hanya
saja tak pernah kau kira
di
bumi mana ia jatuh
di
tanah apa ia meresap
dan pada hati siapa ia tertangkap
(Sajak Doa ~ Arrifa’ah)
Untungnya kita punya doa.
Itu yang selalu saya pikirkan saat mengingat kembali tentang ibadah
yang satu ini. Bagaimana tidak, kita ini ditakdirkan terhijab dari masa depan,
pun kadang begitu sulit untuk melupakan masa lalu. Segala beban yang kita bawa
tentang itu, ataupun semua kegelisahan akibat ketidaktahuan kita tentang apa
yang akan terjadi nanti, nyatanya akan sanggup direduksi dengan doa-doa yang
bisa kita panjatkan kapan saja. Tidak tanggung-tanggung, langsung kepada Sang
Pemilik Kehidupan, Rabb yang menciptakan hidup kita, Rabb yang setiap harinya
menjaga tidur kita, hingga kembali terjaga.
Betapa banyak persoalan
dalam hidup ini yang nyatanya terasa tak mungkin kita hadapi. Meski terkadang
merasa berat dan nyaris putus asa, nyatanya kita tetap berusaha menegarkan diri
dan membuka mata. Sebab kita selalu punya keyakinan, ada Dzat yang melebihi
segalanya, yang akan mengurus segala urusan kita, yang selalu kita berharap
padaNya, Ia tidak akan meninggalkan kita bahkan meski hanya sekejap mata.
Dan tidak pernah ada yang
pasti dalam hidup ini. Segala rencana yang telah kita susun dengan rapi, bisa
saja begitu mudah porak poranda oleh sesuatu yang tidak kita kira. Alangkah
seringnya kita hanya bisa menatap hari-hari dengan nanar, tidak percaya bahwa
ada saja hal di luar kendali yang akhirnya malah terjadi. Tapi toh di malam
hari kita tetap saja menyusun rencana-rencana baru, lalu menyetel alarm untuk
bangun keesokan paginya, meski umur masih saja tanda tanya. Siapa yang tahu
bahwa kita masih berhak untuk bangun pagi besok? Namun kita tetap saja memikirkan tentang hari esok yang belum tentang datangnya itu. Sebab kita masih punya harapan. Sebab kita selalu punya ruang untuk
berdoa.
Lalu mengapa kita kadang
masih menganggap doa sebagai opsi paling akhir yang kita punya? Seolah ia
hanyalah pelengkap setelah rangkaian ikhtiar yang hanya mengandalkan kemampuan
kita saja. Padahal bukankah ia adalah senjata kita yang paling utama?
Kita melangitkan doa kita
untuk kehidupan kita, untuk orang-orang yang kita sayangi –yang dekat, pun yang
jauh, bahkan mungkin untuk orang-orang yang tidak kita kenali. Alangkah indah
doa yang diam-diam itu, tanpa perlu untuk diumbar, hanyasaja ia adalah bisik
lirih dan mesra dengan Sang Pencipta, saat hening satu-satunya kawan, saat air
mata mengalir perlahan, dan dengan keyakinan bahwa Dia Maha Mendengarkan. Kita
berdoa bukan hanya untuk kebaikan kita saja, namun juga mengucap nama-nama yang
mungkin tidak akan mengetahui doa-doa kita hingga kita tiada. Lalu malaikat
akan menjadi saksi itu semua, saat justru ia yang menyahuti doa-doa itu; “Dan bagimu demikian...”
Doa selalu memberikan kita
celah-celah harapan. Keyakinan bahwa tiada kesia-siaan di dalamnya membuat kita
akan selalu kuat menghadapi apapun. Memberikan kita pemahaman betapa hidup
memang tidak selalu berada di bawah kendali kita. Dan saat segala resah dan
gundah itu kembali datang, dan kekhawatiran seolah tak ingin meninggalkan,
doa-doa itu seolah akan bertanya; jika sebelum-sebelum ini kau telah yakin
bahwa Allah telah mengatur urusanmu, mengapa kali ini kau ragu?
Makassar, 26 November 2014
Rabb, ini aku, bocah lima belas tahun yang lalu; masih dengan doa yang sama kepadaMu.
Maa Sya Allah. senang bertemu lagi di rumah ini ... cahaya penuh cahaya. adem Kak.
BalasHapusapa kabar kak?
Doa selalu memberikan kita celah-celah harapan. Keyakinan bahwa tiada kesia-siaan di dalamnya membuat kita akan selalu kuat menghadapi apapun.
Selamat datang kembali, Annur yang shalihah... Semoga perjumpaannya ini bermanfaat ya... :)
Hapus