SEBUAH KONTRIBUSI APRESIATIF
TERHADAP KARYA SASTRA ARRIFA’AH*)
Oleh: Hj. Andi Rasdiyanah
I.
Prolog Peminatan
Sebagai seorang peminat sastra Islam yang ingin
berpastisipasi dalam pemberian apresiasi terhadap karya sastra ananda Arrifa’ah
berjudul: Jeda Sejenak (Kumpulan Essai dan Puisi Renungan), sebaiknya
saya awali dengan sebuah prolog peminatan tentang seni, karya sastra, sastra
Islam, sastra selangkangan dan sastra profan. Prolog dimaksud merupakan pintu
masuk pada proses identifikasi yang dikaitkan dengan identitas (jati diri) karya sastra Arrifa’ah.
Diharapkan pada akhir penyajian data apresiasi dapat terjawab tentang asumsi di
kelas mana selayaknya Arrifa’ah di tempatkan sebagai penyair dan sastrawan
sesuai dengan data dan kondisi obyektif yang melingkupi karya tulisnya.
Seni sastra adalah bagian dari kesenian substantif yang
menyatakan bahwa seni adalah suatu bentuk hasil upaya manusia yang dijelaskan
melalui imajimasi, khususnya seni lukis, seni bangunan dan arsitektur, seni
sastra, seni musik, seni tari dan sebagainya (Advenced
Junior Dictionary).
Seni adalah salah satu wujud dari aktualisasi kehidupan
manusia yang fitri. Seni senantiasa berjalan seiring dengan dinamika
masyarakat. Semakin dinamis kehidupan suatu masyakarat, semakin dinamis pula
kehidupan keseniannya yang senantiasa berkembang dan berubah mengikuti
perkembangan dan perubahan yang terjadi dalam masyarakat.
Seni adalah hasil kreativitas artistic masyarakat yang
berfungsi sebagai media untuk memenuhi kebutuhan estetika masyarakat itu
sendiri. Bahkan dalam kehidupan yang lebih luas, secara empiris dapat di lihat
betapa kehadiran seni begitu fungsional dalam kehidupan manusia, baik secara
individual sebagai sarana untuk berekspresi, maupun secara social untuk
kepentingan yang berkaitan dengan masalah agama, politik, pendidikan dan
ekonomi. Dalam kaitan ini diharapkan agar seni sastra berfungsi mencerdaskan,
mencerahkan dan mendorong kreativitas manusia dalam tataran sastra religious
yang menghadapi sastra profane, termasuk karya sastra Arrifa’ah, kini dan
kedepan.
Sastra Islam sudah sejak lama berperan dalam khasanah
kesusastraan Indonesia lama (Melayu). Namun ketika
masuk abad modernisasi di Indonesia, genre sastra Islam tersebut mulai
terpinggiran sejak periode Prof A. Teeuw asal Belanda berperan sebagai kritikus
sastra Indonesia modern (tahun 70 an dan 80 an), kesusastraan yang bercorak
Islam praktis tidak mendapat tempat. Namun dalam kontek dinamisasi sastra
Islam, wacana Islam sempat bergulir yang kemudian masuk dalam pembicaraan
sastra sufi dan sempat kembali ke akar, ke sastra Islam. Sejumlah karya sastra
yang muncul pada dasawarsa 1970 an itu menunjukkan jati dirinya sebagai sastra
Indonesia dengan nafas dan semangat keagamaan (Islam)
yang kental.
