Minggu, 27 Januari 2013

#kehidupanga...

Tulisan ini saya buat sambil memperbaiki laporan yang harus segera ACC dalam tempo sesingkat-singkatnya demi memperjuangkan uang satu setengah juta -yang harus disetor jika berkas melewati deadline. Iya, saya sedang curhat.

Sebelum berangkat kampus sebentar, ada juga tugas rumah yang harus segera diselesaikan. Seperti biasa.

Lalu saya mencoba menghitung mundur. Katanya, awal Maret akan digelar sidang. Satu hari yang konon cukup menentukan perjuangan dua semester masa pendidikan profesi ini. Ah, bagi saya ini perjuangan selama kurang lebih lima tahun sejak berada di tempat ini.

Setelah itu mau kemana?

Itu pertanyaan yang sampai hari ini masih agak buram. Yang jelas, setelah ini sepertinya akan ada perubahan saat saya mengisi biodata. Kenapa pula akhir-akhir ini permintaan mengisi biodata jadi semakin sering? Entahlah. Mungkin karena semakin banyak tetek-bengek birokrasi yang mengharuskan pengisian itu.

Maka setelah bertahun-tahun bergulat dengan dunia akademik ini, setelah pada akhirnya harus menentukan pilihan apakah akan melanjutkan menjadi akademisi, atau praktisi, atau justru banting stir ke dunia yang sama sekali berbeda; masih juga buram.

Ada orang-orang yang berusaha membantu untuk memikirkannya, bahkan saya khawatir mereka kelak akan memaksakannya. Selebihnya, masih ikut bertanya-tanya bersama saya; setelah ini mau kemana?

"Kak, kenapa tidak masuk sastra saja?" tanyanya sambil menimang Jeda Sejenak
"Mungkin saya memang salah jurusan, ya?" saya cuma mesem-mesem. Antara mengiyakan dan bingung harus jawab apa. 
"Mana mungkin setelah sejauh ini masih dianggap salah jurusan?" lanjutnya, tertawa-tawa. Saya pun hanya ikut tertawa. 

Ah, bukankah justru karena ketidakmungkinan-ketidakmungkinan yang terjadi dalam hidup itulah, yang membuat kita semakin yakin; insya Allah, ada maksud Allah dibalik ini semua. 

Makassar, 28 Januari 2013

Saat matahari pancarkan sinar lemah dibalik awan

Selasa, 22 Januari 2013

Hikayat Negeri Para Blogger


Saya nge-blog sejak SMA. Sejak internet belum seterkenal dan masih sangat mahal tarifnya. Hingga kini, terhitung sudah sekian tahun saya malang melintang di dunia blog, tetap saja salah satu fasilitas dunia maya ini punya keunikan tersendiri. Bagi para blogger, tentu ada yang dirasa berbeda antara blogging dengan nge-soc med yang lainnya.

Blog; salah satu bagian kecil dari diri seseorang

Dari blog ini, saya juga mengenal beberapa orang yang sebelumnya sama sekali belum saya kenal. Ya, hanya beberapa –rupanya di blog saya tetap introvert juga yah. Saya kenal dengan Kak Ai ‘Sari Yulianti’ yang menjadi orang yang cukup berpengaruh dalam proses penerbitan buku perdana saya. Awalnya dari Multiply-Land (yang kini entah bagaimana nasibnya), membuat proyek lomba kepenulisan bersama, hingga kami bertukar nomor hp, bahkan hingga berjumpa langsung saat saya berkunjung ke Jakarta, kota tempat tinggalnya. Dia bahkan lebih dahulu datang menemui saya dibandingkan kakak kandung saya sendiri yang juga berada di kota yang sama.

Saya juga mengenal Kak Mugniar yang menurut saya adalah seorang blogger sejati. Beliau benar-benar menjadikan blognya sebagai tempat merekam jejak kehidupan. Bukan hanya memuat tulisan sehari-hari, namun hingga tulisan-tulisan ‘berat’ yang disusunnya dengan berbagai macam sumber, dan juga sering memenangkan berbagai macam lomba blog. Kak Niar adalah blogger yang punya komitmen hebat pada blognya. Kak Niar adalah inspirasi saya di dunia blogging

Berikutnya adalah Pak Iqbal Lathief. Saya pertama kali membaca tulisannya saat beliau memenangkan lomba penulisan surat. Sejak saat itu, kami pun saling mengenal lewat Multiply, bersama-sama dengan Kak Ai. Begitu menyenangkan, secara tidak langsung menjadi ‘saksi’ saat menyimak tulisannya yang bagi saya sudah sekelas penulis profesional, mengikuti kisahnya, hingga ia menikah, bahkan hingga punya anak. Saya kadang takjub pada koneksi yang membuat banyak orang yang sebelumnya tak mengenal, bisa menjadi saling mengetahui sedemikian rupa satu sama lain.

Beberapa blogger lainnya lebih dahulu saya kenal di dunia nyata. Sebutlah Nurmayanti Zain, Mirna Andriani, Kak Rezky Batari Razak, Basmah Thariq, Kak Fitri Hasan, dan lain-lain. Mereka adalah para blogger yang selalu menyenangkan untuk diikuti tulisan-tulisannya.

Blog adalah sebuah tempat yang bisa membuat nyaman pemiliknya. Seperti sebuah rumah. Bahkan layaknya sebuah negeri tempat kita bisa bertemu dengan banyak orang. Blog bisa menjadi representasi dari diri kita. Namun, pada titik ini saya mulai memahami satu hal; blog tetaplah hanya satu bagian kecil dari diri seseorang.

