Kamis, 27 Juni 2013

Genangan Air di Lantai Kamar

Pada suatu hari... *hehehe..
Saya merasa haus saat mengetik sesuatu di kamar. Segeralah saya meraih mug biru di atas meja belajar dan mengisinya dengan air dari dispenser. Kembali ke kamar. Lalu menuntaskan rasa haus itu dengan beberapa teguk.

Saya yang salah.

Ya, tentu saya yang salah saat sisa air di dalam mug biru itu tumpah dan membasahi lantai. Saya memandang genangan air di lantai. Tidak banyak. Hanya seuprit saja. Tapi jelas, tidak akan kering dengan sendirinya. Dan kamar ini, tidak akan dimasuki siapapun. Tidak akan ada yang repot-repot datang ke kamar saya hanya untuk mengelapkan genangan air yang sedikit itu.

Tapi, tentu saya pula yang salah jika saya membiarkan air itu tetap menggenang, lalu pada kesempatan yang lain tidak sengaja menginjaknya. Keseimbangan tubuh saya terganggu. Lalu saya akan jatuh. Sakit, tentu.

Ini hanya logika genangan air seuprit saja. Sungguh tidak penting.

Untungnya saja, genangan air di lantai itu bukanlah perasaan di hati. Ya, perasaan yang salah dan sengaja di tempatkan di dalam hati. Terus dibiarkan di sana seolah-olah akan ada orang yang peduli, masuk di dalam hati, dan membantu membenahinya. Nyatanya, kendali hati itu tidak ada pada orang lain. Maka jangan heran, jika perasaan yang salah tempat itu suatu saat akan membuat kita kehilangan keseimbangan. Lalu jatuh. Dan setiap ketergelinciran selalu begitu: sakit, tentu. 

Rabu, 12 Juni 2013

Yang Hilang dan Yang Tidak Kita Punya

Dulu, gadis itu selalu merasa, betapa beruntungnya mereka-mereka yang dikaruniai mata yang sempurna. Dirinya yang selalu kelabakan jika terpisah dengan alat-bantu-lihat-nya itu (baca:kacamata), selalu menganggap betapa mewahnya nikmat sepasang mata normal yang dapat melihat dengan jelas tanpa bantuan lensa tambahan. Maka hal itupun senantiasa diserukannya. Kepada mereka yang mungkin akan menganggap bahwa mata yang sehat adalah sebuah kepatutan yang tidak begitu dipertimbangkan. Maka ia akan menggeleng kuat. Sebab ia merasa, nikmat tersebut teramat penting dan sangat patut disyukuri. Bahwa nikmat mata yang normal tidak bisa dirasakan oleh semua orang, termasuk tidak olehnya. 

Hingga akhirnya seorang kawan berhasil menghentak pemikirannya tersebut. Hanya sebaris kalimat yang membuatnya akhirnya sadar, bahwa dia -yang tertakdir berkacamata sejak di bangku sekolah dasar itu, pun masih terhitung sebagai orang yang beruntung. Sebab saat ia memekik; 

"Bersyukurlah orang-orang bermata normal yang tidak perlu bantuan kacamata!"

Kawannya itu mengingatkannya,

"Bersyukurlah pula orang-orang yang masih mampu untuk memiliki kacamata!".

Dan ya, sejak saat itu benda kaca dengan topangan gagang itu bukan lagi ia pandang sebagai lambang tercerabutnya sebuah nikmat. Tapi justru merupakan nikmat lain yang juga harus ia syukuri. Berapa banyak orang di luar sana yang pandangannya juga kabur namun tidak punya biaya untuk membeli sebuah kacamata? Ia pikir, tentu banyak pula. Maka ia sadar, ia pun harus turut mensyukurinya, tak mengapa mata ini buram, sebab masih ada kacamata yang bisa membantu menjernihkan pandangnya.

Maka dengan logika yang sama, ia akhirnya dapat menyadari hal lain dalam hidupnya. 

