Akhir September 2015
“Ok, jadi sekitar five weeks, ya...”
ujar perempuan berwajah turunan Timur Tengah itu sambil mengamati
hitung-hitungannya sendiri. Selanjutnya ia memastikan kepada saya perihal hasil
testpack, lalu meminta saya naik ke
atas tempat tidur untuk kemudian menjalani pemeriksaan USG. Ia lalu menunjukkan
bulatan hitam kecil pada layar yang memindai bagian perut bagian bawah saya. Ia
menyebutnya; kantung janin.
Senja hari, 8 Mei 2016
Saya mengecup telapak tangan Bapak dan Mama. Pamitan. Malam ini, kami akan
menginap di rumah mertua. Ibu mertua saya malam nanti akan pulang dari
perjalanan dinas di luar kota. Dan rencananya, besok malamnya saya dan suami
akan ke rumah bersalin tempat saya selama ini mengontrol kehamilan. Rumah
bersalinnya lebih dekat ke rumah mertua dibanding rumah orang tua saya.
Rencananya, jika dekat masa persalinan nanti, kami akan bersiap-siap dengan
menginap di sana untuk lebih memudahkan aksesnya.
“Besok malam insya Allah mau sekalian
kontrol ke dokter...” ujar saya saat pamit pada Bapak, sekaligus
menjelaskan bahwa kami akan mabit dua
malam di sana.
“Ooh.. jadi kapan melahirkan?”
tanya Bapak dengan spontan, masih dalam posisi berbaringnya. Saya nyengir
mendengar pertanyaan Bapak. Lalu memberitahu prediksi dokter berdasarkan
pemeriksaan terakhir yang menduga saya akan melahirkan di awal bulan depan.
Kami pun menyusuri jalan di atas laju roda dua. Tujuan pertama bukan
langsung ke tujuan utama kami. Ya, sore ini memang kami mengagendakan untuk
menyantap ikan lele goreng favorit di bilangan jalan Perintis. Jadilah rute
kami sore hingga ba’da Maghrib itu adalah Gowa-Perintis-Antang. Dalam
perjalanan menuju rumah mertua saya sempat mengutarakan kepada suami perihal
kekhawatiran saya menghadapi persalinan nanti.
“Rasanya mulai deg-degan...” ujar
saya di antara suara klakson mobil yang ikut melaju di jalan malam itu. Seperti
biasa, suami menasihatkan saya untuk banyak berdoa dan menenangkan saya bahwa
semuanya akan baik-baik saja, insya Allah.
Setibanya di rumah, saya baru merasakan lelahnya. Perjalanan kami tadi
memang terasa cukup panjang, apalagi saya sambil membopong perut yang terus
membuncit dari hari ke hari. Rasanya makin mudah ngos-ngosan. Selepas Isya,
saya memutuskan berbaring sambil membaca sebuah buku yang baru saja saya
miliki. Setelah itu, sepertinya hal yang paling tepat untuk dilakukan adalah
langsung tidur saja. Rencananya besok saja saya menyapa Ibu yang akan tiba
jelang tengah malam nanti.
Dini hari, 9 Mei 2016
Deg!
Rasa itu datang lagi. Perasaan tegang di perut yang disertai dengan rasa
sakit bercampur mulas. Beberapa hari yang lalu, rasa yang sama kerap kali
datang sesekali untuk kemudian mereda setelahnya. Saya mencoba mengatur napas.
Menguasai diri. Berpikir bahwa, seperti kemarin, sakit ini pun akan mereda
segera, insya Allah.
Saat mulai kembali memejamkan mata, serangan sakit itu datang kembali
beberapa saat kemudian. Kali ini saya merasa ingin buang air kecil pula. Saya
kembali mengatur napas dan berharap bahwa sakitnya segera mereda agar saya bisa
lebih nyaman bangun untuk buang air kecil. Sekembalinya dari WC, saya mencoba
kembali tidur. Tapi tak beberapa lama, rasa sakit itu datang lagi. Saya mencoba
membangunkan suami dan memberitahunya perihal apa yang saya rasakan. Seperti
kemarin-kemarin, suami akan ikut bangun dan membacakan ayat-ayat ruqyah sambil
mengusap perut saya. Biasanya sakit dan tegangnya akan mereda dan saya akan
kembali tertidur, dan kali itu pun demikian.
