Selasa, 24 April 2012

Sekiranya TanpaNya



Apa yang membuat kita lelah setelah seharian beraktifitas? Keluar dari rumah bersama terbitnya mentari dan kembali pulang pun diiringi oleh peristiwa terbenamnya. Secara sederhana, kita mungkin beranggapan bahwa energi kita yang terkuraslah yang membuat kita menjadi lelah setelah tuntas dari begitu banyak pekerjaan, juga mungkin permasalahan yang harus kita urai dalam sehari. Tapi saya rasa, ini bukan hanya masalah energi itu saja, bukan hanya persoalan betis yang pegal atau tubuh yang loyo tersebab kelelahan, saya pikir, mungkin sebab hati kita pun ikut lelah dengan segala macam urusan dunia.

Ya, urusan dunia memang kerap kali menguras energi jasmani kita, pun dengan ‘energi jiwa’. Mungkin, sebab itulah kita selalu dianjurkan untuk menyisakan waktu, minimal sebelum tidur untuk kembali mengevaluasi diri, memaafkan yang harus dimaafkan, dan memohon ampun atas kesalahan. Setidaknya bagi saya, waktu bertafakkur adalah masa untuk mengembalikan energi jiwa. Sesuatu yang bisa menjadi jauh lebih penting dari sekadar energi raga.

Dalam kesempatan itu, saya tiba-tiba terpikir beberapa hal. Pemikiran ini juga mungkin seringkali dipikirkan oleh banyak orang, dan saya hanya mencoba menuliskannya dengan segala keterbatasan.
Sekiranya tanpa takdirNya, mungkin hari ini kita adalah bagian dari manusia yang bangun oleh dunia, dan lelah pun karena dunia. Sama sekali lupa pada kampung tempat kita berpulang; akhirat.
Sekiranya tanpa hidayahNya, mungkin kita adalah para wanita yang bersolek dengan bangga. Menampakkan aurat tanpa rasa takut. Atau menjadikan hijab hanya sekadar perhiasan yang justru semakin memikat pandangan.

Sekiranya tanpa inginNya, mungkin kita berada dalam antrian panjang para abege yang menghamburkan rupiah demi konser boyband kesayangan. Atau yang sibuk bermimpi-mimpi dapat berjumpa dengan idolanya yang bermata sipit dan berkulit putih itu, lalu kemudian; bangga.

Sekiranya tanpa petunjukNya, mungkin kita dapat dengan mudah mengacuhkan panggilan adzan. Terbata-bata dalam melafalkan Al Qur’an. Tidak mengenal Rasulullah, apalagi para shahabatnya. Buta dengan konsep-konsep aqidah. Tidak tertarik pada ilmu agama. Lalu atas semua keterbatasan itu, sama sekali tidak merasa; malu.

Sekiranya tanpa pemilihanNya, tidak mungkin kita menjadi bagian dari mereka yang mengajak kepada kebaikan dan mencegah dari yang mungkar.

Sekiranya tanpa kesantunanNya, telah terumbarlah semua aib yang selama ini masih ditutupiNya. Terlihatlah semua dosa dan celah yang mungkin dahulu tidak nampak oleh kawan-kawan kita. Lalu semua manusia akan menjauh, tidak ada lagi yang ingin duduk bersama.

Dan sekiranya tanpa kasihNya, bukankah terlalu mudah untuk mencabut setiap tetes hidayah yang kini ada pada kita. Terlalu sederhana bagi Allah, untuk menggantikan kita dengan kaum yang lebih baik, dan tidak mendustakannya.

Maka tanpa izinNya, tidaklah mungkin kata-kata ini dapat tertuliskan. Tanpa cintaNya, akan sulit bagi hati kita, untuk terketuk menerima kebenaran. Wallahu a’lam.  


*Setelah hari yang melelahkan :)
Makassar, 24 April 2011

Minggu, 22 April 2012

[CookingTime] Pancake

It's cooking time! Setelah akhir-akhir ini kecanduan sama pancake-gulung seribuan yang sederhana-tapi-enak yang dijual di pelataran mushalla, akhirnya pas ada kesempatan jalan-jalan ke supermarket sama adik, kami memasukkan tepung instant pancake ke keranjang belanjaan. Selanjutnya, pekan lalu, jadilah agenda masak-masak itu berlangsung di dapur. Ternyata, satu kemasan tepungnya cuma jadi sedikit... Ckckck...


adonan dituangkan ke teflon

original

Tiga lapis: keju dan selai coklat


Digulung dengan keju!
Pas beli tepung pancake itu, sebenarnya juga beli kulit lumpia. Ceritanya, mau bikin martabak-mini kayak yang juga dijual di kampus. Tapi niat suci bikin martabak itu tidak disambut dengan baik sama ibu, katanya: "Habiskan dulu kue-kue yang ada di kulkas itu, baru bikin-bikin lagi!"

