Kamis, 26 Desember 2019

Wanita dan Amar Ma'ruf Nahi Munkar

Tidak dapat dipungkiri bahwa wanita memiliki peranan yang krusial di tengah masyarakat. Peranan wanita di sektor publik dan domestik bagaimanapun juga akan memberi pengaruh yang besar dalam berbagai hal. Termasuk dalam perintah untuk beramar ma’ruf nahi munkar. Menyeru kepada kebaikan dan mencegah dari kemungkaran merupakan satu perkara yang penting dalam agama ini. Namun terkadang, perkara ini dalam tataran pemikiran dan prakteknya, seringkali hanya diidentikkan dengan peran kaum pria saja. Maka berangkat dari hal tersebut, Dr. Fadhil Ilahi, menyusun sebuah risalah dengan tajuk; Wanita dan Amar Ma’ruf Nahi Munkar. 

Buku ini secara komprehensif akan membahas tentang bagaimana peranan seorang wanita dalam upaya menjalankan amar ma’ruf nahi munkar sesuai dengan fungsi dan kodrat mereka sebagai seorang perempuan. Dengan referensi utama dari Al Qur’an dan As Sunnah, juga merujuk kepada kitab-kitab sunnah, sirah, biografi, dan sejarah, diperkaya pula dengan nukilan dari hadits-hadits yang dilengkapi dengan derajat keshahihannya, buku ini mengulas secara komprehensif topik yang urgen tersebut. 

Buku ini dibagi dalam tiga bagian besar yang masing-masing bagiannya merunut kepada topik-topik yang penting. Pada pasal pertama dibahas tentang tanggung jawab wanita dalam urusan amar ma’ruf nahi munkar. Bagian ini akan menjadi landasan berpikir yang menunjukkan urgensi dari pembahasan-pembahasan selanjutnya. Tersusun atas dua pembahasan utama, di mana yang pertama membahas tentang dalil secara umum tentang amar ma’ruf nahi munkar, kemudian mengerucut kepada dalil yang secara khusus membahas tentang peranan kaum perempuan dalam hal ini. Dalil-dalil ini memberikan gambaran yang tegas tentang posisi wanita dalam perkara ini. 

Kemudian pada pembahasan kedua, masih di pasal yang sama, diuraikan pula tentang urgensi peranan kaum wanita dalam amar ma’ruf nahi mungkar. Bahwa ada poin-poin penting yang menjadi konsekuensi logis, mengapa seorang wanita tidak bisa tidak, harus pula mengambil peran dalam amar ma’ruf nahi mungkar. Misalnya, bahwa wanita sebagai seorang ibu tentu saja menjadi pihak yang paling banyak bersama dengan anak-anak mereka. Sehingga, dasar dari pembentukan generasi selanjutnya, menghajatkan peranan besar dari perempuan di dalamnya. Bahkan meskipun kaum lelaki telah secara maksimal menjalankan perannya dalam berdakwah untuk menegakkan kebenaran, namun tetap terdapat kekhawatiran, bahwa usaha itu tidak bisa menuai hasil yang maksimal, manakala sang isteri tidak memiliki fikrah yang sejalan dengan suaminya. Sementara di sisi lain, kaum istri memiliki pengaruh yang besar terhadap suaminya.  Demikian pula di dalam keluarga. Seorang anak perempuan akan menerima perhatian yang besar dari orang tuanya, sedemikian pula bagaimana seorang saudari akan menempati posisi yang istimewa di antara para saudara laki-lakinya. Maka secara utuh, posisi seorang wanita dalam peranannya di setiap fase kehidupannya, baik sebagai anak, saudari, istri, maupun ibu, memiliki peran yang sangat penting untuk mengusung tugas menyampaikan kebenaran, dan mencegah dari kemungkaran. 

Kemudian memasuki bagian kedua dari buku ini, kita akan disuguhkan dengan contoh real bagaimana tokoh-tokoh muslimah menegakkan amar ma’ruf nahi munkar. Ini akan menjadi bagian yang panjang dan mengangkat nama-nama kaum muslimah dari kalangan salaf dalam upaya mereka menjalankan perannya dalam beramar ma’ruf nahi mungkar ke berbagai kalangan di tengah masyarakat tempat mereka berada. Menjadi menarik untuk turut ‘menyaksikan’ bagaimana para wanita ini ternyata sangat mampu untuk menjalankan tugas tersebut sesuai dengan kapasitas mereka masing-masing. 