Ya, hidup ini sedemikian kompleks. Begitu banyak hal yang terjadi. Begitu banyak pemikiran, pengalaman, perasaan, dan kepribadian yang tentunya tidak dapat ditangkap sepenuhnya oleh blog, tidak terwakili oleh sebanyak apapun postingan. Maka sungguh, blog tetaplah blog. Ia bukanlah satu parameter tunggal untuk menilai seseorang. Terlalu cepat untuk mengaku kenal-betul dengan seseorang hanya karena begitu intens mengikuti perkembangan blognya. Apalagi jika kemudian menjadikan penilaian-via-blog itu sebagai salah satu referensi untuk rencana besar. Saya pikir, itu adalah sebuah kesalahan.

Bisa jadi, ada yang tidak sependapat dengan saya. Tapi nyatanya, saya sudah mengalami beberapa pengalaman yang membuat saya tetap berpikiran demikian. Maka, untuk seorang Rifa’ah misalnya; ia bukan hanya tentang Rumah Tafakkur atau Rumah Sajaknya. Sungguh, terlalu banyak fakta tentang diri ini yang tidak akan pernah terwakilkan dengan sempurna oleh blog.

Senin, 21 Januari 2013

Kenapa Kita Dilarang Pacaran, Din?


Mengapa kita dilarang pacaran, Din?”, tanyanya sambil menatap lekat ke arah saya.

Sekarang saya paham mengapa ia memanggil saya untuk bicara empat mata. Mata itu kini berkaca. Nampak lelah menahan segala emosi yang seolah membuncah di dalam dadanya. Saya mencoba mencari hal lain di sana; itukah jatuh cinta?

Saya tahu pertanyaan itu hanya retoris belaka. Saya paham betul bahwa ia telah sangat mengerti jawaban pertanyaannya sendiri. Dia memang belum lama belajar agama secara intensif. Namun agaknya hal itu adalah sesuatu yang telah ia ilmui sejak awal-awal. Maka saya tidak berminat menjawab pertanyaannya. Saya hanya menatap wajahnya yang kini nampak semakin sendu. Ah, kawan... Adakah rasanya sebegitu menyiksa?

Saya lalu menggenggam tangannya. Dingin.

“Sejak kapan kamu...” ucap saya, “Menjadi peragu terhadap apa yang telah kamu yakini? Yang telah kamu ilmui?” tanya saya selembut mungkin. Saya mencoba berucap dengan sangat perlahan. Khawatir pada selapis bening di matanya yang tinggal menunggu waktu untuk jatuh.

Sebenarnya, saya sudah menduga ini akan terjadi. Beberapa tempo yang lalu, ia kerap bercerita tentang lelaki itu. Lelaki yang baru dikenalnya, lalu sering menyapanya lewat telepon di malam hari. Kadang pula mereka berjumpa. Saling menanyakan kabar atau sekadar berbalas senyuman. Dalam pada itu, saya sudah mengingatkannya untuk berhati-hati. Namun hanya ia tanggapi selewat-selewat. Baginya, lelaki itu sama sekali tidak memesona. Biasa saja. Ia rupanya tidak menyangka bahwa perkara sederhana tentang perbincangan sesekali itu ternyata telah menumbuhkan sesuatu di dalam dadanya. Telah menerbangkan sekelompok kupu-kupu di dalam perutnya.

Lalu itulah yang terjadi. Ia yang menganggap dirinya kuat dan tahan banting, nyatanya menjadi semudah itu rapuh. Tidak ia sangka, degup jantung itu kini terasa berbeda. Tidak ia sangka, ia terjatuh bukan pada cinta, tapi justru perasaan lain yang mengikutinya; merasa dicintai. Dan untuk yang satu itu, saya pun tak menyangka bahwa dampaknya ternyata justru lebih parah lagi.

Segala perhatian yang awalnya terasa biasa, tidak lagi sama seiring masa. Ia malah menjadi menduga-duga, bahwa ada ‘peluang’ di sana. Ia banyak menyusun persepsinya sendiri, mencocok-cocokkan berbagai kejadian, berandai-andai dengan pengandaian yang tak jelas, lalu keliru menyimpulkan sesuatu yang diluar kendalinya; perasaan orang lain terhadap dia.

Maka, itulah yang membuatnya goyah. Sehingga ia tidak lagi yakin bahwa yang selama ini dipahaminya lewat majelis ilmu sebagai sesuatu salah memanglah salah.

Maka saya mencoba, tidak lagi menasihatkan teori seperti yang selama ini kadang saya lakukan padanya. Saya pikir, permasalahan itu kini ada pada hatinya. Dan disanalah saya harus memulai. Maka saya hanya mengeratkan dekapan tangan itu. Membasuh air matanya yang jatuh. Hingga akhirnya justru ia yang berkata dengan bibir yang bergetar,

Din, jika pacaran memang tidak boleh. Bisakah saya berdoa saja pada Allah agar nanti berjodoh dengannya?”

Saya menghembuskan nafas, lalu kembali tersenyum menatapnya.

Kenapa kamu,” ucap saya. “Tidak meminta dijodohkan dengan yang terbaik saja? Bahkan tentang yang terbaik untuk diri kita, bukankah Allah yang paling tahu?”, lanjut saya.

Lalu air mata itu semakin menganak sungai. Ia kini sesunggukan. Menghambur dalam pelukan saya. Saya tahu saat itu dapat merasa lega, sebab dalam pelukan itu, saya merasakan kepalanya yang mengangguk-angguk mengiyakan. Berkali-kali.

|Kepadamu yang masih terus mencari definisi dari setiap rasa. Bersabarlah, nyatanya jarak itu hanya sejauh doa dan rindu.
Makassar, 21 Januari 2013
Dalam perjalanan senja berhujan dari kampus ke rumah

  

Senin, 14 Januari 2013

SEBUAH KONTRIBUSI APRESIATIF TERHADAP KARYA SASTRA ARRIFA’AH



SEBUAH KONTRIBUSI APRESIATIF
TERHADAP KARYA SASTRA ARRIFA’AH*)
Oleh: Hj. Andi Rasdiyanah

