Minggu, 08 Februari 2015

[Membalas Surat Cinta] Kepada Kawanku Menjalani Mimpi

Menjumpai Atria Dewi Sartika,

Terima kasih untuk surat cinta yang begitu manis itu. Aku mengaminkan semua doamu dan –di saat bersamaan, menjadi begitu getir dan malu pada semua prasangka baikmu itu. Betapa Maha Santun-nya Allah yang telah menutupi aib hamba-hambaNya seperti aku ini, sehingga masih ada kebaikan yang terlihat di luar, meski hanya secuil saja. Doakan aku bisa benar-benar sesuai dengan apa yang kau sangkakan :)

Surat itu membuatku ikut memutar kembali memori masa lalu. Err..., tidak perlu kita menyebut bilangan tahun yang sudah lewat itu, ya... Hahaha... Kau tahu, sekarang ini pasti kita berusaha untuk melakukan apapun hingga tetap merasa masih muda, bukan? Hehe...

Atria, seorang saudari yang turut dalam deretan orang-orang pertama yang di depan namanya kusematkan kata ‘ukhti’. Meski di awal, lidah kita kadang terpeleset untuk mengucap beberapa kosa kata bahasa Arab yang sering diucapkan di mushala, toh akhirnya kata-kata itu menjadi semacam pembeda tersendiri, yang tentunya memberikan kesan yang lain saat kita melafalkannya. Kesan perjuangan. Ukhti..., saudariku... Ah, betapa dalamnya makna dari kata itu. 

Kit kemudian menjadi begitu mudah merasa terkoneksi. Meski kita tahu betul, di antara kita saat itu, kebanyakan baru pertama kali bertemu di bangku putih abu-abu. Kita baru saling mengenal wajah, menghapalkan nama, namun kemudian disatukan di bawah satu atap mushala –yang dimusim penghujan kadang bocor dan membuat lantai dekat lemari alat shalat itu basah, kau ingat? 

Aku, selalu merindukan masa di mana kita berkumpul sepulang sekolah. Meski berasal dari kelas-kelas yang berbeda, kita menjadi begitu akrab karena sering berjumpa wajah dalam majelis-majelis kecil, namun syahdu itu. Aku selalu mengingat saat kita membentuk lingkaran cahaya lalu membacakan kisah para shahabat. Kadang yang membacakannya menjadi orang yang paling pertama menitikkan air mata, diikuti dengan isak tangis yang lainnya. Kita mengenang sosok-sosok manusia terbaik itu dengan penuh haru dan rindu, dan mendapati bahwa perjuangan-perjuangan yang kita lakukan di masa tersebut memang tidak sebanding dengan apa yang para shahabat Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam itu jalani. 

Betapa indahnya masa itu, ukhti... Saat hidayah kita kecap bagai tetesan-tetesan bening yang paling mula. Kita menjalaninya dengan semangat masing-masing. Itu bukan hanya tergambar dari kekata yang makin terdengar Islami, atau lambaian jilbab yang makin bertambah ukurannya dari hari ke hari. Namun juga dengan kedekatan satu sama lain, saat kita ikut menyelimuti saudari kita yang sakit, membuat bantal-bantalan dari tumpukan mukenah, memberikan pijitan kecil, dan saling mengingatkan bahwa semua akan baik-baik saja. Kita saling bernasihat dan mengingatkan dengan cara yang paling sederhana. Kita memberi selamat pada ia yang berhasil dengan pencapaian-pencapaian dakwahnya, dan memberi semangat untuk yang sedang turun ghirah-nya, atau yang sedang tertumbuk dengan penghalang-penghalang di jalan cahaya. 

