“Sampai
kapan akan seperti ini?”
Mama menatap saya. “Sampai kapan
mengingat Bapak lalu kemudian sedih seperti ini? Kamu, apa sudah tidak ingat
lagi sama Bapak?” tanya Mama kemudian.
Saya tersenyum. Tapi rasanya pahit. “Bagaimana bisa saya lupa sama Bapak?”
saya bertanya balik. Retoris. “Hanya
saja, tiap ingat Bapak, saya tidak pernah bilang sama Mama..”
Ya.
Bagaimana bisa saya lupa?
Bagaimana bisa saya lupa pada Bapak, dan pada hari
di mana ujung pena yang saya pegang, dalam tarikan tanda tangan saya, menjadi
penentu pada tindakan medis yang akan dijalani Bapak hari itu.
Kesadaran Bapak menurun. Suhu tubuhnya meningkat
dan kejang datang semakin sering. Oleh spesialis bedah syaraf, kami diberi
pilihan agar kembali mengizinkan Bapak untuk berada di meja operasi. Tiga hari
dalam perawatan intensif, setelah sebelumnya menunjukkan respon obat yang baik,
namun di hari ketiga kondisi Bapak malah menurun.
Maka pagi itu, saya menandatangani lembar
persetujuan untuk operasi. Dengan berbagai macam pertimbangan. Setelah
berbicara dengan tiga orang dokter. Setelah memohon untuk disambungkan lewat
telepon dengan dokter yang menangani Bapak selama ini –yang saat saya tiba di
rumah sakit hari itu, sudah berada di rumah sakit lain untuk menjalankan
operasinya yang lain.
“Saya
tidak mungkin menyarankan opsi ini jika resikonya lebih besar.” ujarnya di akhir pembicaraan kami. Lalu
saya menandatangi persetujuan ini dengan hati tidak karuan, sebab saya pun tahu
bahwa ada kemungkinan terburuk yang bisa saja terjadi. Dan saya pun tahu, akan
menghadapi berbagai macam komentar dari orang-orang di luar sana atas keputusan
besar yang saya ambil itu. Keputusan yang saya menjadi penanggungjawab
utamanya.
Saya tidak bisa menahan diri untuk tidak menangis
dalam rakaat-rakaan shalat Zhuhur hari itu. Betapa saya lemah menghadapi semua
ini dan betapa saya mengharapkan pertolongan Allah atas keadaan Bapak.
Namun, siang belum beranjak terlalu jauh saat saya
kembali masuk ke ruangan tempat Bapak di rawat, lalu kemudian seorang dokter
lainnya datang menghampiri kami dengan alis berkerut. Melihat monitor di
samping Bapak dan menanyakan perkembangan Bapak pada perawat. Ia
menggeleng-geleng berkali-kali lalu kemudian menjelaskan pada saya bahwa
kondisi Bapak terus saja menurun sejak tadi pagi. Dan pada titik ini, ia
sebagai seorang anastesiologist
menyarankan kami untuk membatalkan persetujuan operasi.
“Kecuali
jika ada perbaikan kondisi umum, kita bisa kembali jalankan operasi. Namun
dengan kondisi seperti sekarang ini, ini bukan lagi fifty-fifty.. tapi bahkan
bisa saya katakan 70:30...” ujarnya.
Dan saya pun kembali menarik pena untuk
menandatangi persetujuan pembatalan.
Lalu apa opsi lain yang bisa kami lakukan selain
operasi? Menunggu. Ya, menunggu sambil melihat Bapak mendapatkan berbagai
obat-obatan yang kami harapkan bisa memperbaiki kondisi Bapak.
Tapi itu tidak terjadi.
Kondisi Bapak terus menurun. Bayangkan bagaimana
berantakannya hati seorang anak perempuan menyaksikan ayahnya bernapas
satu-satu, dengan kejang yang semakin sering datang. Saya mencoba menahan
tangan Bapak yang bergerak-gerak menegang saat kejang, sambil mengusap rambut tipis
Bapak yang telah dua kali dicukur untuk dua operasi di kepala sebelumnya. Dalam
pada itu, betapa saya menghayati untaian doa-doa ruqyah dengan mengharapkan
kesembuhan untuk Bapak. Kesembuhan yang saya yakini datang bukan dari dokter,
bukan dari obat, bukan dari operasi atau apapun itu. Tapi dari Dia, Rabb
manusia yang memberikan kesembuhan. Kesembuhan yang tiada lagi sakit
setelahnya...
