Sabtu, 31 Desember 2016

Lelaki yang Tak Pernah Pergi Hingga Allah yang Memanggilnya Kembali

“Sampai kapan akan seperti ini?” Mama menatap saya. “Sampai kapan mengingat Bapak lalu kemudian sedih seperti ini? Kamu, apa sudah tidak ingat lagi sama Bapak?” tanya Mama kemudian.
Saya tersenyum. Tapi rasanya pahit. “Bagaimana bisa saya lupa sama Bapak?” saya bertanya balik. Retoris. “Hanya saja, tiap ingat Bapak, saya tidak pernah bilang sama Mama..” 

Ya.

Bagaimana bisa saya lupa?

Bagaimana bisa saya lupa pada Bapak, dan pada hari di mana ujung pena yang saya pegang, dalam tarikan tanda tangan saya, menjadi penentu pada tindakan medis yang akan dijalani Bapak hari itu.
Kesadaran Bapak menurun. Suhu tubuhnya meningkat dan kejang datang semakin sering. Oleh spesialis bedah syaraf, kami diberi pilihan agar kembali mengizinkan Bapak untuk berada di meja operasi. Tiga hari dalam perawatan intensif, setelah sebelumnya menunjukkan respon obat yang baik, namun di hari ketiga kondisi Bapak malah menurun.

Maka pagi itu, saya menandatangani lembar persetujuan untuk operasi. Dengan berbagai macam pertimbangan. Setelah berbicara dengan tiga orang dokter. Setelah memohon untuk disambungkan lewat telepon dengan dokter yang menangani Bapak selama ini –yang saat saya tiba di rumah sakit hari itu, sudah berada di rumah sakit lain untuk menjalankan operasinya yang lain.

“Saya tidak mungkin menyarankan opsi ini jika resikonya lebih besar.” ujarnya di akhir pembicaraan kami. Lalu saya menandatangi persetujuan ini dengan hati tidak karuan, sebab saya pun tahu bahwa ada kemungkinan terburuk yang bisa saja terjadi. Dan saya pun tahu, akan menghadapi berbagai macam komentar dari orang-orang di luar sana atas keputusan besar yang saya ambil itu. Keputusan yang saya menjadi penanggungjawab utamanya.

Saya tidak bisa menahan diri untuk tidak menangis dalam rakaat-rakaan shalat Zhuhur hari itu. Betapa saya lemah menghadapi semua ini dan betapa saya mengharapkan pertolongan Allah atas keadaan Bapak.

Namun, siang belum beranjak terlalu jauh saat saya kembali masuk ke ruangan tempat Bapak di rawat, lalu kemudian seorang dokter lainnya datang menghampiri kami dengan alis berkerut. Melihat monitor di samping Bapak dan menanyakan perkembangan Bapak pada perawat. Ia menggeleng-geleng berkali-kali lalu kemudian menjelaskan pada saya bahwa kondisi Bapak terus saja menurun sejak tadi pagi. Dan pada titik ini, ia sebagai seorang anastesiologist menyarankan kami untuk membatalkan persetujuan operasi.

“Kecuali jika ada perbaikan kondisi umum, kita bisa kembali jalankan operasi. Namun dengan kondisi seperti sekarang ini, ini bukan lagi fifty-fifty.. tapi bahkan bisa saya katakan 70:30...” ujarnya.

Dan saya pun kembali menarik pena untuk menandatangi persetujuan pembatalan.

Lalu apa opsi lain yang bisa kami lakukan selain operasi? Menunggu. Ya, menunggu sambil melihat Bapak mendapatkan berbagai obat-obatan yang kami harapkan bisa memperbaiki kondisi Bapak.
Tapi itu tidak terjadi.

Kondisi Bapak terus menurun. Bayangkan bagaimana berantakannya hati seorang anak perempuan menyaksikan ayahnya bernapas satu-satu, dengan kejang yang semakin sering datang. Saya mencoba menahan tangan Bapak yang bergerak-gerak menegang saat kejang, sambil mengusap rambut tipis Bapak yang telah dua kali dicukur untuk dua operasi di kepala sebelumnya. Dalam pada itu, betapa saya menghayati untaian doa-doa ruqyah dengan mengharapkan kesembuhan untuk Bapak. Kesembuhan yang saya yakini datang bukan dari dokter, bukan dari obat, bukan dari operasi atau apapun itu. Tapi dari Dia, Rabb manusia yang memberikan kesembuhan. Kesembuhan yang tiada lagi sakit setelahnya...

Bagaimana saya bisa lupa?

Bagaimana saya bisa lupa pada hari di mana saya terus menatap layar monitor yang memantau kondisi Bapak. Berharap angka-angka itu menunjukkan kondisi normal. Bertanya pada dokter dan perawat tentang skor kesadaran Bapak yang saya harap bisa meningkat.

Tapi itu tidak terjadi.

Senja berlalu dan tekanan darah Bapak yang sebelumnya melonjak, malah menurun. Menurun, bukan berhenti pada titik normal, tapi justru terus menurun dan menunjukkan bahwa kondisi Bapak semakin memburuk.

Saya berjalan gontai keluar dari ruang ICU untuk menjalankan shalat Maghrib dan kembali tidak bisa menahan diri untuk tidak menangis. Betapa beratnya kesedihan di hari itu. Tapi betapa saya masih berharap pada pertolonganNya. Pertolongan Allah untuk mengangkat penyakit Bapak.

Saya kembali masuk ke ruang ICU dan mendapati angka-angka di monitor tidak juga menunjukkan berita baik. Seorang kerabat menarik tangan saya untuk terus berada di sisi tempat tidur Bapak. Jangan beranjak dari sana, dan memang itulah yang ingin saya lakukan. Saya mengusap kepala Bapak, kembali lagi berkali-kali menyaksikan serangan kejang itu datang. Saya terus membisikkan doa kesembuhan di telinga Bapak. Mata-mata mulai basah. Tapi apapun masih bisa terjadi dan atas Bapak, saya mengharapkan yang terbaik.

“Laki-laki itu mau melamar kamu..” saya masih ingat kata-kata Bapak saat itu. Di awal tahun 2015 yang lalu, selepas menerima kedatangan seorang pemuda yang kini adalah suami saya.

“Kalian harus saling memahami...” ujar Bapak dengan mata berkaca-kaca saat suami saya, di awal pernikahan kami, meminta nasihat dari Bapak sebelum keberangkatan kami merantau pada akhir Agustus tahun lalu.

“Memangnya ada suami yang seperti Bapak?” kata Bapak kepada saya, suatu hari, selepas saya memasakkan sayur kesukaannya.

“Saya memang sering terbangun di malam hari, Dok.. sejak setelah dioperasi...” ujar Bapak sambil tersenyum, memperlihatkan barisan geliginya yang rata. Bapak mengatakan itu kepada dokter sambil tersenyum, seolah itu adalah sesuatu yang lucu, beberapa hari sebelum Bapak kembali masuk ICU setelah jatuh dari tempat tidur, dalam sesi konsultasi pasca operasi kedua. Dan, itu menjadi senyuman terakhir yang saya ingat. Senyuman yang kini sangat saya rindukan.

Seorang suster menghampiri kami dengan menenteng spigmomanometer. Mengecek tekanan darah Bapak secara manual.

Enam puluh per empat puluh...” ucapnya kemudian.

Tekanan darah Bapak terus menurun. Di hadapan saya, dua orang yang sangat jarang saya saksikan air matanya –kakak laki-laki dan adik perempuan saya, menangis sesunggukan sambil sesekali memanggil Bapak dengan lirih. Suami saya pun tidak pernah beranjak jauh dari tempat tidur tempat Bapak berbaring. Kami terus bertahan di sisi Bapak dan bergantian membacakan doa, ayat Al Qur’an, dan membantu mentalkinkan Bapak.

Dokter residen yang menjadi asisten spesialis bedah syaraf yang menangani Bapak nampak melihat kami dari jauh. Kemudian memanggil kami untuk menjelaskan sesuatu.

