Senin, 21 Januari 2013

Kenapa Kita Dilarang Pacaran, Din?


Mengapa kita dilarang pacaran, Din?”, tanyanya sambil menatap lekat ke arah saya.

Sekarang saya paham mengapa ia memanggil saya untuk bicara empat mata. Mata itu kini berkaca. Nampak lelah menahan segala emosi yang seolah membuncah di dalam dadanya. Saya mencoba mencari hal lain di sana; itukah jatuh cinta?

Saya tahu pertanyaan itu hanya retoris belaka. Saya paham betul bahwa ia telah sangat mengerti jawaban pertanyaannya sendiri. Dia memang belum lama belajar agama secara intensif. Namun agaknya hal itu adalah sesuatu yang telah ia ilmui sejak awal-awal. Maka saya tidak berminat menjawab pertanyaannya. Saya hanya menatap wajahnya yang kini nampak semakin sendu. Ah, kawan... Adakah rasanya sebegitu menyiksa?

Saya lalu menggenggam tangannya. Dingin.

“Sejak kapan kamu...” ucap saya, “Menjadi peragu terhadap apa yang telah kamu yakini? Yang telah kamu ilmui?” tanya saya selembut mungkin. Saya mencoba berucap dengan sangat perlahan. Khawatir pada selapis bening di matanya yang tinggal menunggu waktu untuk jatuh.

Sebenarnya, saya sudah menduga ini akan terjadi. Beberapa tempo yang lalu, ia kerap bercerita tentang lelaki itu. Lelaki yang baru dikenalnya, lalu sering menyapanya lewat telepon di malam hari. Kadang pula mereka berjumpa. Saling menanyakan kabar atau sekadar berbalas senyuman. Dalam pada itu, saya sudah mengingatkannya untuk berhati-hati. Namun hanya ia tanggapi selewat-selewat. Baginya, lelaki itu sama sekali tidak memesona. Biasa saja. Ia rupanya tidak menyangka bahwa perkara sederhana tentang perbincangan sesekali itu ternyata telah menumbuhkan sesuatu di dalam dadanya. Telah menerbangkan sekelompok kupu-kupu di dalam perutnya.

Lalu itulah yang terjadi. Ia yang menganggap dirinya kuat dan tahan banting, nyatanya menjadi semudah itu rapuh. Tidak ia sangka, degup jantung itu kini terasa berbeda. Tidak ia sangka, ia terjatuh bukan pada cinta, tapi justru perasaan lain yang mengikutinya; merasa dicintai. Dan untuk yang satu itu, saya pun tak menyangka bahwa dampaknya ternyata justru lebih parah lagi.

Segala perhatian yang awalnya terasa biasa, tidak lagi sama seiring masa. Ia malah menjadi menduga-duga, bahwa ada ‘peluang’ di sana. Ia banyak menyusun persepsinya sendiri, mencocok-cocokkan berbagai kejadian, berandai-andai dengan pengandaian yang tak jelas, lalu keliru menyimpulkan sesuatu yang diluar kendalinya; perasaan orang lain terhadap dia.

Maka, itulah yang membuatnya goyah. Sehingga ia tidak lagi yakin bahwa yang selama ini dipahaminya lewat majelis ilmu sebagai sesuatu salah memanglah salah.

Maka saya mencoba, tidak lagi menasihatkan teori seperti yang selama ini kadang saya lakukan padanya. Saya pikir, permasalahan itu kini ada pada hatinya. Dan disanalah saya harus memulai. Maka saya hanya mengeratkan dekapan tangan itu. Membasuh air matanya yang jatuh. Hingga akhirnya justru ia yang berkata dengan bibir yang bergetar,

Din, jika pacaran memang tidak boleh. Bisakah saya berdoa saja pada Allah agar nanti berjodoh dengannya?”

Saya menghembuskan nafas, lalu kembali tersenyum menatapnya.

Kenapa kamu,” ucap saya. “Tidak meminta dijodohkan dengan yang terbaik saja? Bahkan tentang yang terbaik untuk diri kita, bukankah Allah yang paling tahu?”, lanjut saya.

Lalu air mata itu semakin menganak sungai. Ia kini sesunggukan. Menghambur dalam pelukan saya. Saya tahu saat itu dapat merasa lega, sebab dalam pelukan itu, saya merasakan kepalanya yang mengangguk-angguk mengiyakan. Berkali-kali.

|Kepadamu yang masih terus mencari definisi dari setiap rasa. Bersabarlah, nyatanya jarak itu hanya sejauh doa dan rindu.
Makassar, 21 Januari 2013
Dalam perjalanan senja berhujan dari kampus ke rumah

  

3 komentar:

  1. benarlah dien.. kadang rasa itu bukan bermula dari cinta tapi saling menghargai.. kerna itu, jangan pernah dimulai.. jika kita sudah terhanyut ditengahnya, untuk berenang kembali ke tepian akan menjadi hal tersulit yang akan kita hadapi. bukan tak mungkin. hanya saja terlalu sulit!! bahkan utk menepis sisa bayang yang mencoba untuk mengintai [katanya]. cinta itu lembut dan membelai. ia tidak butuh kekerasan utk membuat seseorang berdiri dan bertumpah darah demi mempertahankannya. cinta itu hangat.. ia tidak perlu memaksa utk membuat seseorang berkorban apa yg dimilikinya. tidak ada istilah TEMBOK MUSTAHIL yang gak bisa dilewati..Allah memberikan cinta itu kekuatan..agar dengan kekuatan itu akan mampu mematahkan segala cabaran yang merantainya..cinta itu selalu ada. dalam tiap episode kehidupan kita. yang menuntun kita nantinya, adalah kepada siapa ia akan berlabuh? adakah pada Pemilik Diri Kita, Rabb semesta Alam, atau adakah kepada manusia biasa seperti kita yang masih juga terkapai mencari arah..

    Apabila cinta berlabuh pada Dzat Pencipta, maka cinta itu menuntun kita utk menghadiri majlis ilmu.. cinta itu menyalurkan energi utk menyintai Yang Dicintai.. org2 shalih shalihah, para ulama', cinta ilmu cinta keluarga..

    ~TanpaMu aku tidak mampu bernafas sendiri~

    BalasHapus
  2. Subhanallah :) betul-betul Kak Dien, saya sering kali merasakannya :')

    BalasHapus

Terima kasih sudah berkunjung. Jika kamu berkenan meninggalkan jejak di kolom komentar, lebih baik lagi :)