Sabtu, 14 Februari 2015

Aminuddin Yasin

Terkadang, ada orang yang tidak bisa kita lupakan, bukan karena ia telah melakukan hal yang besar untuk kita. Namun, justru sebab bantuan-bantuan keclnya, pada saat kita benar-benar membutuhkannya.

Bagaimana cara memberitahu ini pada Bapak tanpa ketahuan Mama?” tanya saya setelah menerima sebuah pesan singkat, malam itu.

Adik saya hanya menatap sesaat, memalingkan pandangannya dari buku yang sedari tadi ia baca. Lalu menggeleng. No idea.

Saya hanya bisa menatap layar ponsel. Malam semakin larut.
--------------------------------

Namanya Aminuddin Yasin, salah seorang kakak kandung Bapak. Hanya beliau saja saudara laki-laki Bapak yang masih hidup hingga kini. Mengingat tentangnya, adalah mengenang sebuah perjalanan panjang perjuangan hidup, dan bagaimana ‘keajaiban’ dapat bekerja mengalahkan hitung-hitungan manusia.

Lelaki yang selalu saya sapa dengan panggilan ‘Om Aji’ itu telah melalui operasi ginjal pada tahun 1999. Setelah itu, ia divonis harus rutin menjalani hemodialisa. Di masyarakat pada umumnya, keharusan untuk hemodialisa biasanya adalah sebuah pertanda buruk. Tidak banyak yang bisa bertahan lama melebihi dua hingga tiga tahun saja. Namun, jika Allah menghendaki hal lain, maka tidak ada yang tidak mungkin. Buktinya, Om Aji terus bertahan hingga tahun kelima belas menjalani cuci darah secara rutin. Ya, sebuah angka yang tidak banyak untuk satuan tahun yang menandai perjalanan untuk tetap hidup dengan normal. Telah ratusan kawannya sesama pasien yang menjalani hemodialisa yang sudah meninggal lebih dahulu.

Beliau adalah sosok paman yang humoris. Kelakarnya selalu dapat membuat saya tertawa terkekeh-kekeh. Selain itu, background pendidikannya yang merupakan seorang perawat senior juga membuat saya selalu merasa lebih nyambung saat berbincang dengannya.

“Muka kamu pucat...”, Bapak suatu hari mengisahkan ceritanya tentang kakak lelakinya itu, ia meniru apa yang diucapkan oleh Om Aji kepadanya kala itu. Bertahun yang lalu, saat Bapak adalah pemuda yang datang merantau ke kota. Mahasiswa dengan uang bulanan pas-pasan yang seringnya justru tidak pas untuk bertahan hidup selama sebulan. Dan Om Aji telah menorehkan kenangan itu pada ingatan jangka panjang Bapak. Perihal dirinya yang kerap kali menegur wajah pucat Bapak. Dan teguran itu bukan hanya sampai di sana. Selalunya, ia lanjutkan dengan memberikan butir-butir vitamin kepada Bapak, yang alih-alih berpikir untuk membeli kapsul suplemen seperti itu, makan saja susah! Maka perhatian kecil itu menjadi satu hal yang selalu Bapak ingat tentang Om Aji. Sebagaimana beliau memang selalu bercerita tentang budi-budi baik orang-orang yang pernah menolongnya di masa yang lalu. Mengajarkan kepada kami untuk berusaha melakukan hal yang sama dalam mengisi hidup.

“Orang yang kamu tolong saat ini, mungkin seumur hidup tidak akan pernah membalas pertolonganmu itu. Tapi, Allah bisa dengan mudah mengaturkan orang lain untuk membantumu, saat kau membutuhkan pertolongan suatu waktu. Demikianlah takdir bekerja.”

