Minggu, 30 Agustus 2015

Tiga Agustus

Langit masih gelap. Rembulan yang belum terbenam masih menunjukkan tanda-tanda lingkaran penuhnya. Hari memang baru beranjak beberapa dari pertengahan bulan, saat langit memutih karena cahaya purnama. Delapan belas syawal, tepatnya.  Fajar telah lewat beberapa waktu yang lalu. Suasana memang masih sepi, tapi saya sudah berdiri di depan pagar menunggu kendaraan untuk menuju ke suatu tempat.  Sambil mengeratkan genggaman pada goodie bag biru muda di tangan kiri, saya menengok pada angka jam dari layar ponsel. 

Hingga akhirnya kami membelah jalanan yang masih lengang itu. Ini memang awal pekan yang sibuk bagi banyak orang. Tapi bagi saya, makna ‘sibuk’ itu akan sama sekali berbeda. 

Lalu kami tiba di tempat itu. Seorang ibu berwajah ramah sudah menyambut di ambang pintu. Menuntun saya memasuki sebuah ruangan dengan cermin besar yang benderang dengan lampu di salah satu sisinya. Sebuah aktivitas yang sangat jarang terjadi pun akhirnya terjadi. Saya merasa wajah saya menjelma kanvas, dan ibu tadi mulai sibuk memainkan kuas-kuasnya. 

Dalam pada itu, satu per satu kejadian beberapa bulan yang lalu pun melintas satu per satu. Saat saya berada di sebuah ruangan penginapan, hanya berdua dengan bapak di tempat yang begitu jauh dari rumah kami. Seorang ustadz di televisi menjelaskan tentang keutamaan seorang ayah. Saya berusaha menyembunyikan air mata sambil sesekali melirik bapak yang nampak sibuk mencari barang di kopernya. Ada yang terasa berbeda, sebab saya tengah menahan sesuatu yang harus segera disampaikan.
 
Kami berdua melintasi banyak tempat dalam kurun waktu beberapa hari. Saya seolah mengumpulkan keberanian satu per satu dari setiap perjalanan itu. Tapi setiap kali ingin memulai bicara, rasanya lidah ini kelu. Entahkah ketakutan, atau semacam rasa sungkan yang selalu saja muncul. Tapi, saat-saat seperti itu  memang pada akhirnya akan datang. Dan, saat itulah waktunya. 

Pada akhirnya, bahkan kami sudah berada di rumah pasca ngebolang ke berbagai tempat, baru kemudian hal itu tuntas tersampaikan pada bapak. Itupun lewat media yang paling aman dan nyaman bagi saya; tulisan. Apa gerangan kabar yang harus saya sampaikan itu? 

Ini tentang sebuah kunjungan yang saya bungkus dengan kalimat ‘silaturahim’. Di kali pertama menyampaikannya, saya tidak yakin betul apakah bapak benar-benar paham dengan maksud lain dari kata itu atau tidak. Sebab bapak pun kemudian menanggapinya dengan cara sedatar-datarnya. Langsung saja menyebutkan waktu lowong yang ia punya dengan terperinci hari dan jamnya. Di saat yang dijanjikan itu, seperti kebiasaan bapak yang sudah-sudah saat telah menjadwalkan sebuah pertemuan; bapak sudah bersiap di ruang tamu lima belas menit sebelum waktunya tiba. Ia sebelumnya sudah membuka gembok pagar dan melebarkan daun pintu. Kemudian duduk di salah satu sofa di bagian tengah dan menatap ke luar. Seseorang akan datang. 

Jadi betul-betul tidak mau pakai bulu mata palsu, Din?”, perempuan yang nampak tersenyum itu membuyarkan lamunan saya. Ia masih sibuk dengan rupa-rupa peralatan dandan di tangannya. 

Saya menggeleng sambil tersenyum. Sejak awal hal itu sudah saya sampaikan kepadanya. Dia pun sudah paham dan mengaku bisa menerima konsep itu. Maka dilanjutkannya aktivitasnya tadi. 

