Jumat, 21 November 2014

Menakar Standar Istri yang Baik

“Tolong jangan beri tahu Bapak dulu ya, Neng...”, ucap wanita itu kepada saya sambil menyeka air mata yang mulai mengalir di pipinya. Di tangan saya masih ada kertas hasil pemeriksaan kesehatan suaminya yang belum sempat dikonsultasikan ke dokter. Tapi beberapa kata dalam bahasa medis yang masih bisa saya mengerti membuat saya tahu, suami wanita ini sedang dalam kondisi yang buruk. 

Tentang pasangan suami istri itu, terdapat cerita yang panjang. Keduanya terpaut usia yang cukup jauh. Wanita ini seumur dengan anak tertua suaminya. Lelaki yang meski sudah berusia senja, namun punya wajah gagah dan selera humor yang tinggi itu memang telah beberapa kali menikah. Di pernikahan terakhirnya ini, ia menikahi seorang janda muda dari pulau seberang. Saat itu, ia masih memegang jabatan penting di pemerintahan. Bayangkanlah apa di pikiran orang-orang yang menyaksikan pernikahan itu. Kira-kira apa ekspektasi mereka pada wanita muda yang menikahi pria dengan selisih umur yang jauh tapi punya banyak harta? 

Namun, pada akhirnya waktu yang menjawab semuanya. Dan jabatan serta uang memang merupakan hal yang bisa dengan mudah datang dan pergi. Saat suaminya harus turun jabatan dan hidup hanya dari hasil bumi yang berasal dari sejumlah kebun yang ia punya, nyatanya, wanita itu tetap bertahan di sampingnya. Mengurusnya dengan telaten dan penuh senyuman, lembut pula! Bukan hal yang mudah untuk mendampingi seorang lelaki berusia uzur dengan segala kelemahannya yang mulai muncul satu per satu. Terlebih saat kemudian keduanya harus segera berangkat ke kota besar untuk mengonsultasikan penyakit yang belakangan menggerogoti lelaki itu. Dan saya mendapati bahwa wanita itu tidak jua beranjak, meski mungkin statusnya sebagai perempuan yang dinikahi tidak secara resmi dalam catatan negara itu, dia punya pilihan lain. Kembali ke kampungnya di Jawa sana, misalnya. Tapi, itu tidak ia lakukan. Dan judge macam-macam yang kemarin muncul tentangnya sirna sudah. Setidaknya di mata saya, dia adalah istri yang baik. 

Ini mungkin hanya satu gambaran tentang seorang istri yang bisa saya ceritakan. Selebihnya, di sekeliling kita ada lebih banyak lagi cerita yang bisa kita pelajari dan jadikan sebagai bahan renungan. Berbicara tentang istri yang baik, tentu ada banyak aspek yang bisa kita lihat. Bukan hanya tentang sepiawai apa seorang wanita bersolek di hadapan suaminya, sehebat apa ia meracik bumbu untuk masakan seluruh keluarga, atau sebersih dan seapik apa ia mampu mengatur lingkungan rumahnya. Lebih dari itu, terlalu banyak hal yang bisa kita jadikan pertimbangan untuk kemudian menyebut seseorang sebagai istri yang baik atau tidak. Meski bagi saya, tentu bukan merupakan hak seseorang yang berada di luar lingkaran sebuah keluarga untuk menentukan ‘vonis’ itu. 

Jika kita menengok kepada Sirah Nabawiyah, maka kita mengenal sederet nama yang membersamai perjalanan Rasululullah Shallallahu ‘alaihi wasallam dalam biduk rumah tangga beliau. Merekalah para ibunda kita, ibu dari kaum muslimin yang hari ini terus kita kenang namanya dengan penuh haru dan rindu. Izinkan saya menarik dua nama yang sangat sering kita dengar ceritanya, selain juga sebab keduanya memiliki posisi spesial di hati sang nabi; Khadijah dan Aisyah binti Abu Bakar, radhiyallahu ‘anhuma. 

Dari dua sosok ini, kita kembali dapat melihat bagaimana perjumpaan keduanya di dalam rumah tangga nabi benar-benar sesuai dengan kondisi di eranya masing-masing. Saat agama ini berada dalam fase ghurbatul ‘ula –keterasingan pertama, di mana kondisi kaum muslimin sedemikian lemah, adalah sosok Khadijah yang dipilih oleh Allah untuk mendampingi sang manusia terbaik itu. Khadijah yang berusia matang, menjadi profil yang begitu pas untuk turut menopang dakwah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam yang juga kita tahu telah kehilangan sosok ibu di usia sangat belia. Kedewasaan dan ketenangan dalam bersikap juga dapat dengan mudah kita saksikan dalam kisah saat wahyu pertama turun. Saat Muhammad bin Abdullah berlari ke rumahnya pasca berjumpa Malaikat Jibril, ia mengetuk pintu dan segera meminta diselimuti. Fitrah seorang perempuan yang biasanya ‘kepo’ dan senang untuk mengorek informasi secara detil (bahkan meski tidak begitu penting untuk merumuskan solusi), ternyata tidak kita dapati pada bunda Khadijah. Beliau serta merta melakukan apa yang dipinta oleh suaminya, apa yang memang paling dibutuhkan oleh Rasul kala itu; menyelimuti, memberi ketenangan, memberikan pandangan positif. Lalu kehidupan keduanya setelah turunnya berita dari langit itu, kita tahu, tidak lagi mudah. 

