Selasa, 25 November 2014

Tentang Doa

saat kau menerbangkan doa doa
langit mengubahnya menjadi bulir air
yang jatuh ke bumi sebagai hujan

hanya saja tak pernah kau kira
di bumi mana ia jatuh
di tanah apa ia meresap
dan pada hati siapa ia tertangkap
(Sajak Doa ~ Arrifa’ah)

Untungnya kita punya doa. Itu yang selalu saya pikirkan saat mengingat kembali tentang ibadah yang satu ini. Bagaimana tidak, kita ini ditakdirkan terhijab dari masa depan, pun kadang begitu sulit untuk melupakan masa lalu. Segala beban yang kita bawa tentang itu, ataupun semua kegelisahan akibat ketidaktahuan kita tentang apa yang akan terjadi nanti, nyatanya akan sanggup direduksi dengan doa-doa yang bisa kita panjatkan kapan saja. Tidak tanggung-tanggung, langsung kepada Sang Pemilik Kehidupan, Rabb yang menciptakan hidup kita, Rabb yang setiap harinya menjaga tidur kita, hingga kembali terjaga.

Betapa banyak persoalan dalam hidup ini yang nyatanya terasa tak mungkin kita hadapi. Meski terkadang merasa berat dan nyaris putus asa, nyatanya kita tetap berusaha menegarkan diri dan membuka mata. Sebab kita selalu punya keyakinan, ada Dzat yang melebihi segalanya, yang akan mengurus segala urusan kita, yang selalu kita berharap padaNya, Ia tidak akan meninggalkan kita bahkan meski hanya sekejap mata.

Dan tidak pernah ada yang pasti dalam hidup ini. Segala rencana yang telah kita susun dengan rapi, bisa saja begitu mudah porak poranda oleh sesuatu yang tidak kita kira. Alangkah seringnya kita hanya bisa menatap hari-hari dengan nanar, tidak percaya bahwa ada saja hal di luar kendali yang akhirnya malah terjadi. Tapi toh di malam hari kita tetap saja menyusun rencana-rencana baru, lalu menyetel alarm untuk bangun keesokan paginya, meski umur masih saja tanda tanya. Siapa yang tahu bahwa kita masih berhak untuk bangun pagi besok? Namun kita tetap saja memikirkan tentang hari esok yang belum tentang datangnya itu. Sebab kita masih punya harapan. Sebab kita selalu punya ruang untuk berdoa.

Lalu mengapa kita kadang masih menganggap doa sebagai opsi paling akhir yang kita punya? Seolah ia hanyalah pelengkap setelah rangkaian ikhtiar yang hanya mengandalkan kemampuan kita saja. Padahal bukankah ia adalah senjata kita yang paling utama?

Kita melangitkan doa kita untuk kehidupan kita, untuk orang-orang yang kita sayangi –yang dekat, pun yang jauh, bahkan mungkin untuk orang-orang yang tidak kita kenali. Alangkah indah doa yang diam-diam itu, tanpa perlu untuk diumbar, hanyasaja ia adalah bisik lirih dan mesra dengan Sang Pencipta, saat hening satu-satunya kawan, saat air mata mengalir perlahan, dan dengan keyakinan bahwa Dia Maha Mendengarkan. Kita berdoa bukan hanya untuk kebaikan kita saja, namun juga mengucap nama-nama yang mungkin tidak akan mengetahui doa-doa kita hingga kita tiada. Lalu malaikat akan menjadi saksi itu semua, saat justru ia yang menyahuti doa-doa itu; “Dan bagimu demikian...

Doa selalu memberikan kita celah-celah harapan. Keyakinan bahwa tiada kesia-siaan di dalamnya membuat kita akan selalu kuat menghadapi apapun. Memberikan kita pemahaman betapa hidup memang tidak selalu berada di bawah kendali kita. Dan saat segala resah dan gundah itu kembali datang, dan kekhawatiran seolah tak ingin meninggalkan, doa-doa itu seolah akan bertanya; jika sebelum-sebelum ini kau telah yakin bahwa Allah telah mengatur urusanmu, mengapa kali ini kau ragu?