Lalu selayaknya setiap perjumpaan, kita pun bertemu dengan titik di mana kita menjadi tidak bisa lagi sering bertemu. Masa SMA telah berakhir dan kita terpisah-pisah ke tempat kita menjemput mimpi dan melanjutkan perjalanan masing-masing. Kita menjadi saling berjarak, memang. Tapi, hati kita tidak. Sebab siapa pula yang sanggup mengubah masa lalu? Selama keimanan masih ada di dalam dada kita, maka selama itu pula ukhuwah itu akan terus ada. Kau akan tetap menjadi ukhti bagiku, dan kuharap demikian pula sebaliknya :’) 

Dan waktu berlalu dengan caranya sendiri. Kini kita mendapati bahwa masing-masing kita sudah berada di kehidupan yang dulu kita sebut sebagai ‘masa depan’. Kita masih akan terus bergulat dengan masa, hingga nanti akan tiba di masa depan-masa depan berikutnya. Dan di antara waktu tersebut, kita merangkai mimpi-mimpi kita, dan meretas jalan untuk menuju ke arahnya. 

Maka, ya, dunia menulis itu, adalah dunia yang selalu terasa menyenangkan saat kubagi denganmu. Sejak dulu, hingga kini. Tentang buku hasil buah tanganku yang kini sudah bisa melanglang buana ke mana-mana –termasuk ke tempatmu merantau sekarang, juga tentu tidak lepas dari peranmu, ukhti. Ya, sebab bersamamu dulu kubagi mimpi dan semangat itu. Bersamamu dulu kita membangun semangat bersama, mungkin sesekali berkompetisi dan berusaha menjadi lebih baik dari yang lain, tapi kita pun tahu, bahwa perihal rezeki yang sudah ditetapkan Allah, kita tentu tidak akan saling berebut. Tahukah kau betapa bangganya aku bisa menyebut dirimu sebagai kawan lama, seorang blogger buku yang aktif dan akrab dengan begitu banyak penulis di seantero negeri ini? Ah, bahkan mungkin lampu sorot yang mengarah padamu jauh lebih terang, Atria. Hehehe... 

Dan aku terlalu percaya bahwa tidak akan terlalu lama menunggu waktu untuk bisa menimang buku yang di dalamnya ada namamu. Maka kini, kita bukan hanya sekadar sepasang kawan yang saling membagi mimpi, tapi justru tengah menjalaninya! Dan menjalani mimpi itu tentu bukan dengan tetap tinggal di ranjang dalam buaian tidur kita, bukan? Tapi justru dengan terus belajar bersama, terus bertumbuh, terus berbenah, sambil terus membenarkan niat-niat kita dalam menempuh ‘jalan kata’ ini. 

Lalu sebab niat memang menjadi titik utama yang menentukan setiap amalan, maka mari kita memastikan satu hal perihal jemari kita yang akan terus berusaha untuk tidak berhenti berkata-kata; bahwa itu semua kita lakukan bukan hanya sekadar untuk memperjuangkan nama kita bisa berdengung di jagad perbukuan, atau ikut serta dalam hingar-bingar dunia media. Tapi, sebab kita telah sama-sama memahami, sebagaimana yang dulu kita pelajari di taman-taman surga itu, semua yang kita lakukan kini, apapun yang kita tuliskan kini, dan segala yang kita upayakan kini, hanya untuk menghadap ridhaNya. Mengharap balasan kebaikan dari Allah. Bukan begitu, ukhti? 

Maka kutuliskan ini dengan teriring doa kebaikan untukmu. Semoga Allah selalu merahmati setiap potensi yang ada padamu, memberkahi setiap nikmat yang diberikanNya untukmu. Semoga kita semua tetap istiqamah hingga hembusan napas yang paling akhir, hingga dapat berjumpa kembali di tempat yang dijanjikanNya. Di atas mimbar-mimbar cahaya, dicemburui para nabi dan syuhada, tersebab apa yang kita rasakan saat masih di dunia. Maka kupilih satu deret kata sebagai penutup surat cinta ini, kata-kata yang dulu pernah kuucapkan padamu, dan tidak akan pernah bosan kuulang, insya Allah sampai kapanpun; ukhti Atria, uhibbuki fillah.

Saudarimu karena Allah,
Diena Rifa’ah

1 komentar:

  1. Terima kasih untuk suratnya yang indah.
    Amin...amin..amin untuk setiap do'a yang terjejak di sini

    BalasHapus

Terima kasih sudah berkunjung. Jika kamu berkenan meninggalkan jejak di kolom komentar, lebih baik lagi :)