Segala harta milik Khadijah ia infakkan untuk dakwah suaminya. Ia benar-benar menjadi penopang yang selalu siap menjadi ‘rumah untuk pulang’ bagi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. Dari rahimnya lahir anak-anak yang menjadi cahaya mata keduanya. Kita tahu, salah satu dari mereka kelak ikut dalam deretan wanita penghulu surga bersama sang ibunda, nama putri itu; Fatimah binti Muhammad. Muhammad Shallallahu ‘alaihi wassalam dan Khadijah binti Khuwailid Radhiyallahu ‘anhu adalah potret keluarga yang sebelum turunnya wahyu senantiasa berada dalam jalur lurus dan bebas dari perilaku jahiliyah sebagaimana kaumnya, dan pasca diangkatnya Nabi Muhammad sebagai Rasul menjadi lentera yang menerangi kota Makkah dengan cahaya tauhid. Keduanya bertahan menjalani kehidupan pernikahan bersama anak-anaknya di tengah tradisi poligami yang sah-sah saja di kala itu. Maka meski sang Rasul telah mengakui Aisyah sebagai wanita yang paling ia cintai, namun Khadijah, selalu punya tempat tersendiri dalam hati lelaki mulia itu. Sosok yang membuatnya begitu bersedih kala kehilangannya, dan selalu ia ingat setelah kepergiannya. Khadijah bagi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, adalah kenangan atas cinta.  

Lain Khadijah, lain pula Aisyah. Sosoknya yang muda, cerdas, dan lincah adalah gambaran tentang ibunda kita yang satu ini. Kala itu, dakwah memasuki masa yang sama sekali berbeda. Saat kaum muslimin siap menata pemerintahan Islam yang kokoh di kota Madinah. Maka agaknya, Aisyah bagi Muhammad adalah warna-warni yang ceria untuk melepas kepenatannya saat mengatur urusan kaum muslimin yang sedemikian kompleks. Ya, Aisyah dengan semua karakter yang ada pada dirinya; bukan hanya dengan ilmunya yang mendalam, parasnya yang jelita, namun juga cemburunya yang terkadang meletup-letup itu. 

Maka dari kedua sosok ini, izinkan saya mengikat sebuah simpul perihal ‘istri yang baik’; adalah dia yang dapat menampilkan sikap yang benar, di waktu yang tepat, sesuai dengan kondisi yang dihadapi pasangannya. 

Lalu, apakah itu selalu dalam makna ‘positif’ seperti yang kita urai di atas? Agaknya, tidak selalu. Sebab, jika kita menilik pada sosok lain yang namanya juga tersebut sebagai wanita penghulu surga, maka ceritanya akan berbeda. 

Tersebutlah nama Asiyah. Ia adalah istri dari seorang lelaki yang namanya termahsyur hingga kini. Sayang, kita akan selalu menyebut nama suaminya sebagai contoh paling buruk dalam sejarah umat manusia. Maksud saya, apa yang lebih buruk dari seseorang yang mengaku sebagai Tuhan? Ya, Fir’aun. Maka Asiyah tidak bisa kita sebut sebagai istri yang buruk ‘hanya’ karena ia tidak taat pada titah suaminya, bukan? Bahkan kita bisa menilai keteguhan itu dari sana. Saat lelaki yang harusnya ia cintai jutru menjadi seseorang yang paling berseberangan dari fitrah hatinya yang suci. Maka Asiyah memberikan definisi baru kepada kita, bahwa istri yang baik adalah ia yang siap menghadapi kondisi suaminya, seburuk apapun itu. Alih-alih mengajak pasangan ke arah keburukan untuk kesenangan pribadi, istri yang baik adalah ia yang tegak untuk menentang segala kesalahan, bahkan meski pelakunya adalah suami sendiri.  Dan Asiyah mencontohkan teladan itu kepada kita, saat ia teguh pada Allah, dan berlepas diri dari Fir’aun. 

Ya, perihal ketaatan itu memang adalah perkara yang sangat patut untuk diperhatikan oleh seorang wanita. Ini jelas memiliki hakikat yang jauh lebih tinggi dibandingkan hal-hal artifisial lainnya yang kadang dijadikan standar untuk menilai kualitas seorang istri. Meski kita tahu, bahwa tugas domestik-kerumahtanggaan juga menjadi satu hal yang patut untuk diperhatikan pula. Bagaimana tidak, bukankah kita ingat cerita tentang Umar bin Khattab Radhiyallahu ‘anhu yang tegas dan keras itu, namun ia memberi nasihat yang begitu lembut pada sahabat lainnya untuk bersabar pada istrinya, tersebab hal-hal yang bagi banyak pria mungkin adalah sesuatu yang remeh temeh; sebab ia yang menyiapkan makananku, mencucikan pakaianku, dan mengurusi anak-anakku! Demikianlah kekata Umar al Faruq tentang jasa sang istri yang patut untuk mendapat apresiasi.  

Bayangkanlah seorang anak perempuan yang selama hidup di bawah pengasuhan dan kasih sayang kedua orang tuanya. Yang kemudian sampai pada masa di mana ia sudah cukup sanggup untuk beralih mengurusi kebutuhan ayah dan ibunya, berhikmat kepada keluarga tempat ia dibesarkan. Namun, di masa yang sama, biasanya seorang perempuan harus memilih, untuk ‘mengalihkan’ totalitas pengabdian itu kepada lelaki yang belum lama ia kenal, namun akan ia habiskan sisa hidup dengannya, dan dengan anak keturunannya. Ini bukan perkara mudah. Dan sesiapa yang sanggup melewati fase itu –fase yang berlangsung sepanjang usia itu, dengan kesadaran pada tugas yang meliputi ranah ruhiyah, jasad, dan pemikiran, maka saya rasa ia patut untuk kita beri sebuah sebutan yang terasa ringan di lidah, namun berat penjabarannya; istri yang baik. Wallahu a’lam. 

Makassar, 21 November 2014


” 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih sudah berkunjung. Jika kamu berkenan meninggalkan jejak di kolom komentar, lebih baik lagi :)