Sekarang kita melihat kondisi Bapak semakin menurun. Kami sudah memasukkan dosis obat maksimal untuk bisa menaikkan tekanan darahnya, tapi respon tubuhnya menunjukkan respon minimal. Kita tidak tahu, semua hal masih bisa terjadi jika Tuhan berkehendak. Tapi menurut analisis medis kami, mungkin tinggal beberapa jam lagi...” ujarnya.

Kami kembali menghambur kepada Bapak. Tidak. Bapak akan kembali sembuh. Bapak akan baik-baik saja, pulang ke rumah, dan kami akan merawatnya kembali. Saya terus melantunkan doa di telinga Bapak. Napas Bapak semakin melambat. Monitor terus menunjukkan angka-angka yang semakin memburuk.

Ikhlaskan Bapak...” suami membisiki telinga saya.

Saya menarik napas berat. Rasanya sakit sekali. Tidak. Bapak masih ada. Bapak masih di sana. Saya mengusap kepala Bapak dan terus melantunkan doa di telinganya. Waktu terus berlalu dan napas Bapak semakin melemah dan melambat. Menit-menit berlalu dan rasanya saya ingin sekali menghentikan waktu.

Bapak...” saya menggenggam tangan Bapak yang mulai dingin. Sepersekian detik saya terluput dari melihat ke arah wajah Bapak, lalu kemudian kembali mendapati Bapak tidak lagi menarik napas.
Bapak?

“Sudah tidak ada kalau begini.. itu sudah tidak ada...” seorang kerabat menunjuk kepada mulut Bapak yang sudah tidak lagi menarik napas. Saya mengarahkan pandangan pada monitor. Tapi, masih ada denyut nadi.. masih ada... masih ada..

Saya menggenggam tangan Bapak. Entah sudah sebasah apa mata ini sejak tadi.

Tapi, denyut nadi itu terus menurun. Menurun. Menurun. Dan menurun. Hingga berakhir di titik nol. Dan garis di sebelahnya menjadi lurus, dengan suara denging yang memanjang.

Malaikat maut baru saja menyelesaikan tugasnya.
.
.
.
Innalillahi wa inna ilaihi rajiun...  

Bapak, lelaki yang tak pernah pergi. Bapak, lelaki yang tak pernah meninggalkan kami, hingga Allah yang memanggilnya untuk kembali.

Bagaimana saya bisa lupa, pada tangis yang jatuh malam itu. Hingga tak tahu lagi hal lain yang bisa saya pikirkan, selain bahwa malam itu, saya baru saja kehilangan ayah saya sendiri. Dan, ternyata rasanya sesakit ini...

Saya duduk di dalam ambulans, membelah jalanan kota yang lengang selepas tengah malam. Lampu-lampu berkelap-kelip, dan sirine ambulans memecah keheningan. Begitu memasuki kompleks perumahan kami, sirine dipadamkan. Ambulans meluncur dalam diam. Di rumah, para kerabat telah bersiap-siap, mengelurkan sofa, menggelar karpet menyiapkan tempat untuk meletakkan jasad Bapak.
Saya berjalan menuju kamar Mama. Adik saya yang tidak ikut di ambulans sudah tiba lebih dahulu untuk memberitahu Mama secara langsung. Mama sejak maghrib terus menelpon ke ponsel kami semua, ingin tahu apa yang terjadi di rumah sakit, tapi tidak ada di antara kami yang sanggup untuk mengangkat dan mengabarinya.

Mama terbaring di tempat tidur sambil menutup mata. Suasana kamar senyap. Tidak satupun dari kami yang mengeluarkan suara. Kami hanya mengelilingi Mama dan memijat kakinya. Ingin sekali saya menangis, sebenarnya. Tapi tidak. Tidak di hadapan Mama.  

Selepas itu, satu per satu dari kami berbaring. Saya dan adik berbaring di samping mama di atas tempat tidur. Suami dan kakak saya berbaring di karpet. Kami terlelap dengan sisa-sisa air mata masing-masing.

Pukul empat pagi, saya terbangun dan tidak bisa lagi memejamkan mata. Saya berjalan ke ruang tamu tempat jasad Bapak dibaringkan. Saya menghampirinya, membuka penutup bagian wajahnya. Mendapati wajah Bapak dan menatapnya lamat-lamat.

“Bapak.. sudah tidak sakit lagi, Pak..” gumam saya dengan lirih. Air mata kembali mengalir. Dada kembali sesak. Sesak sekali.

Tidak sakit lagi, Pak. Tidak ada kejang lagi. Tidak ada operasi lagi. Tidak ada ruang ICU lagi. Tidak ada rumah sakit lagi...

Pagi, dan satu per satu pelayat berdatangan. Saya membersamai Mama di dalam kamar dan memberi tahu siapapun yang mau masuk kamar agar tidak menangis.

“Tolong jangan menangis, Ibu saya akan menjadi bertambah sedih.. “

Sebelumnya, Mama telah menguatkan diri untuk menuju ruang tamu dengan kursi roda. Melewati orang-orang dengan kesedihan di dalam matanya. Melihat wajah Bapak untuk terakhir kalinya.
Selepas semua proses memandikan dan mengafani selesai, jenazah Bapak dilepas menuju masjid dekat rumah untuk di shalatkan. Masjid yang sebelum operasi pertama Bapak jalani, menjadi tempat Bapak menunaikan shalat berjamaah. Masih ada kursi Bapak di sana. Kursi yang Bapak pakai shalat saat kaki Bapak ia rasa tidak kuat berdiri.

Lalu kemudian jenazah dibawa menuju kampus UIN. Bapak juga akan dishalatkan di masjid kampus. Saya memandang sekeliling tempat itu. Inilah rumah kedua Bapak, tempat Bapak menghabiskan banyak waktu dan pikirannya. Hari itu, Bapak dilepas pula dari sana.

Tuntas dua prosesi shalat jenazah, saya kembali naik di ambulans, jasad Bapak juga kembali dinaikkan, kami berangkat menuju pemakaman. Saya memandangi jasad Bapak yang tertutup. Mengingati kembali tiap safar yang dulu kami jalani bersama, berdua saja. Dalam perjalanan-perjalanan yang sedianya didampingi oleh Mama, saya dan adik perempuan saya selalu menggantikan ibu kami, untuk mendampingi Bapak. Tiap bertemu dengan kawannya, Bapak selalu memperkenalkan saya atau adik saya sebagai puterinya, dan menjelaskan bahwa istrinya sedang sakit sehingga kami yang menggantikan.

Kami tiba di pemakaman dan jasad Bapak pun dimasukkan ke liang lahat. Ditutupi dengan tanah. Saya mengusap tanah perkuburan Bapak dengan air mata yang tidak bisa lagi terputus. Lalu kami kembali ke ambulans dan berangkat untuk pulang ke rumah. Saya memandangi keranda yang kini kosong. Tidak ada lagi Bapak di sana. Tidak ada lagi Bapak yang pulang ke rumah bersama kami.
Bapakku sayang, lelaki yang tidak banyak bicara. Lelaki yang membuat sendiri sarapan bubur oat dan susu kedelainya di pagi hari. Lelaki yang sangat jarang menyuruh. Lelaki yang bahkan di tengah sakit di akhir hidupnya, sangat jarang mengeluh. Bapakku sayang, lelaki yang sabar. Semoga Allah menyayangi Bapak. Mengampuni dosa-dosanya, melapangkan kuburnya.

Jika ada yang kubanggakan darinya, maka itu bukan tentang gelar atau jabatan Bapak. Tapi sebab beliau adalah orang yang sangat bijaksana. Diterimanya setiap pilihan pidup yang saya ambil, bahkan meski terkadang itu berselisih dengan apa yang ada di pikirannya. Meski itu mungkin bukan keputusan yang umumnya dilakukan oleh anak perempuan lain di keluarga kami, atau anak-anak perempuan kawan-kawannya. Mulai dari mengenakan jilbab panjang, tidak daftar PNS, menikah dengan menyekat tamu lelaki dan perempuan, hingga mengenakan penutup wajah. Bapak tahu bahwa semua itu saya pilih dengan prinsip yang saya yakini, maka Bapak menghormatinya, bahkan tanpa pernah mencoba mengkompromikannya.

