Sabtu, 31 Desember 2016

Lelaki yang Tak Pernah Pergi Hingga Allah yang Memanggilnya Kembali

“Sampai kapan akan seperti ini?” Mama menatap saya. “Sampai kapan mengingat Bapak lalu kemudian sedih seperti ini? Kamu, apa sudah tidak ingat lagi sama Bapak?” tanya Mama kemudian.
Saya tersenyum. Tapi rasanya pahit. “Bagaimana bisa saya lupa sama Bapak?” saya bertanya balik. Retoris. “Hanya saja, tiap ingat Bapak, saya tidak pernah bilang sama Mama..” 

Ya.

Bagaimana bisa saya lupa?

Bagaimana bisa saya lupa pada Bapak, dan pada hari di mana ujung pena yang saya pegang, dalam tarikan tanda tangan saya, menjadi penentu pada tindakan medis yang akan dijalani Bapak hari itu.
Kesadaran Bapak menurun. Suhu tubuhnya meningkat dan kejang datang semakin sering. Oleh spesialis bedah syaraf, kami diberi pilihan agar kembali mengizinkan Bapak untuk berada di meja operasi. Tiga hari dalam perawatan intensif, setelah sebelumnya menunjukkan respon obat yang baik, namun di hari ketiga kondisi Bapak malah menurun.

Maka pagi itu, saya menandatangani lembar persetujuan untuk operasi. Dengan berbagai macam pertimbangan. Setelah berbicara dengan tiga orang dokter. Setelah memohon untuk disambungkan lewat telepon dengan dokter yang menangani Bapak selama ini –yang saat saya tiba di rumah sakit hari itu, sudah berada di rumah sakit lain untuk menjalankan operasinya yang lain.

“Saya tidak mungkin menyarankan opsi ini jika resikonya lebih besar.” ujarnya di akhir pembicaraan kami. Lalu saya menandatangi persetujuan ini dengan hati tidak karuan, sebab saya pun tahu bahwa ada kemungkinan terburuk yang bisa saja terjadi. Dan saya pun tahu, akan menghadapi berbagai macam komentar dari orang-orang di luar sana atas keputusan besar yang saya ambil itu. Keputusan yang saya menjadi penanggungjawab utamanya.

Saya tidak bisa menahan diri untuk tidak menangis dalam rakaat-rakaan shalat Zhuhur hari itu. Betapa saya lemah menghadapi semua ini dan betapa saya mengharapkan pertolongan Allah atas keadaan Bapak.

Namun, siang belum beranjak terlalu jauh saat saya kembali masuk ke ruangan tempat Bapak di rawat, lalu kemudian seorang dokter lainnya datang menghampiri kami dengan alis berkerut. Melihat monitor di samping Bapak dan menanyakan perkembangan Bapak pada perawat. Ia menggeleng-geleng berkali-kali lalu kemudian menjelaskan pada saya bahwa kondisi Bapak terus saja menurun sejak tadi pagi. Dan pada titik ini, ia sebagai seorang anastesiologist menyarankan kami untuk membatalkan persetujuan operasi.

“Kecuali jika ada perbaikan kondisi umum, kita bisa kembali jalankan operasi. Namun dengan kondisi seperti sekarang ini, ini bukan lagi fifty-fifty.. tapi bahkan bisa saya katakan 70:30...” ujarnya.

Dan saya pun kembali menarik pena untuk menandatangi persetujuan pembatalan.

Lalu apa opsi lain yang bisa kami lakukan selain operasi? Menunggu. Ya, menunggu sambil melihat Bapak mendapatkan berbagai obat-obatan yang kami harapkan bisa memperbaiki kondisi Bapak.
Tapi itu tidak terjadi.

Kondisi Bapak terus menurun. Bayangkan bagaimana berantakannya hati seorang anak perempuan menyaksikan ayahnya bernapas satu-satu, dengan kejang yang semakin sering datang. Saya mencoba menahan tangan Bapak yang bergerak-gerak menegang saat kejang, sambil mengusap rambut tipis Bapak yang telah dua kali dicukur untuk dua operasi di kepala sebelumnya. Dalam pada itu, betapa saya menghayati untaian doa-doa ruqyah dengan mengharapkan kesembuhan untuk Bapak. Kesembuhan yang saya yakini datang bukan dari dokter, bukan dari obat, bukan dari operasi atau apapun itu. Tapi dari Dia, Rabb manusia yang memberikan kesembuhan. Kesembuhan yang tiada lagi sakit setelahnya...