Pada pembahasan pertama, dipaparkan bagaimana para muslimah dari kalangan salaf menegakkan amar ma’ruf nahi munkar kepada orang umum, kaum kerabat, dan handai taulan.

Disebutkan tentang kisah bagaimana Ummu Sulaim Radhiyallahu anha menyuruh anaknya untuk mengucapkan kalimat tauhid, juga bagaimana Aisyah Radhiyallahu anha mengingkari perbuatan memakaikan jimat di kaki orang sakit untuk upaya penyembuhan, Zainab bintu Abi Salamah yang melarang menamakan anak dengan nama yang tidak baik, serta ibu dari Sa’d bin Muadz yang menyuruh anaknya untuk menyusul pasukan Islam, atau Asma binti Abu Bakar yang melarang anaknya mengambil langkah yang salah dari peperangan karena takut mati. 

Selain di kalangan keluarganya sendiri, peranan muslimah juga ternyata dapat menjangkau amar ma’ruf nahi munkar kepada para ulama dan thalabul ilmi. Hal ini telah dituliskan oleh tinta emas sejarah dengan para muslimah kalangan salaf yang menjadi para tokoh utamanya. Sebagaimana Aisyah mengingkari fatwa dari Ibnu Umar Radhiyallahu anhu yang melarang memakai parfum ketika berihram atau Ummu Salamah yang mengingkari fatwa Samurah bin Jundab bahwa perempuan hadi wajib mengqadha shalatnya. Contoh-contoh ini menunjukkan bahwa upaya mereka dalam menegakkan amar ma’ruf nahi mungkar bukanlah sekadar menyuruh dan melarang dengan sesuatu yang kosong belaka, namun juga berlandaskan atas landasan ilmu yang kuat yang nyatanya saat itu juga turut dikuasai oleh para muslimah dari kalangan salaf. Sebuah inspirasi untuk perempuan masa kini agar tetap bersemangat dalam meniti jalan ilmu dan memberi manfaat dari ilmunya tersebut. 

Tidak hanya sampai di situ, lebih jauh lagi, para muslimah dari kalangan salaf juga telah mencontohkan bagaiaman mereka pun berihtisab kepada para penguasa. Di mana Ummu Darda’ pernah melarang Abdul Malik bin Marwan yang melaknat pembantu. Pun Ummu Thufail yang berihtisab kepada al Faruq karena ucapannya tentang iddah wanita hamil yang meninggal suaminya. Maka fitrah mereka sebagai seorang perempuan ternyata bukanlah penghalang untuk turut memberikan masukan, bahkan kepada penguasa sekalipun. 

Pada bagian ini, masih ada puluhan contoh kisah yang menggambarkan bagaimana seorang muslimah mampu untuk menerapkan amar ma’ruf nahi munkar di berbagai lini. Modal mereka tentu saja bukan hanya keberanian, semangat, dan kepercayaan diri, namun juga ilmu yang mumpuni dengan sumber yang sesuai dengan wahyu ilahi dan hadits nabi shallallahu alaihi wasallam. 