Bapak, jika apa yang ananda lakukan adalah kebaikan yang diganjar pahala, semoga mengalir pula pahala yang sama besarnya untukmu di akhirat.

Semoga di tempat kesudahan terbaik kelak, kita bisa berkumpul kembali, Pak. Allahummaghfirlahu warhamhu wa’afihi wa’fuanhu..

Makassar, setelah genap dua bulan kepergian Bapak
Kami tidak akan melupakanmu, sebab itulah satu-satunya cara agar Bapak terus hidup dalam ingatan kami.


in memoriam 
Bapak kami
Salehuddin Yasin
12/12/1954 - 1/11/2016

Kamis, 29 Desember 2016

Life is About Choosing

Hidup adalah tentang memilih. Tiap hari kita akan dihadapkan dengan berbagai macam pilihan yang menunggu untuk ditentukan. Satu pilihan kita akan membawa kita pada pilihan berikutnya. Begitu seterusnya. Kita selalu punya kendali untuk menentukan ke mana arah langkah kita. Dan bagaimanapun orang lain memaksa kita, pada akhirnya keputusan final ada pada diri kita sendiri. Pada akhirnya, kita yang akan menjalaninya, dan mempertanggungjawabkannya.

Selepas tuntas masa pendidikan terakhir beberapa tahun yang lalu, berbagai pilihan muncul di hadapan saya.

Saat itu saya memilih untuk tidak melanjutkan kuliah, pun tidak bekerja. Meski kedua pilihan itu punya peluang besar untuk saya jalani. Tabungan saya masih ada untuk kuliah lagi, dan beberapa panggilan kerja datang begitu saja tanpa saya cari. Tapi saya memilih untuk tetap di rumah. Tahun-tahun yang panjang dalam masa studi telah saya lewati dan saya menganggap saat itu adalah titik yang tepat untuk benar-benar 'pulang'. Ibu saya sakit dan saudara-saudara yang lain masih sibuk dengan rutinitas mereka. Saya, memilih tinggal di rumah menjaga ibu sambil menerima tawaran menulis berhonor yang lumayan untuk uang jajan. Oleh seorang kerabat saya disebut apoteker pengangguran, ada pula yang menyangka saya keenakan santai karena ingin terus bergantung pada harta orang tua. Saya tidak nyaman dengan justifikasi itu tapi saya memilih diam sebab tidak semua hal perlu diceritakan. Keadaan ini terus berlanjut hingga saya menikah dan punya anak. Ijazah-ijazah saya cukup puas dengan hanya mendekam di lemari saja.

Tapi saya tidak pernah merasa bahwa ibu yang bekerja itu lebih buruk. Mereka memilih menjadi working mom dan saya yakin di balik itu ada alasan yang besar. Maksud saya, bukan hal yang mudah untuk meninggalkan dan menanggalkan tugas kerumahtanggaan dan kewajiban pendidikan anak untuk sebuah tanggung jawab yang tidak utama, yakni bekerja. Tapi beberapa perempuan memilih itu dengan alasan mereka masing-masing dan bagi saya it's totally ok.

Saya pernah menjalani beberapa bulan kehidupan terpisah dari suami dan kami selanjutnya bersepakat untuk tidak lagi menjalani itu. Bagi kami, kebersamaan dalam pernikahan adalah keniscayaan. Di bumi manapun kami harus berada, asalkan masih bisa bersama. Ada hak-hak anggota keluarga yang tidak bisa tertunaikan dengan maksimal saat berjauhan. Tapi itu tidak membuat saya merasa berhak mencela mereka yang harus berhubungan jarak jauh dengan pasangannya. Sebab itu juga bagian dari pilihan dan tiap pilihan punya sebab-sebabnya. Mereka yang berjuang membangun cinta meski terkendala oleh jarak, saya yakin, juga selalu memimpikan kebersamaan yang utuh. Tapi ada rindu yang harus mereka pendam, untuk sebuah alasan besar yang membuat mereka harus memilih jalan itu.

Saya menjalani proses persalinan normal dan tidak ada alasan untuk memilih sectio caesaria sebab saya berbaring di ruang persalinan saat ternyata telah pembukaan lengkap, disusul pecah ketuban, lalu diminta mengedan selama setengah jam, kemudian Fayyadh lahir di dunia, biidznillah. Tapi kenyataan itu tidak membuat saya merasa boleh mencela perempuan yang harus melahirkan di atas meja operasi. Mereka pun adalah ibu seutuhnya dan goresan di perut mereka dalam perjuangan caesar juga adalah perih berdarah-darah yang juga adalah penanda jihad akbar mereka.

Fayyadh tidak lulus ASI ekslusif. Saya menambahkan sufor dalam konsumsi Fayyadh selain ASI. Kini, Fayyadh bahkan menjadi bayi full sufor di samping menyantap MPASI-nya.

Sebelum itu, saya telah melalui waktu berjam-jam dengan bayi yang menempel terus menyusui pada saya tapi tak pernah puas. Saya berjuang untuk hanya memberikan ASI saja meski di masa itu saya tidak punya aktivitas lain selain menyusui, mencoba semua tips memperbanyak ASI, memakan dan meminum segala galactogogue yang disarankan oleh semua orang hingga yang disarankan oleh artis-artis di instagram. Saya menangis sendirian dan berdoa sambil menangis agar bisa mencukupi kebutuhan ASI bayi saya.

Saya tersenyum pahit saat orang lain melihat bayi saya kala itu dan menganggapnya terlalu kecil, tidak besar-besar, bahkan disebut malah menjadi semakin kecil karena kurang gizi.

Hingga akhirnya saya memilih untuk menjadikan sufor sebagai opsi bantuan untuk saya dan Fayyadh.  Tapi jangan pertanyakan cinta saya padanya. Sebab saya mencintai putra saya sebagaimana cinta ibu-ibu lain yang sanggup menyusui anaknya.

Dan saya tentu tetap mengangkat topi untuk para pejuang ASI yang bisa lulus hingga S3 ASI dan saya yakin itu tidak mudah. Mereka pasti bersyukur dengan kesyukuran yang besar sebab bisa menjalankan perintah Allah untuk menyusui anaknya hingga 2 tahun, sebab tidak semua ibu bisa merasakan kenikmatan itu.

Saya memilih untuk lebih sering menggunakan pembalut kain sejak gadis hingga kini, dan memakaikan pula popok kain untuk bayi saya. Saya memasukkan jadwal mencuci popok dalam kegiatan harian dan sama sekali tidak menganggap itu sebagai beban. Sesekali saya mengenakan pembalut sekali pakai atau memakaikan pospak pada anak saya saat saya menakar diri harus mengalokasikan waktu mencuci untuk hal lain, atau karena alasan lainnya. Saya menganggap ini adalah pilihan yang tepat dengan alasan kesehatan dan penghematan. Tapi pilihan ini tidak membuat saya menganggap buruk orang lain yang tidak memilih hal yang sama, sebab saya yakin mereka pun punya alasan, dan paham dengan konsekuensi pilihannya.

Dan demikianlah seterusnya. Kita sangat tahu tentang apa yang kita jalani dan hadapi dan kita membuat pilihan atas hidup kita. Pun orang lain juga punya medan perjuangan mereka sendiri dan kita tidak pernah punya hak untuk menghakimi. Sebab hidup ini, akan menjadi indah sebagaimana adanya jika kita bisa saling menerima, jika kita bisa saling berbaik sangka.

Makassar, penghujung Desember 2016 yang mendung.

