Senin, 30 Januari 2012

Hari Ini, Saya Membereskan Laci

*laci meja belajar yang buerrantakan*


Dari judulnya saja, rasanya tidak penting yah? Hehehe.. Tapi saya tetap ingin menuliskan ini. Tulisan yang tercetus ketika pagi ini saya memutuskan untuk membersihkan laci-laci yang ada di kamar saya. Beberapa hari kedepan, perkuliahan akan kembali dimulai. Konon, kali ini pun akan cukup berat dan menyita waktu. Maka, sebelum benar-benar sibuk, waktu lowong ini saya manfaatkan untuk membereskan hal-hal yang bisa dibereskan sebelum nanti akan kembali membuatnya berantakan saat sudah sibuk kuliah. Hehehe..

Saat membersihkan laci itu, saya menyiapkan sebuah kresek besar tempat membuang barang-barang yang sudah tidak digunakan. Menyisihkannya dari hal-hal yang masih berguna dan akan kembali menghuni laci itu dengan posisi yang lebih teratur. Saat itulah saya berpikir, membersihkan laci ini, seperti halnya sedang membersihkan hati. Ah, melankolis sekali..

Tapi, bukankah memang demikian? Kadang memang kita harus menyisihkan waktu untuk membersihkan hati kita dari hal-hal yang tidak perlu. Membuangnya ke tempat sampah agar tidak lagi mengotori hati tersebut. Ini sama halnya dengan melupakan. Yah, sebagai seorang muslim, kita tentu telah hapal betul dengan konsep memaafkan. Tapi, terkadang memaafkan tidak selalu berarti melupakan. Maka sebab itu, selalu menjadi warning bagi diri kita untuk berhati-hati agar tidak menorehkan luka pada siapa saja. Tidak sembarangan memberikan kenangan yang buruk pada seseorang. Sebab, dia mungkin bisa memaafkannya, namun belum tentu melupakannya.

Sebab, tanpa mengurangi pentingnya menghindari dosa kepada Allah, tapi kita memang lebih mudah ‘bertemu’ Allah dalam tiap shalat kita, memohon ampun dengan taubatan nasuha, maka Allah Yang Maha Pemurah insya Allah akan memaafkan. Tapi, dengan manusia? Ya, bisa saja saat kita melakukan kesalahan, itu juga adalah saat terakhir kita bertemu dengannya. Lalu kedzaliman itu akan terus menjadi kedzaliman, sebab kita tidak punya lagi kesempatan meminta maaf. Kesempatan untuk membantunya membuang ‘hal tidak berguna’ dari dalam hatinya.

Hati, layaknya laci, memang tempat kita bisa menyembunyikan banyak hal. Segala macam perasaan bisa kita kunci di dalamnya tanpa seorang benar-benar mengetahui. Suatu hari di masa SMA, seorang teman pernah curhat pada saya. Ia menceritakan tentang ujian berat yang saya pun merasa tidak akan mampu melewatinya. Sejurus kemudian, ia lalu mengucapkan kata-kata yang memang tidak secara langsung, namun bermakna bahwa betapa ia cemburu pada saya. Saya yang katanya hidup dengan mulus dan seolah bisa mendapatkan semua yang saya inginkan. Saya langsung tersenyum miris. Sambil menatap ke dalam bola matanya, saya berkata;

“Bahkan pada orang-orang yang kita anggap sangat normal, sangat bahagia, bisa saja adalah manusia yang hidupnya penuh dengan ujian pula, yang bahkan sangat tidak normal bagi kita. Hanya saja, sebab tidak semua hal harus diceritakan...”

Ia menatap saya dengan bingung bercampur tidak percaya.

Ya, begitu seringnya kita menganggap orang lain lebih bahagia. Tanpa pernah benar-benar tahu apa yang telah dan sedang ia alami. Bahkan tanpa pernah bertanya apapun, tanpa pernah menatap ke dalam laci. Eh, ke dalam hatinya yang tersembunyi. Aih, berhati-hatilah dalam menghakimi!


*setelah dibereskan, ternyata bisa jadi lebih lowong juga!*

Setelah selesai membersihkan laci, dan membuang beberapa hal yang sudah tidak lagi terpakai, saya langsung nyadar bahwa ternyata saya punya ruang yang cukup lowong untuk barang-barang saya. Ternyata masih begitu banyak tempat kosong yang masih bisa saya manfaatkan. Letak-letak barang pun menjadi lebih tertata dan tidak lagi sumpek terasa. Tapi setelah saya menutup laci-laci itu dan memandang ruangan kamar saya secara utuh, saya mendapati bahwa tidak banyak yang berubah. Sebab, saat menutup laci, semuanya kembali tersembunyi.

Maka mungkin, demikian pula saat kita memaafkan dan melupakan hal-hal yang buruk. Secara fisik, kita mungkin nampak biasa-biasa saja. Namun, rasakanlah bagaimana keadaan jiwa, insya Allah kita akan mendapati bahwa ia akan terasa lebih lapang. Lebih nyaman.

Bila hati kian bersih/ Pikiranpun akan jernih/ Semangat hidup nan gigih/ Prestasi mudah diraih/ Namun bila hati keruh/ Pikiran selalu gemuruh/ Seakan dikejar musuh/ Dengan Allah kian jauh (Aa’ Gym, Jagalah Hati)

Makassar, 31 Januari 2012

Minggu, 29 Januari 2012

Pak Imam, Terima Kasih

jadilah Ulil Abshaar, jadilah orang yang mencegah kemungkaran, jadilah Ulil Albaab, dan berjihadlah di jalan Allah dengan sebenar-benarnya jihad

batu yang konon dibawa dari Sulawesi Selatan ini diukiri dengan kata-kata diatas dan diletakkan di samping rektorat, menyambut para mahasiswa memasuki kampusnya.

Prolog

Setelah di awal pekan didera dengan flu, batuk, dan demam yang bikin saya teronggok di atas kasur, akhirnya hari Jumat tiba juga. Hari yang sudah dijadwalkan untuk saya dan bapak berangkat ke Malang. Seharusnya, Ibu yang mendampingi Bapak dalam sebuah pertemuan dinas itu. Tapi karena Ibu tidak bisa, maka sayalah yang didaulat untuk melaksanakan tugas tersebut.

