Minggu, 25 Februari 2018

Pada Fase Ini

Hai, Dina...

Ingatlah pada fase ini, kau bergelut dengan banyak tangisan, rengekan, dan tuntutan.

Pada fase ini kau banyak terkungkung dan melihat tembok dan pekerjaan yang terus berulang, tak ada habisnya.

Pada fase ini kau lupa kapan terakhir kali tidur tanpa intervensi.
Pada fase ini kau membuat rencana dan membatalkannya sendiri, bukan karena tak mampu, tapi karena kondisi yang tidak memungkinkan untuk itu.

Pada fase ini seringkali kau menangis dalam sepi dan menyeka air matamu sendiri. Sebab malu pada keluhan yang kau rasa telah terlalu banyak. Dan sebab lelah terkadang dimaknai oleh orang lain sebagai ketidaksyukuran.

Pada fase ini kau menginginkan hal-hal kecil yang terasa begitu sulit dicapai.

Pada fase ini kau sangat ingin terlihat cantik dan segar namun seolah tak punya kesempatan untuk mengusahakannya.

Pada fase ini kau merindukan masa lalu dan ingin mengulangnya kembali meski hanya sejenak saja.

Pada fase ini kau berharap bisa tidak memerdulikan pendapat apapun dari siapapun, tapi tak bisa.

Pada fase ini kau berharap bisa lebih kuat lagi. Bisa menunda istirahat lebih lama lagi. Bisa bersabar lebih tak berbatas lagi. Bisa bertenaga lebih besar lagi. Bisa tersenyum lebih ikhlas lagi.

Dina, ingatlah bahwa kau pernah berada pada fase ini. Saat di mana mungkin, di masa yang akan datang, kau akan merindukannya

Pada fase ini kau sedang menanam. Kelak kau akan menuai buahnya. Dan berbahagialah. Insyaallah.

25 Februari 2018

Sabtu, 24 Februari 2018

Menulis, Mengukir Kenangan untuk Mereka

Perempuan itu terlihat berkaca-kaca. Ia sedang berada dalam satu sesi wawancara tentang pencapaiannya dalam hal kepenulisan. Di awal, ia nampak begitu bersemangat. Namun saat sampai pada satu topik pertanyaan, ia kelihatan tak mampu membendung air matanya. Saat itu, ia bukan hanya sedang berbicara sebagai seorang penulis, tapi juga sebagai seorang ibu.

"Salah satu motivasi saya menulis adalah agar kelak anak-anak saya bisa membaca tulisan saya. Saat saya tidak bisa lagi bersama mereka, setidaknya mereka dapat menemukan jawaban dari pertanyaannya saat membaca tulisan bundanya..." ujarnya.

Menyaksikan itu, saya jadi ikut terharu. Padahal kala itu saya masih berstatus single.

Kini saat telah menjadi seorang ibu, saya menjadi lebih mengerti dengan apa yang diucapkan penulis itu. Lebih merasai haru yang ia dekap dalam dadanya. Ah, betapa kebersamaan dengan anak-anak memang tidak akan selamanya. Tapi, kita selalu punya cara untuk bisa meninggalkan sesuatu untuk menjadi kenangan untuk mereka.

Maka itu pula yang menjadi pecut bagi saya untuk tetap menulis. Agar kelak, anak-anak saya dapat turut menjadi pembaca tulisan ibunya. Agar ada nilai yang bisa mereka pahami, ada pikiran yang bisa ikut mereka mengerti dalam menjalani kehidupan mereka seterusnya. Dengan atau tanpa saya di sisi mereka. Ada kenangan yang bisa mereka baca. Ada obrolan yang dapat mereka ajak bercakap, meski mungkin kelak saya telah tiada.

Pada titik itu saya semakin yakin, tak ada ruang untuk menuliskan apapun kecuali hanya kebaikan saja. Sebab tentu saja, tiap ibu hanya menginginkan yang terbaik untuk anak-anaknya.

#tantanganmenulisClubMenulisHSMNSulawesi