Rabu, 30 Mei 2012

Tiga Doa, Sebuah Nama



Masih ingatkah kau pada hari pertemuan pertama kita? Di suatu pagi yang masih sangat mula, aku bisa merasakan detak jantungku yang memburu lebih cepat dari biasanya. Sambil menerka bagaimana kira-kira wajahmu yang tempo hari hanya kubincangi lewat pesan singkat. Saat itu, kau adalah sosok yang sangat penting untuk kutahu. Ya, tersebab perjalanan bersama yang akan kita tempuh selanjutnya. Perjalanan yang cukup menentukan dan tentunya berisi begitu banyak kekhawatiran. Sepertiku, kupikir kau pun juga merasakannya.

Ya, aku sendiri masih ingat. Saat pertamakali memandang wajahmu. Menangkap senyummu. Lalu mendengarkan secara langsung suaramu yang lembut itu. Sejenak, ada semacam ketenangan yang menelusup seketika. Nampaknya, Allah telah memberiku kemudahan lewat ditakdirkannya kebersamaan kita selanjutnya. Aku terus berusaha meyakinkan diri sambil berdoa dalam hati semoga sangkaanku akan menjadi nyata. Maka selanjutnya aku yakin, ternyata itu menjadi salah satu doaku yang terkabulkan olehNya.

Selanjutnya aku tahu, betapa seringnya aku berujar pada diriku,
"Jika tanpa kau di sini, semuanya mungkin akan terasa berbeda. Semuanya mungkin akan terasa lebih berat". Maka aku pun akan selalu melanjutkan doa. Di tiap tempat dan waktu. Terutama dalam sujud yang kau menjadi imamnya. Saat lantunan ayatmu yang lirih dan lancar itu menjadi rindu tersendiri yang sering menyergapku kini. Saat kita tidak bersama lagi.

semoga kebersamaan ini menjadi sebab dibersamakannya kita di tempat yang lebih indah, nanti
semoga setiap tetes kebaikanmu adalah pelajaran bagiku untuk terus berbenah diri
semoga tak perlu ada dengki, agar kita dapat menapak anak tangga pertama dalam peluk ukhuwah
lalu kita berusaha meraih anak tangga berikutnya saat kuperlakukan kau sebagaiman aku pun ingin diperlakukan
hingga kelak kita menapak puncak tertinggi saat kita saling mendahulukan layaknya ikatan cinta para muhajirin dan anshar...

Dalam kebersamaan itu pun aku tahu. Betapa hanya atas kasih sayang dan rahmat Allah, setiap insan memeroleh cahaya. Menemukan jalan hidupnya yang penuh dengan keindahan, meski kadang harus dengan susah payah untuk ditemukan sudut pandang untuk melihatnya lebih jelas. Aku memandangmu sebagai bukti nyata, bukti hidup, tercerahkannya diri lewat perantara 'ilmu. Dan betapa mudahnya Dia membolak-balikkan hati seseorang, hingga dapat menjelma menjadi sosok yang sarat manfaat. Dari kegelapan menuju cahaya. Benderang, bahkan mungkin hingga menyilaukan.

Maka saat kabar gembiramu datang, kau tahu, rasanya ingin segera kugenggam tanganmu, dan merayakan bersama setiap kebahagiaanmu. Sebab kurasa, itu pula bahagiaku. Maka, segera kubumbungkan pinta yang penuh dengan harap; semoga senantiasa terisi hidupmu dengan senyuman, sebagai adalah pertanda bahagia, ataupun berupa lengkungan getir saat bersabar menghadapi ujian.  Semoga kau senantiasa dalam penjagaanNya dengan segala kebaikan, hingga hidup penuh dengan keberkahan, perantara menghadirkan generasi yang lebi tauladan, hingga ajal menjelang, hingga tua menggamit dalam rambut beruban, hingga tiba di tempat peristirahatan, hingga husnul khatimah....

Menghadapimu adalah saat dimana aku tahu bahwa usia hanyalah masalah angka.

Namun, ada pula masa dimana kupanggil kau dengan panggilan yang sangat jarang. Saat itu aku tahu, hanya perlu menghadirkan hati sebab kau telah mendapatkan segala teori. Saat itu aku sadar, aku hanya perlu meyakinkanmu, bukan sebab kau tidak yakin, namun sebab terkadang ada hal-hal yang membuat kita sejenak menjadi lupa pada apa yang telah kita yakini. Tapi, hanya lupa untuk kembali mengingatnya segera.