Honestly, awalnya saya sangat oleh-oleh-oriented sekali –hehehe... Tapi kemudian, niatan ‘menyimpang’ itu rupanya mendapat teguran dari Gusti Allah. Karena acara yang padat, akhirnya agenda untuk jalan-jalan ke tempat wisata di kota Batu menjadi tidak terlaksana. Ya, saya tertegur. Padahal harusnya saya ikut dalam acara itu dalam rangka membantu Bapak yang mungkin karena sudah berumur, jadi suka agak keteteran jika bepergian jauh. Dompet, hape, kacamata, dan jam tangan beliau harus selalu diingatkan agar tidak tercecer kemana-mana. Walau aslinya saya juga agak-agak slebor (baru berangkat saja sudah minta balik lagi karena lupa KTP.., heu.. -__-“), tapi memang tugas saya yah itu tadi. Jadi ajudan Bapak yang mengingatkan banyak hal.

Meski sempat agak kesal perihal acara ‘senang-senang’ yang ditiadakan, toh akhirnya saya harus terima. Sudah di Malang ini, yah mau bagaimana lagi! Akhirnya saya pun ikut dalam kunjungan ke UIN Malang. Saya berlari-lari mengejar langkah bapak-bapak peserta menuju gedung rektorat selepas shalat Dhuhur. Dengan menenteng tas ransel bapak yang gemuk itu, saya sudah siap-siap untuk ‘parkir’ di lobi depan ruang rektor. Saya pikir, pasti akan sangat membosankan jika harus masuk dan bergabung dengan para bapak-bapak. Tapi, baru beberapa menit duduk manis di lobi, Bapak menghubungi saya lewat pesan singkat. Katanya, saya harus masuk juga, karena ada jamuan di dalam, dan bapak mau minta difoto-foto juga. Baiklah, selain ajudan rupanya saya juga merangkap sebagai fotografer. Nasip.

Tapi ternyata, justru langkah saya untuk masuk ke ruangan itulah yang menjadi sebab saya merasa, perjalanan ke Malang ini sangat berharga. Sesi bincang-bincang dengan Pak Rektor yang saya kira akan membosankan, ternyata bisa membuat saya menyimak dengan antusias, bahkan hingga berkaca-kaca. Lelaki berusia senja bernama Prof.Dr. Imam Prayogo itulah seseorang teristimewa yang membuat saya bersyukur ditakdirkan bertemu dengan beliau. Berikut poin-poin indah dari pemaparannya dalam pertemuan itu;

UIN Malang, Sebuah Perjalanan Panjang

Pak Imam kini berusia enam puluhan tahun. Lebih dari dua pertiga usianya dihabiskan untuk mengabdi pada pendidikan Islam. Nanti kalian akan tahu mengapa saya memilih kata ‘mengabdi’ dalam kesempatan ini. Ya, mulai dari menjadi kepala Madrasah Ibtidaiyah, kemudian menjadi pembantu rektor di dua universitas Islam Swasta dalam waktu bersamaan, hingga menjadi rektor yang bertahan dalam tiga periode berturut-turut di UIN Malang.

Awalnya, UIN Malang berbentuk STAIN. Setau saya, ada tiga jenjang dalam untuk perguruan tinggi Islam, dari STAIN, lalu menjadi IAIN, terakhir menjadi UIN. Tapi untuk Malang, di bawah kepemimpinan Pak Imam, STAIN ini langsung loncat menjadi UIN. Bagaimana caranya?

Berawal dari bangunan sederhana yang menerima 500 mahasiswa, namun hanya didaftari oleh 400 orang saja. Jika ada tamatan SMA dari kampung-kampung sekitar Malang yang datang kekota dengan membawa barang berbungkus dos indomie yang diikat tali rafia, maka calon mahasiswa seperti itulah yang akan mendaftar di STAIN Malang. Belum lagi dengan jumlah dosen yang hanya 40 orang, dalam perjalanan selanjutnya, enam diantaranya meninggal dunia. Dengan kondisi inilah Pak Imam memulai mimpinya untuk sebuah universitas. Tidak masuk akal? Ya, tapi rupanya Pak Imam punya pikiran berbeda.

Islam itu bukan hanya agama, Islam itu adalah agama dan peradaban. Islam itu Universal, maka tempat paling tepat untuk mempelajarinya adalah Universitas. Dengan itu, Islam bisa tampil gagah di hadapan dunia!” ujar Pak Imam dengan logat Jawa Timur yang khas.

Mimpi Pak Imam lalu ia lanjutkan dengan ikhtiar. Ia kemudian berkeliling ke perguruan tinggi Islam di seluruh Indonesia untuk ‘minta dosen’.

Jika saya minta dosen yang bagus-bagus, tidak mungkin di berikan. Makanya, saya minta dosen yang suka bikin masalah, yang malas, yang suka menentang, maka saya pun dapat. Prinsip saya, Rasulullah Shallalahu Alaihi Wasallam saja bisa mengubah masyarakat arab jahiliyah menjadi shahabat yang luar biasa. Nah, dosen-dosen ini bukan Arab, dan bukan pula Jahiliyah, masa’ saya tidak bisa membuat mereka menjadi baik?

Ya, dan ternyata memang bisa. Hingga akhirnya ‘sekolah’ Pak Imam terus berkembang dan mencapai mimpinya menjadi sebuah Universitas. Ya, UIN Maulana Malik Ibrahim Malang (nama kampusnya saja sudah gagah, yah?) kini menjadi favorit. Bukan hanya oleh orang-orang sekitar Malang, bahkan hingga mancanegara. Belasan negara ngantri untuk mengirimkan mahasiswanya bersekolah disana. Dengan hanya menerima 8000 mahasiswa, Pak Imam konsisten dengan konsep kampus-pesantrennya. Maba sejumlah 1500 orang diwajibkan mengikuti Ma’had selama satu tahun dengan dipesantrenkan. Selain mempelajari mata kuliahnya, pelajaran bahasa Arab dan Inggris diberikan secara paripurna. Tidak tanggung-tanggung, setiap harinya dipelajari sejak jam dua siang hingga jam delapan malam.

Mereka itu harus menguasai bahasa. Bahasa itu alat. Dan tidak mungkin mereka belajar Islam tanpa tau bahasa Arab. Orang bekerja tanpa alat itu seperti tangkap ikan tanpa pancing atau jala. Kalaupun dapat ikan, ikannya pasti sakit atau sudah mati. Kan tidak baik?