Sabtu, 17 Desember 2016

#IStandWithAleppo

Dalam konflik yang menimpa saudara-saudara seiman kita di belahan bumi lainnya, kita dapat melihat betapa anak-anak selalu menjadi korban yang utama. Lalu hari ini teropong kita berfokus pada apa yang menimpa anak-anak Suriah. Mereka hidup dalam ketidakmengertian, ketakutan, kedinginan dan kelaparan. Mereka terus bertanya-tanya, atas dosa apa rumah mereka diratakan, mengapa harus terusir dari tanah kelahiran, mengapa ayah dan ibunya dibunuh, mengapa abangnya diculik, dan kakak perempuannya diperkosa: di depan mata! Mereka menjadi korban utama, yang kita hitung nominalnya dalam sebutan jumlah nyawa-nyawa yg melayang, ataupun yang hidup dalam luka trauma yang menganga. Dan atas dasar keimanan, mereka adalah saudara kita, adik kita, anak-anak kita. Dengan logika apapun, kita tidak akan mampu mengerti, bagaimana mungkin wajah-wajah polos itu bisa menjadi sasaran?

Lalu saat kita menengok pada negeri kita, jangan sampai kita lengah dan tertipu dengan 'kedamaian semu'. Jangan sampai kita berbangga dengan hidup yang tenang, lalu membandingkannya dengan kondisi negeri Islam di Timur Tengah yang tak lekang dengan gejolaknya. Sebab bisa saja apa yang terjadi di negeri mereka itu adalah sebab mereka 'maju' dan menunjukkan kebenarannya, sementara kita -negara dengan kuantitas muslim terbesar di planet ini, masih saja adem ayem dengan segala pembenarannya.

Kita tidak berdoa untuk turut merasakan konflik yang sama, naudzubillah. Namun dari Suriah kita belajar, bahwa jangankan sikap yang salah dan gagal paham, bahkan aksi diam dan tidak peduli pun, bisa jadi adalah awal penyebab kehancuran.

Semoga Allah melindungi kita.

#IStandWithAleppo
Makassar, 18 Desember 2016

pict from: here

Sabtu, 10 Desember 2016

Kamis, 08 Desember 2016

Ngobrol Tentang Jualan Clodi, Motherhood dan Kebahagiaan Kecil

Dulu, paling tidak minat saat membahas seputar masalah bisnis, jualan, dkk.. langsung berasa kalau saya terlahir tanpa bakat itu sedikitpun. Tapi, setelah menikah, semuanya berubah *halah*. Entah karena efek nikah sama seseorang dengan background ekonomikah, atau karena memang sebenarnya saya ada bakat dikitkah, perlahan tapi pasti, saya mulai menikmati proses jualan.

Selain jualan buku (yang banyakan malah dibeli sendiri..hihi), sekarang paling seringnya dapat orderan clodi, alias cloth diapers, alias popok kain kekinian. Setelah jadi pengguna clodi, kemudian mencoba mengupgrade status jadi distributornya, mana tahu nanti bisa jadi juragannya *wkwkwk*

Seninya jualan clodi itu, karena saya, supplier, dan.custumer, kebanyakan adalah para bunda yang punya anak bayi. Sebagian kecil cust memang ada juga yang masih berstatus mom-to-be alias lagi hamil anak pertama. Nah, serunya di sana.. sebab jadinya ada semacam pengertian-pengertian yang menjelma pemakluman pada setiap komunikasi ke atas saya pada supp, dan ke bawah pada cust. Kalo chatnya lagi kencang, maka indikasinya lagi me time nih.. mungkin anaknya lagi anteng, atau malah lagi tidur. Sebaliknya, kalau pada slowrespon, maka tanpa dijelaskan pun, langsung bisa menebak bahwa mungkin si bayi lagi rewel, habis imunisasi, atau mau tumbuh gigi.

Pada setiap transaksi para cust yang dengan antusias bertanya pada saya seputar clodi, saya dapat merasakan cinta seorang ibu pada anaknya. Saat seorang ibu melakukan itu semua karena menginginkan yang terbaik untuk si buah hati. Dan belanja clodi hanya sebagian kecil dari bukti cinta itu, pun tanpa saya menafikan cinta para bunda yang lebih memilih memakaikan pospak pada anaknya, karena pasti tiap ibu punya alasan dan pilihan berbeda, meski semuanya -saya yakin, bermuara pada satu hal yang sama; keinginan merawat anak dengan sebaik-baiknya cara.

Di balik senyuman seorang bayi, ada peluh ibu saat mengurusnya, memandikan, dan menyusuinya. Ada mata yang lelah karena begadang untuk menenangkan rewelnya saat malam. Ada waktu yang terkuras untuk menemani sang bayi agar terus nyaman bersama bunda. Ada badan yang lelah saat harus menimangnya ke mana-mana. Tapi saat melihat senyuman manis itu, senyum gula disiram madu itu, atau saat di akhir hari melihatnya tidur dengan nyaman, sleeping like an angel, sehat, dan tenang, semua itu seolah terbayar lunas tak bersisa, kecuali menyisakan berbagai harapan, semoga hidupnya selalu penuh dengan kebahagiaan.

Dan satu hal yang terkadang masih belum saya mengerti sampai sekarang adalah, entah mengapa ada kebahagiaan sendiri saat mencuci clodi-clodi Fayyadh. Padahal kan itu bekas pup dan pee ya.. hehe.. tapi rasanya bahagia saja begitu...
''Cukup biarkan saya bisa mencuci clodi dengan tenang, dengan cara Aba jaga Fayyadh sejenak, itu sudah bisa bikin saya bahagia...'' ujar saya pada suami suatu hari. Dan mencuci clodi pun jadi semacam me time yang menyenangkan. Kebahagiaan kecil yang sulit dijelaskan.

Sebab hidup ini kadang menawarkan kejadian yang kita anggap menyedihkan dan terasa amat sulit untuk kita lewati. Hal-hal diluar kendali kita yang mau tidak mau harus kita terima untuk terjadi. Maka untuk mengimbanginya, kita perlu menurunkan standar bahagia dan menjadi lebih peka untuk itu. Dengan menemukan kebahagiaan kecil kita sendiri, untuk kemudian melipatgandakannya dengan sesuatu yang dianjurkan oleh sang Nabi. Ya, dengan mensyukurinya. Alhamdulillah...

Makassar, November 2016
Rifa'ah Ummu Fayyadh

Rabu, 07 Desember 2016

Kita Hanyalah Dua Orang Asing

''Saat kuinsyafi perjalanan ini, maka kudapati bahwa ternyata kita hanyalah dua orang asing...''

Malam masih sangat pekat ketika saya membuka mata dengan tergesa. Keringat bercucuran dan napas memburu. Seketika saya mendapati wajah suami yang menatap saya dengan khawatir setelah berusaha membangunkan saya yang mengigau di malam buta itu.
''Mimpi buruk ya?'' tanyanya kemudian
Saya menghembuskan napas berat.

Kejadian sebelum tidur itu rupanya cukup membekas pada diri saya, bahkan hingga masuk ke dalam alam bawah sadar. Sebelumnya, saya mendapatkan sebuah informasi yang cukup membuat saya mengernyitkan kening, berpikir lebih dalam, sekaligus merasakan ketakutan dan kekhawatiran.

Ini tentang cerita perihal sebuah rumah tangga. Tanpa perlu tahu tentang siapa tokoh-tokoh di dalamnya untuk menghindari ghibah, saya memang terkadang mendengarkan cerita tentang masalah-masalah yang dapat timbul dalam rumah tangga lewat kisah-kisah nyata yang terjadi di sekeliling saya. Namun kisah kali ini cukup membuat saya kepikiran.

Sebab dari info yang saya dapatkan, pasangan itu punya trade record yang baik secara personal, paham agama, bahkan seringkali menjadi pusat informasi perihal rumah tangga sakinah. Namun ternyata, itu tidak menjadi sebab bahwa mereka pun lolos dari prahara. Saya kemudian sangat tidak menyangka, bahwa prahara itu kemudian membuat keduanya dapat berlaku sedemikian buruk kepada pasangan mereka. Begitu buruknya hingga bahkan harus masuk dalam mimpi buruk saya. Sesuatu yang sempat membuat saya berpikir dalam heran: mengapa mereka bisa saling menyakiti sebegitu rupa?