Laki-laki itu mau melamar kamu...” kata-kata Bapak kembali terlintas saat saya memejamkan mata. Terasa kuas-kuas lembut menyentuh kelopak mata saya. Kejadian yang sudah berlalu itu kembali hadir dalam ingatan. 

Laki-laki itu mau melamar kamu...” ujar bapak sambil menatap saya yang berhenti di ambang pintu. Bapak baru saja mengunci pagar sembari mengantarkan tamunya keluar. Malam itu pertemuan kedua mereka setelah pertemuan perdana bertajuk ‘silaturahim’ sebelumnya. 

Sulit mendeksripsikan ekspresi bapak saat mengucapkan sebaris kalimat tadi. Bibirnya nampak tersenyum. Tapi ada kilatan tidak biasa di kedua bola matanya. Ia menatap saya dengan tatapan yang berbeda. 

Setelah itu, saya tahu, hari-hari berikutnya tidak akan lagi sama. Sesekali saya mengusap dada, sambil meminta maaf kepada jantung yang akan banyak saya repotkan. Berdegup tak karuan, merasakan jetcoaster-effect dan rupa-rupa sindrom. Hingga saya bertanya kepada diri sendiri; apakah ini saatnya mencari definisi lain dari hidup normal? Saat itu, 2015 masih sangat muda, baru di awal-awalnya. Resolusi-resolusi di akhir tahun lalu masih menggema-gema dan menari-nari. Namun rasanya, akan ada banyak hal yang harus dipikirkan ulang. Ada rencana-rencana yang akan ditinjau kembali. 

Lalu kemudian bentangan-bentangan waktu itu telah terisi dengan banyak hal. Dua ribu lima belas hingga ke medionya benar-benar menjadi berwarna-warni dan menyisakan berbagai macam ekspresi. Mulai dari senyuman yang lebar hingga tangis yang tersaruk-saruk. Tertawa-tawa dengan ringan namun ada juga air mata yang berlinang-linang. Duhai hati, perasaan, dan pikiran, saya telah sangat menyusahkan kalian... 

Meant to be...” tiba-tiba sebaris kalimat itu yang muncul dalam gumam saya, sejenak setelah  mendengar pembicaraan ibu dengan seseorang di seberang sana. Waktu itu, saya memilih untuk tidak membalikkan badan. Tetap dalam posisi membelakangi ibu yang saya tahu tengah mengusap air matanya. Seorang lelaki di seberang sana baru saja mengabarinya tentang sebuah usaha yang ia tempuh untuk membantu proses kesembuhan ibu. 

Doakan saya...” itu kalimat yang ibu ucapkan dengan nada bergetar sebelum akhirnya perbincangan mereka akhiri. 

Naaah....” perempuan itu masih menggenggam kuas lisptiknya. Seolah begitu bangga dengan hasil sentuhan akhirnya di wajah saya. Lagi-lagi, ia sukses membuyarkan kilatan ingatan berisi kejadian beberapa bulan lalu itu.

Bagus..bagus...” lanjutnya sambil menatap pantulan bayangan saya di cermin. 

Saya melirik jam dinding yang menggantung di tembok atas pintu ruangan itu. Sebentar lagi waktunya akan tiba. Segala kerempongan di tempat ini harus segera dituntaskan jika kami tidak ingin terlambat tiba di tempat itu. Pakaian yang sudah disiapkan konsepnya sejak jauh-jauh hari itu akhirnya terlihat wujud nyatanya. Perempuan itu pun dengan sigap memakaikannya pada saya. Kemudian menggeleng-geleng puas –lebih kepada puas untuk hasil kerjanya sendiri, saat kemudian saya ia nilai telah ‘selesai’.

Ok. Kalau kita berangkat sekarang, waktunya sudah pas!” ujar seorang kerabat yang juga telah selesai dengan riasanya. Dilingkarkannya gantungan kunci mobil di jemarinya, pertanda siap mengangkut kami menuju tempat yang sudah direncanakan itu. Sedikit lagi, waktunya akan segera tiba. 