Jiah...

Jumat, 13 April 2012

Untukmu dengan Penuh Cinta; Pelanjut Estafet Ikramal'03


Makassar, 13 April 2012

Bismillahirrahmanirrahim
Assalamu alaikum warahmatullahi Wabarakatuh

Apa kabar, adikku? Semoga hati kalian senantiasa lapang, sebagaimana lapangnya masjid baru yang menjadi ‘rumah’ kalian sekarang. Ah ya, juga dengan tempat wudhu dan kamar kecilnya yang bagus itu, membuatku rasanya ingin kembali menjadi siswa SMA lagi. Hahaha…

Adikku penerus estafet Ikramal’03, kutuliskan surat ini dengan begitu banyak harapan dan juga begitu banyak cinta atas kesamaan diantara kita; memilih jalan cahaya ini untuk mengisi masa muda. Kau pun mungkin masih sempat merasakan, sebelum masjid yang nyaman itu selesai dibangun, saat semua kegiatan sederhana rohis itu bermula dari sana; sebuah mushala kecil di salah satu sudut sekolah kita. Tembok-temboknya yang hijau adalah saksi dari banyak hal. Kau tahu, bahkan salah satu kusennya yang tanpa kaca itu, telah menyaksikan bagaimana terkadang kami melewatinya dan menjadikannya selayaknya ‘pintu’. Ah, mungkin hanya kami saja yang mengerti pembicaraan ini. :')


Telah bertahun waktu yang terlewati dari masa itu. Kami pun kini satu sama lain tidak dapat saling memandang wajah sesering yang dulu. Banyak hal yang telah berubah, Dik. Kecuali tentang satu hal, kecuali tentang satu keyakinan. Bahwa insyaAllah, kami masih akan terus fasih untuk saling mengucap nama, dalam doa kebaikan dalam setiap sujud, dalam hening.

Kala itu, mungkin telah tiada Rasulullah Shallalahu alaihi wasallam yang dahulu mempersaudarakan para muhajirin dan anshar. Tapi oleh lingkaran penuh berkah itu, hati kami telah berpaut. Meski tak kami elakkan, bahwa dikala keimanan berada di titik yang rendah, maka hari-hari terkadang tidak selalu cerah, begitupun dengan ukhuwah. Sebab kita paham, bahwa ukhuwah itu selalu berbanding lurus dengan keimanan dalam dada kita.

Tidak perlu risau. Jalan ini memang tidak pernah menjanjikan kenyamanan dan buaian kekaguman, tapi kita susuri saja. Sebab yakinlah, bahwa kau bukanlah yang pertama. Tiap senyumanmu, dulu juga pernah disunggingkan oleh yang lainnya. Mungkin nanti, saat kau rasa perih, maka hal yang lebih berat bisa jadi telah dilalui oleh orang sebelummu. Maka cukuplah yakin, dan mulai langkahmu dari sana. Masing-masing dari kita tidak pernah akan tahu seberapa kuat kita menjalaninya, sebelum benar-benar memulai tapak yang pertama, bukan?

Maka, adikku. Kecaplah tiap rasa yang akan kau lalui di sana. Segalanya kelak akan menjadi kenangan yang kepadanya kau akan banyak berkaca. Kepadanya kau bisa memandang betapa memulainya bukanlah suatu yang sederhana. Ada rangkaian takdir yang saling bertaut, bahkan yang kadang dengan tergesa kita sebut sebagai kebetulan. Ada pikiran-pikiran panjang yang mungkin bahkan dalam mimpinya turut menghadirkanmu sebab betapa ingin kebaikan untukmu dunia dan akhirat. Tiap pencapaianmu adalah atas izinNya dan  mungkin adalah buah dari doa-doa panjang dari lisan yang tidak kau sangka. Dari saudari yang selama ini kau jumpa, atau dari kakanda yang kau tatap wajahnya sekali sepekan.

