“Mengapa kita dilarang pacaran, Din?”, tanyanya sambil menatap lekat
ke arah saya.
Sekarang saya paham mengapa ia memanggil saya
untuk bicara empat mata. Mata itu kini berkaca. Nampak lelah menahan segala
emosi yang seolah membuncah di dalam dadanya. Saya mencoba mencari hal lain di
sana; itukah jatuh cinta?
Saya tahu pertanyaan itu hanya
retoris belaka. Saya paham betul bahwa ia telah sangat mengerti jawaban
pertanyaannya sendiri. Dia memang belum lama belajar agama secara intensif.
Namun agaknya hal itu adalah sesuatu yang telah ia ilmui sejak awal-awal. Maka
saya tidak berminat menjawab pertanyaannya. Saya hanya menatap wajahnya yang
kini nampak semakin sendu. Ah, kawan...
Adakah rasanya sebegitu menyiksa?
Saya lalu menggenggam tangannya.
Dingin.
“Sejak kapan kamu...” ucap saya, “Menjadi peragu terhadap apa yang telah kamu yakini? Yang telah kamu
ilmui?” tanya saya selembut mungkin. Saya mencoba berucap dengan sangat
perlahan. Khawatir pada selapis bening di matanya yang tinggal menunggu waktu
untuk jatuh.
Sebenarnya, saya sudah menduga
ini akan terjadi. Beberapa tempo yang lalu, ia kerap bercerita tentang lelaki
itu. Lelaki yang baru dikenalnya, lalu sering menyapanya lewat telepon di malam
hari. Kadang pula mereka berjumpa. Saling menanyakan kabar atau sekadar
berbalas senyuman. Dalam pada itu, saya sudah mengingatkannya untuk berhati-hati.
Namun hanya ia tanggapi selewat-selewat. Baginya, lelaki itu sama sekali tidak
memesona. Biasa saja. Ia rupanya tidak menyangka bahwa perkara sederhana
tentang perbincangan sesekali itu ternyata telah menumbuhkan sesuatu di dalam
dadanya. Telah menerbangkan sekelompok kupu-kupu di dalam perutnya.
Lalu itulah yang terjadi. Ia yang
menganggap dirinya kuat dan tahan banting, nyatanya menjadi semudah itu rapuh.
Tidak ia sangka, degup jantung itu kini terasa berbeda. Tidak ia sangka, ia
terjatuh bukan pada cinta, tapi justru perasaan lain yang mengikutinya; merasa dicintai. Dan untuk yang satu
itu, saya pun tak menyangka bahwa dampaknya ternyata justru lebih parah lagi.
Segala perhatian yang awalnya
terasa biasa, tidak lagi sama seiring masa. Ia malah menjadi menduga-duga,
bahwa ada ‘peluang’ di sana. Ia banyak menyusun persepsinya sendiri,
mencocok-cocokkan berbagai kejadian, berandai-andai dengan pengandaian yang tak
jelas, lalu keliru menyimpulkan sesuatu yang diluar kendalinya; perasaan orang lain terhadap dia.
Maka, itulah yang membuatnya
goyah. Sehingga ia tidak lagi yakin bahwa yang selama ini dipahaminya lewat
majelis ilmu sebagai sesuatu salah memanglah salah.
Maka saya mencoba, tidak lagi
menasihatkan teori seperti yang selama ini kadang saya lakukan padanya. Saya
pikir, permasalahan itu kini ada pada hatinya. Dan disanalah saya harus
memulai. Maka saya hanya mengeratkan dekapan tangan itu. Membasuh air matanya
yang jatuh. Hingga akhirnya justru ia yang berkata dengan bibir yang bergetar,
“Din, jika pacaran memang tidak boleh. Bisakah saya berdoa saja pada
Allah agar nanti berjodoh dengannya?”
Saya menghembuskan nafas, lalu
kembali tersenyum menatapnya.
“Kenapa kamu,” ucap saya. “Tidak
meminta dijodohkan dengan yang terbaik saja? Bahkan tentang yang terbaik untuk
diri kita, bukankah Allah yang paling tahu?”, lanjut saya.
Lalu air mata itu semakin
menganak sungai. Ia kini sesunggukan. Menghambur dalam pelukan saya. Saya tahu
saat itu dapat merasa lega, sebab dalam pelukan itu, saya merasakan kepalanya
yang mengangguk-angguk mengiyakan. Berkali-kali.
|Kepadamu yang masih terus mencari definisi dari setiap rasa.
Bersabarlah, nyatanya jarak itu hanya sejauh doa dan rindu.
Makassar, 21 Januari 2013
Dalam perjalanan senja berhujan dari kampus ke rumah
benarlah dien.. kadang rasa itu bukan bermula dari cinta tapi saling menghargai.. kerna itu, jangan pernah dimulai.. jika kita sudah terhanyut ditengahnya, untuk berenang kembali ke tepian akan menjadi hal tersulit yang akan kita hadapi. bukan tak mungkin. hanya saja terlalu sulit!! bahkan utk menepis sisa bayang yang mencoba untuk mengintai [katanya]. cinta itu lembut dan membelai. ia tidak butuh kekerasan utk membuat seseorang berdiri dan bertumpah darah demi mempertahankannya. cinta itu hangat.. ia tidak perlu memaksa utk membuat seseorang berkorban apa yg dimilikinya. tidak ada istilah TEMBOK MUSTAHIL yang gak bisa dilewati..Allah memberikan cinta itu kekuatan..agar dengan kekuatan itu akan mampu mematahkan segala cabaran yang merantainya..cinta itu selalu ada. dalam tiap episode kehidupan kita. yang menuntun kita nantinya, adalah kepada siapa ia akan berlabuh? adakah pada Pemilik Diri Kita, Rabb semesta Alam, atau adakah kepada manusia biasa seperti kita yang masih juga terkapai mencari arah..
BalasHapusApabila cinta berlabuh pada Dzat Pencipta, maka cinta itu menuntun kita utk menghadiri majlis ilmu.. cinta itu menyalurkan energi utk menyintai Yang Dicintai.. org2 shalih shalihah, para ulama', cinta ilmu cinta keluarga..
~TanpaMu aku tidak mampu bernafas sendiri~
Betul sekali,kak..Betul sekali :')
HapusSubhanallah :) betul-betul Kak Dien, saya sering kali merasakannya :')
BalasHapus