Menjumpai Atria Dewi Sartika,
Terima kasih untuk surat cinta yang begitu manis itu. Aku mengaminkan semua
doamu dan –di saat bersamaan, menjadi begitu getir dan malu pada semua
prasangka baikmu itu. Betapa Maha Santun-nya Allah yang telah menutupi aib
hamba-hambaNya seperti aku ini, sehingga masih ada kebaikan yang terlihat di
luar, meski hanya secuil saja. Doakan aku bisa benar-benar sesuai dengan apa
yang kau sangkakan :)
Surat itu membuatku ikut memutar kembali memori masa lalu. Err..., tidak
perlu kita menyebut bilangan tahun yang sudah lewat itu, ya... Hahaha... Kau
tahu, sekarang ini pasti kita berusaha untuk melakukan apapun hingga tetap
merasa masih muda, bukan? Hehe...
Atria, seorang saudari yang turut dalam deretan orang-orang pertama yang di
depan namanya kusematkan kata ‘ukhti’. Meski di awal, lidah kita kadang
terpeleset untuk mengucap beberapa kosa kata bahasa Arab yang sering diucapkan
di mushala, toh akhirnya kata-kata itu menjadi semacam pembeda tersendiri, yang
tentunya memberikan kesan yang lain saat kita melafalkannya. Kesan perjuangan. Ukhti...,
saudariku... Ah, betapa dalamnya makna dari kata itu.
Kit kemudian menjadi begitu mudah merasa terkoneksi. Meski kita tahu betul,
di antara kita saat itu, kebanyakan baru pertama kali bertemu di bangku putih
abu-abu. Kita baru saling mengenal wajah, menghapalkan nama, namun kemudian
disatukan di bawah satu atap mushala –yang dimusim penghujan kadang bocor dan
membuat lantai dekat lemari alat shalat itu basah, kau ingat?
Aku, selalu merindukan masa di mana kita berkumpul sepulang sekolah. Meski
berasal dari kelas-kelas yang berbeda, kita menjadi begitu akrab karena sering
berjumpa wajah dalam majelis-majelis kecil, namun syahdu itu. Aku selalu
mengingat saat kita membentuk lingkaran cahaya lalu membacakan kisah para
shahabat. Kadang yang membacakannya menjadi orang yang paling pertama menitikkan
air mata, diikuti dengan isak tangis yang lainnya. Kita mengenang sosok-sosok
manusia terbaik itu dengan penuh haru dan rindu, dan mendapati bahwa
perjuangan-perjuangan yang kita lakukan di masa tersebut memang tidak sebanding
dengan apa yang para shahabat Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam itu
jalani.
Betapa indahnya masa itu, ukhti... Saat hidayah kita kecap bagai
tetesan-tetesan bening yang paling mula. Kita menjalaninya dengan semangat
masing-masing. Itu bukan hanya tergambar dari kekata yang makin terdengar
Islami, atau lambaian jilbab yang makin bertambah ukurannya dari hari ke hari.
Namun juga dengan kedekatan satu sama lain, saat kita ikut menyelimuti saudari
kita yang sakit, membuat bantal-bantalan dari tumpukan mukenah, memberikan
pijitan kecil, dan saling mengingatkan bahwa semua akan baik-baik saja. Kita
saling bernasihat dan mengingatkan dengan cara yang paling sederhana. Kita
memberi selamat pada ia yang berhasil dengan pencapaian-pencapaian dakwahnya,
dan memberi semangat untuk yang sedang turun ghirah-nya, atau yang sedang tertumbuk dengan penghalang-penghalang
di jalan cahaya.
Lalu selayaknya setiap perjumpaan, kita pun bertemu dengan titik di mana
kita menjadi tidak bisa lagi sering bertemu. Masa SMA telah berakhir dan kita
terpisah-pisah ke tempat kita menjemput mimpi dan melanjutkan perjalanan
masing-masing. Kita menjadi saling berjarak, memang. Tapi, hati kita tidak.
