Rabu, 27 April 2016

It's Ok To Be Human

Hujan mulai turun rerintik saat saya akhirnya memutuskan untuk membuat tulisan ini. Dari jendela kamar, nampak beberapa anak tetangga yang tengah asyik berlarian menuju rumah mereka, takut kebasahan.  Beberapa dari mereka siang tadi kedengaran terlibat konflik dan saling berkelahi. Namun sore ini, saya melihatnya kembali saling melempar tawa di antara derap langkah menghindari hujan. Nampak ringan sekali hidup mereka, ya? Kapan terakhir kali kita –orang (yang mengaku) dewasa merasakan itu? 

Ya, mungkin karena kompleksitas kehidupan yang tengah kita jalani membuat kita memandang hidup ini menjadi serba ribet. Macam-macam tuntutan dari masyarakat maupun dari diri kita sendiri tanpa sadar membuat kita menetapkan banyak standar-standar yang terkadang justru membuat kita stress sendiri, bahkan malah (sempat-sempatnya) ikut-ikutan stress melihat kehidupan orang lain. Kita menyembunyikan air mata, kita mengaku baik-baik saja, kita memasang wajah ceria meski sebenarnya tidak, bahkan kerap kali kita menjadi orang lain karena berusaha untuk  menyenangkan semua orang –walaupun itu mustahil. 

Padahal, it’s ok to be human. 

Ada kalanya, kita memang harus menangis, menumpahkan segala beban yang kita rasakan, meski mungkin dalam keadaan sendirian, cukup di atas sajadah dalam sujud panjang. Ada waktunya, kita tidak perlu memaksakan senyuman, saat kita memang tidak benar-benar ingin. Ada masanya kita mengatakan ‘tidak tahu’ saat kita menghadapi permasalahan yang memang di luar kapasitas kita. Saat kita kemudian menahan diri untuk menghukumi sesuatu yang tidak berada dalam pengetahuan kita. Saat kita memandang hidup orang lain yang juga tidak kalah kompleksnya; kita menahan diri untuk terburu-buru mengambil kesimpulan, tidak terburu-buru memberikan solusi yang akhirnya hanya sebatas: ah, kamu hanya kurang ini.. kamu hanya kurang itu... Sebab nyatanya, kita tidak pernah benar-benar tahu tentang kehidupan orang lain, sebagaimana orang lain pun tidak akan pernah benar-benar mengerti tentang kehidupan kita. Namun terkadang kita sulit untuk menahan lisan dan cukup mendengarkan curahan hati dengan hati kita pula, untuk kemudian menjadi sebaik-baik ‘sapu tangan’ bagi saudara kita yang lain. 

It’s ok to be human. 

Kita sadar bahwa ada kalanya kita jatuh, maka saat kita melihat itu terjadi pada orang lain, kita tidak serta merta mengutuk atau menertawakan pribadinya. Sebab kita tidak pernah tahu bagaimana seseorang berusaha untuk bangkit, berupaya untuk sembuh, dan bagaimana Allah mengatur takdir kehidupannya kelak. Kita sadar pada sisi-sisi manusiawi yang tidak akan pernah lepas dari diri kita, bukan untuk menjadikannya pembenaran atas kesalahan yang kita perbuat pada orang lain, namun sebagai sebuah bentuk keinsyafan, bahwa orang lain pun adalah manusia biasa, persis seperti kita, sehingga kita tidak pernah punya hak untuk menuntut orang lain menjadi sempurna. Kita adalah manusia dengan keunikan kita masing-masing, tidak ada di antara kita yang senang untuk dibandingkan dengan siapapun, untuk dipaksa menjadi seperti siapapun; kita tetap bisa menjadi baik, menjadi versi terbaik dari diri kita sendiri. 

Sebab, kita adalah manusia, dengan hidup kita sendiri-sendiri. Dan selalu akan seperti itu. Wallahu a’lam. 

Makassar, 27 April 2016

Minggu, 10 April 2016

Di Balik Lembar Kado Kecil Untukmu: Sebuah Tanda Cinta

Jadinya, saya menyusun buku gado-gado lagi deh...,” itulah yang terlintas di pikiran saya saat tengah melakukan perampungan pada naskah buku ini. Berawal dari rutinitas ‘chatting sebelum tidur’ yang saya lakoni bersama suami saat kami dalam masa LDM (long distance marriage), ide untuk ‘melahirkan’ buku ini pun tercetus. Saya yang kala itu tengah menjalani masa-masa awal kehamilan yang membuat nyaris sepanjang hari hanya bisa berdiam di rumah –lebih spesifiknya di atas tempat tidur, untuk menghalau rasa mual dan pusing, kemudian merasa bahwa saya membutuhkan sesuatu yang membuat hari-hari saya saat itu lebih bersemangat. Dan ternyata, jawabannya tidak jauh-jauh dari dunia kepenulisan. Saya merasa perlu kembali menerbitkan buku sebagai sebuah moodbooster agar tidak diserbu overthingking yang hanya membuat saya stress sendiri. 