Dalam pada itu, saya kemudian mencoba merenungi, betapa setiap pasangan pada dasarnya adalah orang asing bagi satu sama lain.

Syariat mengatur kita untuk hanya boleh menikah dengan nonmahram kita. Seseorang yang dekat ataupun jauhnya, bagaimanapun tetaplah orang asing pada hakikatnya. Seseorang yang pada awalnya sama sekali tidak terkait dengan kita, dan pada dasarnya kita tidak memiliki tanggungan atasnya. Seseorang yang sebelum akad itu terucap, nyatanya bukanlah siapa-siapa bagi diri kita. Fakta ini membuat saya mencoba menjawab pertanyaan saya sendiri: ya, mungkin itulah sebabnya mereka bisa begitu mudah untuk saling menyakiti.

Sebab dia hanyalah orang asing, seorang lelaki mungkin bisa tega untuk mengkhianati kepercayaan dan kesetiaan pasangannya. Tidak peduli pada tanggung jawabnya. Atau memilih untuk bungkam dan bercuek ria saat bahtera yang ia nakhodai tengah dirundung badai masalah.

Sebab dia hanyalah orang asing, seorang perempuan mungkin menjadi ringan untuk menaikkan suaranya di hadapan suaminya. Menjadi santai untuk melontarkan kata-kata kasar bahkan kata-kata kotor sekalipun. Menjadi mudah untuk berkeluh kesah atas kekurangan dunia yang ia dapatkan. Lalu kemudian tidak lagi peduli untuk menjadi 'rumah untuk pulang' bagi suaminya.

Namun, apakah permasalahannya menjadi sesederhana itu?

Nyatanya tidak.

Nyatanya, saat akad nikah digelar, ada setumpuk hak dan kewajiban yang secara otomatis tersemat kepada pasangan suami istri itu. Perjanjian agung itu telah mengubah banyak hal. Mengubah dua orang asing yang dipertemukan oleh takdir menjadi memiliki kepentingan untuk mengekalkan kebersamaan mereka hingga ke surga.

Lelaki itu harus menafkahi keluarga yang baru saja ia miliki. Perempuan itu harus taat kepada pemimpin rumah tangganya tanpa tapi -selama bukan maksiat kepada Allah. Dan ini memang bukan perkara mudah. Ada rupa-rupa ujian yang melekat padanya. Ia tidak seindah hiasan bunga-bunga saat walimah digelar. Mungkin bahkan ia bisa menjadi lebih perih dari tertusuk duri,rasa perih yang bisa mengintai kapan saja, sebab syaitan sangat bangga saat bisa menghancurkan sebuah rumah tangga. Godaannya untuk melunturkan sakinah itu mungkin akan selalu muncul di antara waktu shalat dengan waktu shalat yang lain. Muncul di antara prasangka. Muncul di antara ketidakpuasan. Muncul di antara candaan yang disikapi serius oleh pasangan. Muncul di antara sikap bermudah-mudah dalam menjaga kesucian diri dan hubungan. Muncul di antara hal-hal yang tidak pernah kita duga, sebelum kita memutuskan untuk menikahinya. Hingga mungkin terbersit dalam pikiran kita; ah, seandainya aku tak menikah dengannya...

Dan mungkin, rasa penyesalan itu menjadi celah yang begitu empuk untuk syaitan dan kelemahan kita, untuk menyakiti pasangan dan kembali lupa pada ikrar kita yang Allah menjadi saksinya. Tiba-tiba, kita kembali menjadi orang asing yang tak sengaja bertemu di persimpangan jalan.

Maka tak ada daya dan upaya selain atas pertolongan Allah. Dan sakinah itu berasal dariNya. Kita mohon kepadanya dalam segala ketidakberdayaan kita. Betapa rumah tangga yang rusak bisa membuat seseorang menjadi ingin hidup lebih singkat dan menjadi begitu suram dalam menjalani hari-harinya.

Dan cukuplah kesadaran akan betapa agungnya pernikahan itu, yang menjadi pegangan bagi kita untuk bertahan dalam badai yang menerpa. Yang menjadi sandaran saat kita merasa lelah.

Ada orang asing di sisi kita yang telah menyiapkan jemarinya untuk kita dekap bersama. Orang asing yang Allah perjumpakan dengan kita, bukan tanpa sebuah hikmah besar yang ada di baliknya. Dialah mungkin yang akan menjadi ladang untuk kita menuai syukur dan sabar bersama, menyusun satu demi satu batu bata untuk membangun peradaban, saat kemudian bibir kita dapat mengucap tentangnya: sungguh, aku ridha atas dirinya.

Makassar, 10 Agustus 2016
Rifa'ah Ummu Fayyadh
~hamba Allah yang masih terus belajar untuk survive dalam perjalanan 'menapak pada rembulan'.

Jumat, 01 Juli 2016

Lelaki Mungil dari Perut Ummi


Akhir September 2015

Ok, jadi sekitar five weeks, ya...” ujar perempuan berwajah turunan Timur Tengah itu sambil mengamati hitung-hitungannya sendiri. Selanjutnya ia memastikan kepada saya perihal hasil testpack, lalu meminta saya naik ke atas tempat tidur untuk kemudian menjalani pemeriksaan USG. Ia lalu menunjukkan bulatan hitam kecil pada layar yang memindai bagian perut bagian bawah saya. Ia menyebutnya; kantung janin.

Senja hari, 8 Mei 2016
Saya mengecup telapak tangan Bapak dan Mama. Pamitan. Malam ini, kami akan menginap di rumah mertua. Ibu mertua saya malam nanti akan pulang dari perjalanan dinas di luar kota. Dan rencananya, besok malamnya saya dan suami akan ke rumah bersalin tempat saya selama ini mengontrol kehamilan. Rumah bersalinnya lebih dekat ke rumah mertua dibanding rumah orang tua saya. Rencananya, jika dekat masa persalinan nanti, kami akan bersiap-siap dengan menginap di sana untuk lebih memudahkan aksesnya.

Besok malam insya Allah mau sekalian kontrol ke dokter...” ujar saya saat pamit pada Bapak, sekaligus menjelaskan bahwa kami akan mabit dua malam di sana. 

Ooh.. jadi kapan melahirkan?” tanya Bapak dengan spontan, masih dalam posisi berbaringnya. Saya nyengir mendengar pertanyaan Bapak. Lalu memberitahu prediksi dokter berdasarkan pemeriksaan terakhir yang menduga saya akan melahirkan di awal bulan depan.

Kami pun menyusuri jalan di atas laju roda dua. Tujuan pertama bukan langsung ke tujuan utama kami. Ya, sore ini memang kami mengagendakan untuk menyantap ikan lele goreng favorit di bilangan jalan Perintis. Jadilah rute kami sore hingga ba’da Maghrib itu adalah Gowa-Perintis-Antang. Dalam perjalanan menuju rumah mertua saya sempat mengutarakan kepada suami perihal kekhawatiran saya menghadapi persalinan nanti.

Rasanya mulai deg-degan...” ujar saya di antara suara klakson mobil yang ikut melaju di jalan malam itu. Seperti biasa, suami menasihatkan saya untuk banyak berdoa dan menenangkan saya bahwa semuanya akan baik-baik saja, insya Allah.

Setibanya di rumah, saya baru merasakan lelahnya. Perjalanan kami tadi memang terasa cukup panjang, apalagi saya sambil membopong perut yang terus membuncit dari hari ke hari. Rasanya makin mudah ngos-ngosan. Selepas Isya, saya memutuskan berbaring sambil membaca sebuah buku yang baru saja saya miliki. Setelah itu, sepertinya hal yang paling tepat untuk dilakukan adalah langsung tidur saja. Rencananya besok saja saya menyapa Ibu yang akan tiba jelang tengah malam nanti.


Dini hari, 9 Mei 2016

Deg!

Rasa itu datang lagi. Perasaan tegang di perut yang disertai dengan rasa sakit bercampur mulas. Beberapa hari yang lalu, rasa yang sama kerap kali datang sesekali untuk kemudian mereda setelahnya. Saya mencoba mengatur napas. Menguasai diri. Berpikir bahwa, seperti kemarin, sakit ini pun akan mereda segera, insya Allah.