I.     Prolog Peminatan
Sebagai seorang peminat sastra Islam yang ingin berpastisipasi dalam pemberian apresiasi terhadap karya sastra ananda Arrifa’ah berjudul: Jeda Sejenak (Kumpulan Essai dan Puisi Renungan), sebaiknya saya awali dengan sebuah prolog peminatan tentang seni, karya sastra, sastra Islam, sastra selangkangan dan sastra profan. Prolog dimaksud merupakan pintu masuk pada proses identifikasi yang dikaitkan dengan identitas  (jati diri) karya sastra Arrifa’ah. Diharapkan pada akhir penyajian data apresiasi dapat terjawab tentang asumsi di kelas mana selayaknya Arrifa’ah di tempatkan sebagai penyair dan sastrawan sesuai dengan data dan kondisi obyektif yang melingkupi karya tulisnya.
Seni sastra adalah bagian dari kesenian substantif yang menyatakan bahwa seni adalah suatu bentuk hasil upaya manusia yang dijelaskan melalui imajimasi, khususnya seni lukis, seni bangunan dan arsitektur, seni sastra, seni musik, seni tari dan sebagainya (Advenced Junior Dictionary).
Seni adalah salah satu wujud dari aktualisasi kehidupan manusia yang fitri. Seni senantiasa berjalan seiring dengan dinamika masyarakat. Semakin dinamis kehidupan suatu masyakarat, semakin dinamis pula kehidupan keseniannya yang senantiasa berkembang dan berubah mengikuti perkembangan dan perubahan yang terjadi dalam masyarakat.
Seni adalah hasil kreativitas artistic masyarakat yang berfungsi sebagai media untuk memenuhi kebutuhan estetika masyarakat itu sendiri. Bahkan dalam kehidupan yang lebih luas, secara empiris dapat di lihat betapa kehadiran seni begitu fungsional dalam kehidupan manusia, baik secara individual sebagai sarana untuk berekspresi, maupun secara social untuk kepentingan yang berkaitan dengan masalah agama, politik, pendidikan dan ekonomi. Dalam kaitan ini diharapkan agar seni sastra berfungsi mencerdaskan, mencerahkan dan mendorong kreativitas manusia dalam tataran sastra religious yang menghadapi sastra profane, termasuk karya sastra Arrifa’ah, kini dan kedepan.
Sastra Islam sudah sejak lama berperan dalam khasanah kesusastraan Indonesia lama (Melayu). Namun ketika masuk abad modernisasi di Indonesia, genre sastra Islam tersebut mulai terpinggiran sejak periode Prof A. Teeuw asal Belanda berperan sebagai kritikus sastra Indonesia modern (tahun 70 an dan 80 an), kesusastraan yang bercorak Islam praktis tidak mendapat tempat. Namun dalam kontek dinamisasi sastra Islam, wacana Islam sempat bergulir yang kemudian masuk dalam pembicaraan sastra sufi dan sempat kembali ke akar, ke sastra Islam. Sejumlah karya sastra yang muncul pada dasawarsa 1970 an itu menunjukkan jati dirinya sebagai sastra Indonesia dengan nafas dan semangat keagamaan (Islam) yang kental.
Perkembangan selanjutnya menurut Maman S. Mahayama dalam (Marwan Sarijo 2008:4), selepas tahun 1970 an itu, semangat jati diri penulis-penulis Islam melempem kembali, digantikan oleh derasnya semangat sastra selangkangan (oleh penulis perempuan) yang karya-karyanya mendapat sambutan dan apresiasi dari sesama sastrawan Komunitas Utan Kayu (KUK) yang sudah dikenal namanya dikalangan publik, tercatat nama Tamara Geraldine, Ayu Utami, dan Djenar Maesa Ayu. Tema-tema tulisannya berkisar pada narasi sekitar kelamin dengan bahasa yang vulgar. Ciri khasnya antara lain senang menampilkan oral seks, mengobral penyebutan alat-alat vital seperti p******a, v****a, p***** dan lain-lain. Genre sastra selangkangan seperti ini dinilai oleh sebagian umat Islam sama bahayanya dengan narkoba bagi para remaja.
Sayyed Hussein Nasr menyatakan bahwa sastra religius adalah sastra yang tidak melulu indoktrinasi melainkan juga mampu menghadirkan subyek atau fungsi yang menyesuaikan inklusivitas esoterisme. Seperti juga pada seni sastra tradisional, yang hadir bukan karena pokok persoalannya, namun lebih pada upaya penyusaiannya dengan hukum kosmik, simbolisme, gayanya yang hereotik dan akhirnya kesesuaian dengan kebenaran kontek.
Dengan memadukan dua hal itu, sastra Islam diharapkan mampu berjalan dengan dinamika macam-macam isu global. Sastra Islam dalam hal ini, tertantang untuk memenangkan secara bijak struktur realitas, yang oleh Nasr dijabarkan dengan tiga prinsip teofani besar, yakni kosmos, manusia dan wahyu. Sastra Islam juga akan berbalik melirik fungsi esoterik, baik pada basis agamanya, maupun basis tradisinya.
Studi sastra Islam bukan semata terletak pada masalah kriteria yang bagus. Pertama-tama terletak pada hasil sastra itu sendiri. Patut dibanggakan karena dalam sejarah sastra itu sendiri terdapat karya-karya yang bermutu, yang dihasilkan oleh pengaruh Islam, termasuk penulis-penulis muda kita. Tampaknya secara apesiatif Jeda Sejenak karya Arrifa’ah dalam semboyan seni sebagai alat dakwah dapat menempati posisi ini.