Langkah kami mungkin telah jauh, Adikku. Banyak hal telah berubah. Tapi kami pun paham, bahwa terlalu banyak pula kenangan di sana. Terlalu banyak hal yang tidak mungkin kami lupa. Majelis perdana, sebutan ‘ukhti’ untuk pertamakalinya, jabat tangan yang erat, semburat senyum bahkan meski dari wajah lelah, air mata yang saling kita seka, cinta pertama, dekap selimut saat tubuh tidak sesehat biasanya, bahkan tentang suapan penganan kecil yang kita bagi sama rata. Terlalu banyak, bukan? Dan bukankah masa lalu tidak akan pernah bisa kita ubah?

Maka kini kami masih dapat dengan jelas mengenang semuanya. Kami melihat semangat masa lalu itu dalam semangatmu. Kami melihat senyum kami yang dulu pada senyummu. Kami melihat diri kami pada dirimu. Tidak ada yang berbeda diantara kita. Sebab kita sama, memilih jalan cahaya dan menyusurinya. Kita mulai dia dari sana. Maka estafet ini, berlanjut padamu. Tidak ada yang ingin menghentikannya, saat tongkat perjuangan berada pada genggamnya. Tidak peduli seberat apapun kita harus memulai. Tidak peduli sejauh apapun kita telah tertinggal. Siapa yang peduli seterpuruk apapun kita saat ini?!

Sebab, tidak ada yang berbeda diantara kita. Sebab kita sama. Memilih jalan cahaya dan menyusurinya. Dialah saksinya: Allah.

Kakak yang memandang kalian dari jauh,

Diena Rifa’ah Amaliah

Go Hijabers, Go!

Waktu itu mama dibilang ekstrem dan garis keras… Padahal jilbabnya biasa-biasa saja lho!” ucap Ibu saat mengenang kejadian di masa KKNnya yang lampau. Tahun 70an, mungkin. Saat jilbab tidak semeriah sekarang. Saat hanya segelintir wanita yang rela mengganti sanggulnya dengan helaian kain untuk menutup aurat. Ibu, bagian dari yang segelintir itu. Tapi Ibu, hanya seorang dari para ‘pendekar jilbab’ yang di masa itu berusaha menerobos keterasingan, hingga kini kita dapat menikmati aura kebebasan itu. Ya, kebebasan untuk mengenakan pakaian takwa tanpa sorot mata aneh orang-orang di sekeliling.

Di lain kesempatan, saat seperti biasa akan menempuh perjalanan menuju kampus, saya menumpang sebuah angkot yang nampak sudah cukup penuh dengan para mahasiswi lainnya. Saya pun kebagian tempat di pojok, dengan akses luas kepada seluruh penumpang. Saat itulah saya tersadar, bahwa seluruh penumpang wanita di angkot itu berjilbab, dan dengan gaya jilbab yang sama. Ya, sama! Kejadian serupa pernah pula saya alami. Tapi, waktu itu gaya jilbabnya berbeda dengan kali ini. Persamaannya adalah, gaya-gaya itu adalah trend pada masanya. Jilbab pun punya tren, ternyata.

Sungguh, saya sangat mengapresiasi ‘semangat jilbab’ yang saat ini nampak bagai jamur di musim penghujan. Bahkan, konon para muslimah berjilbab membuat komunitasnya sendiri, dengan kegiatan-kegiatan rutin, bahkan dengan video tutorial cara mengkreasikan jilbab model ini dan itu. Jika semua itu berangkat dari kesadaran keberagamaan dan wujud kepatuhan pada perintah Allah dalam An Nur:31 dan Al Ahzab:59, maka sekali lagi: sungguh, saya sangat berbahagia!

Tapi begini, para wanita yang dicemburui bidadari. Jilbab sebagai sebuah bentuk ibadah, ternyata juga punya beberapa syarat yang patut kita perhatikan. Ah, mungkin kalian pun lebih hapal tentang hal itu daripada saya. Tapi izinkanlah kita mengulang pelajaran ini bersama, yah. Mungkin kata ‘syarat’ dan ‘aturan’ membuatnya terdengar tidak begitu nyaman, namun bukankah dalam hidup kita telah terbiasa menghadapinya? Ah ya, jika dengan aturan sekolah, kampus, ataupun kantor yang jelas-jelas hanya dibuat oleh manusia, kita bisa dengan sangat loyal menaatinya, maka apalagi dengan aturan Allah. Tentu lebih tunduk kita kepadaNya, bukan? Baik, mari kita mulai!

