Jumat, 25 Agustus 2017

Syawal, Walimah, dan Awal Perjalanan Kita

Kalau boleh saya bilang, Syawal itu bulan yang penuh cinta. Seolah bunga bermekaran di mana-mana. Gelaran walimah menemukan waktunya yang nyunnah. Alhamdulillah, dua tahun lalu Allah menakdirkan saya menggenapkan separuh dien pada bulan Syawal pula. Jadilah, Syawal bagi kami adalah kenangan atas cinta :)

Nostalgia sedikit boleh tak? Hehe.. Jadi saya nikah pada 18 Syawal, tepatnya 3 Agustus 2015. Proses taaruf sendiri sudah dimulai sejak akhir tahun 2014. Lama ya? Iya, banget.

Diawali dengan tukaran biodata. Nama si ikhwan benar-benar baru saya baca pertama kali lewat biodata itu, walaupun dia adalah kakak kandung dari seorang junior di lembaga dakwah. Tapi dasar sayanya yang gak gaul -lagian ngapain juga gaul dgn update nama-nama ikhwan kan yak? Saya sama sekali tidak tahu menahu sedikitpun sama sosok dalam biodata itu.

Setelah beberapa komunikasi via perantara, saya akhirnya mempersilakan dia untuk menemui orangtua saya. Saya pikir, selanjutnya biarlah orang tua pun ikut menilai dan memberi pertimbangan. Maka tanggal 1 Januari 2015 dipilih menjadi saat untuk pertama kalinya si dia menginjakkan kaki di rumah saya. Tentunya hanya ketemu Bapak. Saya? Ngumpet di dalam lah! Malu gitulo.

Dengan tiga kali perjumpaan (baca: sesi tanya jawab) dengan Bapak, taaruf itu pun diakhiri dengan khitbah di akhir Januari itu. Kenapa harus buru-buru khitbah sementara walimahnya baru di 3 Agustus? Sebab saat itu, si ikhwan hanya bisa memanfaatkan waktu liburan semesternya. Di akhir Januari doi harus balik ke negeri jiran untuk lanjut kuliah lagi, dan baru bisa pulang buat walimahan pada liburan berikutnya, libur semester plus Ramadan dan Lebaran.

Gimana rasanya nunggu selama itu? Wakwaw, kaka. Sebab dalam penantian banyak celah syaitan. Dan hanya pertolongan Allah yang menjaga kami dari tipu daya itu. Alhamdulillah, kami komitmen untuk tidak ada komunikasi langsung, semuanya lewat perantara. Waswas datang dari arah lain yang kadang membuat hati ini ingin berpaling, tapi lagi-lagi Allah bantu kami melewati itu. Alhamdulillah... Tapi jika boleh nyumbang saran, lamanya penantian kami jangan ditiru. Ba'da khitbah, segerakan walimah! Insya Allah lebih selamat :)

Nah pas berita tentang walimah kami sudah menyebar, berbagai spekulasi pun muncul. Beberapa pihak menilai saya memilih dirinya karena melihat pencapaian akademiknya. Beberapa menduga-duga kira-kira berapa mahar yang harus si ikhwan siapkan. Yang lainnya penasaran, kira-kira siapa yang si ikhwan ini lobi sehingga bisa menaklukkan Bapaknya Diena..hehe..

Saya sungguh tidak tahu bagaimana khalayak di luar sana menilai saya (dan keluarga saya). Tapi sejujurnya, tidak ada alasan lain untuk saya menerima pinangan si dia, selain karena saya PERCAYA pada agama dan akhlaknya. Sungguh. Cukup itu saja. Yang lainnya, bagi saya bukan opsi penting yang harus mempengaruhi keputusan.

Intinya kita berdua beristikharah; agar memilih bersama Allah,lalu tak ada ragu, hingga tak ada sesal suatu waktu. Dan beristisyarah; bermusyawarah dengan mereka yang kami percaya; agar niatan itu menancap erat dalam dada, ada penguat saat langkah melemah atau waswas datang menerpa. Lalu kami melalui prosesnya, diikhtiarkan agar selalu terjaga dari apa yang Allah tidak suka. Halang dan rintangan bukannya tak ada, tapi Alhamdulillah Allah selalu menunjukkan jalan penyelesaiannya hingga akhirnya akad suci terucapkan.

Nah trus, saya jadi ingat perjumpaan pertama dengan calon ibu mertua (saat itu). Saat pertama ketemu saya, satu pertanyaan dilontarkannya dengan nada heran...

''Kok Dina mau nikah sama anak tante? Dia kan belum punya kerjaan... masih mahasiswa...''
Ditanya kayak begitu, saya cuma bisa cengengesan sambil jawab santai; ''Yang penting kan ada keinginan untuk bertanggungjawab dan berusaha, Tante...''