II.  Orientasi Substantif
Sinergitas profesiomalisme yang signifikan antara saya dengan ananda Arrifa’ah bermuara pada persmaan komitmen kepenyairan yang berkembang pada sejak usia Pendidikan Menengah hingga usia pendidikan tinggi jenjang sarjana, meski dalam periode yang berbeda yaitu antara tahun 1950 an dengan tahun 2008 an mungkin juga sama-sama dinilai oleh dunia sastra sebagai penyair alami, karena tidak didukung oleh pendidikan formal yang linier untuk perkembangannya. Sekedar berbagi pengalaman untuk perbandingan, kiprah saya dibidang ini cukup produktif pada masanya yang ditandai dengan sebaran karya tulis saya mewarnai Pedoman Rakyat Yokyakarta, Gajah Mada Yogyakarta, Panji Masyarakat Jakarta, Basis Yogyakarta, Criterium Yogyakarta, suara Aisyiyah Yogyakarta dan Penyuluh agama Jakarta. Namun satu hal yang tidak boleh ditiru karena keredupan semangat berkarya sastra telah hadir pada diri saya tahun 1970 an ketika saya menjabat sebagai tenaga fungsional dan structural yang mengalihkan semangat kepenyairan saya kepada karya-karya ilmiah (Makalah/buku) karena faktor waktu  yang kurang mendukung.
Pesan akademik saya yang penting untuk anda adalah melanjutkan secara terus menerus komitmen kepenyairan sebagai produser Sastra Islam dengan segala upaya pengembangannya, dalam rangka menghadapi produser sastra Selangkangan. Dari karya sastranya yang berjudul Jeda sejenak (Sebuah kumpulan Essei dan Puisi Renungan) dapat ditemukan kepemilikan anda tentang ilmu-ilmu keislaman yang sangat memadai, meskipun itu diperoleh dari pendidikan non formal bahkan dengan pendidikan otodidak. Mengulangi apa yang dikatakan oleh Shafie Abu Bakar dari Malaysia, bahwa bila menyebut sastra Islam, antara penulis dan tulisannya mempunyai hubungan erat oleh karena apa yang dihasilkan di dalam penulisan tidak lain dari taraf pendidikan, falsafah hidup dan pengaruh lingkungan. Dalam hal ini, ananda Arrifa’ah berada pada lingkungan hidup dan kecendikiaan puncak orang tuanya dalam bidang ilmu-ilmu keislaman.
Pengamatan positif ini sejatinya tidak dianggap keliru kalau saya menggunakannya sebagai paradigma dalam membedah pemikiran religius penulis karya sastra Jeda Sejenak menurut Shafie Abu Bakar di atas.




III.              Materi Apresiasi
Jeda pertama : Derap langkah kesyukuran Judul Bab Jeda Pertama ini tidak menunjukkan visi progresif. Namun setelah ditelusuri judul-judul sub babnya yang terdiri dari judul puisi terdiri dari 7 judul dan judul essai yang terdiri dari 14 judul, terntyata merupakan perpaduan antara visi filosofis sufistik yang epigram-insaniyah dengan visi visioner yang progresif.
A.     Puisi (7 buah)
1.      Puisi pertama, perjalanan
Penulis berpandangan bahwa perjalanan didunia ini menuju akhirat dilakoni oleh manusia dengan kegiatan bermacam-macam. Ada yang menekuni usaha oleh manusia dengan kegiatan dengan kesalehan sosial. Ada yang menekuni masjid dalam rangka kesalehan ibadah (individual). Bahkan anak-anakpun turut menampilkan kenerjanya sesuai levelnya, dengan penuh optimism tanpa beban, karena ketidaktahuan. Dalam perjalanan yang panjang ini, jiwa-jiwa muthmainnah yang terakomodir dalam korider jiwa muthmainnah dimintai kesabarannya menanti arahan Tuhan ke Surga.
2.      Puisi kedua, Sekotak The Di Kursi Taman
Sekotak teh di Kursi Taman merupakan symbol wanita yang ingin dipersunting oleh lelaki yang gelisah karena maksudnya tak sampai oleh kendala pendidikan yang tidak dimilikinya. Pada akhirnya Al-Qur’an menasehatinya untuk menyerahkan kepada Tuhan Yang Maha mengatur perjodohan. Dalam hal ini pertanyaan ditujukan kepada penulis puisi ini mengapa terlalu ketat berpegang kepada konsep kafaah dalam perjodohan dengan criteria kesamaan dalam pendidikan ? visinya juga sufistik ? atau Visioner ? atau epigram-insaniyah ?

3.      Puisi ketiga, Di Persimpangan Jalan
Mawar merah yang dipetik oleh si anak adalah symbol cinta yang dijalani dan atas dasar nasab dan jasa orang tuanya. Cinta ini merupakan milik abadi sang anak tanpa bisa diganggu oleh kekuatan apapun dan perubahan kondisi apapun. Di sisi lain orang tua tetap memberikan arahan berbuat baik, ditujukan kepada sang anak untuk persiapan akhirat (filosofis-sufistik, epigram-insaniyah.
4.      Puisi keempat, Cerita Senja
Cerita senja yang dating dan pergi yang menghasilakan hari esok dalam siklus pengulangan. Itulah lambang kekuasaan rahmat Tuhan kepada hambanya yang manusia tidak mampu mengaturnya sendiri dan manusia tidak diberi hak untuk memadamkan cahaya ilahi dalam genggamannya-Nya (filosofis-sufistik).
5.      Puisi kelima, Senandung Masa Lalu
Pesan yang dikandung adalah ketabahan dalam menghadapi musibah dengan personifikasi Farihah. Meskipun pada dasarnya bervisi ganda yaitu sufistik dan visioner.
6.      Puisi keenam, Bukan Langit Yang Biru
Puisi berbicara tentang alam semesta yang harus diberdayakan oleh manusia secara normal dan optimal, karena alam semesta adalah kehidupan. Sebagaimana Iqbal melantumkan syairnya yang membangunkan kaum muslimin yang sedang tidur, bahwa hidup adalah gerak, bahwa kegiatan adalah baik, bahwa alam semesta adalah proses, dan terdiri dari hal-hal yang tidak statis. Hal ini menunjukkan muatan kefilsafatan sufistik dan visioner sekaligus dari puisi ini.
7.      Puisi ketujuh, Menunggu, Menjaga
Sebuah dermaga penantian adalah symbol terminal seorang gadis yang menekuni cintabnya sebagai fitrah kemanusiaannya. Betapun cinta itu menuntut pelayanannya, namun ia harus ditundukkan dalam konsep penantian. Agama telah mengajarkan agar cinta tidak menghasilkan sesuatu yang kotor.