Bagaimana saya bisa lupa?
Bagaimana saya bisa lupa pada hari di mana saya terus
menatap layar monitor yang memantau kondisi Bapak. Berharap angka-angka itu
menunjukkan kondisi normal. Bertanya pada dokter dan perawat tentang skor
kesadaran Bapak yang saya harap bisa meningkat.
Tapi itu tidak terjadi.
Senja berlalu dan tekanan darah Bapak yang
sebelumnya melonjak, malah menurun. Menurun, bukan berhenti pada titik normal,
tapi justru terus menurun dan menunjukkan bahwa kondisi Bapak semakin memburuk.
Saya berjalan gontai keluar dari ruang ICU untuk
menjalankan shalat Maghrib dan kembali tidak bisa menahan diri untuk tidak
menangis. Betapa beratnya kesedihan di hari itu. Tapi betapa saya masih
berharap pada pertolonganNya. Pertolongan Allah untuk mengangkat penyakit
Bapak.
Saya kembali masuk ke ruang ICU dan mendapati
angka-angka di monitor tidak juga menunjukkan berita baik. Seorang kerabat
menarik tangan saya untuk terus berada di sisi tempat tidur Bapak. Jangan beranjak
dari sana, dan memang itulah yang ingin saya lakukan. Saya mengusap kepala
Bapak, kembali lagi berkali-kali menyaksikan serangan kejang itu datang. Saya
terus membisikkan doa kesembuhan di telinga Bapak. Mata-mata mulai basah. Tapi
apapun masih bisa terjadi dan atas Bapak, saya mengharapkan yang terbaik.
“Laki-laki
itu mau melamar kamu..” saya masih ingat kata-kata Bapak saat itu. Di awal
tahun 2015 yang lalu, selepas menerima kedatangan seorang pemuda yang kini
adalah suami saya.
“Kalian
harus saling memahami...” ujar Bapak dengan mata berkaca-kaca saat suami saya,
di awal pernikahan kami, meminta nasihat dari Bapak sebelum keberangkatan kami
merantau pada akhir Agustus tahun lalu.
“Memangnya
ada suami yang seperti Bapak?” kata Bapak kepada saya, suatu hari, selepas saya
memasakkan sayur kesukaannya.
“Saya
memang sering terbangun di malam hari, Dok.. sejak setelah dioperasi...” ujar
Bapak sambil tersenyum, memperlihatkan barisan geliginya yang rata. Bapak
mengatakan itu kepada dokter sambil tersenyum, seolah itu adalah sesuatu yang
lucu, beberapa hari sebelum Bapak kembali masuk ICU setelah jatuh dari tempat
tidur, dalam sesi konsultasi pasca operasi kedua. Dan, itu menjadi senyuman
terakhir yang saya ingat. Senyuman yang kini sangat saya rindukan.
Seorang suster menghampiri kami dengan menenteng
spigmomanometer. Mengecek tekanan darah Bapak secara manual.
“Enam puluh
per empat puluh...” ucapnya kemudian.
Tekanan darah Bapak terus menurun. Di hadapan
saya, dua orang yang sangat jarang saya saksikan air matanya –kakak laki-laki
dan adik perempuan saya, menangis sesunggukan sambil sesekali memanggil Bapak
dengan lirih. Suami saya pun tidak pernah beranjak jauh dari tempat tidur
tempat Bapak berbaring. Kami terus bertahan di sisi Bapak dan bergantian
membacakan doa, ayat Al Qur’an, dan membantu mentalkinkan Bapak.
Dokter residen yang menjadi asisten spesialis
bedah syaraf yang menangani Bapak nampak melihat kami dari jauh. Kemudian
memanggil kami untuk menjelaskan sesuatu.
“Sekarang
kita melihat kondisi Bapak semakin menurun. Kami sudah memasukkan dosis obat
maksimal untuk bisa menaikkan tekanan darahnya, tapi respon tubuhnya
menunjukkan respon minimal. Kita tidak tahu, semua hal masih bisa terjadi jika
Tuhan berkehendak. Tapi menurut analisis medis kami, mungkin tinggal beberapa
jam lagi...” ujarnya.