Makassar, 26 November 2014

Rabb, ini aku, bocah lima belas tahun yang lalu; masih dengan doa yang sama kepadaMu.

Jumat, 21 November 2014

Menakar Standar Istri yang Baik

“Tolong jangan beri tahu Bapak dulu ya, Neng...”, ucap wanita itu kepada saya sambil menyeka air mata yang mulai mengalir di pipinya. Di tangan saya masih ada kertas hasil pemeriksaan kesehatan suaminya yang belum sempat dikonsultasikan ke dokter. Tapi beberapa kata dalam bahasa medis yang masih bisa saya mengerti membuat saya tahu, suami wanita ini sedang dalam kondisi yang buruk. 

Tentang pasangan suami istri itu, terdapat cerita yang panjang. Keduanya terpaut usia yang cukup jauh. Wanita ini seumur dengan anak tertua suaminya. Lelaki yang meski sudah berusia senja, namun punya wajah gagah dan selera humor yang tinggi itu memang telah beberapa kali menikah. Di pernikahan terakhirnya ini, ia menikahi seorang janda muda dari pulau seberang. Saat itu, ia masih memegang jabatan penting di pemerintahan. Bayangkanlah apa di pikiran orang-orang yang menyaksikan pernikahan itu. Kira-kira apa ekspektasi mereka pada wanita muda yang menikahi pria dengan selisih umur yang jauh tapi punya banyak harta? 

Namun, pada akhirnya waktu yang menjawab semuanya. Dan jabatan serta uang memang merupakan hal yang bisa dengan mudah datang dan pergi. Saat suaminya harus turun jabatan dan hidup hanya dari hasil bumi yang berasal dari sejumlah kebun yang ia punya, nyatanya, wanita itu tetap bertahan di sampingnya. Mengurusnya dengan telaten dan penuh senyuman, lembut pula! Bukan hal yang mudah untuk mendampingi seorang lelaki berusia uzur dengan segala kelemahannya yang mulai muncul satu per satu. Terlebih saat kemudian keduanya harus segera berangkat ke kota besar untuk mengonsultasikan penyakit yang belakangan menggerogoti lelaki itu. Dan saya mendapati bahwa wanita itu tidak jua beranjak, meski mungkin statusnya sebagai perempuan yang dinikahi tidak secara resmi dalam catatan negara itu, dia punya pilihan lain. Kembali ke kampungnya di Jawa sana, misalnya. Tapi, itu tidak ia lakukan. Dan judge macam-macam yang kemarin muncul tentangnya sirna sudah. Setidaknya di mata saya, dia adalah istri yang baik. 

Ini mungkin hanya satu gambaran tentang seorang istri yang bisa saya ceritakan. Selebihnya, di sekeliling kita ada lebih banyak lagi cerita yang bisa kita pelajari dan jadikan sebagai bahan renungan. Berbicara tentang istri yang baik, tentu ada banyak aspek yang bisa kita lihat. Bukan hanya tentang sepiawai apa seorang wanita bersolek di hadapan suaminya, sehebat apa ia meracik bumbu untuk masakan seluruh keluarga, atau sebersih dan seapik apa ia mampu mengatur lingkungan rumahnya. Lebih dari itu, terlalu banyak hal yang bisa kita jadikan pertimbangan untuk kemudian menyebut seseorang sebagai istri yang baik atau tidak. Meski bagi saya, tentu bukan merupakan hak seseorang yang berada di luar lingkaran sebuah keluarga untuk menentukan ‘vonis’ itu. 

Jika kita menengok kepada Sirah Nabawiyah, maka kita mengenal sederet nama yang membersamai perjalanan Rasululullah Shallallahu ‘alaihi wasallam dalam biduk rumah tangga beliau. Merekalah para ibunda kita, ibu dari kaum muslimin yang hari ini terus kita kenang namanya dengan penuh haru dan rindu. Izinkan saya menarik dua nama yang sangat sering kita dengar ceritanya, selain juga sebab keduanya memiliki posisi spesial di hati sang nabi; Khadijah dan Aisyah binti Abu Bakar, radhiyallahu ‘anhuma. 