Tidak hanya sampai di situ, dari 8000 mahasiswa ini, 1500 diantaranya hapal Al Qur’an! Pak Imam mengaku, awalnya ia tidak begitu mendukung program hapal Al Qur’an itu. Ia khawatir, konsentrasi mahasiswa akan terganggu. Namun, ia langsung meralat pernyataannya saat ternyata mendapati bahwa dari tujuh kali wisuda sejak jadi UIN, ketujuh wisudawan terbaik tiap tahunnya adalah para penghapal Al Qur’an itu. Mereka berasal dari jurusan bermacam-macam; fisika, psikologi, ekonomi, dll. Dan kebanyakan skripsinya pun dalam tri-bahasa; Indonesia, Inggris, dan Arab.

Untuk mengimbangi para mahasiswa yang luar biasa itu, para dosen dan karyawanpun ‘kena getahnya’. Oleh Pak Imam, dosen-dosen diwajibkan hapal minimal 1 juz, sedangkan karyawan; mulai dari kasubag hingga tukang sapu wajib hapal minimal 11 surah dalam Al Qur’an. Belum cukup sampai di situ, para dosen yang berhasil menyelesaikan doktornya, dihadiahkan paket naik haji!

Kami pesankan tiket murah saja, yang penting bisa sampai di Makkah pas musim haji, lalu dititip kepada orang-orang di sana, yang penting khan hajinya sah? Kami ingin mereka itu bukan hanya baik akal dan pikirannya, tapi juga baik hatinya.

Nah, sampai di situ, saya sudah berkaca-kaca. :’)

Pertanyaan untuk Pak Imam

Karena ketenaran kampusnya, UIN Malang sering didatangi oleh tamu dari berbagai daerah yang datang untuk studi banding. Bahkan, hingga sekolah-sekolah agama Hindu pun datang dan disambut Pak Imam dengan baik. Suatu hari, sambil mengantarkan seorang perwakilan dari sekolah Hindu untuk meninjau, si perwakilan tadi bertanya pada Pak Imam.

Pak, kampus bapak ini bersih sekali, dan orang-orangnya itu kok ramah-ramah semua yah Pak, apa rahasianya?” tanyanya.

Mereka itu,” ujar Pak Imam, “Melakukan itu semua karena mencontoh orang yang paling mereka anggap baik..

Siapa itu, Pak?

Namanya Muhammad Shallallahu Alaihi Wa Sallam, Rasul dalam agama kami. Beliau itu adalah manusia yang terbaik dan meneladankan hal-hal yang baik. Itulah yang kami contoh, dan sebab itulah kami bisa seperti sekarang ini.” pungkas Pak Imam.

Selain itu, saya juga selalu menyapa murid-murid saya, dosen-dosen dan semua pegawai dengan salam cara Islam; saat menyapa itu, maka kami sedang saling mendoakan; doa untuk keselamatannya, dilimpahkannya rahmat, dan keberkahannya. Seorang guru yang mengajar Islam itu pun harus bangun malam untuk mendoakan murid-muridnya. Nah, dengan seperti itu, kira-kira bisa tidak mereka menjadi manusia-manusia yang ramah?

Perwakilan Hindu tadi terdiam. Seharusnya ia tersenyum, saya kira.

Di momen penerimaan mahasiswa baru, setelah memberikan ceramah kepada para orangtua mahasiswa, seorang ibu yang anaknya diterima di UIN Malang tiba-tiba mendatangi Pak Imam untuk bertanya. Rupanya, ia beragama Nasrani. Entah bagaimana caranya anaknya yang juga Nasrani bisa lolos seleksi dan diterima di UIN Malang itu. Mereka juga sebenarnya mendaftar di sana atas kesadaran penuh, karena pengalaman di daerahnya dimana sekolah Islam juga dapat menerima mahasiswa dari agama lain. Tapi setelah mendengar ceramah Pak Imam, rupanya orangtua Maba ini meragu.

Bapak tadi menjelaskan bahwa lulusan kampus ini akan menjadi intelek yang ulama dan ulama yang intelek. Tapi anak saya Nasrani, Pak. Apa dia juga harus menjadi begitu?

Pak Imam tersenyum dan mengangguk. “Iya, Bu. Karena itulah visi kampus kami. Jadi, kalau anak ibu mau sekolah di sini, harus tetap ikut ma’had juga, belajar bahasa arab juga, belajar Al Qur’an juga... Ibu bicarakanlah dulu dengan keluarga yang lain, jika keputusannya tetap sekolah di sini, maka tetap kami terima, asalkan mengikuti aturan kami. Tapi jika tidak, maka semua biaya yg telah ibu keluarkan akan kami kembalikan seutuhnya!” ujar Pak Imam mantap.

Tapi kalau anak saya tidak shalat, boleh tidak Pak?” tanya si orang tua.

Iya, kan anak Ibu Nasrani, jadi tidak apa tidak shalat. Yang wajib sholat itu yang Islam, Bu..” jawab Pak Imam. Setelah berunding, akhirnya keluarga ini memutuskan untuk tetap melanjutkan pendidikan anaknya di sana. Asalkan tidak shalat, pikir mereka. Maka si anak pun tetap belajar, belajar bahasa Arab, belajar Al Qur’an. Nah, tidak lama kemudian, mahasiswa ini akhirnya meminta untuk diajarkan syahadat. Islamlah ia. J

Kisah tentang mahasiswa dari Australia pun sama. Awalnya ia sangat terganggu dengan adzan shubuh yang menjeda waktu tidurnya. Namun setelah beberapa lama berkuliah di UIN, ia pun convert to Islam. Bahkan setelah masa studi enam bulannya habis, ia kemudian memutuskan untuk menetap di Malang dan menjadi sukarelawan di UIN Malang untuk mengajar bahasa Inggris. Masya Allah... J

Request dari Aceh

Dalam sesi tanya jawab, seorang Bapak dari Aceh mengajukan permintaan pada Pak Imam. “Setelah mendengar pemaparan Bapak, saya rasa tidak bisa tidak, Bapak harus pindah ke Aceh dan membantu kami memajukan bumi Serambi Makkah!” ujarnya dengan setengah guyon.