Ini tentang wanita yang sangat ia cintai itu. Yang telah bertahun digerogot oleh penyakit yang membuat hari-harinya tidak seperti orang-orang lainnya. Seolah tiap akan beranjak untuk tidur di malam hari, ia akan bertanya-tanya, "Adakah esok cuacanya akan cerah? Ataukah kembali buram?".

Gadis itu telah menghitung, mungkin sudah belasan tahun, wanita yang sangat dicintainya itu menanggung beban sakit yang membuat kondisinya layaknya laju jet coaster; naik dan turun tanpa diprediksi. Hingga akhirnya, mungkin pada tahun ke tiga belas -ia juga tidak lagi dapat menghitungnya dengan benar, ia akhirnya memutuskan untuk pulang. Sudah cukup hari-hari kemarin ia habiskan untuk dirinya sendiri. Inilah saatnya ia benar-benar meyakinkan dirinya bahwa memang hidupnya bukan tentang dirinya saja. Ada hal lain yang harus dipertimbangkan dengan benar, diputuskan dengan tepat. Bahkan meski keputusan pulang itu bukanlah keputusan yang populer untuk gadis seusianya. 

Maka setiap hari ia mendapati butir-butir obat itu. Obat-obat yang kini telah menyandang sifat adiktif. Menyisakan kondisi buah simalakama yang tidak pernah akan ditemukan keadaan 'tepat'-nya. Ia pun memandangnya dengan muak, bahkan meski ia tahu bahwa butir obat itulah yang bisa membuat hari-hari wanita yang sanga ia cintai itu menjadi terasa lebih baik, meski hanya sedikit. 

Hingga akhirnya ia sadar, saat mendapati bahwa di luar sana, tetap masih ada yang lebih menderita. Begitu banyak orang yang juga tertimpa penyakit, tanpa pernah punya biaya untuk membeli obat. Betapa banyak orang yang membutuhkan kesehatan lebih baik namun tidak punya daya untuk mewujudkan fasilitas yang dapat menunjangnya. Maka ia kembali mendapati dirinya berada dalam kondisi yang juga masih peroleh nikmat. 

Pada titik dimana terkadang ia harus menguatkan rahangnya, mengerjapkan kelopak matanya, demi menahan kesedihan yang jatuh bersama air mata. Pada saat dimana ia setengah mati menyembunyikan wajah sedih, yang ia yakini, pada perkara yang masih bisa ia ikhtiarkan, maka segala keluh kesah itu biarlah hanya terdengungkan pada setiap sujud-sujudnya. Bukankah selalu terasa lebih berat, melihat orang yang kita cintai menderita, ketimbang harus menanggung penderitaan itu sendiri? Pada masa dimana di waktu yang bersamaan ia harus tetap yakin, bahwa masih banyak orang dengan keadaan yang lebih derita daripada dirinya. 

Maka mungkin perkataan itu benar, bahwa terkadang kita pun harus tetap bersyukur, bahkan atas apa-apa yang tidak kita punya.

Selasa, 11 Juni 2013

Sepakat untuk Tidak Bersepakat

Hari ini Selasa, 11 Juni 2013

Lewat linimasa tadi pagi, saya menyimak bahwa hari ini piala Adipura tiba di Kota Makassar. Konon piala itu akan diarak keliling kota, dan disambut oleh adek-adek anak SD yang mengibar-ngibarkan bendera. Saya masih berusaha menemukan alasan yang tepat, mengapa kota kami akhirnya bisa mendapatkan piala tersebut? Entahlah. Tapi sepertinya tetap lebih penting untuk menjadi bagian dari yang membuktikan kepantasan memeroleh piala tersebut dibanding sibuk mencari-cari pembuktian 'mengapa?'-nya. 

Di hari yang sama pula, gelombang aksi unjuk rasa masih bergejolak di beberapa titik. Saya yang beberapa hari ini tidak kemana-mana, tidak sempat menjadi saksi nyata hal yang jamak  terjadi akibat setiap aksi demonstrasi digelar; macet. Ketidaknyamanan yang terjadi akibat unjuk rasa itu yang kadang membuat kita menjadi lupa pada esensi unjuk rasa itu sendiri. Bahkan, membuat kita menjadi bertanya-tanya tentang titik utama dari apa yang sedang diperjuangkan. 