Kami kembali menghambur kepada Bapak. Tidak. Bapak
akan kembali sembuh. Bapak akan baik-baik saja, pulang ke rumah, dan kami akan
merawatnya kembali. Saya terus melantunkan doa di telinga Bapak. Napas Bapak
semakin melambat. Monitor terus menunjukkan angka-angka yang semakin memburuk.
“Ikhlaskan
Bapak...” suami membisiki telinga saya.
Saya menarik napas berat. Rasanya sakit sekali.
Tidak. Bapak masih ada. Bapak masih di sana. Saya mengusap kepala Bapak dan
terus melantunkan doa di telinganya. Waktu terus berlalu dan napas Bapak
semakin melemah dan melambat. Menit-menit berlalu dan rasanya saya ingin sekali
menghentikan waktu.
“Bapak...”
saya menggenggam tangan Bapak yang mulai dingin. Sepersekian detik saya
terluput dari melihat ke arah wajah Bapak, lalu kemudian kembali mendapati
Bapak tidak lagi menarik napas.
Bapak?
“Sudah
tidak ada kalau begini.. itu sudah tidak ada...” seorang kerabat menunjuk kepada mulut Bapak
yang sudah tidak lagi menarik napas. Saya mengarahkan pandangan pada monitor.
Tapi, masih ada denyut nadi.. masih ada... masih ada..
Saya menggenggam tangan Bapak. Entah sudah sebasah
apa mata ini sejak tadi.
Tapi, denyut nadi itu terus menurun. Menurun.
Menurun. Dan menurun. Hingga berakhir di titik nol. Dan garis di sebelahnya
menjadi lurus, dengan suara denging yang memanjang.
Malaikat maut baru saja menyelesaikan tugasnya.
.
.
.
Innalillahi
wa inna ilaihi rajiun...
Bapak, lelaki yang tak pernah pergi. Bapak, lelaki
yang tak pernah meninggalkan kami, hingga Allah yang memanggilnya untuk
kembali.
Bagaimana saya bisa lupa, pada tangis yang jatuh
malam itu. Hingga tak tahu lagi hal lain yang bisa saya pikirkan, selain bahwa
malam itu, saya baru saja kehilangan ayah saya sendiri. Dan, ternyata rasanya
sesakit ini...
Saya duduk di dalam ambulans, membelah jalanan
kota yang lengang selepas tengah malam. Lampu-lampu berkelap-kelip, dan sirine
ambulans memecah keheningan. Begitu memasuki kompleks perumahan kami, sirine
dipadamkan. Ambulans meluncur dalam diam. Di rumah, para kerabat telah
bersiap-siap, mengelurkan sofa, menggelar karpet menyiapkan tempat untuk
meletakkan jasad Bapak.
Saya berjalan menuju kamar Mama. Adik saya yang
tidak ikut di ambulans sudah tiba lebih dahulu untuk memberitahu Mama secara
langsung. Mama sejak maghrib terus menelpon ke ponsel kami semua, ingin tahu
apa yang terjadi di rumah sakit, tapi tidak ada di antara kami yang sanggup
untuk mengangkat dan mengabarinya.
Mama terbaring di tempat tidur sambil menutup
mata. Suasana kamar senyap. Tidak satupun dari kami yang mengeluarkan suara.
Kami hanya mengelilingi Mama dan memijat kakinya. Ingin sekali saya menangis,
sebenarnya. Tapi tidak. Tidak di hadapan Mama.
Selepas itu, satu per satu dari kami berbaring.
Saya dan adik berbaring di samping mama di atas tempat tidur. Suami dan kakak
saya berbaring di karpet. Kami terlelap dengan sisa-sisa air mata
masing-masing.
Pukul empat pagi, saya terbangun dan tidak bisa
lagi memejamkan mata. Saya berjalan ke ruang tamu tempat jasad Bapak
dibaringkan. Saya menghampirinya, membuka penutup bagian wajahnya. Mendapati
wajah Bapak dan menatapnya lamat-lamat.
“Bapak..
sudah tidak sakit lagi, Pak..” gumam saya dengan lirih. Air mata kembali mengalir. Dada kembali sesak.
Sesak sekali.
Tidak sakit lagi, Pak. Tidak ada kejang lagi.
Tidak ada operasi lagi. Tidak ada ruang ICU lagi. Tidak ada rumah sakit lagi...
Pagi, dan satu per satu pelayat berdatangan. Saya
membersamai Mama di dalam kamar dan memberi tahu siapapun yang mau masuk kamar
agar tidak menangis.