Kemudian pada bagian ketiga dari buku ini, dibahas mengenai boleh tidaknya perempuan ditunjuk sebagai petugas hisbah di pasar. Terdapat dua pembahasan dalam hal ini, yakni pendapat yang melarang, maupun pendapat yang membolehkan. Pada pembahasan pertama diuraikan mengenai pendapat yang melarang, berikut dengan dalil-dalil yang mendukungnya. Diantara pertimbangan dari uraian dalil-dalil tersebut adalah bahwa kepemimpinan laki-laki berada di atas perempuan, dalil yang membahas ini dianggap berlaku umum dalam urusan apapun dari urusan-urusan kaum muslimin. Maka, dalam hal menngambil peran sebagai petugas hisbah, di mana di dalamnya terdapat pula urusan para kaum lelaki, memberikan jabatan ini kepada kaum wanita dianggap tidak dibenarkan, sebab pada akhirnya ia akan ikut mengurusi dan memiliki wewenang di atas urusan kaum lelaki, padahal pada hakikatnya, seharusnya lelakilah yang menjadi pemimpin bagi wanita. Dalil kedua yakni tentang ditiadakannya kesuksesan dari kaum yang menyerahkan urusannya kepada perempuan. Hal ini juga merujuk kepada dalil yang berlaku umum, bahwa melantik seorang perempuan sebagai petugas hisbah di pasar adalah menyerahkan urusan umum kepada perempuan yang dalam keadaan tersebut maka tidak ada kesuksesan baginya. Dalil ketiga adalah tentang hukum dasar bagi perempuan untuk menetap di rumah mereka. Bahwa perintah ini bukan hanya dikhususkan untuk ummahatul mukminin, namun secara umum kepada para kaum muslimah seluruhnya. Bahwa kaum muslimah tidak memiliki kewajiban untuk menjalankan shalat fardhu di masjid maupun shalat jum’at di masjid, serta berbagai syarat-syarat yang harus dipenuhi seorang muslimah jika ia ingin meninggalkan rumahnya. Hal ini menunjukkan bahwa meletakkan seorang perempuan sebagai petugas hisbah yang mana mengkondisikannya untuk berada di luar rumah dalam menjalankan tugasnya merupakan sebuah kesalahan. Begitupun pula dengan dalil yang menunjukkan bahwa tuntutan tugas hisbah bertentangan dengan tabiat perempuan. Di mana petugas hisbah harus mampu menegakkan amar ma’ruf nahi munkar yang berkemungkinan terjadi dalam bentuk penanganan sengketa yang bisa saja memerlukan ketangguhan fisik untuk berlaga dan mengusir orang-orang yang buruk, yang mana ini bertentangan dengan fitrah seorang wanita. Dan dalil yang terakhir adalah bahwa adanya berbagai macam akibat buruk yang bakal terjadi saat perempuan keluar ke tempat-tempat umum. Diantaranya adalah tersebarnya kemandulan, pelanggaran seksual, serta kehamilan di luar nikah. 

Kemudian pada pembahasan kedua akan dijelaskan tentang hujjah dari orang-orang yang berpendapat tentang kebolehan perempuan ditunjuk sebagai petugas hisbah serta hakekat dari hujjah tersebut. Pada bagian ini akan dibedah poin-poin hujjah dari pendapat yang membolehkan, serta bagaimana hakekat yang sebenarnya, sehingga menjadi terang benderang kelemahan dari hujjah tersebut. Di antaranya yakni berhujjah dengan keumuman nash yang menunjukkan kewajiban tugas hisbah, namun dalam hal ini tugas hisbah tersebut tidak serta merta membolehkan seorang perempuan ditunjuk untuk menjabat sebagai petugas hisbah. Sebab, berkomitmen dengan keumuman nash yang menunjukkan kewajiban ihtisab tidak boleh membuat kita menutup mata dari nash-nash yang mengkhususkan kepemimpinan bagi laki-laki saja. Kemudian dalam pembahasan-pembahasan selanjutnya pada bagian ini, dibahas pula mengenai penunjukan petugas hisbah perempuan di masa khalifah Umar bin Khattab, serta perbuatan Samra’ bunti Nahik yang jikapun shahih dari sisi pemaparan kisahnya, namun tetap terdapat celah yang memberikan bantahan mengenai bentuk aktivitasnya sebagai petugas hisbah layaknya lelaki. Beberapa dalil juga mengkhususkan dalil-dalil tertentu untuk urusan tertentu bagi kaum muslimin, sehingga dianggap tidak berlaku umum, termasuk dalam masalah penunjukan wanita sebagai petugas hisbah. Kemudian pada bagian terakhir di pembahasan ini dijelaskan bahwa tetap terdapat pembolehan untuk perempuan mengambil andil dalam hal ini, jika itu mencakup urusan sesama kaum muslimah, di mana di tempat atau lingkungan tersebut kesemuanya adalah sesama muslimah, misalnya di pasar khusus muslimah, atau di yayasan pendidikan atau yayasan sosial. 

Kemudian terakhir, ditutup dengan kesimpulan dari berbagai pembahasan dalam buku ini, serta anjuran dan semangat untuk para muslimah mampu menegakkan amar ma’ruf nahi mungkar di tengah masyarakat, sebab tugas tersebut merupakan tugas yang mulia yang tentunya akan membawa kemaslahatan yang besar di tengah masyarakat, sehingga dapat membawa umat ini pada kejayaan layaknya kejayaan para generasi terbaik yakni kembali menjadi sebaik-baiknya umat. Insyaallah...