B.     ESSEI-ESSEI (14 Buah)
1.      Essei pertama, Suatu Pagi Di Atas Angkot
Muatan pesan essei ini adalah pengendalian diri untuk memahami kepentingan orang lain sama dengan memahami kepentingan diri sendiri tanpa memaksakan kehendak untuk diistimewahkan. Keterkaitannya dengan puisi pertama adalah nahwa persiapan dalam perjalanan menuju akhirat setelah kematian adalah memperbanyak amal antara lain dengan menerapkan akhlak mulia seperti ini :

2.      Essei kedua, Episode Hujan
Hujan punya cerita sendiri-sendiri bagi yang mengalaminya apakah manfaat atau kendala.
a.       Orang pertama adalah anak-anak yang memberdayakan hujan untuk mencari rezeki halal dengan jasa payungnya.
b.      Orang kedua adalah sang ayah yang bergegas menghindari hujan dan melindungi bayi yang ikut bersamanya.
c.       Orang ketiga adalah hujan membuat ia mengenang kembali begitu dalam terhadap isteri yang telah mendahuluinya sambil berdo’a untuk berjumpa di akhirat (visi epigram-insaniyah).
3.      Essei ketiga, Nenek Penjual Brownis
Ide yang menjadi muatan esei ini adalah visi progresif yaitu semangat yang tak pernah padam meskipun pelakunya adalah manusia yang berusia lanjut.
4.      Essei keempat, Sore Yang Biru
Visi dari essei ini adalah visi visioner yang menyadarkan bahwa penyakit yang mungkin kita derita tidak ada arti apa-apa dibanding dengan derita orang lain yang lebih parah dan mencegah kecengengan yang sering dialami oleh orang-orang yang tak pandai bersyukur Rasulullah telah mengajarkan pendidikan spiritual dalam sabdanya:
“Sungguh mengagumkan keadaan seorang mukmin sebab segala kondisi yang dialaminya selalu baik, dan hal ini tidak terjadi kecuali bagi orang mukmin. Jika ia mendapat nikmat ia bersyukur, maka bersyukur itu baik baginya, bila ia menderita kesusahan, ia bersabar, maka bersabar itu baik baginya (HR. Muslim dari Suhaib) (Sufistik-insaniyah).
5.      Essei kelima, Do’amu Tak Terkabul ? Mungkinkah
Seorang mukmin harus meyakini bahwa do’a selalu maqbul kalaupun secara riel tidak terkabul mungkin itu suatu ijabah (perkenan) yang tertunda menuai hikmah atau digantikan dengan ijabah yang lain yang lebih menguntungkan. Kejelasan pesan ini terlihat pada komitmen keberagaman berupa ajaran responsif yaitu hamba merasa bahwa tuhan menjawab kehendak dan keluhannya sesuai firman Tuhan Q.S. Al-Baqarah/2:186 yang artinya :
”Aku akan memperkenankan doanya orang yang berdoa jika ia menyampaikan doanya , dan hendaklah mereka beriman kepadaku” (filosofis-sufistik).
6.      Essei keenam, Kakek Pengemis Di Depan Toko
Mengasihi orang miskin salah satu perilaku ihsan (Q.S. Al-Baqarah ayat 30). Menyeimbangkan antara kesalehan ibadah (pribadi) dengan kesalehan sosial juga salah satu perilaku ihsan (Q.S. Al-Qasas/28;77).
7.      Essei ketujuh, Nostalgia Masa Merah Putih
Masa adalah hak Tuhan yang selalu dipertukarkan bagi setiap hamba-Nya dan setiap orang akan mengalami perkembangan dalam hidupnya yang harus digarap dengan usaha sungguh-sungguh dan tawakkal (visioner).
8.      Essei kedelapan, Adik kecilku, Jujurlah Dalam Hidupmu
Rasulullah mengajarkan bahwa kejujuran menyampaikan pelakunya untuk memperoleh kebaikan dan sesungghnya kebaikan itu akan menyampaikan pelakunya ke surge. Visi essai ini juga adalah visi filosofis-sufistik, epigram-insaniyah.
9.      Essai kesembilan, Aqiqah
Rasulullah mengajarkan bahwa sebaik-baik manusia adalah yang memberikan manfaat yang terbaik bagi sesamanya (epigram-insaniyah).
10.  Essei kesepuluh, Gorengan dan Kehidupan
Salah satu komitmen beragama berdimensi eksperimensial yaitu bagian keberagaman yang bersifat afektif berupa keterlibatan emosial serta mental pada pelaksanaan ajaran agama yaitu konfirmatif  merasakan kehadiran Tuhan pada setiap yang diamatinya (Q.S. al-Baqarah/2:186) jika hambaku bertanya kepadamu tentang aku, sesungguhnya Aku dekat padanya. Visinya juga filosofis-sufistik.

Catatan :
1.      Kontribusi apresiatif hanya sampai pada butir 10 ini atas dasar metode sampling.
2.      Secara holistic esei-esei yang dikembangkan sangat filosofis-sufistik yang diimbangi dengan visi visioner yang progresif dan muatan religinya ko,prehensif holistic.
3.      Bahasa kiasan supaya disederhanakan frekuensi penggunaannya pada karya esei.