Celoteh ringan ini kemudian ditanggapi Pak Imam dengan sangat menginspirasi,

Tidak perlu saya, Pak. Yang penting ada orang yang punya semangat yang sama. Dan dia bersedia memberi contoh. Sebab memimpin manusia itu tidak bisa seperti memandu bebek, dimana peternaknya menggiring bebek dari belakang. Kita harus seperti memandu kuda! Jika ingin kudanya mandi, kitanya dulu yang masuk ke sungai! Jika Cuma mendorong pantat kuda dari belakang, malah akan disepak! Maka memimpin manusia pun harus begitu. Kita dulu yang beri contoh!”

Islamnya Soekarno dan Renungan Fajar

dapat kenang-kenangan buku, kenapa pula pake lupa minta tanda tangan di halaman depannyaaa.. >_<

Ada yang unik dari gedung-gedung di UIN Malang. Tiap gedungnya yang indah-indah itu dinamai dengan nama-nama tokoh terkenal semisal nama-nama presiden Indonesia. Gedung rektorat sendiri dinamai Gedung Soekarno. Ada cerita yang menarik di sini. Suatu hari, seseorang (saya lupa siapa) bertanya pada Pak Imam,

Pak, lulusan seperti apa yang Bapak inginkan dari kampus Bapak? Yang Islamnya kayak bagaimana?

Saya ingin mereka Islamnya kayak Soekarno..” jawab Pak Imam. Mengapa Soekarno? Bukankah tokoh yang satu itu lekat namanya dengan aliran sosialis komunis? Bukankah ia yang dulu bermisi ingin membuat segitiga di kota Peking-Moskwa-Jakarta? Tapi rupanya, dalam sebuah kesempatan ke Rusia, Pak Imam mendapatkan cerita menarik tentang Soekarno.

Suatu hari, bapak proklamator itu datang ke Rusia. Oleh presiden Rusia saat itu, dibawanya Soekarno berkeliling melihat megaproyek Rusia yang luar biasa. Setelah selesai berkeliling, Soekarno ditanyai tentang kesannya setelah menyaksikan itu semua.

Saya tidak terkesan sama sekali...” jawab Soekarno. Presiden Rusia ini naik pitam, merasa terinjak kehormatannya. Tapi, Soekarno menjelaskan;

Bagaimana saya mau terkesan, jika saat saya bertanya; ‘kalian dari mana, akan kemana, dan kembali kemana?’ kalian tidak bisa menjawabnya.. Ya wajar saja, sebab kalian tidak memiliki apa yang kami miliki. Kami punya kitab suci dan kalian tidak! Makanya, kalian tidak akan pernah bisa menjawab pertanyaan sesederhana itu!” cetus Soekarno. Setelah kejadian itu, Presiden Rusia memerintahkan dibangun sebuah masjid megah di Rusia, lalu dinamai Masjid Soekarno.

Saya tahu ada sisi lain dari Soekarno yang mungkin bagi kita bernilai negatif, tapi untuk yang satu itu, saya ingin mahasiswa saya memiliki Islam seperti beliau; Islam yang bisa tetap berdakwah dimana saja, bahkan ditengah kaum Atheis sekalipun!

Aih, saya bergetar mendengarnya...

Lalu kekaguman saya pada sosok Pak Imam semakin bertambah saat beliau menunjukkan dua buah buku setebal bantal kepada kami. Itu adalah kumpulan ‘Renungan Fajar’, dari kebiasaan beliau menulis SETIAP HARI sehabis subuh. Teladan menulis itu pun ditularkan kepada orang disekitarnya, sehingga tidak kurang dari delapan puluh buku terbit dari UIN Malang tiap tahunnya. MasyaAllah...

Saya jadi ingat pada Jeda Sejenak saya (yang ditunggu-tunggu tak datang-datang itu..heu.. -_-“). Awalnya pun dari kebiasaan menulis seperti itu. Dari awalnya hanya nangkring di blog, atas usul beberapa orang, saya kumpulkan kembali tulisan-tulisan berserak tadi. Saya edit sana-sini supaya lebih rapi dan ‘baru’, lalu saya kelompokkan hingga menjadi tiga bagian besar dengan tiga warna yang berbeda. Lalu terbitlah satu buku sederhana itu. Meski tidak ada apa-apanya dibandingkan Renungan Fajar-nya Pak Imam, tapi semangat saya untuk terus menulis semakin terlecut dengan nasihat beliau.(promositerselubung :p)

Saya ini doktor di bidang ilmu sosial. Saya sama sekali tidak pernah nyantri dan bisa dibilang tidak tahu agama... Tapi, satu yang saya yakini adalah saya harus selalu mempelajari dan merenungkan Al Qur’an, sebab dari sanalah sumber segala macam ilmu yang kita butuhkan!

Baiklah Pak Imam, saya mahasiwa farmasi, tapi saya pun ingin punya sumbangsih untuk ummat ini. Izinkan saya pun menulis sesuatu yang sederhana tentang agama kita; Islam yang rahmat bagi segenap alam.

Saya yakin, Islam hanya akan bangkit lewat pendidikan Islam! Saya ingin, kebangkitan Islam kita mulai dari Indonesia. Dari kita! Suatu hari orang-orang dari berbagai penjuru akan datang untuk belajar Islam ke sini. Itu mimpi saya!” ucap Pak Imam dengan semangat.

Prolog

Hanya satu kekurangan Pak Imam,” ujar seorang pegawai UIN Malang yang sempat kami ajak bercakap. “Beliau itu belum punya kader yang seperti beliau...” ucapnya.

Yah, saya kira memang sulit mencari orang seperti Pak Imam..” ujar Bapak, menimpali.

Iya Pak. Pak Imam itu orangnya bersih. Beliau Cuma mengambil gaji pokoknya saja. Tunjangan dan honor-honor lainnya diinfakkan untuk para penghapal Qur’an, masjid, juga membantu biaya kuliah beberapa mahasiswa... Dan saya rasa itu sulit, Pak.. Kecuali bagi orang-orang seperti Pak Imam. Jika ditanya tentang itu, Pak Imam Cuma bilang bahwa gaji pokoknya saja sudah cukup untuk hidup dia..” cerita pegawai tadi, ada kekaguman mendalam yang terselip diantara tiap kata-katanya. Saya kembali takjub, berkaca-kacalah saya...