Tapi..
Bedanya, kali ini rasa sakit itu terus saja datang hingga subuh menjelang.
Rasa-rasanya makin lama derajat sakitnya makin bertambah. Saya merasa nyaris
tidak bisa tidur dibuatnya. Suami pun terus menerus saya bangunkan tiap rasa
sakit itu kembali datang.
“Bagaimana kalau kita
bangunkan Ibu?” tanya
suami di pagi buta itu. Saya masih menggenggam tangannya sambil meringis
kesakitan. Sejurus kemudian, saya menggeleng.
“Besok saja tanya sama
ibu... Ibu baru pulang, pasti butuh istirahat dulu... “. Ujar saya sambil menarik napas panjang.
Sakitnya berangsur mereda, tapi untuk kembali datang lagi setelahnya..
Awal pagi, 9 Mei 2016
Ba’da subuh Ibu segera masuk ke kamar tempat saya tidur setelah diberitahu
suami perihal kami yang nyaris tak bisa memejamkan mata separuh malam akibat
menegangnya perut saya.
“Mungkin masuk angin, bu..
Rasanya agak-agak mules begitu...” ujar saya, masih dalam posisi berbaring sejak usai shalat subuh tadi. Mencoba
menganalisis bahwa mungkin ini adalah efek perjalanan kami malam kemarin.
Ibu mengecek kondisi saya, lalu kemudian mengansurkan minyak kayu putih
untuk dibalurkan ke perut.
“Mudah-mudahan cuma masuk
angin, Nak. Kalau sudah agak enakan bangun dulu minum teh dan makan kue ya..” ujar Ibu kemudian. Saya mengangguk sambil
tersenyum mengiyakan.
Rasa sakit itu masih saja terus datang. Tiap perut saya terasa menegang,
telapak tangan dan kaki saya rasanya sampai ikut basah dan dingin menahan
sakitnya. Sesekali saya meremas bantal sambil menahan rasa sakit. Jeda antara
serangan sakit yang satu dan yang lainnya saat perut saya terasa lega jadinya
terasa sangat nyaman sekali. Saya mencoba menguatkan diri untuk bangkit ke WC
lalu singgah di ruang tengah untuk menyeruput teh dan ngemil kue ole-ole yang
dibawa Ibu. Orang rumah yang lain sedang ramai membongkar ole-ole lainnya di
ruang tamu. Suami ikut duduk di samping saya sambil turut memakan kue di
hadapan kami.
“Sudah ndak sakit?” tanyanya
“Sakitnya masih suka datang
sih... tapi ini lagi berhenti..” jawab saya sambil terus mengunyah. Saya masih berpikir bahwa mungkin ini
akibat masuk angin. Semoga dengan teh hangat dan kue ini, angin itu bisa
terdorong keluar agar perut saya lebih lega.
Saya kemudian masuk kembali ke kamar sebab rasa sakitnya kembali datang.
Rasanya ingin berbaring saja...
Sekitar pukul 10.00, 9 Mei
2016
Kenapa rasa sakit ini tidak berhenti datang ya? Bukannya kemarin-kemarin
biasanya hanya datang satu dua kali, setelah itu hilang kembali? Baru kali ini
saya merasakan yang seperti ini. Ini mungkin kontraksi, tapi tentu saja
kontraksi palsu. Wong saya baru akan
melahirkan bulan depan! Begitu terus pikiran yang menari-nari di kepala
saya; saya tidak akan melahirkan sekarang, saya baru akan melahirkan bulan
depan, dan sakit ini akan segera berhenti.
Tapi, nyatanya tidak. Rasa sakit itu muncul dengan rentang waktu yang
semakin pendek dan dengan rasa sakit yang semakin hebat. Tiap ia datang, peluh
saya bercucuran demi menahan rasa sakitnya. Di tengah-tengah deraan apa yang
saya anggap kontraksi palsu itu, saya masih sempat meraih ponsel, googling, lalu mengetikkan keyword Braxton Hicks pada mesin pencari
itu. Baca-baca sepintas lalu mengamalkan tips-tips pada artikel di dunia maya
itu. Tapi hasilnya nihil. Rasa sakit itu terus saja datang.