Saat dimana kupanggil kau dengan panggilan yang sangat jarang;

Dik, dengarlah ini;
Akan datang kembali masa dimana matahari akan kembali bersinar dan mengaburkan kelam pada langit. Persis seperti apa yang kita saksikan di pematang sawah pagi itu. Setelah malam yang panjang dan gelap, kita akan kembali tersenyum dengan datangnya fajar. Lalu awan-awan akan terlihat lebih jelas tersebab cahaya yang berkilauan, kita mengiringinya dengan lantun kalimat untuk mengingatNya. Ah, aku hanya ingin mengatakan; semuanya akan kembali menjadi baik-baik saja. Bahkan mungkin, akan jauh lebih indah dari yang kita kira sebelumnya. Percayalah.

Selasa, 08 Mei 2012

Sweeping Kini, Sweeping Nanti

Senja masih muda. Menara masjid baru saja melantunkan panggilan kemenangan untuk waktu Ashar, saat saya turun dari sebuah angkutan kota dan mengganti tumpangan dengan 'jet coaster jalanan' (baca: bentor, hehehe...). Saya masih asyik menikmati langit sore yang lumayan mengembalikan sari-sari kehidupan yang tadi berhamburan di perjalanan bersama angkot (maaf, lebay :p). Namun, meski rumah saya belum nampak, pak supir bentornya (eh, betul tidak yah kalau disebut 'supir'? :\) meminggirkan kendaraan itu, lalu berhenti. 

"Aih... ada sweeping di depan... Ini bentor tidak ada STNK-nya..." ujarnya kemudian. 

Hmm..., kejadian seperti ini telah beberapa kali saya alami. Sore-sore begini memang di jalanan menuju rumah saya, seringkali digelar sweeping oleh Pak Polisi demi mengecek kelengkapan para pengguna jalan. Dan sayangnya, bentor yang saya tumpangi kebanyakan tidak lengkap dengan itu semua. 

Beberapa pengendara lain juga nampak senasib dengan saya. Beberapa dari mereka memilih untuk turut meminggirkan kendaraannya dan menunggu hingga entah kapan. Sisanya, berbalik arah dan mencoba menemukan jalan lain yang entah dimana. Sedangkan saya, pada akhirnya memilih untuk turun dari bentor dan membayarkan ongkos yang telah disepakati sebelumnya. Ah, tentu kasihan juga jika bentor ini akhirnya ditilang. Toh, cuaca sore ini cukup mendukung untuk berjalan kaki, sudah tidak pula terlampau jauh jarak yang harus saya tempuh. 

Kejadian ini membuat saya teringat pada sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Ahmad dan al-Dârimî; "Mintalah fatwa pada hatimu, kebaikan adalah sesuatu yang membuat hatimu tenang dan keburukan adalah sesuatu yang membuat hatimu gelisah."

Ya, kesalahan memang menggelisahkan. Layaknya pengendara tanpa STNK atau SIM yang menjadi 'galau' dengan keberadaan Pak Polisi yang lagi sweeping itu. Hingga, mereka mungkin harus menunggu cukup lama hingga sweeping selesai, atau memutar lebih jauh agar tidak terjaring tilang. 

Maka benarlah sabda Rasulullah Shallalahu alaihi wasallam itu: Istafti qablak! Minta fatwa pada hati. Sebab hati kecil yang sesuai fitrah, akan menunjuki pada jalan kebenaran, dan memberi sinyal pada setiap laku keburukan. 

Lalu sweeping itu pula membuat saya terbayang pada 'sweeping-nanti'... Ya, hari pembalasan, saat kita pun diperiksa atas semua amal perbuatan. Saat ternyata ada 'pelanggaran' yang telah kita lakukan, maka tidak ada lagi kemungkinan untuk menunda pemeriksaan, apalagi mencari jalan lain yang bebas dari pertanggungjawaban. Kita pada akhirnya harus menghadapinya. Atas semua kelalaian kita akan perintah, dan juga ketidakpatuhan kita kepada hal-hal yang telah jelas dilarang. Tidak bisa lagi ngeyel, apalagi 'atur damai'. 

Maka ya, layaknya pengendara yang baik, yang selalu bersiap dengan kelengkapannya agar tidak ditilang dan siap disweeping kapan saja. Kita pun agaknya masih punya kesempatan untuk mempersiapkan diri, agar kelak dapat siap pula menghadapi hari itu; hari dimana hanya ada hisab, dan tidak ada lagi amalan. Wallahu a'lam. 

Rifa'ah'sWritingZone, 8 Mei 2012