Dalam perjalanan setelah pertemuan itu, saya tidak henti-hentinya bersyukur untuk apa yang saya dapatkan tadi. Saya menatap bapak yang nampak terantuk-antuk diatas bus, nampaknya lelah setelah semalaman rapat.

Pak, diantara semua UIN yang ada di Indonesia, UIN mana yang paling bagus?

Bapak langsung tersadar dari kantuknya, sambil tersenyum Bapak menjawab, “Yah UIN Malang inilah yang terbaik...”

Ah, harusnya saya tidak usah bertanya lagi...

Pak Imam, terima kasih. :)


Makassar, 29 Januari 2012

Kamis, 26 Januari 2012

Perjalanan, dan Sesuatu yang (Jangan) Kamu Lupakan


Sebab dalam sebuah perjalanan, tujuan terkadang tidak menjadi utama. Tapi, rangkaian langkah dan berbagai hal yang kita lewati, memberikan lebih banyak pelajaran.

Seberapa sering kita melakukan sebuah perjalanan? Sangat sering, sepertinya. Mulai dari yang paling simpel, hingga yang begitu penting. Mulai dari perjalanan rutin menuju sekolah ataupun tempat kerja, hingga perjalanan yang tidak terlupakan; menuju tanah-tanah asing, tempat-tempat keren yang belum pernah kita jamah sebelumnya.

Namun, aha! Seperti yang banyak orang katakan, terkadang tujuan tidak lagi menjadi penting, manakala kita dapat begitu menikmati rangkaian perjalanan yang sebenarnya. Menyaksikan berbagai macam pemandangan yang indah, bertemu dengan orang-orang baru yang menyenangkan, ataupun pengalaman ‘pertama kali’ yang membuat kita terkagum-kagum.

Maka layaknya hidup, ia pun adalah rangkaian perjalanan. Saat kita lahir hingga menutup mata. Oleh Allah, kita lalu ditakdirkan melewati banyak hal dalam perjalanan kehidupan kita. Kita bertemu dengan banyak orang dengan banyak karakternya. Mungkin, ada yang begitu cocok dengan kita, namun tak jarang ada pula yang begitu menyebalkan. Selebihnya, mungkin adalah orang-orang yang kita temui-lalu kita lupakan.

Dengan orang-orang ini pun, rangkaian perjalanan hidup tadi kemudian menjadi kompleks. Ya, manusia adalah makhluk sosial yang tidak bisa tidak, harus bersinggungan dengan makhluk lainnya. Dengan manusia lain, persinggungan ini menjadi tidak semudah persinggungan dengan tumbuhan atau hewan. Sebab, ada perasaan yang terikut di dalamnya. Setiap kita menjadi tidak bisa semau-guweh untuk memperlakukan seseorang, sebagaimana kita pun mungkin akan tidak nyaman bergaul dengan orang yang berbuat seenak udelnya.

Dengan manusia, kita mengatur kata-kata, menempatkan kalimat dengan benar, bahkan hingga harus belajar berekspresi yang membuat orang lain nyaman. Komunikasi secara langsung, atau lewat telepon, juga lewat tulisan di atas kertas surat, di chat-room, atau di layar sms, pun berbeda-beda lagi masalahnya... Baiklah, sampai pada titik ini, kita semua mungkin akan setuju bahwa begitu kompleksnya hal-hal yang menyangkut hubungan antara manusia.

Dan sampai pada paragraf ini, saya mulai bingung kemana tulisan ini akan berujung. Hadduh...

Baiklah. *Mencoba mencari fokus*

Pernahkah suatu waktu kita tiba-tiba lupa pada suatu hal yang ingin kita lakukan? Atau ingin kita ucapkan? Saya, terkadang lupa dengan apa yang ingin saya tuliskan! -__-“

Ya, maka demikianlah ‘kertas-dan-pena’, dalam apapun bentuknya (konvensional ataupun digital) membantu kita untuk mengingat itu semua. Nah, hubungan dengan manusia lain pun terkadang demikian; kita kadang lupa pada sesuatu yang harus kita sampaikan kepada seseorang.

Atau mungkin kita memilih untuk tidak menyampaikannya. Lalu kemudian tanpa sadar, ternyata orang tersebut telah terlebih dahulu tau (atau setidaknya menerka-nerka) apa yang kita maksudkan. Lalu... lalu... kita memutuskan untuk tidak menyampaikan apa-apa. Hingga kemudian kita lupa.

Hingga kemudian kita lupa.

Hingga kemudian saya lupa, apa yang harus saya tuliskan. -__-. Aha! *tiba-tiba semangat* Semoga kamu... Ya, kamu yang sedang membaca tulisan ini! Ya, kamu! Jangan bingung dulu! Semoga kamu; tidak akan pernah lupa, hal penting yang harus kamu sampaikan! Sebab kamu akan menyesal, seperti saya yang akhirnya menutup tulisan ini dengan hikmah yang entah apa. Hmm..., ingatan itu terkadang memang mahal, kawan. :)

Rifa'ah'sWritingZone, Januari 26 '12

Sabtu, 21 Januari 2012

Anak Kecil Itu Menggigil

pic by Kamila on devianart.com

Hujan mengguyur kota sejak pagi. Rinai-rinainya seolah disaksikan oleh langit yang melulu suram. Kemarin, hujan pertama jatuh di hari Jum'at setelah beberapa hari langit cerah menaungi. Apakah ia adalah pertanda bahwa akan datang siklus hujan yang panjang? Entahlah. Tapi bagaimana pun, hujan adalah pertanda turunnya berkah. Kita mendoa; Allahumma shayyiban naafi'an.. Semoga bagi kita, turunnya hujan membawa manfaat.

Tapi tidak dapat dipungkiri, hujan tetaplah berarti basah. Jalanan basah, orang-orang tanpa payung basah, apalagi mereka; para pengemis cilik yang tetap saja bekerja meski hujan terus turun mengguyur. Dengan baju mereka yang teramat tipis, tentu saja tanpa alat bantu pelindung kecuali kantong kresek yang mereka gunakan menutup kepala, jelas saja berdiri di bawah hujan berjam-jam dengan keadaan begitu akan membuat mereka menggigil.