“Ibu ke kantor dulu ya, Nak.
Insya Allah cuma sebentar untuk membagikan undangan (pernikahan ipar saya pekan
depan).” ujar Ibu saat
masuk ke kamar.
Sejurus kemudian, ibu menatap wajah saya. Kali ini lebih lekat, tidak
seperti biasanya. “Kalau sampai siang
nanti masih sakit, bawa ke rumah sakit saja...” ujar Ibu kepada suami saya.
Suami saya mengiyakan. Saya dalam hati hanya berdoa semoga sakit ini segera
reda agar kami tak perlu ke rumah sakit siang itu.
Setelah itu, suami masuk ke dalam kamar membawa piring berisi sarapan. Saya
yang biasanya sarapan berat di pagi hari rasanya jadi lupa untuk lapar
gara-gara rasa sakit ini. Saya mencoba duduk dan bersandar pada tembok, masih
di atas tempat tidur. Mencoba menyuapkan nasi ke mulut, namun baru beberapa
suap, rasa sakit itu kembali datang, hingga rasanya saya begitu lemas hanya
untuk menopang piring sarapan. Suami jadinya mengambil alih menyuapi saya.
“Kita ke rumah sakit saja
ya...” ujarnya. Saya
menggeleng. Ah, saya merasa sangat berantakan hari itu. Saya belum mandi, wajah
kucel dan terlipat-lipat menahan sakit. Rasanya malas sekali untuk keluar rumah
dan ke rumah sakit. Dalam pada itu, saya masih percaya bahwa kami baru akan ke
rumah sakit malam nanti, sesuai rencana untuk mengkonsultasikan kehamilan saya.
Jelang Zhuhur, 9 Mei 2016
Rasa sakitnya tidak juga berhenti. Suami nampak mulai makin khawatir,
mungkin juga sebab genggaman tangan saya semakin basah oleh keringat dan
semakin keras menggenggam tangannya tiap kali rasa sakit yang makin sering itu
datang kembali.
“Tambah lama tambah
sakit...” ujar saya
sambil meringis.
“Setelah Zhuhur kita ke
rumah sakit saja.” ujar
suami saya. Kali ini dengan nada tegas, nampaknya tanpa mengharapkan
pertimbangan pendapat saya. Saya hanya bisa mengangguk lemah dengan
mata sayu.
Sempat terbersit pikiran; jangan-jangan saya akan melahirkan hari ini? Tapi
saya menggeleng kepada diri sendiri. Tidak. Bukan sekarang saatnya. Bukan saat
saya sama sekali tidak bersiap untuk itu. Saya belum banyak membaca tentang
persalinan, belum juga bertanya lebih mendalam kepada yang lebih berpengalaman.
Tidak. Saya tidak akan melahirkan hari ini. Siang ini mungkin memang kami akan
ke rumah sakit, tapi saya hanya akan diberi obat untuk menghilangkan rasa sakit
kontraksi, dan semuanya akan kembali normal, begitu pikir saya kala itu.
Tapi rasa sakit itu semakin menjadi dan saya merasa semakin kewalahan
menahannya. Suami sudah memberi tahu Bapak mertua bahwa kami akan ke rumah
sakit, memesan taksi, dan meminta Inna, adik ipar paling bungsu untuk membantu
saya bersiap. Dengan sisa tenaga yang saya punya saya mencoba bangkit untuk
mengganti baju daster dengan gamis dan jilbab. Rasanya malas sekali, rasanya
berantakan sekali. Saya berjalan menuju taksi sambil dibopong oleh suami dan
Inna di sebelah kiri dan kanan. Dan, rasa sakit itu masih terus datang.
Mungkin karena melihat keadaan dan mengira saya akan melahirkan, supir
taksi itu memacu kendaraannya dengan kecepatan agak tinggi. Jadinya mobil
berguncang dengan cukup hebat. Saya yang masih terus menahan sakit semakin
meringis dibuatnya.