Pemikiran untuk mengarsipkan tulisan-tulisan lama yang kemarin sempat muncul lewat beberapa media cetak pun menjadi satu paket dengan ide awal itu. Maka skenarionya pun menjadi lebih jelas. Saya akan mengumpulkan kembali artikel-artikel Islami yang mungkin di masa lalu hanya bisa dibaca oleh mereka yang mengakses media cetak tersebut, ditambah dengan beberapa tulisan lainnya, dalam sebuah buku yang akan saya terbitkan secara independent. Gayung bersambut, suami pun ternyata memberikan dukungan atas ide ini. Ah, bahkan membayangkan bahwa saya akan menerbitkan buku lagi pun sudah membuat saya bahagia! 

Dan bukan hanya memberikan support dalam konteks ‘izin’, beliau pun berbaik hati menjadi pembaca pertama dari naskah-naskah yang terkumpul, untuk kemudian memberikan masukan dan memperbaiki beberapa kekeliruan, bahkan yang berkaitan dengan perkara pengetikan. Alhamdulillah! Ssst... sebab untuk hal itu saya memang banyak khilafnya! Hehehe... 

Menyeksamai kembali tulisan-tulisan yang sebagian besar dulu di muat di Majalah Al Firdaus itu, memutar kembali memori saya. Tahun 2008 adalah saat pertama saya bergabung dalam media dakwah tersebut, kami kemudian lebih senang menyebutnya; majalah perjuangan. Bergabung untuk pertama kali dan menjadi kru dengan usia paling muda dan pengalaman paling minim tentu membawa nuansa tersendiri. Ditambah lagi dengan kesibukan di awal-awal masa perkualiahan saat itu. Modal saya hanyalah kesenangan menulis, kebiasaan ngeblog, dan secuil pengalaman ikut lomba-lomba mading dan KTI jaman SMA, serta terlibat dalam organisasi jurnalistik di sekolah serta punya proker artikel Islami di rohis. 

Pada masa peralihan dari SMA ke kuliah, saya giat ngeblog dan posting tulisan lewat note FB. Menulis apa saja yang jatuhnya lebih sering ke semacam catatan hati alias curhatan. Kegiatan itu membawa saya pada kebebasan menulis, ditambah lagi dengan kawan-kawan di dunia maya yang kerap kali berkunjung pada tulisan-tulisan itu. 

Nah, bergabung di media cetak yang diproduksi dalam skala yang lebih besar, harus bekerja dalam teamwork dengan kru yang lain, dan tentu saja tidak bisa meloloskan tulisan begitu saja, tentu memberikan pengalaman baru bagi saya. Saya masih sangat ingat, saat mendapatkan hasil print-out naskah pertama saya selepas dikoreksi oleh seorang ustadz yang menjadi staff ahli kami. Coretan merah di mana-mana! Saya shock

Kebanyakan dari coretan itu memenggal kalimat-kalimat panjang yang saya buat untuk naskah liputan rohis. Titik di sini! Koma di situ! Spasi di antara kata ini! Saya kemudian membaca ulang hasil koreksian itu sambil mengernyitkan kening. Selama ini, tidak ada yang pernah memperlakukan tulisan saya sebegitu rupa. Hehehe... 

Saya sempat merasa agak down, merasa terkungkung, bahkan dengan (sangat) sok tau, menganggap bahwa hasil editan itu akan mengubah ‘ciri khas’ tulisan saya *halah*. Belakangan saya baru sadar, baru belajar, bahwa ternyata setelah diedit, tulisan itu memang menjadi lebih baik. Saya selama ini telah terjangkit virus ‘kalimat-kalimat panjang tanpa jeda’, dan sama sekali tidak ada yang menegur. Bahkan kadang mendapat banyak jempol. Alhamdulillah, menjadi kru Majalah AlFirdaus, membuat saya belajar banyak hal. Dan tulisan-tulisan yang saya himpun dalam ‘Kado Kecil Untukmu’ pada bagian ‘Khazanah’-nya, semoga menjadi lembaran-lembaran hasil belajar yang akan terus saya pelajari. 

Paruh kedua dari buku ini kemudian memuat tulisan-tulisan lepas ‘khas Jeda Sejenak’. Hmm... semacam catatan hati tentang banyak hal yang terlintas di pikiran. Ada pula beberapa catatan yang lahir setelah menyimak video ceramah yang saya rasa sangat baik untuk dituliskan. Yap, lagi-lagi buku gado-gado, kawan. Dan buku yang juga terasa sangat personal ini pun akhirnya saya anggap paling tepat untuk dipublikasi secara independent. Setelah kemarin sempat ditakdirkan mengicip kerjasama dengan penerbit mayor, kali ini saya ingin kembali bernostalgia ke masa-masa saat memproduksi dan mengedarkan Jeda Sejenak, buku pertama saya yang juga menggunakan selfpublishing yang sama dengan kali ini; Leutikaprio di Yogyakarta. Alhamdulillah, selalu ada kenyamanan saat bekerjasama dengan pihak yang satu ini (terima kasih, Leu!