Pertama, jilbab itu menutup seluruh badan. Yap, perintah ini jelas sekali dalam ayat yang bersama kita jadikan acuan. Kita pun paham, bahwa makna menutup jelas berbeda dengan membungkus, bukan? Menutup berarti tidak membiarkan adanya celah untuk menampakkan segala macam lekuk. Jelas.
“Dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudung kedadanya..” (QS. An Nur:31)
“Hendaklah mereka mengulurkan jilbab keseluruh tubuh mereka” (QS. Al Ahzab:59)

Kedua, tidak tipis, maka tidak transparan. Apa yang kita inginkan dari menutup sesuatu namun tetap terlihat bayangannya? Tentu tidak ada gunanya! Maka jika tidak nyaman dengan kain yang tebal, menggunakan kain ekstra yang rangkap (dua lapis, misalnya), bisa jadi salah satu solusi.  Itu konsekuensi.
Ketiga, tidak mencolok, tidak berwangi-wangi. Baiklah, semua wanita ingin tampil cantik. Tapi bagi kita, minimal tidak mengganggu pandangan mata saja, seharusnya sudah cukup. Tidak harus berwarna hitam! Tapi tidak pula berarti nge-jreng. Pakaian takwa itu bukan untuk menjadi perhiasan yang membuat setiap mata betah memandang. Pakaian takwa itu justru untuk menjaga kita, bukan mengungkung. Dengannya, kita memilih siapa saja yang berhak untuk memandang keindahan itu, bukankah itulah kebebasan?

Keempat, tidak sempit dan ketat. Kembali kepada makna menutup, sekali lagi, kita tidak sedang ingin membungkus. Takutlah kita kepada kabar Rasulullah Shallalahu alaihi wasallam sejak ratusan tahun lalu;

Ada dua golongan dari penduduk neraka yang belum pernah aku lihat: [1] Suatu kaum yang memiliki cambuk seperti ekor sapi untuk memukul manusia dan [2] para wanita yang berpakaian tapi telanjang, berlenggak-lenggok, kepala mereka seperti punuk unta yang miring. Wanita seperti itu tidak akan masuk surga dan tidak akan mencium baunya, walaupun baunya tercium selama perjalanan sekian dan sekian.” (HR. Muslim no. 2128)

Hmm… kita masih ingin masuk surga, khan ya?

Kelima, tidak menyerupai laki-laki. Tiap gender memiliki ciri khasnya tersendiri. Sebab kita memang berbeda dari laki-laki, maka tidak perlu bersusah payah berusaha menyamai mereka. Be your self, itu anjurannya!
Allah melaknat laki-laki yang bergaya perempuan, dan perempuan yang bergaya laki-laki” (HR. Abu Daud dan Nasa’i)

Yah, lima poin ini saja sudah cukup untuk menjadi acun dan evaluasi bagi cara berbusana kita. Muslimah sejati konsisten pada keyakinannya, tidak peduli tren mengarah kemana, ia tetap akan teguh dengan gaya yang dipilihkan Allah. Kalian semua, para saudari yang diberkahi Allah dengan hati yang mudah tersentuh pada kebenaran, saya yakin adalah bagian dari muslimah sejati itu. Demikianlah Allah menjaga kita dalam syari’atnya yang indah. Bersamaan dengan itu Allah menjaga para muslim untuk lebih mudah menundukkan pandang mereka. Selalu masih ada waktu untuk menjadi lebih baik, bukan?

Jilbab bukan sekadar kain berwarna-warni yang bercokol di atas kepala. Jilbab memang bukan pertanda mutlak kadar keimanan. Tapi ia bisa menjadi rem untuk maksiat, dan gas untuk ketaatan. Ia setidaknya adalah bukti bahwa kita sedang berusaha untuk berjuang dalam kebaikan. Jilbab adalah identitas; dengannya kita menunjukkan diri sebagai muslimah, dengannya kita menjadi terjaga. Wallahu a'lam. 

