Dik, apa itu kebahagiaan?
Sebab hingga habis umur
kita, dan lelah tubuh kita, sepertinya kita memang terus hidup untuk
mengejarnya. Maka sebelum terlalu jauh kita melangkah mencari, bagaimana jika
kita mulai untuk menemukan pengertiannya dahulu. Agar tidak salah langkah kita,
dan tidak terbuang waktu kita.
Kita terkadang memaknai
bahagia sebagai sesuatu yang indah-indah saja, atau saat kita mampu mengecap
yang nikmat-nikmat saja. Padahal seringkali, tidak seperti itu, Dik. Sebab
kebahagiaan itu, terkadang menyempil di antara hal yang lain yang bertolak
belakang dengannya.
Pernahkah kau melihat seorang
wanita seba’da ia melahirkan anaknya? Proses yang ia jalani itu, bukankah
teramat berat? Kita belum berhitung perihal sembilan bulan yang ia jalani
sebelumnya. Yang konon tidak menyisakan ruang tanpa lelah. Baik saat berdiri,
tidur, pun saat berbaring. Seperti membawa beban yang semakin hari semakin
memberatkan, yang tentu tak mungkin untuk diletakkan barang sebentar saja.
Belum lagi segala mual, muntah, dan perasaan tak enak lainnya yang datang
bersama dengan masa kehamilan itu. Lalu berlanjut dengan proses melahirkan.
Mari kita bayangkan saja kejadian itu, Dik. Bayangkan betapa beratnya. Saat
seorang manusia seolah harus menanggalkan sisi manusiawinya yang tak suka
dengan rasa sakit dan derita. Ia berdiri dengan satu kaki begitu dekat dengan
ajal dan kaki lainnya berpijak pada kehidupan. Seperti dibetot seluruh urat
hingga rasa sakit pun memuncak. Tersobeklah kulit, tertumpahlah darah,
terangkailah semua rasa perih yang bercampur peluh dan air mata. Namun
perhatikanlah setelah itu, Dik.
Saat suara tangis dari
seorang manusia kecil pecah di tengah keheningan yang menegangkan sebelumnya.
Mari kita mengarahkan pandang pada wajah sang wanita yang baru saja menunaikan
tugas pertamanya sebagai ibunda. Tangis tadi kini berganti dengan senyuman.
Mungkin perih itu masih ada, namun tetap ia memeluk erat buah hatinya dengan
bahagia. Ya, dengan bahagia. Bahkan meski masa selanjutnya bukannya tak sesulit
mengandung dan melahirkan. Namun sang ibu akan selalu bahagia dengan kehadiran
buah hatinya.
Lalu mari kita menengok
pada orang-orang terdahulu yang shalih itu. Pada para shahabat Rasul yang ridha
kepada Allah dan Allah ridha kepada mereka. Kita mengenang beberapa nama yang
telah meninggal sebelum peristiwa hijrah. Mereka yang tidak sempat merasakan
bangkitnya kaum muslimin pada masa setelahnya. Mereka meregang nyawa dengan
didera berbagai siksaan. Mereka mempertahankan keyakinannya dengan menanggung
rasa sakit hingga menemui syahid. Sungguh terlihat begitu sedih dan memiriskan.
Namun, apakah demikian adanya, Dik? Apakah kita kemudian tidak patut cemburu
pada apa yang dijanjikan kepada mereka? Adalah surga yang mengalir
sungai-sungai di bawahnya. Itulah yang mereka kejar dan cari dengan
mengorbankan semua yang bisa mereka korbankan. Ya, mereka mengejar kebahagiaan
yang tiada lagi akhirnya.
Maka pada setiap pencapaian
kita, kita selalu patut bertanya; apa yang sebenarnya sedang kita kejar? Pada
setiap perjuangan yang kita usahakan kebaikannya, yang kita jalani hingga titik
akhirnya, dan kita ikhtiarkan untuk menggapai puncaknya; apa yang sebenarnya
sedang kita cari? Atau mari kita menelisik pada setiap nikmat yang kita miliki
kini –yang tidak terhitung oleh berapapun angka yang kita punya itu; setiap
darah yang mengalir pada pembuluh, setiap udara yang beredar pada sistem
pernapasan, untuk setiap organ yang bekerja sesuai fungsinya, pada setiap
makanan dan minuman yang tidak pernah kita khawatirkan ketersediaannya, untuk
semua orang yang kita cintai dan mencintai kita; adakah kita telah
mensyukurinya, hingga akhirnya kita bisa mendefinisikannya sebagai salah satu
alasan untuk menjadi bahagia?
Lalu pada akhirnya kita
mengerti; perihal kebahagiaan yang hakiki itu adalah saat kita bisa mencapai
puncak yang kini terus berusaha kita daki. Ia tidak hanya kita capai hanya saat
kita berhasil mendapatkan titel apapun, tidak juga saat kita bisa menggapai
karir yang kita cita-citakan, bukan pula hanya karena kita bisa memiliki rumah
yang indah atau jabatan yang paling tertinggi. Ya, hidup ini tidak hanya
tentang itu. Kita paham puncak itu bukan di sana. Tapi, ia baru dapat sejatinya
kita gapai saat kaki ini benar-benar telah melangkah di dalam surga, dan kita
dapat menatap keindahannya dengan mata kepala kita. Selama itu belum kita
temukan, maka kita belum berada di puncak. Maka, sepanjang hembusan napas kita,
selama itulah kita terus berjuang untuk menujunya. Menuju bahagia yang
sebenarnya.
Teruntuk seorang adik yang tengah berbahagia,
Semoga Allah memberkahi setiap pencapaianmu.
Makassar, 27 Januari 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih sudah berkunjung. Jika kamu berkenan meninggalkan jejak di kolom komentar, lebih baik lagi :)