Bagaimana saya bisa lupa?

Bagaimana saya bisa lupa pada hari di mana saya terus menatap layar monitor yang memantau kondisi Bapak. Berharap angka-angka itu menunjukkan kondisi normal. Bertanya pada dokter dan perawat tentang skor kesadaran Bapak yang saya harap bisa meningkat.

Tapi itu tidak terjadi.

Senja berlalu dan tekanan darah Bapak yang sebelumnya melonjak, malah menurun. Menurun, bukan berhenti pada titik normal, tapi justru terus menurun dan menunjukkan bahwa kondisi Bapak semakin memburuk.

Saya berjalan gontai keluar dari ruang ICU untuk menjalankan shalat Maghrib dan kembali tidak bisa menahan diri untuk tidak menangis. Betapa beratnya kesedihan di hari itu. Tapi betapa saya masih berharap pada pertolonganNya. Pertolongan Allah untuk mengangkat penyakit Bapak.

Saya kembali masuk ke ruang ICU dan mendapati angka-angka di monitor tidak juga menunjukkan berita baik. Seorang kerabat menarik tangan saya untuk terus berada di sisi tempat tidur Bapak. Jangan beranjak dari sana, dan memang itulah yang ingin saya lakukan. Saya mengusap kepala Bapak, kembali lagi berkali-kali menyaksikan serangan kejang itu datang. Saya terus membisikkan doa kesembuhan di telinga Bapak. Mata-mata mulai basah. Tapi apapun masih bisa terjadi dan atas Bapak, saya mengharapkan yang terbaik.

“Laki-laki itu mau melamar kamu..” saya masih ingat kata-kata Bapak saat itu. Di awal tahun 2015 yang lalu, selepas menerima kedatangan seorang pemuda yang kini adalah suami saya.

“Kalian harus saling memahami...” ujar Bapak dengan mata berkaca-kaca saat suami saya, di awal pernikahan kami, meminta nasihat dari Bapak sebelum keberangkatan kami merantau pada akhir Agustus tahun lalu.

“Memangnya ada suami yang seperti Bapak?” kata Bapak kepada saya, suatu hari, selepas saya memasakkan sayur kesukaannya.

“Saya memang sering terbangun di malam hari, Dok.. sejak setelah dioperasi...” ujar Bapak sambil tersenyum, memperlihatkan barisan geliginya yang rata. Bapak mengatakan itu kepada dokter sambil tersenyum, seolah itu adalah sesuatu yang lucu, beberapa hari sebelum Bapak kembali masuk ICU setelah jatuh dari tempat tidur, dalam sesi konsultasi pasca operasi kedua. Dan, itu menjadi senyuman terakhir yang saya ingat. Senyuman yang kini sangat saya rindukan.

Seorang suster menghampiri kami dengan menenteng spigmomanometer. Mengecek tekanan darah Bapak secara manual.

Enam puluh per empat puluh...” ucapnya kemudian.

Tekanan darah Bapak terus menurun. Di hadapan saya, dua orang yang sangat jarang saya saksikan air matanya –kakak laki-laki dan adik perempuan saya, menangis sesunggukan sambil sesekali memanggil Bapak dengan lirih. Suami saya pun tidak pernah beranjak jauh dari tempat tidur tempat Bapak berbaring. Kami terus bertahan di sisi Bapak dan bergantian membacakan doa, ayat Al Qur’an, dan membantu mentalkinkan Bapak.

Dokter residen yang menjadi asisten spesialis bedah syaraf yang menangani Bapak nampak melihat kami dari jauh. Kemudian memanggil kami untuk menjelaskan sesuatu.

Sekarang kita melihat kondisi Bapak semakin menurun. Kami sudah memasukkan dosis obat maksimal untuk bisa menaikkan tekanan darahnya, tapi respon tubuhnya menunjukkan respon minimal. Kita tidak tahu, semua hal masih bisa terjadi jika Tuhan berkehendak. Tapi menurut analisis medis kami, mungkin tinggal beberapa jam lagi...” ujarnya.