Rekan-rekan mahasiswa itu, katanya sedang memperjuangkan rakyat. Mereka merasa tengah berusaha untuk menahan pemerintah yang nampaknya semakin nyata akan menaikkan harga BBM. Pemerintah mulai memasang iklan-iklan di layar televisi perihal 'logika-menaikkan-harga-BBM' plus kompensasi yang akan rakyat dapatkan dari kebijakan tersebut. Berbagai wacana pun berkembang. Pro dan kontra bermunculan. Bermacam-macam analisis mengemuka. Mereka yang berbicara itu, jelas-jelas adalah orang-orang cerdas. Namun saya tidak mengerti mengapa mereka tidak dapat mufakat untuk satu pendapat. 

Partai penguasa jelas mendukung kebijakan tersebut. Partai opisisi nyata-nyata akan menolaknya. Partai-partai koalisi terpecah pada dua keberpihakan di atas. 

Para mahasiswa, tidak ingin diam. Mereka mungkin khawatir, jangan-jangan pemerintah menerjemahkan sikap mereka seperti seorang pemuda yang meminang gadis pujaannya, dimana diam berarti setuju-setuju saja. Maka mereka tidak ingin bungkam. Sayangnya, sepertinya masih ada jalan lain untuk 'bersuara' selain menutup jalan, menyandera rupa-rupa mobil besar, dan menyebabkan kemacetan yang membuat sumpah serapah bermunculan dimana-mana. Saya yakin, masih ada jalan lain. Masih ada cara yang bisa membuat rakyat benar-benar merasa sedang diperjuangkan. 

Sayangnya, untuk masalah keputusan dan masalah perjuangan, kita -pemerintah, rakyat, dan mahasiswa, nampaknya masih saja sepakat untuk tidak bersepakat. Entah sampai kapan. 


Rabu, 05 Juni 2013

Yakinlah...

‘Sekiranya mereka yang di luar sana itu tau, seberapa besar keutamaan yang dijanjikan Allah pada orang yang ada di sini, mereka pasti akan ikut pula berada di sini.”, ujar seorang ukhti dalam sebuah majelis ilmu. 

Pernyataan itu tentu mengikuti penjelasan dan dalil-dalil tentang keutamaan orang-orang yang mengikuti majelis ilmu. Pertama kali ikut dahulu, satu dalil yang selalu saya ingat sampai sekarang dan tetap terasa ‘aha-effect’-nya adalah tentang betapa nama orang-orang di dalam majelis ilmu akan dicatat malaikat, lalu disebut-sebut oleh Allah kepada makhluk yang ada di sisinya! Juga tentang malaikat yang bertugas khusus untuk turut menghadiri majelis ilmu agama, mereka merendahkan sayap-sayapnya, mereka turut bermajelis pula. Suatu hari kami mengingati riwayat tersebut saat tiba-tiba, -mungkin dari sarang burung di atap mushala yang rusak, jatuh perlahan dengan menjuntai dimainkan semilir angin, semacam sehelai bulu unggas ditengah-tengah majelis yang sedang berlangsung.

“Barangsiapa yang menempuh suatu perjalanan dalam rangka untuk menuntut ilmu maka Allah akan mudahkan baginya jalan ke surga. Tidaklah berkumpul suatu kaum di salah satu masjid diantara masjid-masjid Allah, mereka membaca Kitabullah serta saling mempelajarinya kecuali akan turun kepada mereka ketenangan  dan rahmat serta diliputi oleh para malaikat. Allah menyebut-nyebut mereka dihadapan para malaikat.” (HR.Muslim)

Tentang hal itu saja, tentu jelas, pemahaman tentangnya berkaitan erat dengan perkara-perkara yang tidak ditangkap oleh akal manusia yang begitu terbatas. Tapi hati kita, dapat memahaminya dengan baik, dengan lebih mudah.