“Tolong
jangan menangis, Ibu saya akan menjadi bertambah sedih.. “
Sebelumnya, Mama telah menguatkan diri untuk
menuju ruang tamu dengan kursi roda. Melewati orang-orang dengan kesedihan di
dalam matanya. Melihat wajah Bapak untuk terakhir kalinya.
Selepas semua proses memandikan dan mengafani
selesai, jenazah Bapak dilepas menuju masjid dekat rumah untuk di shalatkan.
Masjid yang sebelum operasi pertama Bapak jalani, menjadi tempat Bapak
menunaikan shalat berjamaah. Masih ada kursi Bapak di sana. Kursi yang Bapak
pakai shalat saat kaki Bapak ia rasa tidak kuat berdiri.
Lalu kemudian jenazah dibawa menuju kampus UIN.
Bapak juga akan dishalatkan di masjid kampus. Saya memandang sekeliling tempat
itu. Inilah rumah kedua Bapak, tempat Bapak menghabiskan banyak waktu dan
pikirannya. Hari itu, Bapak dilepas pula dari sana.
Tuntas dua prosesi shalat jenazah, saya kembali
naik di ambulans, jasad Bapak juga kembali dinaikkan, kami berangkat menuju
pemakaman. Saya memandangi jasad Bapak yang tertutup. Mengingati kembali tiap
safar yang dulu kami jalani bersama, berdua saja. Dalam perjalanan-perjalanan
yang sedianya didampingi oleh Mama, saya dan adik perempuan saya selalu menggantikan
ibu kami, untuk mendampingi Bapak. Tiap bertemu dengan kawannya, Bapak selalu
memperkenalkan saya atau adik saya sebagai puterinya, dan menjelaskan bahwa
istrinya sedang sakit sehingga kami yang menggantikan.
Kami tiba di pemakaman dan jasad Bapak pun
dimasukkan ke liang lahat. Ditutupi dengan tanah. Saya mengusap tanah
perkuburan Bapak dengan air mata yang tidak bisa lagi terputus. Lalu kami
kembali ke ambulans dan berangkat untuk pulang ke rumah. Saya memandangi
keranda yang kini kosong. Tidak ada lagi Bapak di sana. Tidak ada lagi Bapak
yang pulang ke rumah bersama kami.
Bapakku sayang, lelaki yang tidak banyak bicara.
Lelaki yang membuat sendiri sarapan bubur oat dan susu kedelainya di pagi hari.
Lelaki yang sangat jarang menyuruh. Lelaki yang bahkan di tengah sakit di akhir
hidupnya, sangat jarang mengeluh. Bapakku sayang, lelaki yang sabar. Semoga
Allah menyayangi Bapak. Mengampuni dosa-dosanya, melapangkan kuburnya.
Jika ada yang kubanggakan darinya, maka itu bukan
tentang gelar atau jabatan Bapak. Tapi sebab beliau adalah orang yang sangat
bijaksana. Diterimanya setiap pilihan pidup yang saya ambil, bahkan meski
terkadang itu berselisih dengan apa yang ada di pikirannya. Meski itu mungkin
bukan keputusan yang umumnya dilakukan oleh anak perempuan lain di keluarga
kami, atau anak-anak perempuan kawan-kawannya. Mulai dari mengenakan jilbab
panjang, tidak daftar PNS, menikah dengan menyekat tamu lelaki dan perempuan,
hingga mengenakan penutup wajah. Bapak tahu bahwa semua itu saya pilih dengan
prinsip yang saya yakini, maka Bapak menghormatinya, bahkan tanpa pernah
mencoba mengkompromikannya.
Bapak, jika apa yang ananda lakukan adalah
kebaikan yang diganjar pahala, semoga mengalir pula pahala yang sama besarnya
untukmu di akhirat.
Semoga di tempat kesudahan terbaik kelak, kita
bisa berkumpul kembali, Pak. Allahummaghfirlahu warhamhu wa’afihi wa’fuanhu..
Makassar,
setelah genap dua bulan kepergian Bapak
Kami
tidak akan melupakanmu, sebab itulah satu-satunya cara agar Bapak terus hidup
dalam ingatan kami.
Bapak kami
Salehuddin Yasin
12/12/1954 - 1/11/2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih sudah berkunjung. Jika kamu berkenan meninggalkan jejak di kolom komentar, lebih baik lagi :)