Perkembangan selanjutnya menurut Maman S. Mahayama dalam (Marwan Sarijo 2008:4), selepas tahun 1970 an itu,
semangat jati diri penulis-penulis Islam melempem kembali, digantikan oleh
derasnya semangat sastra selangkangan (oleh penulis perempuan) yang
karya-karyanya mendapat sambutan dan apresiasi dari sesama sastrawan Komunitas
Utan Kayu (KUK) yang sudah dikenal namanya dikalangan publik, tercatat nama
Tamara Geraldine, Ayu Utami, dan Djenar Maesa Ayu. Tema-tema tulisannya
berkisar pada narasi sekitar kelamin dengan bahasa yang vulgar. Ciri khasnya
antara lain senang menampilkan oral seks, mengobral penyebutan alat-alat vital
seperti p******a, v****a, p***** dan lain-lain. Genre sastra selangkangan
seperti ini dinilai oleh sebagian umat Islam sama bahayanya dengan narkoba bagi
para remaja.
Sayyed Hussein Nasr menyatakan bahwa sastra religius
adalah sastra yang tidak melulu indoktrinasi melainkan juga mampu menghadirkan
subyek atau fungsi yang menyesuaikan inklusivitas esoterisme. Seperti juga pada
seni sastra tradisional, yang hadir bukan karena pokok persoalannya, namun
lebih pada upaya penyusaiannya dengan hukum kosmik, simbolisme, gayanya yang
hereotik dan akhirnya kesesuaian dengan kebenaran kontek.
Dengan memadukan dua hal itu, sastra Islam diharapkan
mampu berjalan dengan dinamika macam-macam isu global. Sastra Islam dalam hal
ini, tertantang untuk memenangkan secara bijak struktur realitas, yang oleh
Nasr dijabarkan dengan tiga prinsip teofani besar, yakni kosmos, manusia dan
wahyu. Sastra Islam juga akan berbalik melirik fungsi esoterik, baik pada basis agamanya, maupun basis tradisinya.
Studi sastra Islam bukan semata terletak pada masalah
kriteria yang bagus. Pertama-tama terletak pada hasil sastra itu sendiri. Patut
dibanggakan karena dalam sejarah sastra itu sendiri terdapat karya-karya yang
bermutu, yang dihasilkan oleh pengaruh Islam, termasuk penulis-penulis muda
kita. Tampaknya secara apesiatif Jeda Sejenak karya Arrifa’ah dalam
semboyan seni sebagai alat dakwah dapat menempati posisi ini.
II.
Orientasi Substantif
Sinergitas profesiomalisme yang signifikan antara saya
dengan ananda Arrifa’ah bermuara pada persmaan komitmen kepenyairan yang
berkembang pada sejak usia Pendidikan Menengah hingga usia pendidikan tinggi
jenjang sarjana, meski dalam periode yang berbeda yaitu antara tahun 1950 an
dengan tahun 2008 an mungkin juga sama-sama dinilai oleh dunia sastra sebagai
penyair alami, karena tidak didukung oleh pendidikan formal yang linier untuk
perkembangannya. Sekedar berbagi pengalaman untuk perbandingan, kiprah saya
dibidang ini cukup produktif pada masanya yang ditandai dengan sebaran karya
tulis saya mewarnai Pedoman Rakyat Yokyakarta, Gajah Mada Yogyakarta, Panji Masyarakat
Jakarta, Basis Yogyakarta, Criterium Yogyakarta, suara Aisyiyah Yogyakarta dan
Penyuluh agama Jakarta. Namun satu hal yang tidak boleh ditiru karena keredupan
semangat berkarya sastra telah hadir pada diri saya tahun 1970 an ketika saya
menjabat sebagai tenaga fungsional dan structural yang mengalihkan semangat
kepenyairan saya kepada karya-karya ilmiah (Makalah/buku) karena faktor waktu yang
kurang mendukung.
