Selasa, 25 November 2014

Tentang Doa

saat kau menerbangkan doa doa
langit mengubahnya menjadi bulir air
yang jatuh ke bumi sebagai hujan

hanya saja tak pernah kau kira
di bumi mana ia jatuh
di tanah apa ia meresap
dan pada hati siapa ia tertangkap
(Sajak Doa ~ Arrifa’ah)

Untungnya kita punya doa. Itu yang selalu saya pikirkan saat mengingat kembali tentang ibadah yang satu ini. Bagaimana tidak, kita ini ditakdirkan terhijab dari masa depan, pun kadang begitu sulit untuk melupakan masa lalu. Segala beban yang kita bawa tentang itu, ataupun semua kegelisahan akibat ketidaktahuan kita tentang apa yang akan terjadi nanti, nyatanya akan sanggup direduksi dengan doa-doa yang bisa kita panjatkan kapan saja. Tidak tanggung-tanggung, langsung kepada Sang Pemilik Kehidupan, Rabb yang menciptakan hidup kita, Rabb yang setiap harinya menjaga tidur kita, hingga kembali terjaga.

Betapa banyak persoalan dalam hidup ini yang nyatanya terasa tak mungkin kita hadapi. Meski terkadang merasa berat dan nyaris putus asa, nyatanya kita tetap berusaha menegarkan diri dan membuka mata. Sebab kita selalu punya keyakinan, ada Dzat yang melebihi segalanya, yang akan mengurus segala urusan kita, yang selalu kita berharap padaNya, Ia tidak akan meninggalkan kita bahkan meski hanya sekejap mata.

Dan tidak pernah ada yang pasti dalam hidup ini. Segala rencana yang telah kita susun dengan rapi, bisa saja begitu mudah porak poranda oleh sesuatu yang tidak kita kira. Alangkah seringnya kita hanya bisa menatap hari-hari dengan nanar, tidak percaya bahwa ada saja hal di luar kendali yang akhirnya malah terjadi. Tapi toh di malam hari kita tetap saja menyusun rencana-rencana baru, lalu menyetel alarm untuk bangun keesokan paginya, meski umur masih saja tanda tanya. Siapa yang tahu bahwa kita masih berhak untuk bangun pagi besok? Namun kita tetap saja memikirkan tentang hari esok yang belum tentang datangnya itu. Sebab kita masih punya harapan. Sebab kita selalu punya ruang untuk berdoa.

Lalu mengapa kita kadang masih menganggap doa sebagai opsi paling akhir yang kita punya? Seolah ia hanyalah pelengkap setelah rangkaian ikhtiar yang hanya mengandalkan kemampuan kita saja. Padahal bukankah ia adalah senjata kita yang paling utama?

Kita melangitkan doa kita untuk kehidupan kita, untuk orang-orang yang kita sayangi –yang dekat, pun yang jauh, bahkan mungkin untuk orang-orang yang tidak kita kenali. Alangkah indah doa yang diam-diam itu, tanpa perlu untuk diumbar, hanyasaja ia adalah bisik lirih dan mesra dengan Sang Pencipta, saat hening satu-satunya kawan, saat air mata mengalir perlahan, dan dengan keyakinan bahwa Dia Maha Mendengarkan. Kita berdoa bukan hanya untuk kebaikan kita saja, namun juga mengucap nama-nama yang mungkin tidak akan mengetahui doa-doa kita hingga kita tiada. Lalu malaikat akan menjadi saksi itu semua, saat justru ia yang menyahuti doa-doa itu; “Dan bagimu demikian...

Doa selalu memberikan kita celah-celah harapan. Keyakinan bahwa tiada kesia-siaan di dalamnya membuat kita akan selalu kuat menghadapi apapun. Memberikan kita pemahaman betapa hidup memang tidak selalu berada di bawah kendali kita. Dan saat segala resah dan gundah itu kembali datang, dan kekhawatiran seolah tak ingin meninggalkan, doa-doa itu seolah akan bertanya; jika sebelum-sebelum ini kau telah yakin bahwa Allah telah mengatur urusanmu, mengapa kali ini kau ragu?

Makassar, 26 November 2014

Rabb, ini aku, bocah lima belas tahun yang lalu; masih dengan doa yang sama kepadaMu.

2 komentar:

  1. Maa Sya Allah. senang bertemu lagi di rumah ini ... cahaya penuh cahaya. adem Kak.
    apa kabar kak?

    Doa selalu memberikan kita celah-celah harapan. Keyakinan bahwa tiada kesia-siaan di dalamnya membuat kita akan selalu kuat menghadapi apapun.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Selamat datang kembali, Annur yang shalihah... Semoga perjumpaannya ini bermanfaat ya... :)

      Hapus

Terima kasih sudah berkunjung. Jika kamu berkenan meninggalkan jejak di kolom komentar, lebih baik lagi :)