Dan ini bukan kali pertama saya menyaksikan suasana itu. Lambaian hijab berwarna cerah nan cantik yang berayun-ayun diterpa hembusan angin. Orang-orang yang hilir mudik mempersiapkan banyak hal. Juga jejeran penganan yang tengah disajikan menguarkan aroma yang menggugah selera. Namun kali ini berbeda. Saya menyusuri ruangan itu dengan menggenggam erat kipas di tangan kiri dan buket bunga berwarna indah di tangan kanan. Tiap mata yang mendapati saya nampak tersenyum, dan saya terlalu kikuk untuk membalas senyuman itu. Dan dalam saat-saat tertentu pada hidup kita, makna bahagia memang bisa menjadi begitu sederhana. Hari itu, salah satu kebahagiaan yang melegakan saya adalah karena tidak perlunya ada yang protes perihal alas kaki yang sama sekali tanpa heels yang saya gunakan. Sepatu flat, dengan manik-manik dan hiasan blink-blink itu sudah lebih dari cukup. Ayolah, tidak semua pengantin harus mengenakan sepatu hak tinggi, bukan? 

Tiba di ruangan di bagian belakang gedung itu, saya bisa sedikit bernapas lega. Di antara hirup pikuk sanak saudara yang mulai berdatangan dengan baju seragam mereka, tersenyum lebar pada saya, mengucapkan selamat sambil menjabat tangan dan mengecup pipi, lalu berfoto bersama. Di antara semua itu, ingatan saya kembali terbang kepada hari-hari di mana saya begitu mengkhawatirkan segala hal yang akan terjadi hari ini. 

Dan kemarin-kemarin, memang ada banyak sekali yang telah terjadi. Asal muasalnya bersumber dari sebuah nama yang tiba-tiba muncul dan saya baca pertama kali dalam sebuah deretan data bertajuk curriculum vitae.  Padanya, saya melihat definisi konkret dari apa yang orang-orang sebut sebagai keberanian. Bukan tentang seberapa besar hal yang kita punya atau kita persiapkan, namun keberanian menjadi bermakna berbeda, saat seseorang memilih untuk terus melangkah, meski ia tahu bahwa perjalanan yang akan ia tempuh tidak akan mudah. 

Lalu kemudian saya mencoba menyederhanakan banyak hal dalam proses itu; terutama perkara pikiran dan perasaan yang menjadi sumber utama dalam pengambilan sebuah keputusan. Apa saja yang perlu saya tahu dan saya pertimbangkan? Pun tentang apa saja yang tidak harus saya dengar dan tidak usah saya pikirkan? Bagaimana setiap kita memaknai bahwa pada diri manusia selalu ada sisi baik dan sisi buruknya. Perihal kekurangan-kekurangan itu, bahkan tidak dicari pun, ia akan ada, apalagi jika kita sengaja mencari-carinya. Perihal ketidakcocokan-ketidakcocokan yang berpotensi muncul, bahkan bukankah tidak ada orang-orang yang benar-benar dapat cocok, kecuali mereka berusaha untuk saling mencocokkan dirinya? 

Maka seusai saya merasa selesai dengan apa-apa yang patut saya tahu, kemudian ada doa-doa panjang yang harus dipanjatkan sebelum segala sesuatunya dimulai. Betapa manusia begitu terbatas pengetahuannya terhadap segala sesuatu, maka pada setiap keputusan, kita sangat butuh untuk memilih dengan berdasarkan ilmu Allah, Dzat Yang Maha Tahu. Betapa kita terhijab dari berbagai hikmah dari setiap jalan hidup yang kita pilih, maka kita harus memulai langkah dengan berharap pada ketenangan hati saat Allah mengikhlaskan kita untuk berangkat ke satu titik, ataupun melepaskan sesuatu yang hendak kita raih. Dan sesudah istisyarah dan istikharah itu tuntas, saya mencoba untuk menggeser sudut pandang, bukan lagi mencari-cari alasan untuk menguatkan penerimaan, namun sebaliknya; apakah saya masih punya alasan untuk menolak? 