Dalam beberapa hal yang lain, ini pun terjadi. Misalnya tentang janji ‘akan dibangunkan rumah di syurga’, untuk orang-orang yang istiqamah tegakkan shalat sunnah rawatib yang 12 raka’at itu. Atau tentang ‘sesuatu yang lebih baik dari dunia dan seisinya’ tentang shalat sunnah fajar. Secara logika kita (yang sekali lagi, terbatas ini), mengapa ‘hanya dengan’ rukuk dan sujud saja, kita bisa mendapatkan balasan yang begitu rupa? Dan sekali lagi, hati kita akan lebih jago untuk menjawabnya.

Siapa yang selalu shalat 12 rakaat setiap hari dan malam, maka dibangunkan baginya rumah di surga. yakni empat rakaat sebelum shalat zuhur dan dua rakaat setelahnya, 2 rakaat setelah shalat maghrib, 2 rakaat setelah shalat isya dan dua rakaat sebelum shalat subuh.” (HR an-nasaa’i dan dishahihkan al-Albani dalam Shahih al-Jaami’ no. 6183)

“Dua rakaat shalat sunnah subuh lebih baik daripada dunia dan seluruh isinya.”(HR. Muslim725).

Maka ini masalah keyakinan.
Sebab terkadang, ada hal-hal yang dapat lebih dahulu diterima oleh nurani kita yang lurus, dibandingkan oleh logika kita, secerdas apapun ia. 

Kita tentu ingat tentang peristiwa yang membuat tersematlah gelar ‘Ash Shiddiq’ di belakang nama Abu Bakar Radhiyallahu ‘anhu. Ya, saat beredar kabar tentang Isra’ dan Mi’raj-nya Sang Rasul. Sesuatu yang terdengar begitu tidak sesuai dengan logika manusia. Perjalanan dalam semalam menuju Masjidil Aqsha, lalu membumbung ke Sidratul Muntaha. Namun, Abu Bakar langsung membenarkannya!

"Demi Allah, jika benar ia mengatakannya, maka ia benar. Apa yang membuat kalian heran? Demi Allah, sesungguhnya ia memberitahukan kepadaku bahwa wahyu telah turun kepadanya dari langit ke bumi saat malam atau siang hari. Ini lebih besar dari masalah yang membuat kalian terheran itu!" sahut lelaki mulia itu, tegas.

Itulah keyakinan!
Maka hari ini, mungkin kita telah membaca begitu banyak teks, mengetahui begitu banyak hal, melihat dan menyaksikan begitu banyak kejadian, namun mengapa tetap ada rasa malas atau bahkan mungkin meragu saat kita hendak berkebaikan? Hmm..., mungkin salah satunya karena keyakinan kita yang belum benar-benar tertancap dengan kuat. Segala janji dan ganjaran pahala yang telah dikabarkan dengan shahih itu mungkin belum kita ketahui, belum kita maknai, belum kita yakini. 

Seberapa yakinnya kita pada sesuatu akan tercermin dari seberapa ‘niat’nya kita menyiapkannya. Maka, jika kita dapati diri hanya sibuk dengan dunia, maka mungkin kita memang belum benar-benar yakin akan kekekalan akhirat, sehingga tidak pula menyiapkan bekal akan kehidupan di sana kelak. Maka benarlah hakikat ilmu syar’i itu, ia bukanlah apa yang sekadar berada di kitab, tapi yang ada di dalam hati kita. Jelaslah pula mengapa orang-orang yang berilmu itu adalah mereka yang paling besar rasa takutnya kepada Allah. Sudahkah kita?

Dan demikian (pula) di antara manusia, binatang-binatang melata dan binatang-binatang ternak ada yang bermacam-macam warnanya (dan jenisnya). Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.” (QS. Fathir:28)

Makassar, 5 Juni 2013
kali itu pun, yakinlah..

Pada saat mengalami perpisahan yang serupa, ingatlah perbedaan perasaan antara yang dulu dan yang kini. Setelah itu, engkau akan dapatkan jawaban, kemana kau harus pulang.