Rabu, 22 Juli 2009

Nostalgia Masa Putih Merah


Dari balik jendela kamar ini, ingatannya tertumbuk pada suatu masa, beberapa tahun silam. Saat kedewasaan adalah sesuatu yang jauh dan tak terpikirkan. Sedangkan kepolosan menjadi sesuatu yang niscaya. Masa itu, masa putih-merah. Saat sulit saja dusta terucap, karena hati dan pikiran masih putih dan belum ternoda oleh derapan roda jaman.


Mengingat masa itu, adalah mengingat dua sosok, satu profesi. Guru SD. Guru SD dengan segala kesederhanaannya, baru lepas dari perguruan tinggi sekaligus universitas kehidupan.


Menyongsong sebuah gerbang baru yang penuh tanda tanya bagi mereka, saat itu.
Yang seorang adalah seorang sosok lelaki bertampang innocent dengan garis-garis keramahan yang begitu terasa lewat senyumnya. Oleh murid-murid kecilnya, beliau disapa; Pak Kholil. Nuansa ke-ikhwa-an masih membekas disana. Baik dari tutur kata, maupun tingkah lakunya. Ia adalah pemuda dengan sepeda sederhana yang berusaha untuk mendidik anak-anak pejabat, dokter, dosen, dan berbagai profesi lain yang nampak sangat jauh dari kesederhanaannya. Selanjutnya, dia mengajarkan tentang banyak hal, tentang penghargaan, ketulusan, dan persahabatan.

Berikutnya adalah pemuda dengan garis keras di wajahnya, namun tetap memiliki khas seorang pendidik; keteduhan. Langkahnya senantiasa mantap, pandangannya tegak ke depan. Tapi dia tetaplah pemuda sederhana yang biliknya menempel pada sebuah kelas, bekas gudang tepat di sebelah sebuah WC yang sering diramaikan oleh bocah-bocah yang suka lupa menyiram kloset. Tapi toh ia tetap percaya diri masuk ke kelasnya. Sesekali menegur dengan tegas, atau memarahi dengan keras. Saat murid-murid lain menikmati setengah jam waktu istirahat, ia mengumpulkan murid kelas enamnya saat lima belas menit telah usai. Digempurnya murid-muridnya dengan tes sebelum dan setelah pelajaran usai. Diajarkannya banyak pemaknaan, tentang kejujuran dan semangat memperbaiki diri, juga tentang obsesi bahwa dari tangannya ia harap akan tumbuh insan-insan cendikia yang kelak akan membuatnya bangga. Pak Idrus, namanya.

Tujuh tahun berselang….
Sekelompok muda-mudi nampak berbeda diantara bocah-bocah SD itu. Mereka berkumpul di satu titik dan saling menanyakan kabar masing-masing. Diantaranya bahkan ada yang sudah tak saling mengenal. Tapi toh ingatan mereka tentang tempat itu tetap saja sama. Disana mereka pernah habiskan enam tahun masa hidupnya. Disana mereka pernah torehkan kenangan.
Selanjutnya mereka menuju ke suatu kelas tempat seorang guru nampak serius belajar, sama seriusnya dengan bocah-bocah dihadapannya. Guru itu tidak banyak berubah. Tetap seperti itu, dengan ketegasan yang terlihat jelas dari sosoknya. Dan rombongan pemuda itupun tak dapat berdusta, entah mengapa ada degup di hati seolah takut dimarahi saat pe-er tak mereka kerjakan. Ah…, tak ada lagi pe-er itu sekarang, kawan.


Tak lama sang guru-pun keluar. Menyapa murid-muridnya yang ia hadapi di awal-awal kariernya sebagai seorang pendidik. Murid-murid pertamanya. Murid pertama yang hingga kini masih tidak ia lupa wajah dan namanya masing-masing. Adakah kami juga tak dapat kau lupakan?
Lihatlah, Pak!
Dihadapanmu bukan lagi seorang anak kecil yang sering ribut saat kau menjelaskan di depan kelas. Bukan pula mereka yang kadang kau marahi karena tak dapat menjawab soal ujian dengan benar semua. Di hadapanmu kini kami bawakan masa depan kami masing-masing. Calon dokter, dokter gigi, apoteker (ehem!), musikus handal, ahli mesin, psikolog terkenal, ekonom handal, pengacara, dan ada pula yang akan meneruskan jejakmu mengabdi pada pendidikan. Bahkan diantara kami ada yang benar-benar telah menjadi polisi wanita, kaget khan Pak? Dia yang dulu senang bernyanyi di depan kelas itu…

Sebelumnya, sesosok yang tak asing lewat. Sepeda sederhanya kini berganti motor yang melaju mantap. Tapi senyum itu tetap tak berubah. Senyum yang selalu membuat kami merasa berharga, persis seperti apa yang selalu ia ajarkan.

Ingatannya kembali pada tempatnya sekarang. Menulis sebuah kenangan tentang masa lalu tempat ia belajar banyak tentang kejujuran. Kejujuran yang sempat terkikis beberapa saat namun kembali ia temukan. Kejujuran yang menuntunnya untuk mengejawantahkan keimanannya pada takdir. Betapa skenario ini terlampau sempurna dan sudah seharusnya dimaknai dengan kesempurnaan pula.

Dedicated to almamaterku; SDN Komp IKIP Makassar, dan dua orang guru yang entah bagaimana cara kami melupakannya. Inilah kami, Pak. Tak lama lagi akan jadi orang!

1 komentar:

  1. yang paling saya ingat saat dikasi berdiri didepan hahahaha dua2nya sudah saya rasakan. dulu malu sekarang bersyukur karena hal itu pasti tak akan dilupa tohtohtoh.

    BalasHapus

Terima kasih sudah berkunjung. Jika kamu berkenan meninggalkan jejak di kolom komentar, lebih baik lagi :)