“Pelan-pelan...” ujar saya. Mungkin supir taksi itu heran,
baru kali itu ada orang yang mau dibawa ke rumah bersalin tapi malah menyuruhnya
pelan-pelan. Hehehe...
Sekitar pukul 14.00, 9 Mei
2016; Rumah Sakit Bersalin Wihdatul Ummah
Kami akhirnya tiba. Saya langsung dibopong menuju ruangan bersalin untuk
diperiksa. Saya berbaring di ranjang sambil terengah-engah. Bidan yang saat itu
menangani saya langsung menanyakan kondisi saya dan mengecek medical record.
“Tidak ada lendir darah?
Tidak rasa pecah ketuban?” tanyanya. Saya menggeleng. Kedua tanda melahirkan itu tidak ada sejak
tengah malam tadi. Ya memang, sebab saya memang belum akan melahirkan hari ini,
masih begitu pikiran saya hingga saat itu.
“Kalau begitu silakan ke wc
untuk buang air kecil dan membuka pakaian dalamnya ya. Setelahnya, saya akan
lakukan pemeriksaan dalam...” ujar bidan itu setenang mungkin.
Saya menyeret langkah ke wc, mencoba buang air kecil, tapi tak bisa. Mengecek
kedua tanda melahirkan itu, tapi tak ada. Pemeriksaan dalam kemudian dilakukan
dan saya terus meringis kesakitan sambil kewalahan mengatur napas. Setelah
memeriksa saya, bidan tadi tak berkata apa-apa, dan saya terlalu kesakitan
untuk menangkap perubahan ekspresinya. Ia hanya meminta saya untuk terus
mengatur napas, menarik napas panjang tiap rasa sakit itu datang, dan berbaring
dengan menghadap ke kanan. Saya tidak ada pilihan lain selain mengikuti semua
instruksinya. Saat itu, Ibu mertua juga sudah tiba di rumah sakit dan segera
berada di sisi tempat tidur untuk mendampingi saya.
Di antara peluh dan rasa sakit, saya menggenggam tangan ibu yang mengusap
kepala saya dengan lembut. “Bu...
sakitnya datang lagi...” ujar saya dengan terengah. Kali ini rasanya makin
makin makin sakit. Lalu pada satu titik, saya merasa ada yang meletus di dalam
perut saya, lalu mengalirkan air yang membasahi sarung pakaian bagian bawah
saya.
Inikah yang disebut pecah ketuban?
Ya.
Baiklah.
Saya akan melahirkan saat ini.
Baru pada detik itu saya percaya bahwa saya benar-benar akan menghadapi
proses persalinan saat itu juga. Bidan itu kemudian mengarahkan posisi saya dan
meminta saya ‘latihan mengedan’. Yang bidan itu tidak sampaikan kepada saya
pasca memeriksa saya tadi adalah; ternyata tadi itu saya sudah pembukaan
lengkap, sodara-sodara!
Dan karena prosedur rumah sakit tidak memperbolehkan suami saya masuk ke
ruang bersalin, jadilah saya kali itu ditemani ibu mertua di sebelah kiri, dan
Inna di sebelah kanan, akan menjalani proses yang tidak akan pernah saya
lupakan itu.
“Ya.. bagus! Bagus sekali dek! Begitu
dek! Nanti mengedan seperti itu lagi kalau kontraksinya datang!” ujar bidan
itu setelah saya mempraktekkan instruksinya. Mendapat apresiasi seperti itu,
rasanya saya menjadi bersemangat untuk mengedan! Ayo semangat!
Nak, sejak awal saya sudah
berjanji padamu untuk berjuang yang terbaik saat masa ini datang. Maka mari
kita berjuang bersama, biidznillah!
“Sakitnya datang lagi
kak...” ujar saya kepada
bidan itu. Nampak satu bidan lagi ikut bersiap menangani saya. Sepintas lalu,
saya familiar dengan wajahnya.
Saya kembali mengedan. Allahu Akbar! Laa hawla wa laa quwwata illa billah!