Sabtu, 07 April 2012

~Me Time~ ^_^

klinong-klinong diterpa angin~

Jadwal kuliah saya memang hanya Senin-Sabtu, dengan jam yang rata-rata dua mata kuliah tiap harinya, tapi dengan jam yang ompong-ompong, sehingga praktis kami, mahasiswa pendidikan apoteker kelas B (yg keren2 itu *jiah...) seringkali harus di kampus dari pagi-pagi sampai sore-sore. Tapi, walaupun begitu, beberapa pekan terakhir, tiap Sabtu dan Ahad saya selalu diisi dengan beberapa kegiatan yang penting. Maka, saat Senin kembali menyapa, saya sering bangun dengan mata yang masih ingin tidur, lalu berucap pada diri sendiri, "Haaah..., sudah Senin lagi???". Tapi, alhamdulillah, pekan ini rasanya berbeda! (^_^)/

ini nih tempat ngulet~

Yup, pekan ini adalah weekend yang panjang, dengan tanggal berwarna merah di hari Jum'at, dan hanya dengan satu agenda ekstra yang harus saya hadiri di hari Sabtu, dan dengan kedua orang tua plus adik perempuan saya yang pergi berlibur ke kampung di Sulawesi Tenggara untuk menjenguk Nenek. Maka, long weekend ini menjadi me-time yang sangat nyaman untuk saya! Yuhuuu...

Konon, seorang introvert memang memerlukan re-charge dengan memberi waktu untuk dirinya sendiri. Bersendirian dan menikmati hal-hal menyenangkan untuk diri sendiri memang cukup memberikan energi baru. Dan itu yang terjadi pada saya. Dengan berteman Ija, yang senangnya mengerjakan pekerjaan rumah dengan silent-mode dan tidak suka nonton TV, dan sepupu kecil saya, Dana yang tidak kalah pendiam dan hobi main bola itu, praktis saya pun banyak menghabiskan waktu sendirian pula, dalam diam. ^_^

'Kamar kalian itu harusnya diisi sama buku-buku tebal yang kalian baca!',
kata Pak Kus, dosen senior fakultas kami *manggut2*

Me-time ini saya habiskan dengan; nge-net *yaelah..*; [blogwalking, promo buku online (eh, pesan Jeda Sejenak yaaa... tetep promo modeON), baca-baca artikel, dan ngutak-ngatik socialnetwork], baca buku yang kemarin-kemarin dibaca dengan slewat-slewat saja, makan wafer dan minum teh kopi, nulis-nulis lagi, menyampul buku yang belum tersampul, mencoba bermotor-ria dengan jarak lebih jauh dan di jalanan yang lebih ramai *lalu sujud syukur pas sampai di rumah dalam keadaan selamat :')*, menyiram bunga-bunga di balkon dengan air-ajaib dan berharap daunnya yang kering bisa segar kembali *disiramnya sekali sebulan sih! #ditabokmama, kerja tugas kuliah dengan lebih 'tenang', dan memikirkan beberapa hal yang harus dipikirkan *halah*.
pemandangan langit dari beranda-tempat-jemuran
Oh iya, juga menatap langit dari jendela kamar; memperhatikan kapan timing langit siang nampak sangat biru, dan kapan langit senja memadukan kelam-biru dan jingga. Sayang, semalam saya tidak sempat memandang bulan penuh yang bagus itu, mudah-mudahan malam ini bisa! *bukan sok melankolis, yah...
(-_-"
si Rausyanfiqr lagi nangkring di atas writingzone, sok cool gitu dia! ~_~
 Sebenarnya, saya sangat ingin ikut dalam perjalanan Bapak-Mama-Indy itu. Tempo lalu, saya sempat melakukan perjalanan yang sama, tapi hanya berdua dengan Bapak. Itupun dengan waktu yang sangat mepet sehingga kesannya capek di jalan saja. Tapi jujur, terkadang yang saya nikmati dalam sebuah perjalanan ke manapun memang bukan saat sampai di tujuannya *meski itu melegakan, apalagi kalau di perjalanan saya diserang mabuk darat -__-"*, tapi justru bagaimana tiap tempat terlewati, memandang wajah-wajah yang baru saya lihat, menumpangi kendaraan-kendaraan umum yang memiliki ciri khasnya masing-masing. Semua itu, rasanya selalu punya kesan tersendiri. :')

"Kalau kami juga ikut, terus yang beri makan ikan siapa dong..." kira-kira begitu alasan Indy saat saya menyatakan keinginan untuk ikut juga. Heu, jahat sekali, bukan?!