Tanpa rasa takut, mereka menerobos jalanan yang ramai dengan kendaraan. Segera berlari jika melihat lampu merah menyala. Lalu menadahkan tangannya yang gemetar kedinginan, seirama dengan bibirnya yang mulai nampak kebiruan. Sebuah mobil berwarna hitam nampak didatangi oleh si pengemis cilik. Mobil yang sedang terjebak macet itu nampak segera menurunkan kaca jendelanya sedikit, lalu mengeluarkan sekotak kue yang kini berpindah tangan pada si bocah.

"Uangnya juga, Pak.." ujar pengemis cilik itu, meminta tambahan. Tapi kaca mobil itu telah tertutup, nampaknya bagi mereka telah cukup membagi sekotak kue itu buat si pengemis. Ia tentu butuh pengganjal perut di saat-saat menggigil seperti itu. Tapi, tanpa bocah itu tau, saat ia kemudian berjalan menuju tepi, sepasang mata dari dalam mobil itu terus mengikutinya. Ya, memperhatikannya yang terus berjalan menerobos kendaraan demi menuju ke emperan tempat ia bisa berteduh. Pemilik mata itu pastinya berpikir, bahwa si bocah akan segera menikmati kue pemberian mereka tadi di sana.

Namun, ternyata tidak. Sebab di emperan itu telah menunggu beberapa orang dewasa dengan penampilan layaknya pengemis pula. Bedanya, mereka tidak basah, mereka tidak menggigil kedinginan! Sebaliknya, mereka justru nampak santai duduk-duduk di sana. Menanti bocah-bocah menggigil yang hilir mudik dari satu mobil ke mobil yang lain untuk meminta sedekah. Uang-uang, termasuk kue yang baru ia dapatkan kini berpindah tangan pada orang dewasa itu. Mereka nampak mulai mencicipi kue tersebut tanpa perasaan bersalah, lalu nampak biasa saja menatap punggung si bocah yang kini kembali turun ke jalan sambil menghembuskan napasnya yang lebih hangat ke telapak tangannya yang gemetar.

Mereka, orang dewasa itu, entah siapa. Berat rasanya membayangkan mereka adalah orang tua si bocah. Ngeri rasanya untuk percaya bahwa ada orang tua yang demikian tega memandang anaknya berhujan-hujan, menggigil, dan kelaparan. Kalau pun mereka bukan orang tuanya, maka sudah selayaknyalah makhluk bernama manusia memiliki nurani untuk peduli kepada anak-anak yang tidak berdaya itu. Anak-anak yang harusnya mereka lindungi dan cukupi kebutuhannya. Bukan justru dimanfaatkan untuk kemanfaatan yang belum waktunya.

Pemilik sepasang mata tadi kini telah melewati kemacetan barusan. Matanya tidak lagi memandang bocah pengemis yang menggigil itu. Ia justru menerawang pada masa kecilnya, saat ia baru saja berniat untuk ikut berhujan-hujan dengan kawan-kawan tetangga, kedua orang tuanya pasti akan langsung melarang dan tidak mengizinkan. Sepasang mata itu kini berkaca; hatinya merasa miris untuk si bocah, hatinya menguntai syukur untuk kehidupannya.

(Kamar Indy, 21 Januari 2012)


Rabu, 04 Januari 2012

Indahnya Merayakan Cinta


Apa yang membuat Ka'ab bin Malik memberi ruang khusus dalam hatinya untuk Thalhah bin Ubaidillah? Ada getar-getar tersendiri setiap ia membicarakan saudaranya yang satu itu. Ia tidak dapat lupa. Ya, demikianlah yang tersisa dari sebuah perayaan cinta.



Berawal dari kisah perang Tabuk dimana Ka'ab mangkir darinya. Kita semua tentu telah tahu jalan ceritanya. Saat Ka'ab yang pandai dalam retorika ternyata menjadi kelu lidahnya saat mendapati Rasulullah Shallalahu alaihi wa sallam. Tidak ada hujjah yang dapat ia sampaikan perihal ketidakikutsertaannya dalam medan jihad kali itu. Maka, turunlah kemudian perintah, tidak tanggung-tanggung, langsung dari langit, dari Allah. Pemboikotan Ka'ab pun dimulai.



Sempit rasanya dunia bagi Ka'ab saat itu. Sebagaimana sejatinya para shahabat, mereka semua mendengar dan taat. Maka, selepas salah jama'ah, tidak ada yang sudi menolah padanya. Senyum tidak berbalas, apalagi dengan sapa. Hingga pagi yang kelimapuluh dari hari pemboikotan itu tiba. Saat ia duduk merenung di Gunung Sala', didengarkannya suatu seruan yang menjadi penanda selesainya masa boikotnya. Surah At Taubah dalam ayat 118 mengabadikan peristiwa itu dengan pernyataan terbuka yang tidak lekang oleh jaman. Kembali, secara langsung Allah mengabarkan; taubat Kaab telah diterima.



Setelah mengganti pakaiannya, langkah Ka'ab memburu menuju tempat sang Nabi. Di sepanjang jalan, para shahabat tidak lepas memberikannya selamat. Wajah yang kemarin-kemarin selalu tak acuh itu jelas saja bukan karena mereka benci, tapi sebab cinta itu karena Allah, maka perintah Allah pula yang akan menuntunnya.



Nah, saat itulah muncul Thalhah bin Ubaidilah, shahabat dari kalangan Muhajirin ini segera merangkul Ka'ab, memeluknya, bahkan hingga menitikkan air mata bahagia. Ia ikut berbahagia, ia ikut merayakan cinta. Bagi orang lain, mungkin ini terasa sepele saja. Namun, bagi keduanya, ada bekas yang tersisa dan meneguhkan pertautan diantara mereka. Sederhana saja.



Itulah hari paling bahagia sejak Ka'ab bin Malik dilahirkan. Yah, apa pula yang lebih mencerahkan selain kepastian akan taubat yang telah diterima? Ditambah juga dengan saudara yang turut dalam perayaan cinta!