Maka setelah masa yang panjang itu, beberapa bulan ini saya selalu mendengar kabar perihal kesehatan Om Aji yang semakin drop. Tiga bulan ia tidak bisa tidur dalam posisi berbaring. Penyakitnya berbaur menjadi satu, sesuatu yang kadang kita sebut sebagai; komplikasi, yang menggerogoti tiap organ dalamnya. Saya masih sempat berbincang padanya saat datang menjenguknya sehabis maghrib, di suatu malam. Seperti biasa, ia tetap selalu paling awal menanyakan kabar ibu, sebelum memperbincangkan yang lain.

Hingga sebelas hari yang lalu, kondisi beliau semakin memburuk. Om Aji ditempatkan di ruang perawatan khusus dengan begitu banyak selang dan alat-alat yang terkoneksi pada monitor di samping tempat tidurnya. Pada sebuah maghrib, saya mendapat kabar yang membuat saya dan bapak segera meluncur ke rumah sakit untuk melihat keadaan beliau.

“Saya... mohon.. dimaafkan...,” ucap Om Aji dengan napas yang berusaha ia kuat-kuatkan.

Ada selapis bening yang tiba-tiba terbit di mata saya. Ada getaran kecil di dalam dada. Ya Allah... betapa dekatnya maut dari kita.

Saya berlutut di samping tempat tidurnya. Memegang telapak tangannya saat matanya yang sendu mengarah pada saya. Sepupu saya, anak Om Aji yang selalu menjaganya memberitahunya bahwa saya datang malam itu. Om Aji berusaha menyebut nama saya, memberi respon bahwa ia sadar bahwa saya datang. Saya tersenyum lebar. Sebuah senyum yang pasti terlihat sangat aneh; kombinasi antara menahan sedih dengan perasaan bahagia karena Om Aji masih dapat mengenali saya.

Malam itu, kami meninggalkan Om Aji saat ia terlihat lebih stabil dan masih dapat merespon dengan baik saat kami pamitan.

Esok malanya, kami kembali datang. Keadaan beliau memburuk. Nampak begitu kesulitan mengatur napas, dengan masker oksigen yang terus terpasang. Di ruangan yang sama, nampak dua tempat tidur pasien lainnya yang juga sudah dikelilingi oleh keluarga masing-masing. Suara tangis tertahan bersahut-sahutan dengan suara mesin-mesin kesehatan di ruangan itu. Ah, betapa setiap nyawa akan merasakan mati...

Setelah malam itu, saat seluruh anak-anak Om Aji sudah berkumpul, keadaan beliau membaik. Bahkan ia sempat berbicara panjang dan mengobrol dengan anak-anaknya. Hingga dua dari empat anaknya akhirnya memutuskan untuk kembali ke kota rantau masing-masing, tanpa pernah tahu bahwa itu adalah perbincangan terakhirnya dengan ayahnya.

Malam sabtu, pesan singkat itu mendarat ke ponsel saya.

“Dek, tolong tetap aktifkan hp malam ini, ya...” itu SMS dari Kak Ita, salah seorang anak Om Aji yang terus menjaganya.

Deg.

Waktu sudah menunjukkan pukul sepuluh malam. Kamar Bapak dan Mama sudah gelap. Jika ada kabar duka yang datang malam ini, saya tidak tahu bagaimana memberi tahu pada Bapak tanpa harus mengganggu tidur Mama –yang tidak bisa mendengar berita buruk yang akan semakin memperparah kondisinya.

Sambil menaikkan volume ponsel agar bisa tetap terdengar walaupun saya sudah tidur, saya hanya dapat berdoa semoga kalaupun kabar duka itu datang, saya dapat menemukan cara tepat untuk menyampaikannya pada Bapak.

Dan benar. Saya masih berada antara alam mimpi dan sadar saat saya meraih ponsel yang menunjukkan bahwa beberapa menit lalu Kak Ita menghubungi saya. Ah, sebegitu pulasnyakah tidur ini hingga suara panggilan tadi tidak terdengar? Buru-buru saya menghubungi Kak Ita dengan degup jantung yang semakin terpacu. Suara adzan subuh sayup-sayup mengalun dari menara masjid.  

