Langit menjelma kelabu. Awan-awan mendung nampak berarak pelan memenuhi ruang pandang di angkasa. Sesekali terdengar suara gemuruh, dan hembusan angin berhawa dingin. Rintik mulai turun satu per satu. Seolah telah begitu rindu bertemu dengan tanah yang sempat mengering oleh kemarau. Tetesan yang semakin intens itu menguarkan aroma khas musim penghujan. Hujan kembali turun, menyapa semua semburat senyum yang muncul dari mereka yang menanti kedatangannya.
Beberapa orang mengaku menyukai hujan. Yang lainnya menganggap hujan adalah salah satu peristiwa alam yang sentimentil dan menjadi kawan serasi bersama puisi atau secangkir kopi. Selebihnya, masih terus meyakini bahwa saat hujan adalah masa yang istimewa, sebab padanya terdapat pengabulan doa-doa.
Ada pula yang mungkin menganggap hujan adalah gangguan. Perjalanan yang menjadi lebih ruwet akibat jalanan yang basah atau cipratan becek membuat mereka tidak merasa nyaman. Dan payung seolah tak pernah cukup untuk menahan segala keluhan itu. Sementara ada juga yang menjadi gusar hatinya akibat jemuran yang tak kunjung kering atau janji pertemuan yang harus dibatalkan akibat hujan yang turun telah berhasil menahan langkahnya.
“Dan Dialah yang meniupkan angin sebagai pembawa berita gembira sebelum kedatangan rahmat-Nya (hujan); hingga apabila angin itu telah membawa awan mendung, Kami halau ke suatu daerah yang tandus, lalu Kami turunkan hujan di daerah itu, maka Kami keluarkan dengan sebab hujan itu pelbagai macam buah-buahan. Seperti itulah Kami membangkitkan orang-orang yang telah mati, mudah-mudahan kamu mengambil pelajaran.’ (QS. Al A’raf [7]:57)
Padahal hujan adalah rahmat. Ya, sebuah bentuk kasih sayang Allah. Masa di mana kita patutnya mengambil pelajaran untuk semakin kenal kepadaNya, yang telah menakdirkan turunnya hujan.
Tidakkah kita melihat hujan yang turun dalam bentuk bulir-bulir air itu. Tetesan-tetesannya membasahi bumi setelah kering. Ia menyirami kita dengan begitu lembut, memperlihatkan Kemahalembutan Allah, Rabbul ‘alamin. Bagaimana pula kiranya hujan diturunkan bagaikan guyuran air dari ember dalam jumlah yang begitu besar? Tentu kita semua akan binasa karenanya. Tentu tak ada lagi yang berani bermain-main di bawahnya. Tapi Allah menyayangi kita, dan Dia menurunkan tetesan-tetesan hujan, yang dengannya kita mengeja sifatnya yang Maha Penyayang.
Saat hujan turun dengan derasnya di tanah yang tandus, maka terjadilah bencana. Dan tentu Allah pula yang paling tahu, kepada apa, serta kepada siapa hal semacam itu patut ditimpakan. Sedangkan kita tidak memiliki ilmu tentang itu melainkan hanya sedikit saja.
Pada setiap rintik hujan, kita mendapati betapa lemahnya kita sebagai seorang hamba. Sekiranya Allah menahan hujan ini untuk tidak turun dalam setahun saja, maka betapa sengsaranya kita. Tanah akan kering. Pepohonan pun hanya dapat menyisakan daun-daun yang meranggas, gugur. Hewan-hewan juga tak punya lagi sumber air, sehingga kita pun tak mampu lagi memanfaatkannya untuk kehidupan kita. Maka Allah memperkenalkan dirinya pada setiap turunnya hujan. Betapa kuasanya Ia untuk menurunkan hujan yang menumbuhkan tanam-tanaman, menghidupkan bumi setelah matinya, dan menjadi rahmat bagi semua makhlukNya. Di sana kita membaca tanda-tanda kekuasaanNya atas langit dan bumi dan segala yang ada diantara keduanya.