Mulai dari proses penyusunan naskahnya secara mandiri, self editing yang dilanjutkan dengan bantuan editan dari suami, mendeskripsikan covernya, menunggu prosesnya, hingga akhirnya membuka pre-order untuk Kado Kecil Untukmu; semua proses itu selalu terasa menyenangkan. Beberapa kawan ikut serta memesan pada preorder tahap pertama hanya dengan membaca dua paragraf sinopsis (yang tentunya belum jelas-jelas amat). Hal itu  membuat saya merasa terharu, bagaimana kawan-kawan itu memberikan apresiasi dengan mentransfer sejumlah dana untuk mendapatkan buku saya, bahkan tanpa banyak bertanya ini itu! Meski saya tahu, beberapa di antara mereka punya kapabilitas di atas dari apa yang nantinya buku saya tawarkan. Lagi-lagi buku saya ini tidak lebih dari teman minum kopi atau teh di senja hari, bukan sesuatu yang perlu ditekuni dengan serius; persis seperti kapasitas saya yang juga tidak seberapa dalam menulis, baik dari segi teknik maupun isinya. 

Namun terlepas dari berbagai kekurangan yang sangat harus saya akui itu, buku ini, kado kecil ini, saya sebut sebagai tanda cinta. Jika buku pertama saya dedikasikan untuk ibu yang telah melahirkan saya, maka buku kali ini saya tulis untuk calon hamba Allah yang kelak akan saya lahirkan, insya Allah. 

Ya, maka ini adalah tanda cinta. Untuk dia yang telah saya bersamai lebih dari tujuh bulan ini. Yang berdetak bersama detakan jantung saya, yang turut berbagi dengan pembuluh darah saya. Betapa menakjubkannya, bagaimana kehadirannya yang baru sebagai embrio di dalam rahim, yang kemudian terbaca sebagai dua garis merah di testpack hari itu, bisa menerbitkan bahagia yang luar biasa di hati kami. Bagaimana saya menghadapi beberapa hal dalam keadaan sendiri, namun tetap merasa bahwa ia pun ada dalam diri saya dan membersamai saya di mana pun dan kapanpun. Saya mengajaknya mengobrol sambil mengusap perut, kadang pula mengeraskan suara saat membaca buku, berharap ia turut menyimaknya. Saya menanggapi beberapa hal dengan bergumam kecil, seolah meminta pendapatnya. Baiklah, saya memang orang yang cukup ‘drama’, dan bawaan hormonal ketika tengah hamil seperti sekarang, membuat saya menjadi ‘double-drama’. Hehe... 

Buku ini adalah tanda cinta. Juga berangkat dari keinsyafan betapa saya tidak tahu berapa lama saya bisa membersamainya; dia yang kini semakin lincah ngulet-ngulet dalam perut saya. Saya sadar, betapapun kita mencintai sebuah perjumpaan tentu akan ada masa perpisahan. Saya bahkan belum pernah berjumpa dengannya, namun telah begitu mencintainya. Saat nanti insya Allah berjumpa pun (mohon doanya semoga dilancarkan... aamiin...), tentu ia butuh waktu untuk mengerti tentang lembaran-lembaran dari buku ini. Namun, akan tiba masa di mana kami tidak bisa bersama lagi, tidak bisa berbincang lagi. Saya berharap, saat masa itu datang, lembaran-lembaran dari buku ini masih cukup baik untuk bisa ia seksamai. Untuk ia tahu, bagaimana cara berpikir ibunya tentang ini dan itu. Dan tentunya untuk ia tahu, bahwa sangat penting baginya untuk selalu berbangga karena ditakdirkan hidup sebagai seorang muslim; mensyukurinya, dan menjadi seorang muslim yang baik, dengan segala makna yang terkandung di dalamnya. Untuk engkau tahu, Nak, betapa kami mencintaimu karena Allah. 

Ya, ini adalah sebuah kado. Sederhana saja, kecil dan mungil saja. Teriring permohonan maaf sebab ternyata kado ini harus berbayar, sebab ada sumber daya yang harus turut serta dalam proses cetaknya hingga berbentuk sebuah buku. Sekali lagi, terima kasih kepada semua teman-teman yang sudah ikut mengorder, dan kepada yang setelah ini baru akan mengorder... *Hehehe.. #modus*.  Mumpung stok yang nantinya akan tersedia pada preorder tahap pertama ini masih menyisakan beberapa ruang kosong, saya masih menunggu dengan setia! Hehe... 

Mari bersama saya merayakan tanda cinta ini dengan kado kecil. Semoga ada manfaat yang bisa di ambil di dalamnya, dan semoga Allah memaafkan kehilafan saya yang terekam di dalamnya. Hanya dariNya saja bersumber segala kebaikan. 



Makassar, 10 April 2016