“Aji sudah tidak ada, Dek. Sampaikan ke Bapak...” ujar Kak Ita di seberang sana. Saya tertegun sesaat. Sekelebat wajah Om Aji muncul di benak saya. Saya hanya dapat mengiyakan kata-kata Kak Ita setelah mengucap kalimat istirja’. Innalillahi wa inna ilaihi raji’un...

Maka hari ini, saya kembali menyaksikan bagaimana kesedihan dapat membumbung di langit-langit rumah duka. Bahwa perasaan kehilangan itu bisa menular dalam bentuk air mata, dari satu netra ke netra lainnya. Nampak oleh saya para pelayat yang datang mendoakan Om Aji dengan mata berkaca. Duduk sebentar, kemudian kembali berkaca-kaca lagi, entah tengah mengenang apa.

Betapa tidak berdayanya kita pada akhirnya. Hanya dapat terbujur kaku, tanpa nyawa. Saat kita kembali butuh bantuan orang lain untuk sekadar memandikan dan memakaikan ‘pakaian terakhir’ kita. Saat kita mendengarkan empat kali takbir saat dishalatkan. Lalu dimasukkan ke liang lahat yang sunyi dan sepi, gelap bersama hewan-hewan tanah, tanpa membawa apapun juga, kecuali amal-amal kita. Tiada yang tahu sepanjang apa masa penantian itu, hingga datangnya hari kiamat. Mungkin puluhan tahun, atau bahkan ratusan tahun, atau lebih dari itu. Lalu setelah telah ditetapkan tempat kita di akhirat, maka maut pun disembelih, dan tiada lagi kematian. Yang ada hanyalah kehidupan yang panjang, yang sejatinya adalah tujuan kita yang sebenarnya. Maka memang hanya pagi atau petang saja! Ya, hanya seolah sejenak pagi atau petang saja kita di dunia ini! Betapa singkatnya jika dibanding kehidupan akhirat!

Dan setiap perpisahan memang selalu membawa pesan bahwa tidak ada kebersamaan yang abadi di dunia. Kemungkinannya hanya dua, kita meninggalkan, atau kita ditinggalkan. Mati, satu-satunya kepastian di dalam hidup yang penuh dengan ketidakpastian ini.

Saya menatap Bapak dan saudara-saudaranya yang lain. Mereka tidak lagi seperti dulu, saat saya masih kanak-kanak. Berbagai penyakit telah datang, membuat tubuh-tubuh tegap itu tidak lagi setegap yang dulu. Nyeri di persendian, permasalahan dengan kadar ini-itu, dan berbagai gangguan penyakit lainnya yang datang menandai bertambahnya umur mereka di setiap bilangan waktu.

Kita, terkadang begitu sibuk untuk tumbuh dan berkembang dengan mimpi-mimpi kita. Mengejar ini dan itu, meski kita tahu betul semua itu tidak akan ada habisnya. Namun, kita menjadi begitu mudah lupa, perihal orang-orang yang kita cintai yang juga semakin menua. Mereka yang dulu telapak tangannya kita genggam kuat saat kita berusaha memulai langkah pertama saat belajar berjalan, kini telapak yang sama itu telah penuh keriput, dan mungkin menjadi sering memerlukan pertolongan dari kita. Mereka yang dulu menopang semangat dan hari-hari kita, kini mungkin semakin sering menopangkan dirinya agar setidaknya tidak terlampau tertatih saat berjalan bersama kita. Ah, betapa banyaknya jasa mereka, dan betapa sedikitnya kita mampu membalasnya.

Pada setiap perpisahan, kita akan mengenang kembali senyuman orang-orang yang meninggalkan kita itu, mengenang budi baik mereka, sambil bertanya dalam harap-harap cemas; seperti apa nantinya kita akan dikenang?

Makassar, 14 Februari 2015
Di hari terakhir perjumpaan dengan Om Aji Aminuddin Yasin. Innalillahi wa inna ilaihi raji’un. Allahummaghfirlahu warhamhu wa’afihi wa’fu’anhu...