Kami kembali menghambur kepada Bapak. Tidak. Bapak akan kembali sembuh. Bapak akan baik-baik saja, pulang ke rumah, dan kami akan merawatnya kembali. Saya terus melantunkan doa di telinga Bapak. Napas Bapak semakin melambat. Monitor terus menunjukkan angka-angka yang semakin memburuk.

Ikhlaskan Bapak...” suami membisiki telinga saya.

Saya menarik napas berat. Rasanya sakit sekali. Tidak. Bapak masih ada. Bapak masih di sana. Saya mengusap kepala Bapak dan terus melantunkan doa di telinganya. Waktu terus berlalu dan napas Bapak semakin melemah dan melambat. Menit-menit berlalu dan rasanya saya ingin sekali menghentikan waktu.

Bapak...” saya menggenggam tangan Bapak yang mulai dingin. Sepersekian detik saya terluput dari melihat ke arah wajah Bapak, lalu kemudian kembali mendapati Bapak tidak lagi menarik napas.
Bapak?

“Sudah tidak ada kalau begini.. itu sudah tidak ada...” seorang kerabat menunjuk kepada mulut Bapak yang sudah tidak lagi menarik napas. Saya mengarahkan pandangan pada monitor. Tapi, masih ada denyut nadi.. masih ada... masih ada..

Saya menggenggam tangan Bapak. Entah sudah sebasah apa mata ini sejak tadi.

Tapi, denyut nadi itu terus menurun. Menurun. Menurun. Dan menurun. Hingga berakhir di titik nol. Dan garis di sebelahnya menjadi lurus, dengan suara denging yang memanjang.

Malaikat maut baru saja menyelesaikan tugasnya.
.
.
.
Innalillahi wa inna ilaihi rajiun...  

Bapak, lelaki yang tak pernah pergi. Bapak, lelaki yang tak pernah meninggalkan kami, hingga Allah yang memanggilnya untuk kembali.

Bagaimana saya bisa lupa, pada tangis yang jatuh malam itu. Hingga tak tahu lagi hal lain yang bisa saya pikirkan, selain bahwa malam itu, saya baru saja kehilangan ayah saya sendiri. Dan, ternyata rasanya sesakit ini...

Saya duduk di dalam ambulans, membelah jalanan kota yang lengang selepas tengah malam. Lampu-lampu berkelap-kelip, dan sirine ambulans memecah keheningan. Begitu memasuki kompleks perumahan kami, sirine dipadamkan. Ambulans meluncur dalam diam. Di rumah, para kerabat telah bersiap-siap, mengelurkan sofa, menggelar karpet menyiapkan tempat untuk meletakkan jasad Bapak.
Saya berjalan menuju kamar Mama. Adik saya yang tidak ikut di ambulans sudah tiba lebih dahulu untuk memberitahu Mama secara langsung. Mama sejak maghrib terus menelpon ke ponsel kami semua, ingin tahu apa yang terjadi di rumah sakit, tapi tidak ada di antara kami yang sanggup untuk mengangkat dan mengabarinya.

Mama terbaring di tempat tidur sambil menutup mata. Suasana kamar senyap. Tidak satupun dari kami yang mengeluarkan suara. Kami hanya mengelilingi Mama dan memijat kakinya. Ingin sekali saya menangis, sebenarnya. Tapi tidak. Tidak di hadapan Mama.  

Selepas itu, satu per satu dari kami berbaring. Saya dan adik berbaring di samping mama di atas tempat tidur. Suami dan kakak saya berbaring di karpet. Kami terlelap dengan sisa-sisa air mata masing-masing.

Pukul empat pagi, saya terbangun dan tidak bisa lagi memejamkan mata. Saya berjalan ke ruang tamu tempat jasad Bapak dibaringkan. Saya menghampirinya, membuka penutup bagian wajahnya. Mendapati wajah Bapak dan menatapnya lamat-lamat.

“Bapak.. sudah tidak sakit lagi, Pak..” gumam saya dengan lirih. Air mata kembali mengalir. Dada kembali sesak. Sesak sekali.

Tidak sakit lagi, Pak. Tidak ada kejang lagi. Tidak ada operasi lagi. Tidak ada ruang ICU lagi. Tidak ada rumah sakit lagi...

Pagi, dan satu per satu pelayat berdatangan. Saya membersamai Mama di dalam kamar dan memberi tahu siapapun yang mau masuk kamar agar tidak menangis.