Sebab siapa pula yang sanggup mengubah masa lalu? Selama keimanan masih ada di
dalam dada kita, maka selama itu pula ukhuwah itu akan terus ada. Kau akan
tetap menjadi ukhti bagiku, dan kuharap demikian pula sebaliknya :’)
Dan waktu berlalu dengan caranya sendiri. Kini kita mendapati bahwa
masing-masing kita sudah berada di kehidupan yang dulu kita sebut sebagai ‘masa
depan’. Kita masih akan terus bergulat dengan masa, hingga nanti akan tiba di
masa depan-masa depan berikutnya. Dan di antara waktu tersebut, kita merangkai
mimpi-mimpi kita, dan meretas jalan untuk menuju ke arahnya.
Maka, ya, dunia menulis itu, adalah dunia yang selalu terasa menyenangkan
saat kubagi denganmu. Sejak dulu, hingga kini. Tentang buku hasil buah tanganku
yang kini sudah bisa melanglang buana ke mana-mana –termasuk ke tempatmu
merantau sekarang, juga tentu tidak lepas dari peranmu, ukhti. Ya, sebab
bersamamu dulu kubagi mimpi dan semangat itu. Bersamamu dulu kita membangun
semangat bersama, mungkin sesekali berkompetisi dan berusaha menjadi lebih baik
dari yang lain, tapi kita pun tahu, bahwa perihal rezeki yang sudah ditetapkan
Allah, kita tentu tidak akan saling berebut. Tahukah kau betapa bangganya aku
bisa menyebut dirimu sebagai kawan lama, seorang blogger buku yang aktif dan
akrab dengan begitu banyak penulis di seantero negeri ini? Ah, bahkan mungkin
lampu sorot yang mengarah padamu jauh lebih terang, Atria. Hehehe...
Dan aku terlalu percaya bahwa tidak akan terlalu lama menunggu waktu untuk
bisa menimang buku yang di dalamnya ada namamu. Maka kini, kita bukan hanya
sekadar sepasang kawan yang saling membagi mimpi, tapi justru tengah
menjalaninya! Dan menjalani mimpi itu tentu bukan dengan tetap tinggal di ranjang dalam buaian tidur kita, bukan? Tapi justru dengan terus belajar
bersama, terus bertumbuh, terus berbenah, sambil terus membenarkan niat-niat
kita dalam menempuh ‘jalan kata’ ini.
Lalu sebab niat memang menjadi titik utama yang menentukan setiap amalan, maka
mari kita memastikan satu hal perihal jemari kita yang akan terus berusaha
untuk tidak berhenti berkata-kata; bahwa itu semua kita lakukan bukan hanya
sekadar untuk memperjuangkan nama kita bisa berdengung di jagad perbukuan, atau
ikut serta dalam hingar-bingar dunia media. Tapi, sebab kita telah sama-sama
memahami, sebagaimana yang dulu kita pelajari di taman-taman surga itu, semua
yang kita lakukan kini, apapun yang kita tuliskan kini, dan segala yang kita
upayakan kini, hanya untuk menghadap ridhaNya. Mengharap balasan kebaikan dari
Allah. Bukan begitu, ukhti?
Maka kutuliskan ini dengan teriring doa kebaikan untukmu. Semoga Allah
selalu merahmati setiap potensi yang ada padamu, memberkahi setiap nikmat yang
diberikanNya untukmu. Semoga kita semua tetap istiqamah hingga hembusan napas
yang paling akhir, hingga dapat berjumpa kembali di tempat yang dijanjikanNya.
Di atas mimbar-mimbar cahaya, dicemburui para nabi dan syuhada, tersebab apa
yang kita rasakan saat masih di dunia. Maka kupilih satu deret kata sebagai
penutup surat cinta ini, kata-kata yang dulu pernah kuucapkan padamu, dan tidak
akan pernah bosan kuulang, insya Allah sampai kapanpun; ukhti Atria, uhibbuki fillah.
Saudarimu karena Allah,
Diena Rifa’ah
Terima kasih untuk suratnya yang indah.
BalasHapusAmin...amin..amin untuk setiap do'a yang terjejak di sini