Iya, santai betul saya menjawab saat itu. Meski nyatanya, dalam tataran praktek, menjalaninya kadang harus gak nyante..hehe

Waktu awal nikah dan saya 'pasrah' ikut diboyong ke negeri seberang, dengan status suami yang kala itu pure hanya mahasiswa dengan scholarship yang tak nanggung keluarga, suami mengaku 'takjub' dengan 'keberanian' saya: ini akhwat kok mau-maunya ikut sama saya.. mungkin gitu dia mikirnya.. hehe

Tapi lagi-lagi yang saya PERCAYA bahwa rejeki itu sudah Allah atur. Mau lewat suami, atau lewat jalan lain, rejeki yang sudah Allah takdirkan untuk saya lebih tahu di mana saya berada dibandingkan pengetahuan saya tentang rejeki itu ada di mana.

Maka saat saya menyemangati suami untuk bekerja, saya katakan padanya; Saya senang lihat Aba bekerja bukan karena senang bakal punya duit dari gaji Aba. Sebab saya yakin rejeki saya bisa lewat mana saja. Tapi, saya pahami bahwa untuk Aba bekerja adalah kewajiban, adalah ibadah, yang dengan menjalankannya Aba bisa dapat pahala.. itu saja.

Lalu Pak Suami pun sukses terharu. Kadang dia natap saya sambil bilang kasian sama saya. Dia bilang, mungkin saya sering memendam keinginan yang saya tahan untuk ucapkan. Saya katakan, sejak gadis saya bukan tipe perempuan yang suka ini-itu. Saya sukanya nabung, bukan belanja. Saya sukanya liat nominal rekening yang besar buat simpanan masa depan (huehehe). Dan setelah nikah, sikap itu nyatanya sangat membantu untuk bisa ngontrol diri. Banyak gadhul bashar meski jualan olshop yang cuantik2 wara wiri di beranda. Tahan. Tahan. Masih ada kebutuhan yang lebih penting dan substansial dari sekadar gamis baru atau cemilan unyu.. tapi saya bukannya anggap orang yang suka belanja itu salah loh ya, bisa jadi memang itu kebutuhan dia, sedangkan kebutuhan saya beda. Gitu aja sih.

Nyatanya, tawakkal masalah rejeki memang terasaaaa banget pelajarannya setelah nikah. Dan langsung ambil ibrahnya saat nyadar, toh meski nikah sama mahasiswa yang bukan pegawai bergaji banyak, sampe hari ini kami masih bisa happy. Iya, karena ternyata kebahagiaan memang tidak selalu terletak pada materi.

Trus kalo liat sekeliling, ternyata ada-ada saja barang yang bisa kebeli setelah nikah. Padahal kalau mau hitung-hitungan angka, logikanya sih tak sampai ke sana. Tapi itulah rejeki, sekali lagi, dia lebih tahu di mana kita berada. Toh saya masih bisa punya gamis dan daster baru, yang mungkin sebelum nikah, walaupun tabungan lebih banyak, tapi tidak pernah terpikirkan untuk dimiliki. Suami juga masih bisa punya barang baru. Fayyadh juga bisa kami belikan pakaian, susu, popok, buku, dan mainan. Kalo mau ngemil, ada saja rejeki yang bisa dipake buat jajan. Kalau mau jalan-jalan, alhamdulillah ada motor yang statusnya sudah milik pribadi tanpa harus nyicil ala-ala riba, meski capnya secondhand dan dibeli dengan harga sodara dari sahabatnya si Aba. Alhamdulillah..Alhamdulillah...

Waktu dulu suami belum dapat 'kerjaan beneran' kayak sekarang, doi sempat usaha jualan. Istilah kerennya dia; bisnis. Hehe..

Suatu waktu saya dengar sendiri dia telepon kenalannya, tawarin jualannya dia. Trus yang ditawarin itu menolak. Saya lihat ada raut kecewa di wajah suami. Trus suatu waktu kami ngobrol, suami bilang; kadang ada sih rasa malu karena harus jualan, apalagi kalau ditolak. Suami ngomong begitu, ada selapis bening saya lihat pada matanya. ''Tapi kan yang penting halal, ini kan ibadah. Aba akan rasa sangat puas kalau bisa kasih penghasilan Aba buat Ummi dan Fayyadh, meski ndak banyak.''

Trus saya gantian terharu. Mengharu biru dan bersyukur.

Suatu waktu, saya tiba-tiba pengen ngemil. Suami lagi di luar. Saya watsap deh beberapa poin cemilan yang saya mau. Maklumlah ya lagi hamil #modus. Tapi trus saya coba ingat lagi. Kayaknya beberapa hari ini suami lagi ndak ada pemasukan. Kemarin-kemarin kalo ada rejeki, suami selalu setoran ke dompet saya (hehehe). Jadi di akhir watsap itu saya tanya: eh, tapi di dompet Aba memangnya masih ada uang?

Trus suami jawab gini: insya Allah ada.. selama kita masih ada umur, rejeki dari Allah insya Allah selalu ada..

Maknyes.. jadi adem lagi deh.

Sebenarnya, yang kadang bikin nyesek itu karena kita -dan biasanya pihak wanita, senangnya nengok ke rumput tetangga. Yang selalunya, keliatan lebih hijau dan segar. Macam kayak saya, ndak jarang ada yang komentar; wah pasti bangga ya suaminya bisa sekolah tinggi...keren!