Pesan akademik saya yang penting untuk anda adalah
melanjutkan secara terus menerus komitmen kepenyairan sebagai produser Sastra
Islam dengan segala upaya pengembangannya, dalam rangka menghadapi produser
sastra Selangkangan. Dari karya sastranya yang berjudul Jeda sejenak
(Sebuah kumpulan Essei dan Puisi Renungan) dapat ditemukan kepemilikan anda tentang ilmu-ilmu
keislaman yang sangat memadai, meskipun itu diperoleh dari pendidikan non
formal bahkan dengan pendidikan otodidak. Mengulangi apa yang dikatakan oleh
Shafie Abu Bakar dari Malaysia, bahwa bila menyebut sastra Islam, antara
penulis dan tulisannya mempunyai hubungan erat oleh karena apa yang dihasilkan
di dalam penulisan tidak lain dari taraf pendidikan, falsafah hidup dan
pengaruh lingkungan. Dalam hal ini, ananda Arrifa’ah berada pada lingkungan
hidup dan kecendikiaan puncak orang tuanya dalam bidang ilmu-ilmu keislaman.
Pengamatan positif ini sejatinya tidak dianggap keliru
kalau saya menggunakannya sebagai paradigma dalam membedah pemikiran religius
penulis karya sastra Jeda Sejenak menurut Shafie Abu Bakar di atas.
III.
Materi Apresiasi
Jeda pertama : Derap langkah kesyukuran Judul Bab
Jeda Pertama ini tidak menunjukkan visi progresif. Namun setelah ditelusuri
judul-judul sub babnya yang terdiri dari judul puisi terdiri dari 7 judul dan
judul essai yang terdiri dari 14 judul, terntyata merupakan perpaduan antara
visi filosofis sufistik yang epigram-insaniyah dengan visi visioner yang
progresif.
A.
Puisi (7 buah)
1.
Puisi pertama, perjalanan
Penulis berpandangan bahwa perjalanan didunia ini menuju
akhirat dilakoni oleh manusia dengan kegiatan bermacam-macam. Ada yang menekuni
usaha oleh manusia dengan kegiatan dengan kesalehan sosial. Ada yang menekuni
masjid dalam rangka kesalehan ibadah (individual). Bahkan anak-anakpun turut
menampilkan kenerjanya sesuai levelnya, dengan penuh optimism tanpa beban,
karena ketidaktahuan. Dalam perjalanan yang panjang ini, jiwa-jiwa muthmainnah
yang terakomodir dalam korider jiwa muthmainnah dimintai kesabarannya menanti
arahan Tuhan ke Surga.
2.
Puisi kedua, Sekotak The Di
Kursi Taman
Sekotak teh di Kursi Taman merupakan symbol wanita yang
ingin dipersunting oleh lelaki yang gelisah karena maksudnya tak sampai oleh
kendala pendidikan yang tidak dimilikinya. Pada akhirnya Al-Qur’an
menasehatinya untuk menyerahkan kepada Tuhan Yang Maha mengatur perjodohan.
Dalam hal ini pertanyaan ditujukan kepada penulis puisi ini mengapa terlalu
ketat berpegang kepada konsep kafaah dalam perjodohan dengan criteria kesamaan
dalam pendidikan ? visinya juga sufistik ? atau Visioner ? atau
epigram-insaniyah ?
3.
Puisi ketiga, Di
Persimpangan Jalan
Mawar merah yang dipetik oleh si anak
adalah symbol cinta yang dijalani dan atas dasar nasab dan jasa orang tuanya.
Cinta ini merupakan milik abadi sang anak tanpa bisa diganggu oleh kekuatan apapun
dan perubahan kondisi apapun. Di sisi lain orang tua tetap memberikan arahan
berbuat baik, ditujukan kepada sang anak untuk persiapan akhirat
(filosofis-sufistik, epigram-insaniyah.
4.
Puisi keempat, Cerita Senja
Cerita senja yang dating dan pergi yang menghasilakan hari
esok dalam siklus pengulangan. Itulah lambang kekuasaan rahmat Tuhan kepada
hambanya yang manusia tidak mampu mengaturnya sendiri dan manusia tidak diberi
hak untuk memadamkan cahaya ilahi dalam genggamannya-Nya (filosofis-sufistik).
5.
Puisi kelima, Senandung
Masa Lalu
Pesan yang dikandung adalah ketabahan dalam menghadapi
musibah dengan personifikasi Farihah. Meskipun pada dasarnya bervisi
ganda yaitu sufistik dan visioner.