Selasa, 03 Januari 2012

Tetangga-Tetangga Kecil


Tetangga Kecil

Ada yang berbeda. Ya, ada yang berbeda dari lingkungan baru saya sekarang. Beberapa bulan yang lampau, saya sekeluarga memang memutuskan untuk pindah rumah. Dari yang sebelumnya terletak di (agak) tengah kota, kini pindah ke pinggiran, bahkan sudah terhitung luar kota pula. Maka, suasana pun berganti seketika. Rumah saya dulu yang terletak di belakang kampus tempat ayah dan ibu (dulu) bekerja, memang padat dengan rumah-rumah kos para mahasiswa. Tidak begitu jauh dari sana, juga memang ada lagi kampus lainnya.

Maka, tidak dapat dipungkiri bagaimana kepadatan yang terjadi di tiap lorong-lorong kecil tersebut. Kendaraan beradu dimana-mana. Mobil, motor, dan becak saling berdesakan untuk melewati jalan. Nah, ini merupakan salah satu alasan kenapa kemudian ayah saya memutuskan untuk pindah. Tidak tanggung-tanggung, sekalian ke luar kota Makassar!

Dan di sinilah saya sekarang. Sebuah rumah yang sebenarnya sudah cukup lama dimiliki oleh kedua orang tua, namun kemudian baru diputuskan untuk ditinggali, setelah sebelumnya dihuni oleh kerabat yang memang saat itu membutuhkan bantuan. Setelah renovasi sana-sini, akhirnya rumah yang sekarang pun resmi kami tinggali selama beberapa bulan lamanya. Suasananya pun sangat berbeda. Kompleks ini banyak dihuni oleh pasangan-pasangan muda, hingga agak sulit untuk menemukan kawan yang sepantaran dengan saya. Palingan yang ada adalah para remaja masjid yang mungkin semuanya adalah lelaki. Riuh rendah kehebohan kendaraan pun berganti dengan hiruk pikuk tawa dan tangis para tetangga kecil. Anak-anak berusia dua hingga belasan tahun yang saban sore bermain-main dengan asyik dan, hmm.., ribut!

Menyaksikan kehebohan mereka dari jendela kamar saya, kadang saya bernostalgia sendiri dengan masa kecil saya. Dulu, saya sering ikut main dengan kakak lelaki saya satu-satunya. Dia, jelas saja tidak suka, ada adik yang mengekorinya dengan sepeda roda tiga, perempuan pula! Hingga, akhirnya saya pun menemukan komunitas kawan perempuan sendiri. Namun, saat memasuki usia SD, saya sering mendapat oleh-oleh berupa pe-er yang lumayan banyak. Maka, jadilah saya banyak menghabiskan waktu di rumah saja. Kerja pe-er, main game di komputer, atau baca komik dan buku cerita. Akhirnya, saya keasyikan dan mulai agak lupa dengan aktivitas di luar rumah. Orang tua saya lumayan tenang juga. Aman, mungkin begitu pikir mereka. Namun, di lain pihak, saya sadari bahwa hal itu cukup berpengaruh dalam kehidupan saya selanjutnya. Saya menjadi lebih pendiam dan tidak begitu suka dengan aktivitas fisik, apalagi saat jatuh sakit dan divonis gejala tiphus di kelas dua SD.

Kejadian Tidak Terlupakan di Kelas 2 SD

Saya: *Setengah mati mengerjakan tugas menulis indah selembar penuh*

Ibu: *Datang dan memandang hasil tulisan saya* Ini kok, tulisan kamu begini sih… *Ambil penghapus dan menghapus semua yang sudah saya tulis* Nah, sekarang coba tulis ulang!

Saya: *bengong*

Awal-awalnya, tetangga-tetangga kecil saya kalem-kalem saja. Mereka mungkin memang nampak ‘beringas’ saat bermain-main dengan sesamanya. Tapi, dengan saya mereka terlihat malu-malu dan kadang cuek-cuek saja. Hingga akhirnya, setelah lumayan lama dan saya cukup sering mereka lihat hilir mudik di daerah rumah mereka, para tetangga kecil ini mulai melakukan improvisasi.

Suatu hari, saya berjalan menuju pangkalan bentor, melewati kawanan kanak-kanak yang sedang asyik masyuk bermain. Salah satu dari mereka, Dede (3tahun) melihat saya dari jauh dan tersenyum-senyum. Rumah Dede memang tepat di depan rumah saya. Ibunya single parent yang membesarkan tiga orang anaknya yang masih kecil-kecil; Tanti, Dede, dan Baim. Mama Tanti bekerja dengan menawarkan jasa antar jemput anak-anak SD di kompleks dengan motornya. Saya, juga kadang jadi langganan Mama Tanti saat akan berangkat kuliah. Maka jelas, dengan keluarga kecil ini, saya cukup dekat.

Nah, melihat saya lewat, si Dede langsung menyapa dengan riang, “Kakak… Saya mau saliiim…” ujarnya dengan cempreng sambil mengansurkan tangan pada saya. Bersalaman, lalu meletakkan punggung tangan saya di jidatnya; salim. Perilaku Dede ini ternyata menginspirasi teman-temannya untuk melakukan hal yang sama. Maka jadilah saya bersalim-salim ria dengan para bocah ini. Mereka girang untuk alasan yang tidak begitu saya mengerti. Saya cuma bisa segera menyelasaikan aktivitas salim-salim itu segera dan ber-dadah-dadah pada mereka yang sumringah dan terus memanggil-manggil saya hingga saya menghilang di pembelokan. Haddeh…

Kejadian yang sama ternyata juga terjadi pada adik perempuan saya. Para tetangga kecil ini juga heboh ingin salim dengan adik saya saat mendapatinya akan berangkat kuliah. Kali ini bahkan diwarnai dengan chaos. Si Baim yang paling cilik diantara para bocah itu terjatuh di hadapan adik saya saat ingin salim. Tidak peduli dengan Baim yang sudah terjungkal dengan tragis, Nia yang seumur dengan Dede Nampak tidak peduli. Diinjaklah Baim untuk dapat salim dengan adik saya! Double haddeh…

Kebiasaan salim-salim itu pun terus berlanjut. Kadang, mereka mendapati saya pulang dari kampus, lalu langsung mengerubungi saya begitu turun dari bentor. Layaknya selebritis, saya pun salim-salim lagi sama mereka. Lalu kemudian, kembali terjadi perkembangan dengan salim-salim itu. Dari yang tadinya hanya sekedar bersalaman, berubah menjadi siapa yang paling banyak salim, dan yang paling lama menempelkan jidatnya. Kadang sampai ada yang jejeritan karena takut tidak kebagian salim. Triple haddeh..