IV.              Epilog Peminatan
1.      Materi apresiasi hanya dicukupkan pada Jeda Pertama: Derap langkah Kesyukuran, atas dasar metode sampling. Tampaknya Jeda Kedua: Ada Cinta Untuk Dakwah dan Jeda Ketiga: Dalam Perjalanan Pulang; memiliki pola pemikiran dan tekhnik inteprestasi yang sama. Itu artinya, prinsip konsisten dalam penulisan sangat dijunjung tinggi oleh penulis yang memuat kelayakan untuk di beri apresiasi yang tinggi pula.
2.      Pola penulisan esei masih diharapkan menambah ketaatannya pada pendekatan linguistik dan rambu-rambu tata Bahasa Indonesia yang baku.
3.      Tulisan saya yang panjang ini kiranya dapat berfungsi mutivator bagi karya ananda Arrifa’ah selanjutnya.
4.      Selamat menghadapi peluncuran bukunya, Insya Allah sukses di bawah inayah Allah swt.

Wabillahittaufieq Wa al-Hidayah

Makassar, 6 Nopember 2012
Apresiator


Prof. DR. Hj. Andi Rasdiyanah

*) dibawakan dalam acara Bedah Buku Jeda Sejenak
di LT Fakultas Tarbiyah UIN Makassar, 19 November 2012
  

Senin, 07 Januari 2013

Dev,


Dev, 
Aku ingat betul, dini hari itu. Pukul tiga pagi di hari kamis, bertahun yang lalu. Saat kami pertama kali memandang wajahmu. Setelah melewati hari-hari hamil yang menegangkan, apalagi setelah sempat aku jatuh dari motor, dengan bagian perut yang tertindis menahan beban badanku yang lain. Tapi kau tetap selamat. Kau tetap lahir dengan normal. Sejak saat itu aku yakin, bahwa kau adalah anak yang telah belajar untuk bertahan hidup, bahkan meski kau belum dilahirkan. 

Apakah kau mengenang masa kecilmu dengan indah, Dev?
Masa kecil yang ditingkahi dengan laku lucumu yang selalu ingin tersenyum lebar di depan kamera. Kau yang ikut nguping saat kakakmu menghapalkan hapalan shalat atau surah pendek. Lalu kemudian, ternyata kau menghapalnya pula di usiamu yang masih dua tahun itu. Masihkah kau simpan kaset rekamannya?

Anakku, 
Aku tidak ingat betul, sejak kapan kau menjadi enggan dan sangat jarang keluar rumah. Kau tidak lagi tertarik untuk membuntuti kakakmu dengan sepeda roda tiga saat ia bermain dengan teman-temannya yang tentu lelaki semua. Kau tidak tertarik lagi pergi bermain di rumah tetangga yang ramai itu. Apakah sejak kau gemar bermain game di komputer ayahmu? Atau sejak kalian rutin setiap bulannya ke toko buku untuk membeli cerita -lalu rumah kita menjadi hening beberapa hari sebab kalian sibuk dengan buku masing-masing di kamar masing-masing. Ataukah sejak kau mulai bernafsu mengejar ranking di bangku sekolah dasar dan ikut les di perpustakaan sekolah? Entahlah, Nak. Yang jelas sejak saat itu, hingga kini, kau sepertinya selalu menjadikan rumah sebagai tempat kau akan meringkuk dan begitu malas keluar kecuali memang benar-benar diperlukan. 

Anakku, Dev..
Aku tahu betul bahwa kau sering menangis diam-diam. Sering berdoa dalam sujud yang dalam untuk mendoakan kesembuhanku. Berkali-kali aku meminta itu, meski aku tahu kau akan tetap melakukannya selalu. Sejak kau kecil. Sejak bacaan Qur'anmu masih terbata dan kau belum benar-benar paham agama, tapi kau yakin Allah akan mengabulkan doa. Hingga kini. Hingga kau berjalan dengan penuh kebanggaan dengan jilbabmu yang panjang. Hingga kini saat nampaknya bacaan Qur'anmu lebih baik dariku. Aku tahu kau selalu mendoakanku, Nak. 

Tapi, Dev...
Entah mengapa akhir-akhir ini ada mendung yang kulihat di wajahmu. Kau memang tetap tersenyum, namun ada gelisah di sana. Tapi seperti yang selalu kau lakukan, begitu jarang kau bercerita tentang itu. Begitu enggan kau berbagi padaku. Adakah kau malu, Nak? Ataukah rasa segan itu -yang hingga kini berwujud hormat dan taat itu, yang membuatmu belum bisa menganggap ibumu ini sebagai sahabat? Entahlah. 

Kau kini sering berdoa diam-diam. Bersujud dalam-dalam. Dengan tangis yang kembali kau sembunyi. Dengan mimik wajah yang nampak ketakutan dan begitu khawatir. Dengan sebuah doa yang terus kau ucapkan dengan lirih. Tapi kali ini aku tahu, doa itu bukan tentangku. Doa itu tentang hal lain yang kau inginkan dalam hidupmu. Mungkin tentang sesuatu yang membuatmu teramat takut. Dan tentang sebuah pemecahan yang terus kau minta kepada Allah agar dimudahkan jalannya.  

Apapun itu, Dev
Aku begitu yakin kelak kau akan bisa melewatinya. Bukankah kau yang berkata, bahkan telah menuliskannya, bahwa kau tidak percaya adanya doa yang tidak terkabulkan. Maka teruslah meminta, Nak. Kau telah tahu kepada siapa kau boleh menangis dan mengeluh. Kau telah mengerti kapan harus tersenyum dan nampak baik-baik saja, dan dimana kau akan menunjukkan segala lara, duka, dan rasa khawatir. 

Nak, 
Nanti akan ada masa dimana kau akan pergi memenuhi janji dan mimpi hidupmu sendiri. Saat itu, bahkan meski tanggung jawab kami atasmu telah tuntas, kau tahu pintu itu tidak akan tertutup. Kau tahu kemana harus kembali, saat bahkan seluruh dunia tidak bersahabat lagi. Ada kami keluargamu. Ada kami orangtuamu yang meski hingga kau pun dewasa, akan tetap memandangmu sebagai putri kecil kami. Tegarlah, Nak! Tegarlah!