Hmm..iya sih, alhamdulillah... tapi ya sebanding juga sama konsekuensi di baliknya. Diduakan sama tugas kuliah atau tetek bengek penelitian, harus legowo sama senin-jumat yang dipakai cari nafkah dan sabtu-ahad yang tersita untuk kuliah, juga harus rela saat kas rumah tangga ikut teralokasi untuk kepentingan akademik. Alhamdulillah ala kulli hal... Alhamdulillah masih ada tetangga yang anggap rumput halaman kami lebih hijau. Hehe..

Oh iya, yang saya camkan dalam diri juga, jangan membandingkan kehidupan sebelum dan setelah nikah. Waktu sebelum nikah, status kita masih seorang anak, yang mungkin segala kebutuhannya terpenuhi sama orang tua. Setelah nikah, anggap diri mulai dari nol lagi. Kita mungkin kadang gak ingat, bahwa apa yang dicapai ortu kini itu adalah hasil perjuangan panjang mereka. Pas dewasa, kita tinggal nikmati buahnya. Maka saat kita nikah, kita pun harus memulai dari AWAL perjuangan yang sama.

Itu baru satu perkara ya. Masalah rejeki dan bagaimana kita memandangnya. Angelnya memang akan terasa bedaaaaa sekali dibanding waktu masih singel dulu. Kami berdua, memang sejak awal berkomitmen untuk 'mendaki gunung' bersama. Jika kelak Allah takdirkan sampai di puncak, maka itu kami raih dengan saling bergandeng tangan, bukan menunggu satu pihak sukses, trus baru mau hidup sama-sama. Dan kami ingin dalam keadaan itu pula anak-anak kami tumbuh dan berkembang. Kelak, mereka bisa mengerti bahwa tak ada kisah yang happily ever after kecuali di dongeng Disney. Hidup yang sebenarnya adalah tentang meraih bahagia lalu syukur, atau melalui ujian lalu bersabar.

Tapi saya bukannya menganggap rumah tangga yang dimulai dengan kemapanan itu salah loh ya. Saya yakin tiap pernikahan punya medan ujiannya masing-masing. Mungkin dari sisi hidup yang lainnya lagi. Kita hanya perlu saling support dan menyemangati. Menginsyafi bahwa apa yang Allah takdirkan, itulah yang terbaik.

Dan menemukan cinta dalam ikatang agung pernikahan, bukanlah akhir dari kisah. Namun justru sebuah awal dari perjalanan panjang kita. Bersama.

Makassar, Syawal di tahun ini.

Untukmu, Para Ayah yang Lelah

Untukmu para anak lelaki shalih, yang sepenuh bakti berhikmat kepada ibu bapaknya
Yang tak peduli seberapa jarak yang membentang, selalu tahu ke mana ia harus pulang
Pada pemilik doa-doa paling tulus untuknya, sejak ia dilahirkan.

Untukmu para lelaki pemberani yang tak gentar meninggalkan dan menanggalkan kebebasan masa bujang
Saat independensi pada materi dan waktu berada dalam genggaman
Tapi ia melangkah untuk mengucap perjanjian agung yang Allah menjadi saksinya
Menggenapkan separuh agama dalam bingkai suci pernikahan
Bersiap menanggung segala tanggung jawab sejak di dunia, seterusnya hingga yaumil hisab atas istri dan anak-anaknya

Untukmu, para suami berhati lembut
Yang senantiasa menyediakan pundak, telinga, dan hatinya untuk mendengar keluh kesah sang belahan jiwa
Tak peduli seberapa remeh setiap cerita yang mengalir dari lisan istrinya
Didengarnya dengan penuh perhatian, dengan sepenuh pengertian

Untukmu, sang nahkoda rumah tangga yang bening hatinya
Yang menyimpan tenaga terbaiknya untuk meringankan beban tugas domestik pendampingnya
Yang tak malu ikut turun dalam tetek bengek kebersihan rumah, cucian yang menumpuk, piring kotor, atau bahkan urusan kebersihan anak-anaknya
Yang tak memandang sepele tiap peluh dan keluh yang tersampaikan atau yg tak tersampaikan oleh istrinya

Untukmu, para ayah yang sepenuh cinta
Yang tak menggantungkan masalah masa depan dan pendidikan anaknya hanya kepada sang ibunda semata
Yang berada pada garis depan dalam membimbing buah hatinya
Yang selalu menyediakan waktu dan perhatiannya pada anak-anaknya

Duhai, betapa lelah dirimu wahai ayah
Yang membanting tulang mencari nafkah dalam bingkai ibadah
Yang menyimpan segala beban pikiran dan mengatup bibirnya rapat-rapat dari segala keluhan
Yang menahan air matanya saat masalah datang menghimpit untuk dapat tampak tegar di tengah keluarganya
Yang rela menanggung segala urusan istri dan anak-anaknya mulai dari yang sederhana hingga yang harus dipertanggungjawabkan di akhirat kelak.

Duhai, padamu para ayah yang lelah
Semoga segala letih dan peluh raga dan hatimu berbuah surga
Hingga tercapai cita-citamu untuk kembali berkumpul bersama
Di jannahNya saja.

Makassar, 2017