Allah selalu punya cara untuk menguatkan hati kita yang lemah, yang begitu mudah untuk berbolak-balik oleh berbagai macam waswas. Mungkin lewat keyakinan yang muncul, atau bahkan lewat baris-baris kalimat dari orang-orang yang kita percaya. Dan dalam proses ‘jeda’ penantian itu, lalu pikiran paling aneh dan keraguan yang tidak kalah anehnya itu datang, belum lagi dengan berbagai konsekuensi yang akan terjadi pada setiap pilihan, Allah menakdirkan perempuan yang paling saya cintai itu menggumamkan sebaris kata-kata dari lisannya... 

Mungkin dia memang jodoh kamu, Nak...”

Ah, Ibu... Padahal ia tahu betul apa yang akan terjadi nanti sepasca kejadian itu benar-benar terjadi. Tapi justru itulah yang ia ucapkan pada anaknya ini. Menghadirkan lagi keyakinan bahwa segala hal itu terjadi dengan ketetapan Allah, dengan rahasia di baliknya. Begitupula dengan setiap pertemuan, pun pada setiap perpisahan. Maka saya berhenti untuk menyandarkan banyak hal pada diri saya sendiri. 

Ada Allah... “

Dalam pada itu, saya tidak lagi menganggap bahwa sebesar apapun hal yang bisa terlewati, itu sebanding dengan kekuatan yang saya punya. Tidak. Bahkan semua ujian dan halangan mampu terlewatkan, semata-mata sebab Allah memberikan pertolonganNya. Sementara kita, terlalu lemah dan tiada daya jika ditinggalkan olehNya meski hanya sekejap mata. 

“Sudah hampir mulai... sudah hampir mulai...”

Ruangan itu seketika senyap. Lamunan yang tadi bermunculan seketika kembali buyar saat saya mendapati diri saya sudah terduduk tegang di dalam ruangan yang berisi beberapa orang yang tidak kalah tegang ekspresinya. Mereka yang sedari tadi nampak santai berbincang, sejenak diam. Sayup-sayup suara dari mikrofon di ruangan sebelah terdengar. Tidak terlalu jelas, sebenarnya. Tapi, saya masih terlalu sibuk dengan jantung yang sepertinya memompa darah lebih laju daripada biasanya. 

Perjanjian agung itu akan segera dimulai. Mitsaqan ghalizha... 

Saya nikahkan  kamu dengan putri saya...”. Itu suara bapak. Bapak, laki-laki pertama, laki-laki yang tak pernah pergi. Betapa saya mencintainya, dengan bentuk cinta yang hanya kepadanya saja saya berikan. Bapak, yang sejak dulu selalu yakin; pada akhirnya anak-anaknya harus punya kehidupan sendiri-sendiri. Bapak, yang betapapun selalu kami dampingi dalam safar-safarnya, namun nampak begitu tenang, setelah perjumpaan kesekian dengan lelaki itu, saya mendengarnya berbisik lembut kepada ibu; “Apakah kamu sudah siap melepaskan anakmu?”

Namun pada suatu waktu setelahnya, ibu bercerita, saat keduanya bersama di dalam kamar dan hanya berdua di dalam rumah. Ibu memulai ceritanya dengan bertanya pada saya;

“Apakah kamu tidak melihat mata bapak yang bengkak?”. Saya tertegun sesaat. Tidak menjawab apapun, kecuali menatap ke dalam mata ibu dan menunggu kalimatnya berikutnya. “Baru dua kali Mama melihat bapakmu menangis seperti itu. Yang pertama, saat bapak sedih waktu mendengar Mama sudah memukul kakakmu saat kecilnya dulu. Yang kedua, hari ini; saat bapak nampaknya baru sadar..” gumam ibu sambil berdiri bertumpu pada pundak saya. 