Perhatikanlah air hujan itu. Ia tidak dicipta berwarna semerah darah. Tidak pula berasa asin dan tidak juga terasa panas. Namun atas izin Allah, Dia menciptakan hujan dengan apa yang kita kenal kini, bening dan tawar, sesuai dengan kebutuhan setiap makhlukNya.
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka.” (QS. Ali Imran [3]:190-191)
Ya, tiada yang tercipta dengan sia-sia. Begitu pun dengan peristiwa hujan. Hujan yang disertai dengan guntur dan kilat yang menyambar itu, seolah ingin memperlihatkan kepada kita betapa tidak mampunya kita mengadakan sesuatu yang serupa dengannya. Kita bahkan tak mampu menciptakan setetes air pun. Kita tak bisa membuat deru guntur yang menyambar itu. Lalu, mengapa kita bisa menjadi begitu sombong dengan menyembah selain Allah? Atau menjadi begitu berani untuk lalai dari perintah dan laranganNya?
“Inilah ciptaan Allah, maka perlihatkanlah olehmu kepadaku apa yang telah diciptakan oleh sembahan-sembahan(mu) selain Allah. Sebenarnya orang- orang yang zalim itu berada di dalam kesesatan yang nyata.” (QS. Luqman:11)
Sebab bukan matahari yang menciptakan hujan. Bukan pula rembulan atau gemintang. Tidak juga dengan tuhan-tuhan selain Allah. Hanya Allah saja yang sanggup untuk menurunkan hujan dari langit. Maka mengapa kita beribadah kepada selainNya? Mengapa bisa kita lebih menuhankan hawa nafsu kita?
“Dialah yang menjadikan bumi sebagai hamparan bagimu dan langit sebagai atap, dan Dia menurunkan air (hujan) dari langit, lalu Dia menghasilkan dengan hujan itu segala buah-buahan sebagai rezki untukmu; karena itu janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah, padahal kamu mengetahui. “ (QS. Al Baqarah [2]:22)
Bahkan guruh guntur pun bertasbih memuji Allah. Diantara keperkasaannya di langit yang kerap membuat kita menutup telinga atau berlindung di tempat yang aman, terdapat tanda kekuasaanNya yang sejatinya pun senantiasa mengagungkanNya dan taat hanya kepadaNya. Allah, dapat dengan mudah menyambarkan guntur itu, lalu binasalah kita. Allah dapat dengan mudah menakdirkan segala sesuatu terjadi atas diri kita. Lalu mengapa kita masih sanggup untuk menyobongkan diri, seolah tak takut padaNya, dan lalai dari memujiNya?
“Dan guruh itu bertasbih dengan memuji Allah, (demikian pula) para malaikat karena takut kepada-Nya, dan Allah melepaskan halilintar, lalu menimpakannya kepada siapa yang Dia kehendaki, dan mereka berbantah-bantahan tentang Allah, dan Dia-lah Tuhan Yang Maha keras siksa-Nya.” (QS.Ar Ra’d [13]:13)
Semoga kita menjadi orang-orang yang dapat selalu membaca bentangan ayat-ayatNya di muka bumi. Menjadikan setiap ciptaanNya sebagai jalan kita untuk semakin mengenal Allah. Menahan semua keluh dan perasaan tidak terima atas ketetapanNya. Sebab pada setiap rintik, kita dapat merasakan kasih sayang, kelembutan, dan kekuasaanNya. Tapi, sudahkah kita menjadi orang-orang yang berpikir?
Makassar, 19 Januari 2015
Masih diantara bunyi tetesan hujan di atas genting :)
Ditulis sebagai bentuk catatan setelah menyimak ceramah singkat 'Nikmat Hujan' oleh Ust. Abu Yahya Badrussalam, Lc via Rodja TV
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih sudah berkunjung. Jika kamu berkenan meninggalkan jejak di kolom komentar, lebih baik lagi :)