Selasa, 27 Januari 2015

Menuju Bahagia

Dik, apa itu kebahagiaan?

Sebab hingga habis umur kita, dan lelah tubuh kita, sepertinya kita memang terus hidup untuk mengejarnya. Maka sebelum terlalu jauh kita melangkah mencari, bagaimana jika kita mulai untuk menemukan pengertiannya dahulu. Agar tidak salah langkah kita, dan tidak terbuang waktu kita.

Kita terkadang memaknai bahagia sebagai sesuatu yang indah-indah saja, atau saat kita mampu mengecap yang nikmat-nikmat saja. Padahal seringkali, tidak seperti itu, Dik. Sebab kebahagiaan itu, terkadang menyempil di antara hal yang lain yang bertolak belakang dengannya.

Pernahkah kau melihat seorang wanita seba’da ia melahirkan anaknya? Proses yang ia jalani itu, bukankah teramat berat? Kita belum berhitung perihal sembilan bulan yang ia jalani sebelumnya. Yang konon tidak menyisakan ruang tanpa lelah. Baik saat berdiri, tidur, pun saat berbaring. Seperti membawa beban yang semakin hari semakin memberatkan, yang tentu tak mungkin untuk diletakkan barang sebentar saja. Belum lagi segala mual, muntah, dan perasaan tak enak lainnya yang datang bersama dengan masa kehamilan itu. Lalu berlanjut dengan proses melahirkan. Mari kita bayangkan saja kejadian itu, Dik. Bayangkan betapa beratnya. Saat seorang manusia seolah harus menanggalkan sisi manusiawinya yang tak suka dengan rasa sakit dan derita. Ia berdiri dengan satu kaki begitu dekat dengan ajal dan kaki lainnya berpijak pada kehidupan. Seperti dibetot seluruh urat hingga rasa sakit pun memuncak. Tersobeklah kulit, tertumpahlah darah, terangkailah semua rasa perih yang bercampur peluh dan air mata. Namun perhatikanlah setelah itu, Dik.

Saat suara tangis dari seorang manusia kecil pecah di tengah keheningan yang menegangkan sebelumnya. Mari kita mengarahkan pandang pada wajah sang wanita yang baru saja menunaikan tugas pertamanya sebagai ibunda. Tangis tadi kini berganti dengan senyuman. Mungkin perih itu masih ada, namun tetap ia memeluk erat buah hatinya dengan bahagia. Ya, dengan bahagia. Bahkan meski masa selanjutnya bukannya tak sesulit mengandung dan melahirkan. Namun sang ibu akan selalu bahagia dengan kehadiran buah hatinya.

Lalu mari kita menengok pada orang-orang terdahulu yang shalih itu. Pada para shahabat Rasul yang ridha kepada Allah dan Allah ridha kepada mereka. Kita mengenang beberapa nama yang telah meninggal sebelum peristiwa hijrah. Mereka yang tidak sempat merasakan bangkitnya kaum muslimin pada masa setelahnya. Mereka meregang nyawa dengan didera berbagai siksaan. Mereka mempertahankan keyakinannya dengan menanggung rasa sakit hingga menemui syahid. Sungguh terlihat begitu sedih dan memiriskan. Namun, apakah demikian adanya, Dik? Apakah kita kemudian tidak patut cemburu pada apa yang dijanjikan kepada mereka? Adalah surga yang mengalir sungai-sungai di bawahnya. Itulah yang mereka kejar dan cari dengan mengorbankan semua yang bisa mereka korbankan. Ya, mereka mengejar kebahagiaan yang tiada lagi akhirnya.

Maka pada setiap pencapaian kita, kita selalu patut bertanya; apa yang sebenarnya sedang kita kejar? Pada setiap perjuangan yang kita usahakan kebaikannya, yang kita jalani hingga titik akhirnya, dan kita ikhtiarkan untuk menggapai puncaknya; apa yang sebenarnya sedang kita cari? Atau mari kita menelisik pada setiap nikmat yang kita miliki kini –yang tidak terhitung oleh berapapun angka yang kita punya itu; setiap darah yang mengalir pada pembuluh, setiap udara yang beredar pada sistem pernapasan, untuk setiap organ yang bekerja sesuai fungsinya, pada setiap makanan dan minuman yang tidak pernah kita khawatirkan ketersediaannya, untuk semua orang yang kita cintai dan mencintai kita; adakah kita telah mensyukurinya, hingga akhirnya kita bisa mendefinisikannya sebagai salah satu alasan untuk menjadi bahagia?

Lalu pada akhirnya kita mengerti; perihal kebahagiaan yang hakiki itu adalah saat kita bisa mencapai puncak yang kini terus berusaha kita daki. Ia tidak hanya kita capai hanya saat kita berhasil mendapatkan titel apapun, tidak juga saat kita bisa menggapai karir yang kita cita-citakan, bukan pula hanya karena kita bisa memiliki rumah yang indah atau jabatan yang paling tertinggi. Ya, hidup ini tidak hanya tentang itu. Kita paham puncak itu bukan di sana. Tapi, ia baru dapat sejatinya kita gapai saat kaki ini benar-benar telah melangkah di dalam surga, dan kita dapat menatap keindahannya dengan mata kepala kita. Selama itu belum kita temukan, maka kita belum berada di puncak. Maka, sepanjang hembusan napas kita, selama itulah kita terus berjuang untuk menujunya. Menuju bahagia yang sebenarnya.

Teruntuk seorang adik yang tengah berbahagia,
Semoga Allah memberkahi setiap pencapaianmu. 
Makassar, 27 Januari 2015

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih sudah berkunjung. Jika kamu berkenan meninggalkan jejak di kolom komentar, lebih baik lagi :)