Saat mulai kembali memejamkan mata, serangan sakit itu datang kembali beberapa saat kemudian. Kali ini saya merasa ingin buang air kecil pula. Saya kembali mengatur napas dan berharap bahwa sakitnya segera mereda agar saya bisa lebih nyaman bangun untuk buang air kecil. Sekembalinya dari WC, saya mencoba kembali tidur. Tapi tak beberapa lama, rasa sakit itu datang lagi. Saya mencoba membangunkan suami dan memberitahunya perihal apa yang saya rasakan. Seperti kemarin-kemarin, suami akan ikut bangun dan membacakan ayat-ayat ruqyah sambil mengusap perut saya. Biasanya sakit dan tegangnya akan mereda dan saya akan kembali tertidur, dan kali itu pun demikian.

Tapi..

Bedanya, kali ini rasa sakit itu terus saja datang hingga subuh menjelang. Rasa-rasanya makin lama derajat sakitnya makin bertambah. Saya merasa nyaris tidak bisa tidur dibuatnya. Suami pun terus menerus saya bangunkan tiap rasa sakit itu kembali datang.

“Bagaimana kalau kita bangunkan Ibu?” tanya suami di pagi buta itu. Saya masih menggenggam tangannya sambil meringis kesakitan. Sejurus kemudian, saya menggeleng.

“Besok saja tanya sama ibu... Ibu baru pulang, pasti butuh istirahat dulu... “. Ujar saya sambil menarik napas panjang. Sakitnya berangsur mereda, tapi untuk kembali datang lagi setelahnya..


Awal pagi, 9 Mei 2016

Ba’da subuh Ibu segera masuk ke kamar tempat saya tidur setelah diberitahu suami perihal kami yang nyaris tak bisa memejamkan mata separuh malam akibat menegangnya perut saya.

“Mungkin masuk angin, bu.. Rasanya agak-agak mules begitu...” ujar saya, masih dalam posisi berbaring sejak usai shalat subuh tadi. Mencoba menganalisis bahwa mungkin ini adalah efek perjalanan kami malam kemarin.

Ibu mengecek kondisi saya, lalu kemudian mengansurkan minyak kayu putih untuk dibalurkan ke perut.

“Mudah-mudahan cuma masuk angin, Nak. Kalau sudah agak enakan bangun dulu minum teh dan makan kue ya..” ujar Ibu kemudian. Saya mengangguk sambil tersenyum mengiyakan.

Rasa sakit itu masih saja terus datang. Tiap perut saya terasa menegang, telapak tangan dan kaki saya rasanya sampai ikut basah dan dingin menahan sakitnya. Sesekali saya meremas bantal sambil menahan rasa sakit. Jeda antara serangan sakit yang satu dan yang lainnya saat perut saya terasa lega jadinya terasa sangat nyaman sekali. Saya mencoba menguatkan diri untuk bangkit ke WC lalu singgah di ruang tengah untuk menyeruput teh dan ngemil kue ole-ole yang dibawa Ibu. Orang rumah yang lain sedang ramai membongkar ole-ole lainnya di ruang tamu. Suami ikut duduk di samping saya sambil turut memakan kue di hadapan kami.

“Sudah ndak sakit?” tanyanya

“Sakitnya masih suka datang sih... tapi ini lagi berhenti..” jawab saya sambil terus mengunyah. Saya masih berpikir bahwa mungkin ini akibat masuk angin. Semoga dengan teh hangat dan kue ini, angin itu bisa terdorong keluar agar perut saya lebih lega.

Saya kemudian masuk kembali ke kamar sebab rasa sakitnya kembali datang. Rasanya ingin berbaring saja...


Sekitar pukul 10.00, 9 Mei 2016

Kenapa rasa sakit ini tidak berhenti datang ya? Bukannya kemarin-kemarin biasanya hanya datang satu dua kali, setelah itu hilang kembali? Baru kali ini saya merasakan yang seperti ini. Ini mungkin kontraksi, tapi tentu saja kontraksi palsu. Wong saya baru akan melahirkan bulan depan! Begitu terus pikiran yang menari-nari di kepala saya; saya tidak akan melahirkan sekarang, saya baru akan melahirkan bulan depan, dan sakit ini akan segera berhenti.

Tapi, nyatanya tidak. Rasa sakit itu muncul dengan rentang waktu yang semakin pendek dan dengan rasa sakit yang semakin hebat. Tiap ia datang, peluh saya bercucuran demi menahan rasa sakitnya. Di tengah-tengah deraan apa yang saya anggap kontraksi palsu itu, saya masih sempat meraih ponsel, googling, lalu mengetikkan keyword Braxton Hicks pada mesin pencari itu. Baca-baca sepintas lalu mengamalkan tips-tips pada artikel di dunia maya itu. Tapi hasilnya nihil. Rasa sakit itu terus saja datang.

“Ibu ke kantor dulu ya, Nak. Insya Allah cuma sebentar untuk membagikan undangan (pernikahan ipar saya pekan depan).” ujar Ibu saat masuk ke kamar.

Sejurus kemudian, ibu menatap wajah saya. Kali ini lebih lekat, tidak seperti biasanya. “Kalau sampai siang nanti masih sakit, bawa ke rumah sakit saja...” ujar Ibu kepada suami saya. Suami saya mengiyakan. Saya dalam hati hanya berdoa semoga sakit ini segera reda agar kami tak perlu ke rumah sakit siang itu.

Setelah itu, suami masuk ke dalam kamar membawa piring berisi sarapan. Saya yang biasanya sarapan berat di pagi hari rasanya jadi lupa untuk lapar gara-gara rasa sakit ini. Saya mencoba duduk dan bersandar pada tembok, masih di atas tempat tidur. Mencoba menyuapkan nasi ke mulut, namun baru beberapa suap, rasa sakit itu kembali datang, hingga rasanya saya begitu lemas hanya untuk menopang piring sarapan. Suami jadinya mengambil alih menyuapi saya.

“Kita ke rumah sakit saja ya...” ujarnya. Saya menggeleng. Ah, saya merasa sangat berantakan hari itu. Saya belum mandi, wajah kucel dan terlipat-lipat menahan sakit. Rasanya malas sekali untuk keluar rumah dan ke rumah sakit. Dalam pada itu, saya masih percaya bahwa kami baru akan ke rumah sakit malam nanti, sesuai rencana untuk mengkonsultasikan kehamilan saya.


Jelang Zhuhur, 9 Mei 2016

Rasa sakitnya tidak juga berhenti. Suami nampak mulai makin khawatir, mungkin juga sebab genggaman tangan saya semakin basah oleh keringat dan semakin keras menggenggam tangannya tiap kali rasa sakit yang makin sering itu datang kembali.

“Tambah lama tambah sakit...” ujar saya sambil meringis.

“Setelah Zhuhur kita ke rumah sakit saja.” ujar suami saya. Kali ini dengan nada tegas, nampaknya tanpa mengharapkan pertimbangan pendapat saya.  Saya hanya bisa mengangguk lemah dengan mata sayu.

Sempat terbersit pikiran; jangan-jangan saya akan melahirkan hari ini? Tapi saya menggeleng kepada diri sendiri. Tidak. Bukan sekarang saatnya. Bukan saat saya sama sekali tidak bersiap untuk itu. Saya belum banyak membaca tentang persalinan, belum juga bertanya lebih mendalam kepada yang lebih berpengalaman. Tidak. Saya tidak akan melahirkan hari ini. Siang ini mungkin memang kami akan ke rumah sakit, tapi saya hanya akan diberi obat untuk menghilangkan rasa sakit kontraksi, dan semuanya akan kembali normal, begitu pikir saya kala itu.