6.
Puisi keenam, Bukan Langit
Yang Biru
Puisi berbicara tentang alam semesta yang harus
diberdayakan oleh manusia secara normal dan optimal, karena alam semesta adalah
kehidupan. Sebagaimana Iqbal melantumkan syairnya yang membangunkan kaum
muslimin yang sedang tidur, bahwa hidup adalah gerak, bahwa kegiatan adalah
baik, bahwa alam semesta adalah proses, dan terdiri dari hal-hal yang tidak
statis. Hal ini menunjukkan muatan kefilsafatan sufistik dan visioner sekaligus
dari puisi ini.
7.
Puisi ketujuh, Menunggu,
Menjaga
Sebuah dermaga penantian adalah symbol terminal seorang
gadis yang menekuni cintabnya sebagai fitrah kemanusiaannya. Betapun cinta itu
menuntut pelayanannya, namun ia harus ditundukkan dalam konsep penantian. Agama
telah mengajarkan agar cinta tidak menghasilkan sesuatu yang kotor.
B.
ESSEI-ESSEI (14 Buah)
1.
Essei pertama, Suatu Pagi
Di Atas Angkot
Muatan pesan essei ini adalah pengendalian diri untuk
memahami kepentingan orang lain sama dengan memahami kepentingan diri sendiri
tanpa memaksakan kehendak untuk diistimewahkan. Keterkaitannya dengan puisi
pertama adalah nahwa persiapan dalam perjalanan menuju akhirat setelah kematian
adalah memperbanyak amal antara lain dengan menerapkan akhlak mulia seperti ini
:
2.
Essei kedua, Episode Hujan
Hujan punya cerita sendiri-sendiri bagi yang mengalaminya
apakah manfaat atau kendala.
a.
Orang pertama adalah anak-anak
yang memberdayakan hujan untuk mencari rezeki halal dengan jasa payungnya.
b.
Orang kedua adalah sang ayah
yang bergegas menghindari hujan dan melindungi bayi yang ikut bersamanya.
c.
Orang ketiga adalah hujan
membuat ia mengenang kembali begitu dalam terhadap isteri yang telah
mendahuluinya sambil berdo’a untuk berjumpa di akhirat (visi epigram-insaniyah).
3.
Essei ketiga, Nenek
Penjual Brownis
Ide yang menjadi muatan esei ini adalah visi progresif
yaitu semangat yang tak pernah padam meskipun pelakunya adalah manusia yang
berusia lanjut.
4.
Essei keempat, Sore
Yang Biru
Visi dari essei ini adalah
visi visioner yang menyadarkan bahwa penyakit yang mungkin kita derita tidak
ada arti apa-apa dibanding dengan derita orang lain yang lebih parah dan
mencegah kecengengan yang sering dialami oleh orang-orang yang tak pandai
bersyukur Rasulullah telah mengajarkan pendidikan spiritual dalam sabdanya:
“Sungguh mengagumkan keadaan seorang mukmin sebab segala kondisi
yang dialaminya selalu baik, dan hal ini tidak terjadi kecuali bagi orang
mukmin. Jika ia mendapat nikmat ia bersyukur, maka bersyukur itu baik baginya,
bila ia menderita kesusahan, ia bersabar, maka bersabar itu baik baginya (HR.
Muslim dari Suhaib) (Sufistik-insaniyah).
5.
Essei kelima, Do’amu
Tak Terkabul ? Mungkinkah
Seorang mukmin harus meyakini bahwa do’a selalu maqbul
kalaupun secara riel tidak terkabul mungkin itu suatu ijabah (perkenan) yang
tertunda menuai hikmah atau digantikan dengan ijabah yang lain yang lebih
menguntungkan. Kejelasan pesan ini terlihat pada komitmen keberagaman berupa
ajaran responsif yaitu hamba merasa bahwa tuhan menjawab kehendak dan keluhannya
sesuai firman Tuhan Q.S. Al-Baqarah/2:186 yang artinya :
”Aku akan memperkenankan doanya orang yang berdoa jika ia
menyampaikan doanya , dan hendaklah mereka beriman kepadaku”
(filosofis-sufistik).