Sungguh lemah sekali kita sebagai manusia, sungguh saat ini saya sangat
membutuhkan pertolongan dan kekuatan dariNya!
“Ya.. bagus dek..! Bagus!” ujar bidan yang pertama itu kembali. Saya
mengambil napas di antara jeda kontraksi itu. Ibu mengansurkan sedotan dari
botol air minum yang segera saya seruput. Bidan yang baru saja datang itu lalu
menatap wajah saya dengan lekat.
“Namanya siapa, dek?” tanyanya.
“Diena Rifa’ah..” ujar saya sambil terengah.
Ekspresi bidan kedua itu lalu berubah. Senyumnya merekah. “Oooh.. Diena yang penulis itu kan? Iya
betul... yang penulis itu!” ujarnya dengan semangat. Saya tidak tau harus
berekspresi bagaimana untuk menanggapinya.
“Iya, ini yang penulis
itu...” ujarnya kepada
perawat di sebelahnya. “Lihat saja, pasti
nanti melahirkanya ini pun akan ditulisnya!” ujar bidan itu masih dengan
senyum terkembang. Kejadian itu, sungguh sepersekian detik telah sukses
mengalihkan kesakitan saya. Hehe.. ada-ada saja..
Perjuangan masih terus berlanjut. Tiap rasa sakit itu datang, saya kembali
mengedan dengan kuat. Dengan mengerahkan semua tenaga yang saya punya. Rasanya
urat-urat ini dibetot dengan hebat. Tapi proses ini harus segera saya
tuntaskan. Saya harus berjuang. Rasa sakit yang menjalar ke seluruh tubuh dikalahkan oleh keinginan saya untuk segera
menyelesaikan proses ini.
“Ayo dek, kali ini ambil
napas lebih panjang...!”
Saya kembali berusaha mengedan. Mendorong janin itu keluar dari rahim saya.
Tidak terpikirkan lagi seberapa robekan yang sudah tercipta di bawah sana dan
seberapa banyak darah yang tumpah. Saya berusaha merasai bahwa si kecil pun
tengah berjuang untuk menemukan jalan lahirnya. Rasanya dunia di sekeliling
saya berhenti dan semuanya hanya tentang bagaimana kami semua yang ada di
ruangan itu berjuang untuk menghadapi persalinan ini, atas izin dan pertolongan
Allah. Tidak terpikirkan lagi untuk berteriak atau menangisi ini semua sebab
saya harus mengkonsentrasikan sekecil apapun kekuatan yang saya punya untuk
mendorong si kecil dengan otot-otot saya. Betapa Maha Besar-nya Allah, betapa
lemahnya saya.
“Jangan lepaskan berkuatnya,
Dek.. ayo sambung napasnya di sini...” bidan kedua tadi memberikan instruksi sementara
bidan pertama bergeser ke sebelah kiri tempat tidur dan menindih bagian atas
perut saya.
“Saya cuma membantu di sini
dek, tetap harus kamu yang terus mendorong. Ayo lebih kuat, Sayang! Sedikit
lagi... ya.. bagus...!”
ujar bidan pertama itu.
Saya terengah. Sungguh tidak ada pilihan lain. Tidak ada pilihan untuk
menyerah pada kelelahan dan rasa sakit ini. Sedikit lagi, katanya! Sedikit
lagi!
Saya terus berusaha dan berusaha mendorong di antara semua yang tumpah di
siang itu. Ah, betapa perjuangan ini terasa panjang, Anakku.
Mengawali kehamilan dengan ngidam berat di trimester pertama hingga medio
trimester kedua. Saat dinyatakan hamil dan sementara jauh dari sanak keluarga
di tanah rantau, sempat terpikirkan bahwa ngidam berat ini sungguh tidak
sanggup lagi saya hadapi. Hanya berdua dengan suami dan menyaksikannya harus
mengerjakan seluruh pekerjaan rumah dan mengurus saya yang hanya bisa terkulai
lemah di tempat tidur. Hingga kemudian memutuskan untuk kembali ke tanah air
lebih dulu dan menjalani hubungan jarak jauh yang juga jauh sangat menyiksa.