Dari dua sosok ini, kita kembali dapat melihat bagaimana perjumpaan keduanya di dalam rumah tangga nabi benar-benar sesuai dengan kondisi di eranya masing-masing. Saat agama ini berada dalam fase ghurbatul ‘ula –keterasingan pertama, di mana kondisi kaum muslimin sedemikian lemah, adalah sosok Khadijah yang dipilih oleh Allah untuk mendampingi sang manusia terbaik itu. Khadijah yang berusia matang, menjadi profil yang begitu pas untuk turut menopang dakwah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam yang juga kita tahu telah kehilangan sosok ibu di usia sangat belia. Kedewasaan dan ketenangan dalam bersikap juga dapat dengan mudah kita saksikan dalam kisah saat wahyu pertama turun. Saat Muhammad bin Abdullah berlari ke rumahnya pasca berjumpa Malaikat Jibril, ia mengetuk pintu dan segera meminta diselimuti. Fitrah seorang perempuan yang biasanya ‘kepo’ dan senang untuk mengorek informasi secara detil (bahkan meski tidak begitu penting untuk merumuskan solusi), ternyata tidak kita dapati pada bunda Khadijah. Beliau serta merta melakukan apa yang dipinta oleh suaminya, apa yang memang paling dibutuhkan oleh Rasul kala itu; menyelimuti, memberi ketenangan, memberikan pandangan positif. Lalu kehidupan keduanya setelah turunnya berita dari langit itu, kita tahu, tidak lagi mudah. 

Segala harta milik Khadijah ia infakkan untuk dakwah suaminya. Ia benar-benar menjadi penopang yang selalu siap menjadi ‘rumah untuk pulang’ bagi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. Dari rahimnya lahir anak-anak yang menjadi cahaya mata keduanya. Kita tahu, salah satu dari mereka kelak ikut dalam deretan wanita penghulu surga bersama sang ibunda, nama putri itu; Fatimah binti Muhammad. Muhammad Shallallahu ‘alaihi wassalam dan Khadijah binti Khuwailid Radhiyallahu ‘anhu adalah potret keluarga yang sebelum turunnya wahyu senantiasa berada dalam jalur lurus dan bebas dari perilaku jahiliyah sebagaimana kaumnya, dan pasca diangkatnya Nabi Muhammad sebagai Rasul menjadi lentera yang menerangi kota Makkah dengan cahaya tauhid. Keduanya bertahan menjalani kehidupan pernikahan bersama anak-anaknya di tengah tradisi poligami yang sah-sah saja di kala itu. Maka meski sang Rasul telah mengakui Aisyah sebagai wanita yang paling ia cintai, namun Khadijah, selalu punya tempat tersendiri dalam hati lelaki mulia itu. Sosok yang membuatnya begitu bersedih kala kehilangannya, dan selalu ia ingat setelah kepergiannya. Khadijah bagi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, adalah kenangan atas cinta.  

Lain Khadijah, lain pula Aisyah. Sosoknya yang muda, cerdas, dan lincah adalah gambaran tentang ibunda kita yang satu ini. Kala itu, dakwah memasuki masa yang sama sekali berbeda. Saat kaum muslimin siap menata pemerintahan Islam yang kokoh di kota Madinah. Maka agaknya, Aisyah bagi Muhammad adalah warna-warni yang ceria untuk melepas kepenatannya saat mengatur urusan kaum muslimin yang sedemikian kompleks. Ya, Aisyah dengan semua karakter yang ada pada dirinya; bukan hanya dengan ilmunya yang mendalam, parasnya yang jelita, namun juga cemburunya yang terkadang meletup-letup itu. 

Maka dari kedua sosok ini, izinkan saya mengikat sebuah simpul perihal ‘istri yang baik’; adalah dia yang dapat menampilkan sikap yang benar, di waktu yang tepat, sesuai dengan kondisi yang dihadapi pasangannya. 