Tapi biarlah, toh pada akhirnya me-time ini justru jadi kesempatan tersendiri. Kesempatan untuk kembali mengisi aquarium kecil di kamar saya dengan air, setelah beberapa hari ini si Iklil, ikan biru yang pemalu itu, saya titip di aquarium Indy yang lebih canggih *huh! >_<*. Naasnya, si Iklil malah dituduh telah melakukan kanibalisme-ikan *istilah apa pula ini? ;p* pada ikan-liliput Indy yang konon tiba-tiba raib.

"Ikanmu itu sudah memakan Alexander!" sahut Indy dengan nada menuduh. Heh..! Betul-betul tidak mengamalkan asas praduga tak bersalah anak itu! ~_~

Tapi tenang, Iklil. Sekarang kamu aman di rumah kamu sendiri, meski tanpa gelembung air, tanpa lampu, dan tanpa filter air yang bunyi ngak-ngek-ngok itu, kamu aman! Welcome! #penting

Baiklah.

Demikian reportase saya di Ahad yang cerah ceria ini. Tidak lama lagi, Mama-Bapak-Indy akan kembali dari perjalanan mereka. Maka dengan kembalinya mereka, me-time saya pun berakhir sudah. Saatnya kembali as a human being; makhluk sosial!

Cao!

welcome home, Iklil!



Kamis, 05 April 2012

apa yang salah dari menunggu?


Apakah kemarin kau menatap senja yang ditingkahi rintuk hujan? Ya, momen itu seketika membuat senyumku terkembang. Tidaklah perlu peduli pada tatap aneh penumpang angkot yang lain. Sebab hingga kini, aku masih mencari waktu yang tepat dan memastikan kapan langit berada pada kondisi yang paling mengagumkan itu. Bahkan pada senja, ada timing yang harus kita perhitungkan, kadang. Tapi ah, aku masih tetap menyukai hal-hal sederhana dan tidak ingin repot memikirkannya. Mungkin, seperti pertemuan yang tiba-tiba; tanpa direncanakan. Saat kita biarkan saja takdir yang mengantarkan pada sebuah perjumpaan. Dalam hal ini, tiba-tiba tertakdir pulang dari kampus jam segitu, lalu menyaksikan langit dengan sephia-effect yang mengagumkan. Ya, langit biru tidak akan tergantikan, namun senja yang jingga juga memiliki pesonanya sendiri, khan?

Pernahkah kau berencana untuk menunggu? Hmm.. semacam sengaja hadir lebih awal dan membiarkan dirimu agar berada dalam posisi menantikan sesuatu. Ah, telah banyak kutemukan kawan yang begitu benci dengan hal itu. Mereka berkata, "Yang paling tidak saya suka adalah menunggu!". Mungkin, aku, kau, dan dia pun pernah mengatakannya pula.

Tapi apa yang salah dari menunggu? Jika ternyata yang kita lakukan bukan hanya sekadar menanti tanpa apapun kegiatan lainnya. Jika ternyata sembari menunggu kita bisa melakukan banyak hal lain, membaca misalnya. Jika ternyata menunggu mungkin adalah jeda tersendiri yang memberikan kita ruang untuk lebih mengenali diri. Bercakap secara intrapersonal, sehingga dapat menilai, menentukan pilihan, dan mempertimbangkan baik dan buruk. Setidaknya, itu yang kupelajari di kuliah Komunikasi dan Konseling tempo hari.

Kita menunggu hal-hal yang baik dalam hidup, sambil mengusahan pula hal baik lainnya, mungkin agar kebaikan itu kelak akan saling panggil memanggil. Kita menunggu banyak kepastian dari begitu banyak ketidakpastian tiap harinya. Kita menunggu banyak hasil, dan banyak jawaban atas apa yang kita tanyakan selama ini. Sembari mungkin, menyaksikan orang-orang lain akhirnya bertemu dengan apa yang mereka pun nantikan. Dengan apa yang mereka tunggu. Tapi, apakah hanya karena orang lain telah mengakhiri penantiannya, maka kita menganggap menunggu tidak lagi senyaman yang dulu? Tidak, seharusnya.

Bukankah perasaan lega, bahagia, excited, senang, dan riang saat yang ditunggu akhirnya tiba, hanya bisa kita rasakan setelah penantian sebelumnya? Maka sampai saat ini, aku pun masih menyimpan tanya; lalu apa yang salah dengan menunggu?

*untuk ukhti Rezqy Hardiyanti Taufiq. Afwan, tidak sesuai request. Sedang tidak dalam kondisi ingin menulis puisi, soalnya. :)


Jum'at yang libur, April 6 '12
pic by me