Mengontrol kehamilan tanpa didampingi suami, melalui malam-malam yang
terasa sunyi dan seringnya ditingkahi dengan perasaan pusing dan mual yang
terasa sepanjang hari. Hingga sempat divonis ‘plasenta menutup jalan lahir’ pada sebuah pemeriksaan saat suami
masih di seberang. Sebuah keadaan yang kami putuskan untuk tidak kami beritahu
kepada keempat orang tua agar mereka tak khawatir pada keadaan saya. Dalam pada
itu, rasanya ingin sekali ditenangkan dengan pelukan yang nyatanya hanya dapat
kami lakukan secara virtual melalui chatting.
Tak kurang juga bagaimana saya yakin bahwa suami tak kalah khawatirnya nun
jauh sana. Di tambah dengan minimnya pengalaman kami menghadapi keadaan seperti
ini. Dan keputusan untuk tidak memberi tahu keadaan itu pada orang terdekat
membuat saya kerap kali dianggap melemah-lemahkan diri atau terlalu cuek dengan
sekitar, akibat lebih banyak ‘sibuk dengan keadaan saya sendiri’. Padahal,
satu-satunya hal yang saya lakukan adalah berusaha untuk menjaga diri saya agar
tetap baik-baik saja. Goal saya hanya
setidaknya tidak ada flek atau pendarahan yang terjadi. Doa dan hanya doa yang
terus berusaha menguatkan kami. Jika segala kesulitan itu harus tertakdir,
semoga setelahnya Allah memberikan kemudahan kepada diri yang lemah ini.
Dan alhamdulillah, kondisi itu terlewati juga. Apalagi saat suami akhirnya
turut kembali menyusul ke Makassar dan kami memutuskan untuk pindah konsultasi
ke rumah bersalin yang kami tempati sekarang.
“Semuanya sudah normal,
bahkan kepala janin terlalu ke bawah. Jangan terlalu banyak aktivitas dulu ya...” ujar dokter kandungan yang kami mintai second opinion tentang kondisi plasenta
saya. Rahim saya sudah turut berkembang dan menempatkan semuanya pada posisi
yang seharusnya.
Tapi pemeriksaan bulan berikutnya, saya malah dinyatakan sungsang dan
diajarkan latihan gaya menungging untuk memperbaiki posisi janin. Ketakutan
bahwa kondisi itu akan bertahan hingga melahirkan sehingga mengindikasikan
operasi, kembali datang. Tapi harus kembali dihalau dengan pikir positif bahwa
semuanya akan baik-baik saja.
Dan bulan berikutnya, dokter itu tersenyum saat memberikan konsultasi
kepada saya. “Latihannya rajin ya?
Sekarang posisi kepalanya sudah berbalik dan bahkan kembali agak ke bawah. Jangan
banyak jalan dulu, belum sekarang waktunya jalan-jalan pagi itu.. nantilah di
akhir bulan..” ujar dokter pada bulan April itu. Saya rasanya ingin nyengir
jika mengingat bahwa saya banyak men-skip
kebiasaan ‘latihan nungging’ itu dari anjuran dokter karena kemalasan saya.
Tapi alhamdulillah, Allah lagi-lagi membantu saya dan semuanya menjadi
baik-baik saja.
Dan dokter, dengan membandingkan HPL berdasarkan HPHT yang menyatakan bahwa
pertengahan Mei menjadi prediksi melahirkan saya, menyatakan bahwa kemungkinan
jadwal itu masih terus mundur.
“Mungkin baru awal Juni..” ujar dokter yang kemudian meminta saya
kembali berkonsultasi di awal Mei. Prediksinya kemudian menjadi pegangan saya,
menjadikan saya begitu santai, bahkan untuk sekadar mempersiapkan tas
perlengkapan masuk ke rumah sakit yang sudah sering diwanti-wanti oleh Mama.
Belakangan, di hari yang bersejarah itu, baru kemudian para bidan itu
mengedukasi saya bahwa saya seharunya bersiap-siap untuk melahirkan berdasarkan
prediksi yang paling pertama. Bahwa kehamilan saya sejatinya memang sudah cukup
bulan jika dihitung dari hari pertama haid terakhir.
