Rabu, 05 Juni 2013

Yakinlah...

‘Sekiranya mereka yang di luar sana itu tau, seberapa besar keutamaan yang dijanjikan Allah pada orang yang ada di sini, mereka pasti akan ikut pula berada di sini.”, ujar seorang ukhti dalam sebuah majelis ilmu. 

Pernyataan itu tentu mengikuti penjelasan dan dalil-dalil tentang keutamaan orang-orang yang mengikuti majelis ilmu. Pertama kali ikut dahulu, satu dalil yang selalu saya ingat sampai sekarang dan tetap terasa ‘aha-effect’-nya adalah tentang betapa nama orang-orang di dalam majelis ilmu akan dicatat malaikat, lalu disebut-sebut oleh Allah kepada makhluk yang ada di sisinya! Juga tentang malaikat yang bertugas khusus untuk turut menghadiri majelis ilmu agama, mereka merendahkan sayap-sayapnya, mereka turut bermajelis pula. Suatu hari kami mengingati riwayat tersebut saat tiba-tiba, -mungkin dari sarang burung di atap mushala yang rusak, jatuh perlahan dengan menjuntai dimainkan semilir angin, semacam sehelai bulu unggas ditengah-tengah majelis yang sedang berlangsung.

“Barangsiapa yang menempuh suatu perjalanan dalam rangka untuk menuntut ilmu maka Allah akan mudahkan baginya jalan ke surga. Tidaklah berkumpul suatu kaum di salah satu masjid diantara masjid-masjid Allah, mereka membaca Kitabullah serta saling mempelajarinya kecuali akan turun kepada mereka ketenangan  dan rahmat serta diliputi oleh para malaikat. Allah menyebut-nyebut mereka dihadapan para malaikat.” (HR.Muslim)

Tentang hal itu saja, tentu jelas, pemahaman tentangnya berkaitan erat dengan perkara-perkara yang tidak ditangkap oleh akal manusia yang begitu terbatas. Tapi hati kita, dapat memahaminya dengan baik, dengan lebih mudah.

Dalam beberapa hal yang lain, ini pun terjadi. Misalnya tentang janji ‘akan dibangunkan rumah di syurga’, untuk orang-orang yang istiqamah tegakkan shalat sunnah rawatib yang 12 raka’at itu. Atau tentang ‘sesuatu yang lebih baik dari dunia dan seisinya’ tentang shalat sunnah fajar. Secara logika kita (yang sekali lagi, terbatas ini), mengapa ‘hanya dengan’ rukuk dan sujud saja, kita bisa mendapatkan balasan yang begitu rupa? Dan sekali lagi, hati kita akan lebih jago untuk menjawabnya.

Siapa yang selalu shalat 12 rakaat setiap hari dan malam, maka dibangunkan baginya rumah di surga. yakni empat rakaat sebelum shalat zuhur dan dua rakaat setelahnya, 2 rakaat setelah shalat maghrib, 2 rakaat setelah shalat isya dan dua rakaat sebelum shalat subuh.” (HR an-nasaa’i dan dishahihkan al-Albani dalam Shahih al-Jaami’ no. 6183)

“Dua rakaat shalat sunnah subuh lebih baik daripada dunia dan seluruh isinya.”(HR. Muslim725).

Maka ini masalah keyakinan.
Sebab terkadang, ada hal-hal yang dapat lebih dahulu diterima oleh nurani kita yang lurus, dibandingkan oleh logika kita, secerdas apapun ia. 

Kita tentu ingat tentang peristiwa yang membuat tersematlah gelar ‘Ash Shiddiq’ di belakang nama Abu Bakar Radhiyallahu ‘anhu. Ya, saat beredar kabar tentang Isra’ dan Mi’raj-nya Sang Rasul. Sesuatu yang terdengar begitu tidak sesuai dengan logika manusia. Perjalanan dalam semalam menuju Masjidil Aqsha, lalu membumbung ke Sidratul Muntaha. Namun, Abu Bakar langsung membenarkannya!

"Demi Allah, jika benar ia mengatakannya, maka ia benar. Apa yang membuat kalian heran? Demi Allah, sesungguhnya ia memberitahukan kepadaku bahwa wahyu telah turun kepadanya dari langit ke bumi saat malam atau siang hari. Ini lebih besar dari masalah yang membuat kalian terheran itu!" sahut lelaki mulia itu, tegas.

Itulah keyakinan!
Maka hari ini, mungkin kita telah membaca begitu banyak teks, mengetahui begitu banyak hal, melihat dan menyaksikan begitu banyak kejadian, namun mengapa tetap ada rasa malas atau bahkan mungkin meragu saat kita hendak berkebaikan? Hmm..., mungkin salah satunya karena keyakinan kita yang belum benar-benar tertancap dengan kuat. Segala janji dan ganjaran pahala yang telah dikabarkan dengan shahih itu mungkin belum kita ketahui, belum kita maknai, belum kita yakini. 

Seberapa yakinnya kita pada sesuatu akan tercermin dari seberapa ‘niat’nya kita menyiapkannya. Maka, jika kita dapati diri hanya sibuk dengan dunia, maka mungkin kita memang belum benar-benar yakin akan kekekalan akhirat, sehingga tidak pula menyiapkan bekal akan kehidupan di sana kelak. Maka benarlah hakikat ilmu syar’i itu, ia bukanlah apa yang sekadar berada di kitab, tapi yang ada di dalam hati kita. Jelaslah pula mengapa orang-orang yang berilmu itu adalah mereka yang paling besar rasa takutnya kepada Allah. Sudahkah kita?

Dan demikian (pula) di antara manusia, binatang-binatang melata dan binatang-binatang ternak ada yang bermacam-macam warnanya (dan jenisnya). Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.” (QS. Fathir:28)

Makassar, 5 Juni 2013
kali itu pun, yakinlah..

Pada saat mengalami perpisahan yang serupa, ingatlah perbedaan perasaan antara yang dulu dan yang kini. Setelah itu, engkau akan dapatkan jawaban, kemana kau harus pulang.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih sudah berkunjung. Jika kamu berkenan meninggalkan jejak di kolom komentar, lebih baik lagi :)