Belakangan, saya sadar. Inti dari aktivitas itu bagi mereka bukanlah saya sebagai objeknya. Tapi, justru pada kompetisinya; siapa yang paling unggul. Siapa yang bisa salim paling banyak dan paling lama, maka dialah yang lebih baik dari yang lain. Yah, demikianlah para anak-anak itu. Tidak peduli dengan substansi ‘pertandingan’ itu sendiri, yang penting ia dapat jadi juara dan jadi yang terhebat.

Yah, tanpa sadar, kita yang (mengaku) sudah dewasa kadang mungkin melakukan hal yang sama. Berkompetisi untuk menjadi yang terdepan.

Fastabiqul khairat

Frase ini diperkenalkan kepada kita lewat ayat Al Qur’an. Berlomba dalam kebaikan. Demikianlah bagaimana kita dituntunkan untuk menjadi yang paling baik dalam hal yang baik. Dalam untaian sirah perjalanan Rasulullah Shallalahu ‘alaihi wasallam dengan para shahabat saja, dengan mudah kita temukan bagaimana mereka selalu berlomba dalam tiap amalannya; siapa yang sedekah paling banyak, siapa yang paling semangat menimba ilmu dari Rasulullah Shallalahu ‘alaihi wa sallam, siapa yang paling semangat dalam berjihad, dan siapa yang paling teguh dalam mempertahankan agamanya. Tanpa ada rasa paling unggul dan tanpa keinginan memamerkan amalan, mereka mengajarkan bagaimana caranya berlomba untuk kebaikan; kebaikan akhirat kelak. Lakukan saja, lebih sedikit yang mengetahui, lebih baik jadinya. Maka jadilah, muncul mereka yang akhfiyaa’; tak dikenal di bumi, namun popular di kalangan penduduk langit.

Sebaliknya, kita pun mendapati mereka selalu saja saling mengalah dalam hal dunia. Itsar, mendahulukan saudaranya dari kepentingannya sendiri. Sebuah puncak dari deret tangga ukhuwah Islamiyah yang telah kita pelajari. Anshar dan Muhajirin yang baru saja jumpa, sadar betul bahwa yang menyatukan mereka bukanlah perkara remeh temeh belaka. Kesaradan akan adanya ikatan dalam Laa Ilaha Illalah membuat mereka spontan saja membagi dua segalanya; harta, kebun, tempat tinggal, bahkan istri yang bersedia dicerai agar dapat dinikahi oleh saudaranya. Bahkan, hingga tetesan air terakhir yang dapat menyambung nyawa, kisah ini berakhir dengan meninggalnya ketiga syuhada yang saling mendahulukan. Bagi yang tidak mengerti kisahnya, akan menganggap hal ini tragis, konyol bahkan. Namun, bagi kita yang paham makna ukhuwah, kita tahu itu adalah sebentuk cinta yang hadir dengan kesadaran yang paling sadar; untuk dunia, tidak mengapa mengalah pada dirinya; sebab kita dipersaudarakan oleh Allah.

Namun, hari ini nampaknya ada yang berbeda. Entah mengapa kita justru melakukan yang sebaliknya. Dalam hal dunia, agak sulit rasanya untuk tidak menjadi juara. Harta, pangkat, gelar, ilmu dunia, menjadi parameter-parameter kesuksesan yang kadang membuat kita lupa untuk menengok pada saudara kita sendiri; adakah mereka pun dapat merasakan kenikmatan yang sama? Kita seenaknya makan hingga perut buncit, sementara tetangga sebelah tak bisa tidur karena kelaparan. Telah lupakah kita dengan nasihat untuk memperbanyak kuah agar masakan yang telah sampai baunya dapat pula terbagi nikmatnya? Ah, begitu bernafsunya kita dengan materi duniawi hingga tidak sampai di sana saja; kita bahkan menjadi merasa berhak untuk memandang remeh orang lain. Titel-titel yang memanjangkan nama itu, seolah menjadi legitimasi untuk enggan lagi tersenyum ramah, tidak lagi merasa cocok untuk berbicara sederhana, lalu sibuk merumit-rumitkan aksara agar dianggap paling berkompeten di bidangnya. Semakin parah, jika ditambah dengan tidak inginnya menerima kebenaran meski sebenarnya telah jelas ia tidak berada di jalan yang haq.

Sementara untuk urusan akhirat? Hmm…, ilmu syar’i seolah dianggap hanya milik mereka yang pesantren saja. Jilbab hanya dianggap tren Arab yang menyenangkan untuk dimodifikasi begitu rupa tanpa memperhatikan syarat-syaratnya. Mereka yang tekun beribadah dianggap egois ingin menikmati syurga sendirian. Mereka yang mencintai sunnah Nabinya dituduh berlebihan dan dicurigai teroris atau semacamnya. Saat diingatkan kepada akhirat; akhir yang tiada akhirnya, dengan santai kemudian seloroh itu yang mencuat; Ah, saya mau yang biasa-biasa saja… Hidup cuma sekali…Santai sajalah.. Tapi bagaimana bisa santai jika bisa jadi balasannya neraka yang menyala. Sementara pahit-pahit yang sementara ini mungkin saja berbuah syurga?

Tetangga-tetangga kecil saya kembali mengingatkan. Bahwa kita yang mungkin telah terlalu lama hidup di dunia, tidak pantas lagi bertingkah seperti mereka. Tidak pantas lagi berlomba untuk hal-hal yang mungkin tidak begitu kita mengerti substansinya. Biarlah mereka saja, yang memang belum mukallaf, belum dikenai beban pahala-dan-dosa, yang melakukan semaunya. Sementara kita? Janganlah… Semoga jadilah kita hamba yang melihat ke atas untuk akhirat, dan ke bawah untuk dunia. Semoga tercerahkanlah nurani untuk berujar jujur saat melihat yang muda, “Dirinya tentu memiliki dosa yang lebih sedikit dari saya…”. Lalu terkagum saat memandang yang lebih tua, “Dialah itu yang telah mengumpulkan lebih banyak pahala…”. Lalu temukan, memang tidak ada ruang untuk berbangga.

NoteForMySelf
Saat ibu-ibu tetangga kecil saya baru saja pulang sehabis bantu bikin kue semalaman.:')