Lalu, apakah itu selalu dalam makna ‘positif’ seperti yang kita urai di atas? Agaknya, tidak selalu. Sebab, jika kita menilik pada sosok lain yang namanya juga tersebut sebagai wanita penghulu surga, maka ceritanya akan berbeda. 

Tersebutlah nama Asiyah. Ia adalah istri dari seorang lelaki yang namanya termahsyur hingga kini. Sayang, kita akan selalu menyebut nama suaminya sebagai contoh paling buruk dalam sejarah umat manusia. Maksud saya, apa yang lebih buruk dari seseorang yang mengaku sebagai Tuhan? Ya, Fir’aun. Maka Asiyah tidak bisa kita sebut sebagai istri yang buruk ‘hanya’ karena ia tidak taat pada titah suaminya, bukan? Bahkan kita bisa menilai keteguhan itu dari sana. Saat lelaki yang harusnya ia cintai jutru menjadi seseorang yang paling berseberangan dari fitrah hatinya yang suci. Maka Asiyah memberikan definisi baru kepada kita, bahwa istri yang baik adalah ia yang siap menghadapi kondisi suaminya, seburuk apapun itu. Alih-alih mengajak pasangan ke arah keburukan untuk kesenangan pribadi, istri yang baik adalah ia yang tegak untuk menentang segala kesalahan, bahkan meski pelakunya adalah suami sendiri.  Dan Asiyah mencontohkan teladan itu kepada kita, saat ia teguh pada Allah, dan berlepas diri dari Fir’aun. 

Ya, perihal ketaatan itu memang adalah perkara yang sangat patut untuk diperhatikan oleh seorang wanita. Ini jelas memiliki hakikat yang jauh lebih tinggi dibandingkan hal-hal artifisial lainnya yang kadang dijadikan standar untuk menilai kualitas seorang istri. Meski kita tahu, bahwa tugas domestik-kerumahtanggaan juga menjadi satu hal yang patut untuk diperhatikan pula. Bagaimana tidak, bukankah kita ingat cerita tentang Umar bin Khattab Radhiyallahu ‘anhu yang tegas dan keras itu, namun ia memberi nasihat yang begitu lembut pada sahabat lainnya untuk bersabar pada istrinya, tersebab hal-hal yang bagi banyak pria mungkin adalah sesuatu yang remeh temeh; sebab ia yang menyiapkan makananku, mencucikan pakaianku, dan mengurusi anak-anakku! Demikianlah kekata Umar al Faruq tentang jasa sang istri yang patut untuk mendapat apresiasi.  

Bayangkanlah seorang anak perempuan yang selama hidup di bawah pengasuhan dan kasih sayang kedua orang tuanya. Yang kemudian sampai pada masa di mana ia sudah cukup sanggup untuk beralih mengurusi kebutuhan ayah dan ibunya, berhikmat kepada keluarga tempat ia dibesarkan. Namun, di masa yang sama, biasanya seorang perempuan harus memilih, untuk ‘mengalihkan’ totalitas pengabdian itu kepada lelaki yang belum lama ia kenal, namun akan ia habiskan sisa hidup dengannya, dan dengan anak keturunannya. Ini bukan perkara mudah. Dan sesiapa yang sanggup melewati fase itu –fase yang berlangsung sepanjang usia itu, dengan kesadaran pada tugas yang meliputi ranah ruhiyah, jasad, dan pemikiran, maka saya rasa ia patut untuk kita beri sebuah sebutan yang terasa ringan di lidah, namun berat penjabarannya; istri yang baik. Wallahu a’lam. 

Makassar, 21 November 2014


” 


Rabu, 05 November 2014

Di Balik Lembar Merajut Benang Cahaya; Perjalanan Sebuah Mimpi

Jika diretas-retas, maka ini dimulai dari kegiatan nge-blog yang saya kenal sejak kelas dua SMA, sekitar tahun 2006. Saya yang sudah menyukai dunia buku sejak kecil kemudian menemukan tempat yang nyaman saat dapat memuat tulisan di dunia maya, bahkan meski tidak ada orang lain selain saya yang membacanya. Lalu itu terus berlanjut dalam jangka waktu yang lama, sambil sesekali saya memindahkan beberapa tulisan ke note FB, kemudian dibaca serta dikomentari oleh beberapa kawan. Nah, dari sanalah ide tentang buku berasal.