“Ya... dorong terus Dek!
Ayo... masya Allah.. sedikit lagi...” ujar para bidan itu dengan penuh semangat. Basahlah sudah saya. Basah
oleh keringat, air mata, dan darah yang tumpah. Di sisa tenaga yang saya punya,
dorongan itu terus saya lakukan di antara menyebut namaNya. Mengakui
kebesaranNya. Sungguh tak sanggup saya melakukan apa-apa tanpa ditolong
olehNya. Rasa sakitnya terbias oleh keinsyafan saya, oleh kesadaran saya, bahwa
ini adalah satu tugas yang harus saya tuntaskan; melahirkan seorang jiwa.
Pukul 14.20, 9 Mei 2016;
Rumah Sakit Bersalin Wihdatul Ummah
Lalu di antara itu semua, sejenak hening. Ada perasaan lega pada setiap
inchi diri saya saat rasanya sesuatu keluar dari tubuh saya. Sejenak hening
yang kemudian pecah oleh suara tangis. Dia sudah datang. Dia sudah lahir. Yang
berbulan-bulan terus hidup dan bertumbuh dalam perut saya. Yang sepanjang waktu
ini hanya dapat saya belai dari luar, yang menjadi paling dekat dengan saya,
yang membersamai saya dalam tangis dan tawa dalam waktu yang seketika terasa
singkat saja. Hei Nak, inikah saatnya kita benar-benar berjumpa?
Tangisnya pecah.
Dia sudah datang.
Tangannya menggapai-gapai dengan gemetar di udara saat tubuhnya di angkat
oleh bidan. Dibersihkan sesaat, lalu diletakkan di dada saya. Kulitnya
menyentuh kulit saya. Tubuhnya masih merah dan tangisnya mereda. Dengan
takut-takut saya mencoba menyentuh dan membelainya yang kini menempel pada saya
dengan mata terkatup.
Dia sudah lahir.
Seseorang yang tak pernah alpa menjadi bagian dalam doa-doa saya, bahkan
sebelum saya mengenal ayahnya. Anak keturunan yang akan menjadi penerus sejarah
kami. Teman seperjalanan yang akan menambah ramai kafilah kami dalam menyusuri
perjalanan panjang kehidupan ini. Amanah yang besar, ah... Wahai Rabbi, sungguh
amanah yang teramat besar yang Engkau titipkan kepada kami. Seorang anak yang
tidak bisa memilih dari rahim mana ia dilahirkan, yang tidak bisa memesan di
tengah keluarga apa ia dibesarkan. Yaa Rabbi, sungguh amanah yang teramat besar
yang Engkau titipkan kepada kami!
Dia, yang menjadi doa agar menjelma penyejuk mata, pemimpin bagi kaum yang
bertakwa. Dia, yang pada namanya tersemat nama mujahid dari Mesir, penakluk
bangsa Mongol yang bengis itu. Dia, yang kami harapkan tidak akan menyekutukan
Allah, menyembah Allah meski setelah sepeninggal kami, melantunkan doa
terbaiknya sebagai anak yang shalih, insya Allah. Dia, lelaki mungil dari perut
ummi...
Dunia, sambut ia dengan salam keselamatan! Assalamu ‘alaikum, Fayyadh
Muzhaffar!
Makassar, 1 Juli 2016
Teriring sebanyak-banyaknya
ucapan terima kasih kepada semua pihak di RB Wihdatul Ummah yang senantiasa
terasa setiap kebaikan-kebaikannya. Jazakumullahu khairan... Barakallahu
fiikum! Alhamdulillah, Fayyadh lahir di tempat yang tepat.
Great to see that someone still understand how to create an awesome blog.
BalasHapusThe blog is genuinely impressive in all aspects.
Great, love this .
agen poker online indonesia
Mbak, kok ga boleh masuk suaminya ke ruang bersalin? Saya ada rencana mau melahirkan di wihdatul ummah tp kl suami ga noleh masuk, jd mikir2. Karena di mks kami cuma berdua, tdk ada keluarga lain, dan ini kehamilan pertama
BalasHapussebenarnya boleh kok, Mbak...
Hapus