“Sadar apa?”

“Sadar bahwa sebentar lagi kamu akan pergi.” ucapnya. 

Hati saya gerimis. Betapa saya mencintai Bapak. 

Suara berikutnya kembali membuyarkan lamunan saya. Suara itu. Suara dari seorang lelaki yang beberapa bulan kemarin kerap saya dengar saat ia menelepon ibu dari seberang sana. Jika biasanya dengan ibu ia mengobrolkan banyak hal sambil tertawa-tawa, namun kali ini ia berkata-kata –sambil menggenggam erat tangan bapak yang juga menggenggam tangannya, dengan sebaris kalimat yang akan menjadi pembeda banyak hal, untuk selama-lamanya. 

“Saya terima nikahnya... “

Lalu ia menyebutkan nama saya. Nama, yang menjadi diferensiasi setiap manusia. Nama yang merujuk kepada satu orang saja. Para saksi yang bertandatangan menyaksikannya, pun orang-orang yang hadir kala itu pun mendengarnya. Namun lebih dari itu, ia mengucapkan perjanjian itu, atas nama Allah. Atas nama Allah. 

“Sah! Sah! Sudah sah!”, seorang sepupu yang sedari tadi sibuk di ambang pintu kini berubah sibuk menjadi juru informasi. Mengabarkan kepada semua orang di ruangan tadi bahwa prosesi ijab kabul telah selesai. Ruangan itu berisi wajah-wajah yang saya kenali dengan baik. Sepupu dan tante-tante yang sudah banyak membantu dan ikut berbahagia di hari itu. 

Tapi tidak ada ibu. Tidak ada ibu, seperti hal-hal penting yang kemarin pun saya lewati tanpa ibu. Berkali-kali penerimaan rapor di masa sekolah, bahkan hingga dua kali wisuda. Tapi saya tahu, ibu selalu hadir dalam bentuk doa-doa terbaiknya. Ia pun saya tahu, turut menyimak prosesi tadi hingga tuntas lewat sambungan telepon, sambil berbaring di rumah. Dan siangnya, saya pun tahu ibu harus berusaha mengumpulkan tenaganya untuk kemudian datang di gedung dan memeluk saya. Dan saya membiarkan air mata saja yang mewakili kata-kata yang seharusnya saya lontarkan kepada perempuan yang sangat saya cintai itu; betapa saya bersyukur telah lahir dari rahimnya. Betapa hanya untuk dia saya melayangkan doa-doa terbaik yang saya punya. Betapa saya belajar begitu banyak hal, dan sekaligus berutang padanya dengan utang yang tidak akan pernah bisa saya lunasi. Kepadanya, perempuan yang tak pernah berhenti mencintai. 

Kemudian prosesi selanjutnya pun terjadi. Laki-laki yang tadi telah tuntas menjabat erat tangan bapak dalam akad nikah itu,  kini memasuki ruangan tempat saya berada. Saya tidak tahu apa yang ia rasakan saat tangannya nampak bergetar memakaikan cincin mahar itu di jemari saya. Saya juga tak tahu seberapa besar pengharapannya saat ia membacakan doa yang ia lantangkan sambil memegang ubun-ubun saya. Bagaimana rasa haru yang ia rasakan saat kami memohon restu dari orang tua-orang tua kami sambil mengecup tangan mereka? Seberapa khusyu’ ia saat mengimami saya untuk pertama kali dalam dua rakaat sunnah setelah akad itu? Entahlah.

Sebab saat kemudian kesemua poin prosesi yang telah disepakati itu usai, saya menatap punggungnya yang berjalan keluar dari ruangan, menuju ruangan resepsi bagian laki-laki di seberang untuk menyambut tamu. Dalam pada itu, sekelumit pertanyaan muncul di benak saya:

Apakah ini saat yang paling tepat untuk jatuh cinta?

KL, 30 Agustus 2015 
Teruntuk suamiku; Khaerul Akbar Said. 
Uhibbuka fillah ~~