6.
Essei keenam, Kakek
Pengemis Di Depan Toko
Mengasihi orang miskin salah satu perilaku ihsan (Q.S.
Al-Baqarah ayat 30). Menyeimbangkan antara kesalehan ibadah (pribadi) dengan
kesalehan sosial juga salah satu perilaku ihsan (Q.S. Al-Qasas/28;77).
7.
Essei ketujuh, Nostalgia
Masa Merah Putih
Masa adalah hak Tuhan yang selalu dipertukarkan bagi
setiap hamba-Nya dan setiap orang akan mengalami perkembangan dalam hidupnya
yang harus digarap dengan usaha sungguh-sungguh dan tawakkal (visioner).
8.
Essei kedelapan, Adik
kecilku, Jujurlah Dalam Hidupmu
Rasulullah mengajarkan bahwa kejujuran menyampaikan
pelakunya untuk memperoleh kebaikan dan sesungghnya kebaikan itu akan
menyampaikan pelakunya ke surge. Visi essai ini juga adalah visi
filosofis-sufistik, epigram-insaniyah.
9.
Essai kesembilan, Aqiqah
Rasulullah mengajarkan bahwa sebaik-baik manusia adalah
yang memberikan manfaat yang terbaik bagi sesamanya (epigram-insaniyah).
10. Essei
kesepuluh, Gorengan dan Kehidupan
Salah satu komitmen beragama berdimensi eksperimensial
yaitu bagian keberagaman yang bersifat afektif berupa keterlibatan emosial
serta mental pada pelaksanaan ajaran agama yaitu konfirmatif merasakan kehadiran Tuhan pada setiap yang diamatinya (Q.S. al-Baqarah/2:186) jika
hambaku bertanya kepadamu tentang aku, sesungguhnya Aku dekat padanya. Visinya
juga filosofis-sufistik.
Catatan
:
1.
Kontribusi apresiatif hanya
sampai pada butir 10 ini atas dasar metode sampling.
2.
Secara holistic esei-esei yang
dikembangkan sangat filosofis-sufistik yang diimbangi dengan visi visioner yang
progresif dan muatan religinya ko,prehensif holistic.
3.
Bahasa kiasan supaya
disederhanakan frekuensi penggunaannya pada karya esei.
IV.
Epilog Peminatan
1.
Materi apresiasi hanya
dicukupkan pada Jeda Pertama: Derap langkah Kesyukuran, atas dasar
metode sampling. Tampaknya Jeda Kedua: Ada Cinta Untuk Dakwah dan Jeda
Ketiga: Dalam Perjalanan Pulang; memiliki pola pemikiran dan tekhnik
inteprestasi yang sama. Itu artinya, prinsip konsisten dalam penulisan sangat
dijunjung tinggi oleh penulis yang memuat kelayakan untuk di beri apresiasi
yang tinggi pula.
2.
Pola penulisan esei masih
diharapkan menambah ketaatannya pada pendekatan linguistik dan rambu-rambu tata
Bahasa Indonesia yang baku.
3.
Tulisan saya yang panjang ini
kiranya dapat berfungsi mutivator bagi karya ananda Arrifa’ah selanjutnya.
4.
Selamat menghadapi peluncuran
bukunya, Insya Allah sukses di bawah inayah Allah swt.
Wabillahittaufieq
Wa al-Hidayah
Makassar, 6 Nopember 2012
Apresiator
Prof. DR. Hj. Andi Rasdiyanah
*) dibawakan dalam acara Bedah Buku Jeda Sejenak
di LT Fakultas Tarbiyah UIN Makassar, 19 November 2012