Kamis, 23 Juli 2009

Suatu Hari di Bulan Ramadhan


Waktu belum lagi menunjukkan pukul empat, saat aktivitas dimulai di rumah itu. Mungkin juga di rumah-rumah yang lain. Yah, ini bulan Ramadhan. Semua rumah nampak mulai bersinar di seperempat malam, bersiap untuk sebuah ‘kegiatan hangat’ yang mengakrabkan; sahur.

Adik kelihatan masih betah tinggal di kasur saat ia mengucek-ucek matanya yang masih merah di hadapan meja makan. Sementara kakak perempuannya yang terkenal memang sulit dibangunkan terlihat menerawang. Sejatinya, ia sedang tidur dengan mata terbuka.

Namun saat satu persatu menu mulai tersaji, dan jari-jari mereka ‘menyergap’ tiap item masakan yang mereka pilih, kedua pasang bola mata itu mulai bersinar, menyamakan sinarnya dengan yang terpancar dari sepasang bola mata lain di hadapan meja bundar itu. Bola mata Bapak !

Ditengah hangar bingar suara TV yang memang terletak di hadapan meja makan, ketiga orang itu dengan lahap menyatap sahurnya. Tanpa ibu. Yah, masih tanpa ibu, seperti sejak sepuluh tahun yang lalu. Meski kadang-kadang wanita pilihan itu sesekali menyempatkan dirinya untuk ikut sahur ditengah anggota keluarganya yang lain.

Bapak sahur
Adik sahur
Kakak perempuannya sahur

Mereka sahur dengan pikiran masing-masing. Mungkin adik masih menghayal tentang kejuaraan futsal yang tak mengikutkannya karena ia bukan seorang pria. Mungkin kakak perempuannya berpikir tentang laporan kuliah yang tak kunjung tuntas. Mungkin bapak sedang melamunkan buah hati tertuanya, bertanya-tanya ; sedang sahur apa kau sekarang, Nak ?
Lepas dari meja bundar itu, sebuah meja bundar kecil di atas karpet menyajikan sisa buka puasa kemarin. Lengkap dengan teh hangat di ketiga cangkir masing-masing. Dan aktivitas selanjutnya diisi dengan menunggu waktu subuh lalu segera shalat dan kembali terpejam dalam tidur masing-masing.

Ibulah yang bangun paling pagi. Sebab saat yang lain kembali mendarat di pulau kapuk, ibu memulai harinya dengan rumah yang sepi. Sesekali dengkuran terdengar, lalu kemudian hening, dan terdengar lagi. Selanjutnya, ayah ke kantor, adik yang liburan masih terlelap dengan mulut yang mengaga, kakak perempuannya juga bersiap menuju perjalanan panjang, menuju tempat ia bebas memuaskan laparnya pada ilmu untuk hari itu, atau mungkin juga berjuang, mendaki tiap anak tangga, menaklukkan tiap Lab yang juga menyita sisa-sisa kesabaran.

Sebelum matahari terbenam, semua anggota keluarga telah kembali berkumpul. Kali ini mengelilingi meja kayu kecil, mirip meja orang-orang Jepang yang memaksa pemakainya untuk tak menggunakan kursi. Sebuah meja yang entah kapan mulai menjadi tradisi dan baru eksis saat bulan puasa datang, selebihnya, ia mendekam di atap kamar mandi, bertumpuk dengan barang-barang lain yang tak lagi terpakai.

Hidangan buka tergelar di atas meja makan itu. Juga dengan teh hangat, air putih, dan setoples kurma dari toko buah dari salah satu sudut kota. Saat adzan berkumandang, tiap jemari di depan meja bundar kecil itu segera meraih gelasnya masing-masing. Merasakan kebahagiaan pertama orang-orang yang berpuasa, kebahagiaan yang mereka dapat disyurga, sambil terus berharap memiliki kesempatan untuk kebahagiaan kedua, memandang wajahNya di Jannah.

Ibu memandang wajah anaknya satu persatu. Tanpa dua orang gadis itu sadari, ada tatapan getir bercampur haru dari kedua bola mata itu. Tatapan harap suatu saat juga ikut berbuka sambil menghitung-hitung ; Ah..., begitu cepat waktu berlalu, ternyata sepuluh tahun terasa begitu singkat, meski perjuangan panjang detik demi detik bukannya tak terasa.
Ibu memandang wajah anaknya sat per satu. Lalu tak lupa mengingat wajah si Sulung di perantauan, berharap ia juga ikut berada di hadapannya senja itu. Agar dapat ditatapnya pula wajah yang terpaut jarak begitu jauh dari dirinya kini. Dalam hati ia bertanya ; Apa yang nanti kau nikmati saat berbuka, Nak ?

Dan waktu terus berlalu, bapak, adik, dan kakak perempuannya kini berada di tengah-tengah masjid diantara para jama’ah yang lain. Saat bapak dipersilakan naik ke mimbar sebagai khatib, ada senyum kecil yang menyimpul di sudut bibir kedua gadisnya ; bangga. Namun, tak ada yang tau bahwa kedua sedang bertanya-tanya, teringat tentang kakak yang berada jauh dari mereka ; “Ceramah tarawih siapa yang kau dengar sekarang, Kak ? Aa’ Gym kah ?”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih sudah berkunjung. Jika kamu berkenan meninggalkan jejak di kolom komentar, lebih baik lagi :)