Sebab seperti yang kusebutkan di awal; kau telah bertahan hidup, bahkan sebelum kau dilahirkan. 

Makassar, 8 Januari 2013

Sabtu, 05 Januari 2013

Prinsip di Dunia Maya


Mungkin sejak zaman SMA saya mengenal dunia maya. Saat itu, internet belum semurah sekarang. Dengan telkomn*t instan, waktu itu tarifnya Rp 9.000 perjamnya. Dari seorang teman yang saya kenal dalam sebuah lomba, saya diajari membuat blog. Blog di blogspot yang sangat sederhana dan tidak ada pengunjungnya selain saya.

Selanjutnya, lewat seorang kenalan pula dalam sebuah lomba lainnya, saya membuat blog di Multiply (MP). Nasibnya sama.Sepi. Hingga kemudian suatu saat, saya tidak benar-benar ingat, saya menemukan keasyikan di dunia MP. Saya pun mulai meng-add sejumlah kawan yang benar-benar saya kenal di dunia maya saja. 

Beberapa orang pun meng-add saya, hingga jumlah contact saya ratusan. Oiya, bersamaan dengan itu, saya juga punya akun Friendster yang sekarang sudah tinggal kenangan itu.

Memasuki masa FB, saya sempat bersikukuh untuk tidak ingin membuat akun di socmed yang satu ini. Terlanjur nyaman dengan dunia MP. Hingga MP pun kemudian berinovasi dengan fasilitas postingan singkatnya (Quotes) yang jadi mirip dengan update status-nya FB. Waktu itu saya sempat buat FB juga pada akhirnya, karena harus ikut dalam sebuah grup untuk sebuah mata kuliah. Tapi saat mata kuliah itu selesai,  FB itupun saya hapus seketika. Sekali lagi, tidak nyaman.

Bagi saya waktu itu –bahkan mungkin hingga kini, FB terkesan sangat vulgar. Semua aktivitas kita di sana akan terbaca rekam jejaknya di wall dan bisa diakses oleh siapa saja. Waktu itu, saya tidak tahu saja bahwa ada settingan tertentu yang bisa membatasi hal-hal semacam itu. Maka saya tetap setiap pada MP. Hingga kemudian seorang kawan mengeluh, bahwa untuk membuka akun MP saya, membaca tulisan saya di sana, ternyata harus mengeluarkan banyak kuota internetannya. Akun MP itu ‘berat’, katanya.

Maka demi dia *hehehe...*, saya kembali membuat akun duplikasi di Blogspot (BS) yang memang lebih sederhana dan lebih ringan untuk dibuka. Sejak saat itu, si teman tadi sering mengcopas tulisan-tulisan saya di BS dan mempostingnya di note Fbnya. Saya masih terus berkesetiaan sebagai ‘blogger  aja’, bahkan meski teman saya itu bilang, bahwa tiap memposting tulisan saya, selalu banyak ‘like’ yang berdatangan, sambil terus memotivasi saya ber-FB ria, dengan niat yang benar tentunya.

Akhirnya, suatu waktu, entah di semester berapa perkuliahan, saya bismillah; membuka akun FB dengan maksud untuk menjadi salah satu media untuk sampaikan kebaikan. Maka fasilitas yang paling saya minati adalah ‘note’ dimana kita bisa men-tag contact kita dalam tulisan itu –sesuatu yang tidak ada di dunia blogging.

Saya sadar betul akan luasnya jurang fitnah yang menganga di dunia maya, pada fasilitas apapun yang kita gunakan. Namun tentu ada yang saya rasa berbeda antara dunia blog dengan FB ini. Meski ada berbagai macam fasilitas dan settingan, bagi saya, FB tetaplah vulgar dan teramat sangat dinamis. Cepat pula koneksinya, hingga begitu menggoda untuk mengupdate setiap saat. Maka untuk meminimalisir hal itu, saya punya satu prinsip kala itu; tidak akan berteman di FB dengan laki-laki yang tidak saya kenal di dunia nyata (pengecualian untuk mengadd panitia lomba misalnya, tapi itupun harus segera diremove kalau sudah tidak ada lagi urusan). Dengan asumsi, orang-orang yang saya kenal di dunia nyata lebih mungkin untuk memiliki ‘urusan yang jelas’ dengan saya. Sedangkan yang tidak, tentu akan lebih besar fitnahnya. Itu pemikiran saya saat itu. Maka friendlist saya di FB pun heterogen, ada kawan-kawan perempuan, ada pula kawan lelaki.

Untuk blog sendiri, saya anggap tidak bisa membatasinya demikian. Bagaimanapun, saya ingin apa yang saya sampaikan lewat tulisan itu mudah untuk diakses oleh siapa saja. Maka beberapa kawan di blog, bahkan yang sangat saya sukai tulisan-tulisannya, dan kadang pun berkunjung di blog saya, tetap tidak akan saya confirm saat meng-add saya di FB. Prinsipnya jelas; hanya berteman di FB dengan laki-laki yang saya kenal di dunia nyata!

Dalam perkembangan selanjutnya, saya menemukan bahwa apa yang selama ini saya jalani di FB tetap saja tidak bisa membuat saya berada pada posisi aman. Ternyata tetap saja ada celah fitnah di sana. Maka memang yang lebih menenangkan adalah dengan meninggalkan keraguan itu, ber-wara’ untuk menghindari syubhat. Setelah baca-baca, tanya-tanya, dan beberapa pertimbangan; akhirnya saya memutuskan; menghapus nama-nama lelaki yang bukan mahram dari friendlist FB. Salah satu pertimbangan lainnya adalah, bahwa di FB sudah ada fasilitas Grup-Grup tertentu, misalnya grup kawan-kawan kuliah, alumni sekolah, dll yang memungkinkan untuk tetap menjalin silaturahim dan membicaran urusan penting, dengan kawan lelaki yang saya kenal di dunia nyata itu –yang saya remove itu. Dan komunikasi di Grup ini tentu lebih terjaga, karena dapat dibaca oleh semua member grup.