Beberapa pembaca tulisan saya di FB maupun blog menyarankan agar tulisan-tulisan yang berhamburan itu dikumpulkan menjadi satu dalam sebuah buku. Awalnya saya berpikir, untuk apa membukukan (secara komersil) tulisan yang sebenarnya bisa dibaca secara gratis di blog? Namun saya tetap maju dan mengusahakan agar tulisan-tulisan itu dapat menjadi buku. Di kemudian hari saya sadar, bahwa langkah yang saya ambil sudah cukup tepat.
Seiring berjalannya waktu, akses internet sudah semakin lincah dan arus informasi tentang semua hal pun semakin deras. Dari seorang rekan blogger di Multiply bernama Kak Sari Yulianti, saya mendapat informasi tentang proses menerbitkan buku yang disebut selfpublishing. Ya, menerbitkan buku sendiri dengan membayar sejumlah ongkos terbit, lalu memodali stok buku, dan menjualnya sendiri. Lewat sebuah selfpublishing bernama Leutikaprio di Jogja, saya memulai proses itu.

Kemudian, di suatu hari di awal tahun 2012, Jeda Sejenak lahir. Judul itu saya ambil untuk mengepalai sejumlah esai dan puisi yang saya kumpulkan dari kedua blog saya kala itu. Saya membaginya menjadi tiga bagian besar; tentang kesyukuran, tentang dakwah, dan tentang kematian. Kesemuanya adalah tulisan bernuansa perenungan tentang kejadian-kejadian sehari-hari yang coba saya ambil hikmahnya. Sederhana saja, mungkin beberapa hal di sana juga pernah dialami, atau bahkan sering dialami oleh orang lain. Namun terkadang semua itu terlewat begitu saja, entah karena ia hanya rutinitas, atau karena terlalu biasa. Maka kita perlu jeda sejenak, untuk memaknainya, untuk merenunginya. 

Lalu saya pun menjalani sesuatu yang baru. Bukan hal yang mudah bagi orang yang buta masalah bisnis seperti saya, untuk memasarkan buku sendiri. Namun, saya sangat bersyukur karena meski hanya memanfaatkan dunia maya, sejumlah kawan berbaik hati ingin memiliki Jeda Sejenak. Mereka bahkan tidak banyak bertanya tentang ini dan itu dan langsung mendaftarkan diri sebagai calon pembaca, lalu menerima buku itu dengan mimik wajah yang begitu menyenangkan. Ada kehangatan yang saya rasakan setiap menjalani momen tersebut. 

Dan saya begitu menikmati prosesnya. Betul-betul independent. Menyiapkan modal untuk membeli buku sendiri. Memasarkannya. Membungkusnya satu per satu untuk dikirimkan jika pemesannya berada di luar jangkauan. Membawa segambreng paket buku ke kantor pos dekat fakultas dan menerima struk pengiriman yang panjang. Naik turun angkot untuk mengantarkan Jeda Sejenak pada pemesannya yang masih berada di kota yang sama. Menenteng sejumlah jilidnya untuk distok di toko buku-toko buku yang saya lobi karena punya kenalan orang dalam. Bahkan memajangnya  di ibu-ibu penjual nasi kuning yang malah membelinya paling pertama. Hingga menghitung saldo keuntungan dan menerima royalti dari Leutika –dan ini bagian paling melegakan. Hehehe...