Minggu, 08 Februari 2015

[Membalas Surat Cinta] Kepada Kawanku Menjalani Mimpi

Menjumpai Atria Dewi Sartika,

Terima kasih untuk surat cinta yang begitu manis itu. Aku mengaminkan semua doamu dan –di saat bersamaan, menjadi begitu getir dan malu pada semua prasangka baikmu itu. Betapa Maha Santun-nya Allah yang telah menutupi aib hamba-hambaNya seperti aku ini, sehingga masih ada kebaikan yang terlihat di luar, meski hanya secuil saja. Doakan aku bisa benar-benar sesuai dengan apa yang kau sangkakan :)

Surat itu membuatku ikut memutar kembali memori masa lalu. Err..., tidak perlu kita menyebut bilangan tahun yang sudah lewat itu, ya... Hahaha... Kau tahu, sekarang ini pasti kita berusaha untuk melakukan apapun hingga tetap merasa masih muda, bukan? Hehe...

Atria, seorang saudari yang turut dalam deretan orang-orang pertama yang di depan namanya kusematkan kata ‘ukhti’. Meski di awal, lidah kita kadang terpeleset untuk mengucap beberapa kosa kata bahasa Arab yang sering diucapkan di mushala, toh akhirnya kata-kata itu menjadi semacam pembeda tersendiri, yang tentunya memberikan kesan yang lain saat kita melafalkannya. Kesan perjuangan. Ukhti..., saudariku... Ah, betapa dalamnya makna dari kata itu. 

Kit kemudian menjadi begitu mudah merasa terkoneksi. Meski kita tahu betul, di antara kita saat itu, kebanyakan baru pertama kali bertemu di bangku putih abu-abu. Kita baru saling mengenal wajah, menghapalkan nama, namun kemudian disatukan di bawah satu atap mushala –yang dimusim penghujan kadang bocor dan membuat lantai dekat lemari alat shalat itu basah, kau ingat? 

Aku, selalu merindukan masa di mana kita berkumpul sepulang sekolah. Meski berasal dari kelas-kelas yang berbeda, kita menjadi begitu akrab karena sering berjumpa wajah dalam majelis-majelis kecil, namun syahdu itu. Aku selalu mengingat saat kita membentuk lingkaran cahaya lalu membacakan kisah para shahabat. Kadang yang membacakannya menjadi orang yang paling pertama menitikkan air mata, diikuti dengan isak tangis yang lainnya. Kita mengenang sosok-sosok manusia terbaik itu dengan penuh haru dan rindu, dan mendapati bahwa perjuangan-perjuangan yang kita lakukan di masa tersebut memang tidak sebanding dengan apa yang para shahabat Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam itu jalani. 

Betapa indahnya masa itu, ukhti... Saat hidayah kita kecap bagai tetesan-tetesan bening yang paling mula. Kita menjalaninya dengan semangat masing-masing. Itu bukan hanya tergambar dari kekata yang makin terdengar Islami, atau lambaian jilbab yang makin bertambah ukurannya dari hari ke hari. Namun juga dengan kedekatan satu sama lain, saat kita ikut menyelimuti saudari kita yang sakit, membuat bantal-bantalan dari tumpukan mukenah, memberikan pijitan kecil, dan saling mengingatkan bahwa semua akan baik-baik saja. Kita saling bernasihat dan mengingatkan dengan cara yang paling sederhana. Kita memberi selamat pada ia yang berhasil dengan pencapaian-pencapaian dakwahnya, dan memberi semangat untuk yang sedang turun ghirah-nya, atau yang sedang tertumbuk dengan penghalang-penghalang di jalan cahaya. 

