Rabu, 12 Juni 2013

Yang Hilang dan Yang Tidak Kita Punya

Dulu, gadis itu selalu merasa, betapa beruntungnya mereka-mereka yang dikaruniai mata yang sempurna. Dirinya yang selalu kelabakan jika terpisah dengan alat-bantu-lihat-nya itu (baca:kacamata), selalu menganggap betapa mewahnya nikmat sepasang mata normal yang dapat melihat dengan jelas tanpa bantuan lensa tambahan. Maka hal itupun senantiasa diserukannya. Kepada mereka yang mungkin akan menganggap bahwa mata yang sehat adalah sebuah kepatutan yang tidak begitu dipertimbangkan. Maka ia akan menggeleng kuat. Sebab ia merasa, nikmat tersebut teramat penting dan sangat patut disyukuri. Bahwa nikmat mata yang normal tidak bisa dirasakan oleh semua orang, termasuk tidak olehnya. 

Hingga akhirnya seorang kawan berhasil menghentak pemikirannya tersebut. Hanya sebaris kalimat yang membuatnya akhirnya sadar, bahwa dia -yang tertakdir berkacamata sejak di bangku sekolah dasar itu, pun masih terhitung sebagai orang yang beruntung. Sebab saat ia memekik; 

"Bersyukurlah orang-orang bermata normal yang tidak perlu bantuan kacamata!"

Kawannya itu mengingatkannya,

"Bersyukurlah pula orang-orang yang masih mampu untuk memiliki kacamata!".

Dan ya, sejak saat itu benda kaca dengan topangan gagang itu bukan lagi ia pandang sebagai lambang tercerabutnya sebuah nikmat. Tapi justru merupakan nikmat lain yang juga harus ia syukuri. Berapa banyak orang di luar sana yang pandangannya juga kabur namun tidak punya biaya untuk membeli sebuah kacamata? Ia pikir, tentu banyak pula. Maka ia sadar, ia pun harus turut mensyukurinya, tak mengapa mata ini buram, sebab masih ada kacamata yang bisa membantu menjernihkan pandangnya.

Maka dengan logika yang sama, ia akhirnya dapat menyadari hal lain dalam hidupnya. 

Ini tentang wanita yang sangat ia cintai itu. Yang telah bertahun digerogot oleh penyakit yang membuat hari-harinya tidak seperti orang-orang lainnya. Seolah tiap akan beranjak untuk tidur di malam hari, ia akan bertanya-tanya, "Adakah esok cuacanya akan cerah? Ataukah kembali buram?".

Gadis itu telah menghitung, mungkin sudah belasan tahun, wanita yang sangat dicintainya itu menanggung beban sakit yang membuat kondisinya layaknya laju jet coaster; naik dan turun tanpa diprediksi. Hingga akhirnya, mungkin pada tahun ke tiga belas -ia juga tidak lagi dapat menghitungnya dengan benar, ia akhirnya memutuskan untuk pulang. Sudah cukup hari-hari kemarin ia habiskan untuk dirinya sendiri. Inilah saatnya ia benar-benar meyakinkan dirinya bahwa memang hidupnya bukan tentang dirinya saja. Ada hal lain yang harus dipertimbangkan dengan benar, diputuskan dengan tepat. Bahkan meski keputusan pulang itu bukanlah keputusan yang populer untuk gadis seusianya. 

Maka setiap hari ia mendapati butir-butir obat itu. Obat-obat yang kini telah menyandang sifat adiktif. Menyisakan kondisi buah simalakama yang tidak pernah akan ditemukan keadaan 'tepat'-nya. Ia pun memandangnya dengan muak, bahkan meski ia tahu bahwa butir obat itulah yang bisa membuat hari-hari wanita yang sanga ia cintai itu menjadi terasa lebih baik, meski hanya sedikit. 

Hingga akhirnya ia sadar, saat mendapati bahwa di luar sana, tetap masih ada yang lebih menderita. Begitu banyak orang yang juga tertimpa penyakit, tanpa pernah punya biaya untuk membeli obat. Betapa banyak orang yang membutuhkan kesehatan lebih baik namun tidak punya daya untuk mewujudkan fasilitas yang dapat menunjangnya. Maka ia kembali mendapati dirinya berada dalam kondisi yang juga masih peroleh nikmat. 

Pada titik dimana terkadang ia harus menguatkan rahangnya, mengerjapkan kelopak matanya, demi menahan kesedihan yang jatuh bersama air mata. Pada saat dimana ia setengah mati menyembunyikan wajah sedih, yang ia yakini, pada perkara yang masih bisa ia ikhtiarkan, maka segala keluh kesah itu biarlah hanya terdengungkan pada setiap sujud-sujudnya. Bukankah selalu terasa lebih berat, melihat orang yang kita cintai menderita, ketimbang harus menanggung penderitaan itu sendiri? Pada masa dimana di waktu yang bersamaan ia harus tetap yakin, bahwa masih banyak orang dengan keadaan yang lebih derita daripada dirinya. 

Maka mungkin perkataan itu benar, bahwa terkadang kita pun harus tetap bersyukur, bahkan atas apa-apa yang tidak kita punya.

2 komentar:

  1. Renungan yang amat manis Diena. Memang kita harus melihat kepada orang2 yang lebih tidak beruntung daripada kita.

    Semoga ia - wanita yang sedang sakit itu, dan seseorang yang mencintainya itu, diberi kesabaran dan keikhlasan yang luar biasa oleh Allah ya ...

    BalasHapus

Terima kasih sudah berkunjung. Jika kamu berkenan meninggalkan jejak di kolom komentar, lebih baik lagi :)