“Tolong jangan menangis, Ibu saya akan menjadi bertambah sedih.. “

Sebelumnya, Mama telah menguatkan diri untuk menuju ruang tamu dengan kursi roda. Melewati orang-orang dengan kesedihan di dalam matanya. Melihat wajah Bapak untuk terakhir kalinya.
Selepas semua proses memandikan dan mengafani selesai, jenazah Bapak dilepas menuju masjid dekat rumah untuk di shalatkan. Masjid yang sebelum operasi pertama Bapak jalani, menjadi tempat Bapak menunaikan shalat berjamaah. Masih ada kursi Bapak di sana. Kursi yang Bapak pakai shalat saat kaki Bapak ia rasa tidak kuat berdiri.

Lalu kemudian jenazah dibawa menuju kampus UIN. Bapak juga akan dishalatkan di masjid kampus. Saya memandang sekeliling tempat itu. Inilah rumah kedua Bapak, tempat Bapak menghabiskan banyak waktu dan pikirannya. Hari itu, Bapak dilepas pula dari sana.

Tuntas dua prosesi shalat jenazah, saya kembali naik di ambulans, jasad Bapak juga kembali dinaikkan, kami berangkat menuju pemakaman. Saya memandangi jasad Bapak yang tertutup. Mengingati kembali tiap safar yang dulu kami jalani bersama, berdua saja. Dalam perjalanan-perjalanan yang sedianya didampingi oleh Mama, saya dan adik perempuan saya selalu menggantikan ibu kami, untuk mendampingi Bapak. Tiap bertemu dengan kawannya, Bapak selalu memperkenalkan saya atau adik saya sebagai puterinya, dan menjelaskan bahwa istrinya sedang sakit sehingga kami yang menggantikan.

Kami tiba di pemakaman dan jasad Bapak pun dimasukkan ke liang lahat. Ditutupi dengan tanah. Saya mengusap tanah perkuburan Bapak dengan air mata yang tidak bisa lagi terputus. Lalu kami kembali ke ambulans dan berangkat untuk pulang ke rumah. Saya memandangi keranda yang kini kosong. Tidak ada lagi Bapak di sana. Tidak ada lagi Bapak yang pulang ke rumah bersama kami.
Bapakku sayang, lelaki yang tidak banyak bicara. Lelaki yang membuat sendiri sarapan bubur oat dan susu kedelainya di pagi hari. Lelaki yang sangat jarang menyuruh. Lelaki yang bahkan di tengah sakit di akhir hidupnya, sangat jarang mengeluh. Bapakku sayang, lelaki yang sabar. Semoga Allah menyayangi Bapak. Mengampuni dosa-dosanya, melapangkan kuburnya.

Jika ada yang kubanggakan darinya, maka itu bukan tentang gelar atau jabatan Bapak. Tapi sebab beliau adalah orang yang sangat bijaksana. Diterimanya setiap pilihan pidup yang saya ambil, bahkan meski terkadang itu berselisih dengan apa yang ada di pikirannya. Meski itu mungkin bukan keputusan yang umumnya dilakukan oleh anak perempuan lain di keluarga kami, atau anak-anak perempuan kawan-kawannya. Mulai dari mengenakan jilbab panjang, tidak daftar PNS, menikah dengan menyekat tamu lelaki dan perempuan, hingga mengenakan penutup wajah. Bapak tahu bahwa semua itu saya pilih dengan prinsip yang saya yakini, maka Bapak menghormatinya, bahkan tanpa pernah mencoba mengkompromikannya.

Bapak, jika apa yang ananda lakukan adalah kebaikan yang diganjar pahala, semoga mengalir pula pahala yang sama besarnya untukmu di akhirat.

Semoga di tempat kesudahan terbaik kelak, kita bisa berkumpul kembali, Pak. Allahummaghfirlahu warhamhu wa’afihi wa’fuanhu..

Makassar, setelah genap dua bulan kepergian Bapak
Kami tidak akan melupakanmu, sebab itulah satu-satunya cara agar Bapak terus hidup dalam ingatan kami.


in memoriam 
Bapak kami
Salehuddin Yasin
12/12/1954 - 1/11/2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih sudah berkunjung. Jika kamu berkenan meninggalkan jejak di kolom komentar, lebih baik lagi :)