Rabu, 07 Desember 2016

Kita Hanyalah Dua Orang Asing

''Saat kuinsyafi perjalanan ini, maka kudapati bahwa ternyata kita hanyalah dua orang asing...''

Malam masih sangat pekat ketika saya membuka mata dengan tergesa. Keringat bercucuran dan napas memburu. Seketika saya mendapati wajah suami yang menatap saya dengan khawatir setelah berusaha membangunkan saya yang mengigau di malam buta itu.
''Mimpi buruk ya?'' tanyanya kemudian
Saya menghembuskan napas berat.

Kejadian sebelum tidur itu rupanya cukup membekas pada diri saya, bahkan hingga masuk ke dalam alam bawah sadar. Sebelumnya, saya mendapatkan sebuah informasi yang cukup membuat saya mengernyitkan kening, berpikir lebih dalam, sekaligus merasakan ketakutan dan kekhawatiran.

Ini tentang cerita perihal sebuah rumah tangga. Tanpa perlu tahu tentang siapa tokoh-tokoh di dalamnya untuk menghindari ghibah, saya memang terkadang mendengarkan cerita tentang masalah-masalah yang dapat timbul dalam rumah tangga lewat kisah-kisah nyata yang terjadi di sekeliling saya. Namun kisah kali ini cukup membuat saya kepikiran.

Sebab dari info yang saya dapatkan, pasangan itu punya trade record yang baik secara personal, paham agama, bahkan seringkali menjadi pusat informasi perihal rumah tangga sakinah. Namun ternyata, itu tidak menjadi sebab bahwa mereka pun lolos dari prahara. Saya kemudian sangat tidak menyangka, bahwa prahara itu kemudian membuat keduanya dapat berlaku sedemikian buruk kepada pasangan mereka. Begitu buruknya hingga bahkan harus masuk dalam mimpi buruk saya. Sesuatu yang sempat membuat saya berpikir dalam heran: mengapa mereka bisa saling menyakiti sebegitu rupa?

Dalam pada itu, saya kemudian mencoba merenungi, betapa setiap pasangan pada dasarnya adalah orang asing bagi satu sama lain.

Syariat mengatur kita untuk hanya boleh menikah dengan nonmahram kita. Seseorang yang dekat ataupun jauhnya, bagaimanapun tetaplah orang asing pada hakikatnya. Seseorang yang pada awalnya sama sekali tidak terkait dengan kita, dan pada dasarnya kita tidak memiliki tanggungan atasnya. Seseorang yang sebelum akad itu terucap, nyatanya bukanlah siapa-siapa bagi diri kita. Fakta ini membuat saya mencoba menjawab pertanyaan saya sendiri: ya, mungkin itulah sebabnya mereka bisa begitu mudah untuk saling menyakiti.

Sebab dia hanyalah orang asing, seorang lelaki mungkin bisa tega untuk mengkhianati kepercayaan dan kesetiaan pasangannya. Tidak peduli pada tanggung jawabnya. Atau memilih untuk bungkam dan bercuek ria saat bahtera yang ia nakhodai tengah dirundung badai masalah.

Sebab dia hanyalah orang asing, seorang perempuan mungkin menjadi ringan untuk menaikkan suaranya di hadapan suaminya. Menjadi santai untuk melontarkan kata-kata kasar bahkan kata-kata kotor sekalipun. Menjadi mudah untuk berkeluh kesah atas kekurangan dunia yang ia dapatkan. Lalu kemudian tidak lagi peduli untuk menjadi 'rumah untuk pulang' bagi suaminya.

Namun, apakah permasalahannya menjadi sesederhana itu?

Nyatanya tidak.

Nyatanya, saat akad nikah digelar, ada setumpuk hak dan kewajiban yang secara otomatis tersemat kepada pasangan suami istri itu. Perjanjian agung itu telah mengubah banyak hal. Mengubah dua orang asing yang dipertemukan oleh takdir menjadi memiliki kepentingan untuk mengekalkan kebersamaan mereka hingga ke surga.

Lelaki itu harus menafkahi keluarga yang baru saja ia miliki. Perempuan itu harus taat kepada pemimpin rumah tangganya tanpa tapi -selama bukan maksiat kepada Allah. Dan ini memang bukan perkara mudah. Ada rupa-rupa ujian yang melekat padanya. Ia tidak seindah hiasan bunga-bunga saat walimah digelar. Mungkin bahkan ia bisa menjadi lebih perih dari tertusuk duri,rasa perih yang bisa mengintai kapan saja, sebab syaitan sangat bangga saat bisa menghancurkan sebuah rumah tangga. Godaannya untuk melunturkan sakinah itu mungkin akan selalu muncul di antara waktu shalat dengan waktu shalat yang lain. Muncul di antara prasangka. Muncul di antara ketidakpuasan. Muncul di antara candaan yang disikapi serius oleh pasangan. Muncul di antara sikap bermudah-mudah dalam menjaga kesucian diri dan hubungan. Muncul di antara hal-hal yang tidak pernah kita duga, sebelum kita memutuskan untuk menikahinya. Hingga mungkin terbersit dalam pikiran kita; ah, seandainya aku tak menikah dengannya...

Dan mungkin, rasa penyesalan itu menjadi celah yang begitu empuk untuk syaitan dan kelemahan kita, untuk menyakiti pasangan dan kembali lupa pada ikrar kita yang Allah menjadi saksinya. Tiba-tiba, kita kembali menjadi orang asing yang tak sengaja bertemu di persimpangan jalan.

Maka tak ada daya dan upaya selain atas pertolongan Allah. Dan sakinah itu berasal dariNya. Kita mohon kepadanya dalam segala ketidakberdayaan kita. Betapa rumah tangga yang rusak bisa membuat seseorang menjadi ingin hidup lebih singkat dan menjadi begitu suram dalam menjalani hari-harinya.

Dan cukuplah kesadaran akan betapa agungnya pernikahan itu, yang menjadi pegangan bagi kita untuk bertahan dalam badai yang menerpa. Yang menjadi sandaran saat kita merasa lelah.

Ada orang asing di sisi kita yang telah menyiapkan jemarinya untuk kita dekap bersama. Orang asing yang Allah perjumpakan dengan kita, bukan tanpa sebuah hikmah besar yang ada di baliknya. Dialah mungkin yang akan menjadi ladang untuk kita menuai syukur dan sabar bersama, menyusun satu demi satu batu bata untuk membangun peradaban, saat kemudian bibir kita dapat mengucap tentangnya: sungguh, aku ridha atas dirinya.

Makassar, 10 Agustus 2016
Rifa'ah Ummu Fayyadh
~hamba Allah yang masih terus belajar untuk survive dalam perjalanan 'menapak pada rembulan'.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih sudah berkunjung. Jika kamu berkenan meninggalkan jejak di kolom komentar, lebih baik lagi :)