Alhamdulillah, pada satu titik, Jeda Sejenak sempat berada dalam list best seller versi penerbitnya, Leutikaprio, judulnya tetap bertahan dalam list itu hingga di kemudian hari saya mencabut hak terbitnya dari self-publishing tersebut, setelah memutuskan untuk memulai hal baru untuk naskah ini.
Mengapa harus dicabut? Nah, inilah penjelasannya... Setelah cukup menyebar dari mulut ke mulut, pun lewat event bedah buku yang dilaksanakan beberapa pihak untuk Jeda Sejenak, muncullah ide baru. Ide itu lagi-lagi berasal dari kawan-kawan yang membaca buku saya. Dina, kenapa kamu tidak mencari penerbit yang lebih besar dan bisa mendistribusikan buku kamu lebih luas? Dan pertanyaan itu benar-benar menyadarkan saya; Jeda Sejenak harus mencoba memulai babak barunya.

Maka saya mulai melihat peluang itu. Apakah buku yang telah terbit indie bisa ‘diadopsi’ oleh penerbit mayor? Jika bisa, bagaimana prosedurnya?
Hingga akhirnya saya resmi untuk mencoba hal lain dengan Jeda Sejenak. Revisi saya lakukan di sana-sini. Jika dulu buku itu adalah kumpulan esai dan puisi, maka kali ini saya mencoba untuk lebih memahami pasar. Sepertinya lebih mudah jika puisi-puisi itu hanya saya gunakan sebagai pemanis pada tiap bab, bukannya mendominasi seperti halnya pada Jeda Sejenak. Dalam kurun waktu tersebut pula, saya tetap terus menulis di blog dan kemudian menambahkan tulisan-tulisan baru itu pada manuskrip Jeda Sejenak hasil revisi. Lalu saya memulai peruntungan.

Perlu waktu yang tidak singkat untuk menawarkan naskah ini ke beberapa penerbit hingga akhirnya ia menemukan jodohnya. Jangan tanyakan betapa geregetannya saya jika mendapatkan notifikasi email baru, saat ternyata itu bukan email jawaban atas naskah saya. Dan lewat seorang kawan yang begitu baik, yang saya kenal di komunitas Be a Writer –rumah maya yang sangat nyaman untuk belajar menulis, saya mendapatkan akses ke sebuah penerbit yang selama ini saya nantikan jawabannya. Mbak Linda Satibi, membukakan saya peluang itu, hingga akhirnya saya mengirimkan kembali naskah itu pada seorang editor di penerbit Bhuana Ilmu Populer.

Responnya sangat cepat, hingga membuat saya kaget. Pagi itu juga, hanya berselang beberapa jam, email saya mendapat balasan. Beliau menjanjikan masa satu bulan –paling lambat, untuk mereview naskah saya. Dan kejutan berikutnya datang saat ternyata sore harinya hasil review redaksi penerbit BIP sudah mendarat di email saya; Jeda Sejenak akan lahir kembali! Betapa bahagianya saya saat itu! Langsung saya kabarkan hal ini kepada Ibu –yang saat pertama kali membaca Jeda Sejenak, langsung meneteskan air mata saat membaca namanya dalam doa saya di halaman paling mula.

Lalu proses berikutnya pun saya jalani. Dalam masa yang tidak bisa dibilang singkat, hampir seperti seorang ibu yang mengandung anaknya, sembilan bulan lamanya. Sejak proses itu dimulai, Jeda Sejenak versi lama harus saya tarik dari peredaran. Tidak ada cetakan baru lagi, dan tidak ada stok lagi di manapun. Dalam rentang waktu tersebut beberapa orang masih ada yang menanyakan dan mencari Jeda Sejenak. Saya hanya dapat memberi kabar bahwa kelak Jeda Sejenak akan muncul kembali dalam bentuk yang baru. Semua prosesnya pun dimulai; editing, proof reading, hingga akhirnya saya mendapat kiriman desain cover yang langsung membuat saya jatuh cinta pada kali pertama. Judul Jeda Sejenak pun harus berubah nama menjadi Merajut Benang Cahaya, dengan menganalogikan hikmah dari setiap peristiwa sebagai cahaya dalam kehidupan. Saya berharap, buku ini dapat menemani pembacanya untuk merajut satu per satu benang cahaya hikmah itu menjadi pemahaman yang utuh untuk menjalani hidup dengan lebih baik.

