeri kami”. Mereka membiarkan beliau menjadi bulan-bulanan orang-orang iseng di kalangan mereka. Maka, tatkala beliau ingin keluar, orang-orang iseng tersebut beserta pengabdi mereka mencaci-caci dan meneriaki beliau sehingga khalayak berkumpul. Mereka menghadang beliau dengan membuat dua barisan lalu melempari beliau dengan batu dan ucapan-ucapan tak senonoh serta mengarahkannye ke urat diatas tumit beliau sehingga kedua sandal yang beliau pakai bersimbah darah.

Zaid bin Hâritsah yang bersama beliau, menjadikan dirinya sebagai perisai untuk membentengi diri beliau shallallâhu 'alaihi wa sallam. Tindakan ini mengakibatkan kepalanya mengalami luka-luka sementara orang-orang tersebut terus melakukan itu hingga memaksanya berlindung ke tembok milik ‘Utbah dan Syaibah, dua orang putera Rabi’ah yang terletak 3 mil dari kota Thaif. Manakala sudah berlindung disana, merekapun meninggalkannya.

Beliau menghampiri sebuah pohon anggur lalu duduk-duduk dan berteduh di bawah naungannya menghadap ke tembok. Setelah duduk dan merasa tenang kembali, beliau berdoa dengan sebuah doa yang amat masyhur. Doa yang menunjukkan betapa hati beliau dipenuhi rasa getir dan sedih terhadap sikap keras yang dialaminya serta menyayangkan tidak adanya seorangpun yang beriman. Beliau mengadu:”Ya Allah! Sesungguhnya kepada-Mu lah aku mengadu kelemahan diriku, sedikitnya upayaku serta hinadinanya diriku di hadapan manusia, wahai Yang Paling Pengasih diantara para pengasih! Engkau adalah Rabb orang-orang yang lemah, Engkaulah Rabbku, kepada siapa lagi Engkau menyerahkan diriku? (apakah) kepada orang yang jauh tetapi bermuka masam terhadapku? Atau kepada musuh yang telah menguasai urusanku? Jika Engkau tidak murka kepadaku, maka aku tidak ambil peduli, akan tetapi ‘afiat yang Engkau anugerahkan adalah lebih luas bagiku. Aku berlindung dengan perantaraan Nur wajah-Mu yang menyinari segenap kegelapan dan yang karenanya urusan dunai dan akhirat menjadi baik agar Engkau tidak turunkan murka-Mu kepadaku atau kebencian-Mu melanda diriku. Engkaulah yang berhak menegurku hingga Engkau menjadi ridla. Tidak daya serta upaya melainkan karena-Mu”.

Kedua putra Rabi’ah yang menyaksikan hal itu menjadi tergerak rahim nya sehingga mereka memanggil seorang hamba beragama Nashrani yang mengabdi kepada mereka bernama ‘Addas sembari berkata kepadanya: “ambillah setandai anggr ini dan bawakan untuk orang tersebut”. Tatkala dia menaruhnya diantara kedua tangan Rasulullah, beliau mengulurkan tangannya untuk menerimanya sembari membaca: “bismillah”, lalu memakannya.

‘Addas berkata: “Sesungguhnya ucapan ini tidak biasa diucapkan oleh penduduk negeri ini. Lantas Rasulullah bertanya kepadanya: “kamu berasal dari negeri mana? Dan apa agamamu?”.
Dia menjawab: “Aku seorang Nashrani dari penduduk Ninawy (Nineveh)”.
Rasulullah berkata lagi: “dari negeri seorang shalih bernama Yunus bin Matta?”.
Orang tersebut berkata:” apa yang kamu ketahui tentang Yunus bin Matta?”.
Beliau menjawab: “dia adalah saudaraku, seorang yang dulunya adalah Nabi, demikian pula dengan diriku”.

‘Addas langsung merengkuh kepala Rasulullah shallallâhu 'alaihi wa sallam, kedua tangan dan kedua kakinya lalu diciuminya.

Sementara masing-masing dari kedua putera Rabi’ah, berkata salah satunya kepada yang lain: “pembantumu itu telah dibuatnya menentangmu”.

Maka, tatkala ‘Addas datang, keduanya berkata kepadanya: “celakalah dirimu! Apa yang terjadi dengan dirimu ini?”

“Wahai tuanku! Tidak ada sesuatupun di muka bumi ini yang lebih baik dari orang ini! Dia telah memberitahukan kepadaku suatu hal yang hanya diketahui oleh seorang Nabi”. Jawabnya.

“Celakalah dirimu, wahai ‘Addas! Jangan biarkan dia memalingkanmu dari agamamu sebab agamamu lebih baik dari agamanya”, kata mereka berdua.

Setelah keluar dari tembok tersebut, Rasulullah shallallâhu 'alaihi wa sallam pulang menuju Mekkah dengan perasaan getir dan sedih serta hati yang hancur lebur. Tatkala sampai di suatu tempat yang bernama Qarn al-Manâzil, Allah mengutus Jibril kepadanya bersama malaikat penjaga gunung yang menunggu perintahnya untuk meratakan al-Akhasyabain (dua gunung di Mekkah, yaitu gunung Qubais dan yang di seberangnya, Qu’ayqa’ân-red) terhadap penduduk Mekkah”.

Imam al-Bukhary meriwayatkan rincian kisah ini dengan sanadnya dari ‘Urwah bin az-Zubair bahwasanya ‘Aisyah radliallâhu 'anha bercerita kepadanya bahwa dia pernah berkata kepada Nabi shallallâhu 'alaihi wa sallam : “Apakah engkau menghadapi suatu hari yang lebih berat daripada perang Uhud?”.

Beliau bersabda: “Aku pernah mendapatkan perlakuan kasar dari kaummu, tetapi perlakuan mereka yang paling berat adalah pada waktu di ‘Aqabah ketika aku menawarkan diriku kepada Ibnu ‘Abd Yalail bin ‘Abd Kallal tetapi dia tidak merespons apa yang aku maui sehingga aku beranjak dari sisinya dalam kondisi bermuram muka karena sedih. Ketika itu, aku belum tersadarkan kecuali sudah di dekat tepat yang bernama Qarn ats-Tsa’âlib (sekarang disebut Qarn al-Manâzil). Waktu aku mengangkat kepalaku, tiba-tiba datang segumpal awan menaungiku, lalu aku melihat ke arahnya dan ternyata di sana ada Jibril yang memanggilku. Dia berkata: “sesungguhnya Allah telah mendengar ucapan kaummu kepadamu dan respons mereka terhadapmu. Allah telah mengutus kepadamu malaikat penjaga gunung untuk engkau perintahkan kepadanya sesuai keinginanmu terhadap mereka”.

Malaikat penjaga gunung tersebut memanggilku sembari memberi salam kepadaku, kemudian berkata: “wahai Muhammad! Hal itu terserah padamu; jika engkau menginginkan aku meratakan mereka dengan al-Akhasyabain, maka akan aku lakukan.
Nabi menjawab: “bahkan aku berharap kelak Allah memunculkan dari tulang rusuk mereka orang-orang yang menyembah Allah ‘Azza Wa Jalla semata, Yang tidak boleh disekutukan dengan sesuatupun”.

Melalui jawaban yang diberikan oleh Rasulullah shallallâhu 'alaihi wa sallam ini tampaklah sosok unik yang tiada duanya dari kepribadian dan akhlaq beliau yang demikian agung yang sulit untuk diselami.


Sumber: Sirah Nabawiyah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih sudah berkunjung. Jika kamu berkenan meninggalkan jejak di kolom komentar, lebih baik lagi :)