Lalu selayaknya setiap perjumpaan, kita pun bertemu dengan titik di mana kita menjadi tidak bisa lagi sering bertemu. Masa SMA telah berakhir dan kita terpisah-pisah ke tempat kita menjemput mimpi dan melanjutkan perjalanan masing-masing. Kita menjadi saling berjarak, memang. Tapi, hati kita tidak. Sebab siapa pula yang sanggup mengubah masa lalu? Selama keimanan masih ada di dalam dada kita, maka selama itu pula ukhuwah itu akan terus ada. Kau akan tetap menjadi ukhti bagiku, dan kuharap demikian pula sebaliknya :’) 

Dan waktu berlalu dengan caranya sendiri. Kini kita mendapati bahwa masing-masing kita sudah berada di kehidupan yang dulu kita sebut sebagai ‘masa depan’. Kita masih akan terus bergulat dengan masa, hingga nanti akan tiba di masa depan-masa depan berikutnya. Dan di antara waktu tersebut, kita merangkai mimpi-mimpi kita, dan meretas jalan untuk menuju ke arahnya. 

Maka, ya, dunia menulis itu, adalah dunia yang selalu terasa menyenangkan saat kubagi denganmu. Sejak dulu, hingga kini. Tentang buku hasil buah tanganku yang kini sudah bisa melanglang buana ke mana-mana –termasuk ke tempatmu merantau sekarang, juga tentu tidak lepas dari peranmu, ukhti. Ya, sebab bersamamu dulu kubagi mimpi dan semangat itu. Bersamamu dulu kita membangun semangat bersama, mungkin sesekali berkompetisi dan berusaha menjadi lebih baik dari yang lain, tapi kita pun tahu, bahwa perihal rezeki yang sudah ditetapkan Allah, kita tentu tidak akan saling berebut. Tahukah kau betapa bangganya aku bisa menyebut dirimu sebagai kawan lama, seorang blogger buku yang aktif dan akrab dengan begitu banyak penulis di seantero negeri ini? Ah, bahkan mungkin lampu sorot yang mengarah padamu jauh lebih terang, Atria. Hehehe... 

Dan aku terlalu percaya bahwa tidak akan terlalu lama menunggu waktu untuk bisa menimang buku yang di dalamnya ada namamu. Maka kini, kita bukan hanya sekadar sepasang kawan yang saling membagi mimpi, tapi justru tengah menjalaninya! Dan menjalani mimpi itu tentu bukan dengan tetap tinggal di ranjang dalam buaian tidur kita, bukan? Tapi justru dengan terus belajar bersama, terus bertumbuh, terus berbenah, sambil terus membenarkan niat-niat kita dalam menempuh ‘jalan kata’ ini. 

Lalu sebab niat memang menjadi titik utama yang menentukan setiap amalan, maka mari kita memastikan satu hal perihal jemari kita yang akan terus berusaha untuk tidak berhenti berkata-kata; bahwa itu semua kita lakukan bukan hanya sekadar untuk memperjuangkan nama kita bisa berdengung di jagad perbukuan, atau ikut serta dalam hingar-bingar dunia media. Tapi, sebab kita telah sama-sama memahami, sebagaimana yang dulu kita pelajari di taman-taman surga itu, semua yang kita lakukan kini, apapun yang kita tuliskan kini, dan segala yang kita upayakan kini, hanya untuk menghadap ridhaNya. Mengharap balasan kebaikan dari Allah. Bukan begitu, ukhti? 

Maka kutuliskan ini dengan teriring doa kebaikan untukmu. Semoga Allah selalu merahmati setiap potensi yang ada padamu, memberkahi setiap nikmat yang diberikanNya untukmu. Semoga kita semua tetap istiqamah hingga hembusan napas yang paling akhir, hingga dapat berjumpa kembali di tempat yang dijanjikanNya. Di atas mimbar-mimbar cahaya, dicemburui para nabi dan syuhada, tersebab apa yang kita rasakan saat masih di dunia. Maka kupilih satu deret kata sebagai penutup surat cinta ini, kata-kata yang dulu pernah kuucapkan padamu, dan tidak akan pernah bosan kuulang, insya Allah sampai kapanpun; ukhti Atria, uhibbuki fillah.

Saudarimu karena Allah,
Diena Rifa’ah