Meski Merajut Benang Cahaya adalah versi revisi dari Jeda Sejenak, bagaimanapun, saya tetap merasa bahwa ada yang berbeda dari keduanya. Ada tulisan yang muncul di Merajut Benang Cahaya dan tak ada di Jeda Sejenak. Namun, ada pula bagian yang Jeda Sejenak miliki, namun tidak akan bisa ditemui pada Merajut Benang Cahaya. Pada dasarnya, keduanya saling melengkapkan satu sama lain.

Sampai pada akhirnya, di suatu hari saat hectic-nya hidup saya mulai mereda ba’da menggelar sebuah acara besar, kabar bahagia itu datang. Tanpa pernah tahu kapan naskah baru saya naik cetak, saya langsung menerima info bahwa ia sudah turun cetak! Merajut Benang Cahaya tidak lama lagi akan beredar di seluruh Indonesia di bawah naungan penerbit Qibla –lini penerbit BIP untuk buku-buku Agama Islam.

Apakah ini seperti kebahagiaan seorang ibu yang berhasil melahirkan anaknya? Ah, sebab saya belum pernah melahirkan, maka mungkin memang akan lain lagi ceritanya. Namun saya sangat bersyukur atas semua itu dan kebahagiaan memang akan selalu terasa begitu menyenangkan, dengan segala makna yang dikandung oleh kata ‘bahagia’ tersebut.

Jeda Sejenak, sejak dulu adalah proyek dunia-akhirat saya. Saya telah berazzam bahwa ia harus saya usahakan agar dibaca oleh sebanyak-banyaknya manusia. Ini bukan tentang royalti yang diterima oleh seorang penulis. Bukan. Uang yang dibelanjakan untuk makanan akan menjadi kotoran, jika untuk pakaian maka akan usang, dan bila untuk tempat berteduh maka suatu hari akan kita tinggalkan. Lebih dari itu, Jeda Sejenak yang bertransformasi menjadi Merajut Benang Cahaya adalah cara saya untuk bertutur kepada semua orang; bahwa ada cara menjalani hidup dengan lebih indah, selama kita ingin mengikuti jalanNya. Meminjam perkataan Asma Nadia, maka setiap buku yang terbit adalah kado untuk umat. Untuk itu, ia harus diperjuangkan. Diusahakan dengan sebaik-baiknya. Dan Jeda Sejenak –seperti yang dikatakan Arul Chandrana, sesama member di Komunitas Be a Writer, telah mengalami kelahirannya yang kedua. Dan kelahirannya kembali ini adalah bagian dari implementasi azzam saya itu.

Maka saat akhirnya saya dapat menyaksikan sendiri Merajut Benang Cahaya telah melanglangbuana di berbagai toko buku, di tempat-tempat yang mungkin tidak akan pernah saya jejaki seumur hidup, dibaca oleh orang-orang yang mungkin tidak akan pernah saya tatap wajahnya hingga saya mati, saya tidak tahu lagi harus berkata apa selain bersyukur kepada Allah. Segala puji bagiNya, yang bahkan dalam melakukan kebaikan pun kita masih tetap memerlukan nikmat dariNya.

Saya melihat Merajut Benang Cahaya telah terpajang di salah satu rak di toko buku yang saya kunjungi, dan rasanya saya sangat ingin menggamit tangan seorang gadis kecil yang selalu menganggap toko buku sebagai tempat yang istimewa. Ia selalu menunggu datangnya awal bulan saat ayahnya mengajaknya ke sana. Saya ingin sekali bertakbir dan bersyukur bersamanya, menatap ke dalam bola matanya lalu berseru riang; “Yeay! We made it!!!”



Bocah belasan tahun yang lalu itu bernama; Diena Rifa’ah, dan dia selalu bermimpi, suatu saat dapat menulis buku yang dijual di berbagai tempat di seluruh negeri. Dan kini, Allah telah menakdirkan mimpinya menjadi nyata. Dan, demikianlah perjalanannya. 

Makassar, November 2014