Apa yang membuat kita lelah setelah seharian beraktifitas?
Keluar dari rumah bersama terbitnya mentari dan kembali pulang pun diiringi
oleh peristiwa terbenamnya. Secara sederhana, kita mungkin beranggapan bahwa
energi kita yang terkuraslah yang membuat kita menjadi lelah setelah tuntas
dari begitu banyak pekerjaan, juga mungkin permasalahan yang harus kita urai
dalam sehari. Tapi saya rasa, ini bukan hanya masalah energi itu saja, bukan
hanya persoalan betis yang pegal atau tubuh yang loyo tersebab kelelahan, saya
pikir, mungkin sebab hati kita pun ikut lelah dengan segala macam urusan dunia.
Ya, urusan dunia memang kerap kali menguras energi jasmani
kita, pun dengan ‘energi jiwa’. Mungkin, sebab itulah kita selalu dianjurkan
untuk menyisakan waktu, minimal sebelum tidur untuk kembali mengevaluasi diri,
memaafkan yang harus dimaafkan, dan memohon ampun atas kesalahan. Setidaknya
bagi saya, waktu bertafakkur adalah masa untuk mengembalikan energi jiwa.
Sesuatu yang bisa menjadi jauh lebih penting dari sekadar energi raga.
Dalam kesempatan itu, saya tiba-tiba terpikir beberapa hal.
Pemikiran ini juga mungkin seringkali dipikirkan oleh banyak orang, dan saya
hanya mencoba menuliskannya dengan segala keterbatasan.
Sekiranya tanpa takdirNya, mungkin hari ini kita adalah
bagian dari manusia yang bangun oleh dunia, dan lelah pun karena dunia. Sama
sekali lupa pada kampung tempat kita berpulang; akhirat.
Sekiranya tanpa hidayahNya, mungkin kita adalah para wanita
yang bersolek dengan bangga. Menampakkan aurat tanpa rasa takut. Atau
menjadikan hijab hanya sekadar perhiasan yang justru semakin memikat pandangan.
Sekiranya tanpa inginNya, mungkin kita berada dalam antrian
panjang para abege yang menghamburkan rupiah demi konser boyband kesayangan.
Atau yang sibuk bermimpi-mimpi dapat berjumpa dengan idolanya yang bermata
sipit dan berkulit putih itu, lalu kemudian; bangga.
Sekiranya tanpa petunjukNya, mungkin kita dapat dengan mudah
mengacuhkan panggilan adzan. Terbata-bata dalam melafalkan Al Qur’an. Tidak
mengenal Rasulullah, apalagi para shahabatnya. Buta dengan konsep-konsep
aqidah. Tidak tertarik pada ilmu agama. Lalu atas semua keterbatasan itu, sama
sekali tidak merasa; malu.
Sekiranya tanpa pemilihanNya, tidak mungkin kita menjadi
bagian dari mereka yang mengajak kepada kebaikan dan mencegah dari yang
mungkar.
Sekiranya tanpa kesantunanNya, telah terumbarlah semua aib
yang selama ini masih ditutupiNya. Terlihatlah semua dosa dan celah yang
mungkin dahulu tidak nampak oleh kawan-kawan kita. Lalu semua manusia akan
menjauh, tidak ada lagi yang ingin duduk bersama.
Dan sekiranya tanpa kasihNya, bukankah terlalu mudah untuk
mencabut setiap tetes hidayah yang kini ada pada kita. Terlalu sederhana bagi
Allah, untuk menggantikan kita dengan kaum yang lebih baik, dan tidak
mendustakannya.
Maka tanpa izinNya, tidaklah mungkin kata-kata ini dapat tertuliskan.
Tanpa cintaNya, akan sulit bagi hati kita, untuk terketuk menerima kebenaran.
Wallahu a’lam.
*Setelah hari yang melelahkan :)
Makassar, 24 April 2011