Pada akhirnya saya menyadari, bahwa FB bukan hanya sekadar fasilitas yang digunakan saat ingin dipakai saja. Tapi, kadang meski tidak ingin dipakai sekalipun, godaan untuk memakainya meski tak butuh, dapat begitu kuat. Dan hal seperti itu yang terkadang bisa menimbulkan fitnah, sebab penggunaannya jadi asal-asalan. Ah, sungguh.. Kita saja yang mungkin tidak sadar betapa lemahnya perasaan kita sendiri saat dihadapkan pada jempol-jempol yang menyukai atau komentar dengan sanjung puji, dengan cepat bisa merasuklah penyakit hati. Jika bukan pada diri kita, maka mungkin pada orang lain yang berprasangka. Maka, hanya Allah saja sebaik-baik penjaga. 

Sebagian orang mungkin merasa aman dari hal yang saya khawatirkan itu. Bisa jadi. Ya, bisa jadi karena mungkin keimanannya lebih tebal daripada saya yang lemah ini. Sungguh, ini kembali pada masing-masing pribadi.

Dengan kasus yang sama dengan FB dulu, saat ini trend twitter mulai membahana dimana-mana. Seorang teman mengajak saya membuat akun berkicau ini. Tidak sama dengan alasan dahulu enggan ber-FB, saya justru dulu malas membuat Twitter justru karena merasa terlalu terbatasi.

Ya, pembatasan 160 karakter untuk orang yang terbiasa berpanjang kata seperti saya ini tentu akan sangat menyiksa. Tapi, ada pesona yang lain di sana. Pesona lautan ilmu. Saat ternyata Twitland diisi oleh orang-orang terkenal, orang-orang berilmu, orang-orang pintar, dan akun-akun bermanfaat yang kicauannya menyimpan makna. Apalagi, kita yang bukan siapa-siapa ternyata bisa merasa begitu dekat dengan mereka, bertanya, berinteraksi, juga mungkin, belajar adab. Ditambah lagi dengan teman yang ternyata biasa memotong-motong status panjang saya di FB dan mengkonversinya dalam kultwit yang konon banyak juga peminatnya.

Maka kembali, saya bismillah, membuat akun twitter juga. Seperti akun lainnya, niatan harus kembali diperjelas. Belajar dan berbagi (termasuk di dalamnya promosi, hehehe...)  Lalu aturan bagi diri sendiri pun harus jelas pula; hanya akan memfollow akun yang kiranya memang benar-benar manfaat, menghindari fitnah. Jika pun memfollow untuk alasan menyambung silaturahim (baca: gaul) dengan beberapa kawan yang sudah kenal di dunia nyata, maka hanya boleh yang wanita saja. Untuk followers sendiri, sebab twitter adalah mikroblog, maka perlakuan yang sama seperti di BS dan MP pun saya berlakukan. Siapa saja, monggo, jika memang ingin memfollow dan merasa bisa mengambil manfaat, asal tidak mempersyaratkan follback. Kemudian mention-mentionan itu, betul-betul diupayakan untuk yang aman-aman saja. Sekali lagi, semoga Allah akan terus menjaga.

Bagi sebagian orang, mungkin menganggap ini terlalu berlebihan, kikuk, tidak santai, dan kaku. Tapi bagi saya pribadi, dunia maya memang harus diperlakukan seperti itu. Sebab meski memang tidak benar-benar nyata, toh pada akhirnya harus dipertanggungjawabkan pula. Terlebih lagi, terkadang kita merasa agak kelepasan dalam menggunakannya, justru karena ia bersifat maya. Aih, di dunia nyata saja ada banyak aib yang bisa disembunyikan, apalagi di tempat yang maya, bukan?

Sebagian yang lain mungkin menganggap saya masih cukup ‘berani’ dalam hal ini. Apalagi dengan ‘muncul’ dengan nama pribadi, sama sekali tidak menutup diri. Belum lagi dengan kebiasaan yang sulit berhenti hingga kini; membicarakan diri sendiri. Ah, Allah.. Cukuplah Engkau saja yang menilai niat kami. Beberapa saudari saya kenal benar-benar berhati-hati. Hanya berteman dengan murni perempuan di FB, plus memprotect akun Twitternya. Kepada mereka, saya salut dengan upayanya menjaga diri, tentu ini bukanlah pertanda bahwa keimanan mereka tipis, sehingga harus begitu membatasi diri, bahkan mungkin bisa jadi sebaliknya. Tetap saja, tiap orang punya alasan masing-masing. Dan tiap kita beramal dengan keilmuan dan pemahaman kita masing-masing. Sumbernya jelas; Al Qur’an dan Sunnah. Semoga Allah mengistiqamahkan mereka yang terjaga, dan memberikan kita semua hidayah untuk mengikuti jejaknya.

Maka, semua aturan yang saya buat untuk akun-akun saya itu, tentu tidak mutlak. Besok-besok, mungkin akan ada yang berubah. Semoga, perubahannya ke arah yang lebih baik.

Mungkin ada orang yang menganggap, berdakwah lewat dunia maya itu tidak begitu bernilai, tidak nyata, dan hanya buang waktu saja. Tapi saya selalu ingat sebuah tulisan ustadz Fauzil Adhim tentang da’i pelosok yang rela berjauh-jauh dari keramaian untuk sampaikan dakwah. lalu mengapa kita, yang telah terfasilitasi dengan media, begitu malas meski hanya sampaikan kebenaran lewat sosial media? Wallahu a’lam. 

Makassar, 6 Januari 2013