Tapi rasa sakit itu semakin menjadi dan saya merasa semakin kewalahan menahannya. Suami sudah memberi tahu Bapak mertua bahwa kami akan ke rumah sakit, memesan taksi, dan meminta Inna, adik ipar paling bungsu untuk membantu saya bersiap. Dengan sisa tenaga yang saya punya saya mencoba bangkit untuk mengganti baju daster dengan gamis dan jilbab. Rasanya malas sekali, rasanya berantakan sekali. Saya berjalan menuju taksi sambil dibopong oleh suami dan Inna di sebelah kiri dan kanan. Dan, rasa sakit itu masih terus datang. 

Mungkin karena melihat keadaan dan mengira saya akan melahirkan, supir taksi itu memacu kendaraannya dengan kecepatan agak tinggi. Jadinya mobil berguncang dengan cukup hebat. Saya yang masih terus menahan sakit semakin meringis dibuatnya.

“Pelan-pelan...” ujar saya. Mungkin supir taksi itu heran, baru kali itu ada orang yang mau dibawa ke rumah bersalin tapi malah menyuruhnya pelan-pelan. Hehehe...


Sekitar pukul 14.00, 9 Mei 2016; Rumah Sakit Bersalin Wihdatul Ummah

Kami akhirnya tiba. Saya langsung dibopong menuju ruangan bersalin untuk diperiksa. Saya berbaring di ranjang sambil terengah-engah. Bidan yang saat itu menangani saya langsung menanyakan kondisi saya dan mengecek medical record.

“Tidak ada lendir darah? Tidak rasa pecah ketuban?” tanyanya. Saya menggeleng. Kedua tanda melahirkan itu tidak ada sejak tengah malam tadi. Ya memang, sebab saya memang belum akan melahirkan hari ini, masih begitu pikiran saya hingga saat itu.

“Kalau begitu silakan ke wc untuk buang air kecil dan membuka pakaian dalamnya ya. Setelahnya, saya akan lakukan pemeriksaan dalam...” ujar bidan itu setenang mungkin.

Saya menyeret langkah ke wc, mencoba buang air kecil, tapi tak bisa. Mengecek kedua tanda melahirkan itu, tapi tak ada. Pemeriksaan dalam kemudian dilakukan dan saya terus meringis kesakitan sambil kewalahan mengatur napas. Setelah memeriksa saya, bidan tadi tak berkata apa-apa, dan saya terlalu kesakitan untuk menangkap perubahan ekspresinya. Ia hanya meminta saya untuk terus mengatur napas, menarik napas panjang tiap rasa sakit itu datang, dan berbaring dengan menghadap ke kanan. Saya tidak ada pilihan lain selain mengikuti semua instruksinya. Saat itu, Ibu mertua juga sudah tiba di rumah sakit dan segera berada di sisi tempat tidur untuk mendampingi saya.

Di antara peluh dan rasa sakit, saya menggenggam tangan ibu yang mengusap kepala saya dengan lembut. “Bu... sakitnya datang lagi...” ujar saya dengan terengah. Kali ini rasanya makin makin makin sakit. Lalu pada satu titik, saya merasa ada yang meletus di dalam perut saya, lalu mengalirkan air yang membasahi sarung pakaian bagian bawah saya.

Inikah yang disebut pecah ketuban?

Ya.

Baiklah.

Saya akan melahirkan saat ini.

Baru pada detik itu saya percaya bahwa saya benar-benar akan menghadapi proses persalinan saat itu juga. Bidan itu kemudian mengarahkan posisi saya dan meminta saya ‘latihan mengedan’. Yang bidan itu tidak sampaikan kepada saya pasca memeriksa saya tadi adalah; ternyata tadi itu saya sudah pembukaan lengkap, sodara-sodara! 

Dan karena prosedur rumah sakit tidak memperbolehkan suami saya masuk ke ruang bersalin, jadilah saya kali itu ditemani ibu mertua di sebelah kiri, dan Inna di sebelah kanan, akan menjalani proses yang tidak akan pernah saya lupakan itu.

Ya.. bagus! Bagus sekali dek! Begitu dek! Nanti mengedan seperti itu lagi kalau kontraksinya datang!” ujar bidan itu setelah saya mempraktekkan instruksinya. Mendapat apresiasi seperti itu, rasanya saya menjadi bersemangat untuk mengedan! Ayo semangat!

Nak, sejak awal saya sudah berjanji padamu untuk berjuang yang terbaik saat masa ini datang. Maka mari kita berjuang bersama, biidznillah!

“Sakitnya datang lagi kak...” ujar saya kepada bidan itu. Nampak satu bidan lagi ikut bersiap menangani saya. Sepintas lalu, saya familiar dengan wajahnya.

Saya kembali mengedan. Allahu Akbar! Laa hawla wa laa quwwata illa billah! Sungguh lemah sekali kita sebagai manusia, sungguh saat ini saya sangat membutuhkan pertolongan dan kekuatan dariNya!

“Ya.. bagus dek..! Bagus!” ujar bidan yang pertama itu kembali. Saya mengambil napas di antara jeda kontraksi itu. Ibu mengansurkan sedotan dari botol air minum yang segera saya seruput. Bidan yang baru saja datang itu lalu menatap wajah saya dengan lekat.

“Namanya siapa, dek?” tanyanya.

“Diena Rifa’ah..” ujar saya sambil terengah.

Ekspresi bidan kedua itu lalu berubah. Senyumnya merekah. “Oooh.. Diena yang penulis itu kan? Iya betul... yang penulis itu!” ujarnya dengan semangat. Saya tidak tau harus berekspresi bagaimana untuk menanggapinya.

“Iya, ini yang penulis itu...” ujarnya kepada perawat di sebelahnya. “Lihat saja, pasti nanti melahirkanya ini pun akan ditulisnya!” ujar bidan itu masih dengan senyum terkembang. Kejadian itu, sungguh sepersekian detik telah sukses mengalihkan kesakitan saya. Hehe.. ada-ada saja..

Perjuangan masih terus berlanjut. Tiap rasa sakit itu datang, saya kembali mengedan dengan kuat. Dengan mengerahkan semua tenaga yang saya punya. Rasanya urat-urat ini dibetot dengan hebat. Tapi proses ini harus segera saya tuntaskan. Saya harus berjuang. Rasa sakit yang menjalar ke seluruh tubuh  dikalahkan oleh keinginan saya untuk segera menyelesaikan proses ini.  

“Ayo dek, kali ini ambil napas lebih panjang...!”

Saya kembali berusaha mengedan. Mendorong janin itu keluar dari rahim saya. Tidak terpikirkan lagi seberapa robekan yang sudah tercipta di bawah sana dan seberapa banyak darah yang tumpah. Saya berusaha merasai bahwa si kecil pun tengah berjuang untuk menemukan jalan lahirnya. Rasanya dunia di sekeliling saya berhenti dan semuanya hanya tentang bagaimana kami semua yang ada di ruangan itu berjuang untuk menghadapi persalinan ini, atas izin dan pertolongan Allah. Tidak terpikirkan lagi untuk berteriak atau menangisi ini semua sebab saya harus mengkonsentrasikan sekecil apapun kekuatan yang saya punya untuk mendorong si kecil dengan otot-otot saya. Betapa Maha Besar-nya Allah, betapa lemahnya saya.

“Jangan lepaskan berkuatnya, Dek.. ayo sambung napasnya di sini...” bidan kedua tadi memberikan instruksi sementara bidan pertama bergeser ke sebelah kiri tempat tidur dan menindih bagian atas perut saya.

“Saya cuma membantu di sini dek, tetap harus kamu yang terus mendorong. Ayo lebih kuat, Sayang! Sedikit lagi... ya.. bagus...!” ujar bidan pertama itu.

Saya terengah. Sungguh tidak ada pilihan lain. Tidak ada pilihan untuk menyerah pada kelelahan dan rasa sakit ini. Sedikit lagi, katanya! Sedikit lagi!

Saya terus berusaha dan berusaha mendorong di antara semua yang tumpah di siang itu. Ah, betapa perjuangan ini terasa panjang, Anakku.

Mengawali kehamilan dengan ngidam berat di trimester pertama hingga medio trimester kedua. Saat dinyatakan hamil dan sementara jauh dari sanak keluarga di tanah rantau, sempat terpikirkan bahwa ngidam berat ini sungguh tidak sanggup lagi saya hadapi. Hanya berdua dengan suami dan menyaksikannya harus mengerjakan seluruh pekerjaan rumah dan mengurus saya yang hanya bisa terkulai lemah di tempat tidur. Hingga kemudian memutuskan untuk kembali ke tanah air lebih dulu dan menjalani hubungan jarak jauh yang juga jauh sangat menyiksa.

Mengontrol kehamilan tanpa didampingi suami, melalui malam-malam yang terasa sunyi dan seringnya ditingkahi dengan perasaan pusing dan mual yang terasa sepanjang hari. Hingga sempat divonis ‘plasenta menutup jalan lahir’ pada sebuah pemeriksaan saat suami masih di seberang. Sebuah keadaan yang kami putuskan untuk tidak kami beritahu kepada keempat orang tua agar mereka tak khawatir pada keadaan saya. Dalam pada itu, rasanya ingin sekali ditenangkan dengan pelukan yang nyatanya hanya dapat kami lakukan secara virtual melalui chatting. Tak kurang juga bagaimana saya yakin bahwa suami tak kalah khawatirnya nun jauh sana. Di tambah dengan minimnya pengalaman kami menghadapi keadaan seperti ini. Dan keputusan untuk tidak memberi tahu keadaan itu pada orang terdekat membuat saya kerap kali dianggap melemah-lemahkan diri atau terlalu cuek dengan sekitar, akibat lebih banyak ‘sibuk dengan keadaan saya sendiri’. Padahal, satu-satunya hal yang saya lakukan adalah berusaha untuk menjaga diri saya agar tetap baik-baik saja. Goal saya hanya setidaknya tidak ada flek atau pendarahan yang terjadi. Doa dan hanya doa yang terus berusaha menguatkan kami. Jika segala kesulitan itu harus tertakdir, semoga setelahnya Allah memberikan kemudahan kepada diri yang lemah ini.

Dan alhamdulillah, kondisi itu terlewati juga. Apalagi saat suami akhirnya turut kembali menyusul ke Makassar dan kami memutuskan untuk pindah konsultasi ke rumah bersalin yang kami tempati sekarang.

“Semuanya sudah normal, bahkan kepala janin terlalu ke bawah. Jangan terlalu banyak aktivitas dulu ya...” ujar dokter kandungan yang kami mintai second opinion tentang kondisi plasenta saya. Rahim saya sudah turut berkembang dan menempatkan semuanya pada posisi yang seharusnya.

Tapi pemeriksaan bulan berikutnya, saya malah dinyatakan sungsang dan diajarkan latihan gaya menungging untuk memperbaiki posisi janin. Ketakutan bahwa kondisi itu akan bertahan hingga melahirkan sehingga mengindikasikan operasi, kembali datang. Tapi harus kembali dihalau dengan pikir positif bahwa semuanya akan baik-baik saja.

Dan bulan berikutnya, dokter itu tersenyum saat memberikan konsultasi kepada saya. “Latihannya rajin ya? Sekarang posisi kepalanya sudah berbalik dan bahkan kembali agak ke bawah. Jangan banyak jalan dulu, belum sekarang waktunya jalan-jalan pagi itu.. nantilah di akhir bulan..” ujar dokter pada bulan April itu. Saya rasanya ingin nyengir jika mengingat bahwa saya banyak men-skip kebiasaan ‘latihan nungging’ itu dari anjuran dokter karena kemalasan saya. Tapi alhamdulillah, Allah lagi-lagi membantu saya dan semuanya menjadi baik-baik saja.

Dan dokter, dengan membandingkan HPL berdasarkan HPHT yang menyatakan bahwa pertengahan Mei menjadi prediksi melahirkan saya, menyatakan bahwa kemungkinan jadwal itu masih terus mundur.

“Mungkin baru awal Juni..” ujar dokter yang kemudian meminta saya kembali berkonsultasi di awal Mei. Prediksinya kemudian menjadi pegangan saya, menjadikan saya begitu santai, bahkan untuk sekadar mempersiapkan tas perlengkapan masuk ke rumah sakit yang sudah sering diwanti-wanti oleh Mama.

Belakangan, di hari yang bersejarah itu, baru kemudian para bidan itu mengedukasi saya bahwa saya seharunya bersiap-siap untuk melahirkan berdasarkan prediksi yang paling pertama. Bahwa kehamilan saya sejatinya memang sudah cukup bulan jika dihitung dari hari pertama haid terakhir.

“Ya... dorong terus Dek! Ayo... masya Allah.. sedikit lagi...” ujar para bidan itu dengan penuh semangat. Basahlah sudah saya. Basah oleh keringat, air mata, dan darah yang tumpah. Di sisa tenaga yang saya punya, dorongan itu terus saya lakukan di antara menyebut namaNya. Mengakui kebesaranNya. Sungguh tak sanggup saya melakukan apa-apa tanpa ditolong olehNya. Rasa sakitnya terbias oleh keinsyafan saya, oleh kesadaran saya, bahwa ini adalah satu tugas yang harus saya tuntaskan; melahirkan seorang jiwa.


Pukul 14.20, 9 Mei 2016; Rumah Sakit Bersalin Wihdatul Ummah

Lalu di antara itu semua, sejenak hening. Ada perasaan lega pada setiap inchi diri saya saat rasanya sesuatu keluar dari tubuh saya. Sejenak hening yang kemudian pecah oleh suara tangis. Dia sudah datang. Dia sudah lahir. Yang berbulan-bulan terus hidup dan bertumbuh dalam perut saya. Yang sepanjang waktu ini hanya dapat saya belai dari luar, yang menjadi paling dekat dengan saya, yang membersamai saya dalam tangis dan tawa dalam waktu yang seketika terasa singkat saja. Hei Nak, inikah saatnya kita benar-benar berjumpa?

Tangisnya pecah.

Dia sudah datang.

Tangannya menggapai-gapai dengan gemetar di udara saat tubuhnya di angkat oleh bidan. Dibersihkan sesaat, lalu diletakkan di dada saya. Kulitnya menyentuh kulit saya. Tubuhnya masih merah dan tangisnya mereda. Dengan takut-takut saya mencoba menyentuh dan membelainya yang kini menempel pada saya dengan mata terkatup.

Dia sudah lahir.

Seseorang yang tak pernah alpa menjadi bagian dalam doa-doa saya, bahkan sebelum saya mengenal ayahnya. Anak keturunan yang akan menjadi penerus sejarah kami. Teman seperjalanan yang akan menambah ramai kafilah kami dalam menyusuri perjalanan panjang kehidupan ini. Amanah yang besar, ah... Wahai Rabbi, sungguh amanah yang teramat besar yang Engkau titipkan kepada kami. Seorang anak yang tidak bisa memilih dari rahim mana ia dilahirkan, yang tidak bisa memesan di tengah keluarga apa ia dibesarkan. Yaa Rabbi, sungguh amanah yang teramat besar yang Engkau titipkan kepada kami!

Dia, yang menjadi doa agar menjelma penyejuk mata, pemimpin bagi kaum yang bertakwa. Dia, yang pada namanya tersemat nama mujahid dari Mesir, penakluk bangsa Mongol yang bengis itu. Dia, yang kami harapkan tidak akan menyekutukan Allah, menyembah Allah meski setelah sepeninggal kami, melantunkan doa terbaiknya sebagai anak yang shalih, insya Allah. Dia, lelaki mungil dari perut ummi...

Dunia, sambut ia dengan salam keselamatan! Assalamu ‘alaikum, Fayyadh Muzhaffar!

Makassar, 1 Juli 2016
Teriring sebanyak-banyaknya ucapan terima kasih kepada semua pihak di RB Wihdatul Ummah yang senantiasa terasa setiap kebaikan-kebaikannya. Jazakumullahu khairan... Barakallahu fiikum! Alhamdulillah, Fayyadh lahir di tempat yang tepat.