“Tolong jangan beri tahu
Bapak dulu ya, Neng...”,
ucap wanita itu kepada saya sambil menyeka air mata yang mulai mengalir di
pipinya. Di tangan saya masih ada kertas hasil pemeriksaan kesehatan suaminya
yang belum sempat dikonsultasikan ke dokter. Tapi beberapa kata dalam bahasa
medis yang masih bisa saya mengerti membuat saya tahu, suami wanita ini sedang
dalam kondisi yang buruk.
Tentang pasangan suami istri itu, terdapat cerita yang panjang. Keduanya
terpaut usia yang cukup jauh. Wanita ini seumur dengan anak tertua suaminya.
Lelaki yang meski sudah berusia senja, namun punya wajah gagah dan selera humor
yang tinggi itu memang telah beberapa kali menikah. Di pernikahan terakhirnya
ini, ia menikahi seorang janda muda dari pulau seberang. Saat itu, ia masih
memegang jabatan penting di pemerintahan. Bayangkanlah apa di pikiran
orang-orang yang menyaksikan pernikahan itu. Kira-kira apa ekspektasi mereka
pada wanita muda yang menikahi pria dengan selisih umur yang jauh tapi punya
banyak harta?
Namun, pada akhirnya waktu yang menjawab semuanya. Dan jabatan serta uang
memang merupakan hal yang bisa dengan mudah datang dan pergi. Saat suaminya
harus turun jabatan dan hidup hanya dari hasil bumi yang berasal dari sejumlah
kebun yang ia punya, nyatanya, wanita itu tetap bertahan di sampingnya. Mengurusnya
dengan telaten dan penuh senyuman, lembut pula! Bukan hal yang mudah untuk
mendampingi seorang lelaki berusia uzur dengan segala kelemahannya yang mulai
muncul satu per satu. Terlebih saat kemudian keduanya harus segera berangkat ke
kota besar untuk mengonsultasikan penyakit yang belakangan menggerogoti lelaki
itu. Dan saya mendapati bahwa wanita itu tidak jua beranjak, meski mungkin
statusnya sebagai perempuan yang dinikahi tidak secara resmi dalam catatan
negara itu, dia punya pilihan lain. Kembali ke kampungnya di Jawa sana,
misalnya. Tapi, itu tidak ia lakukan. Dan judge
macam-macam yang kemarin muncul tentangnya sirna sudah. Setidaknya di mata
saya, dia adalah istri yang baik.
Ini mungkin hanya satu gambaran tentang seorang istri yang bisa saya
ceritakan. Selebihnya, di sekeliling kita ada lebih banyak lagi cerita yang
bisa kita pelajari dan jadikan sebagai bahan renungan. Berbicara tentang istri
yang baik, tentu ada banyak aspek yang bisa kita lihat. Bukan hanya tentang
sepiawai apa seorang wanita bersolek di hadapan suaminya, sehebat apa ia
meracik bumbu untuk masakan seluruh keluarga, atau sebersih dan seapik apa ia
mampu mengatur lingkungan rumahnya. Lebih dari itu, terlalu banyak hal yang
bisa kita jadikan pertimbangan untuk kemudian menyebut seseorang sebagai istri
yang baik atau tidak. Meski bagi saya, tentu bukan merupakan hak seseorang yang
berada di luar lingkaran sebuah keluarga untuk menentukan ‘vonis’ itu.
Jika kita menengok kepada Sirah Nabawiyah, maka kita mengenal sederet nama
yang membersamai perjalanan Rasululullah Shallallahu
‘alaihi wasallam dalam biduk rumah tangga beliau. Merekalah para ibunda
kita, ibu dari kaum muslimin yang hari ini terus kita kenang namanya dengan
penuh haru dan rindu. Izinkan saya menarik dua nama yang sangat sering kita
dengar ceritanya, selain juga sebab keduanya memiliki posisi spesial di hati
sang nabi; Khadijah dan Aisyah binti Abu Bakar, radhiyallahu ‘anhuma.
Dari dua sosok ini, kita kembali dapat melihat bagaimana perjumpaan
keduanya di dalam rumah tangga nabi benar-benar sesuai dengan kondisi di eranya
masing-masing. Saat agama ini berada dalam fase ghurbatul ‘ula –keterasingan pertama, di mana kondisi kaum muslimin
sedemikian lemah, adalah sosok Khadijah yang dipilih oleh Allah untuk
mendampingi sang manusia terbaik itu. Khadijah yang berusia matang, menjadi
profil yang begitu pas untuk turut menopang dakwah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam yang juga
kita tahu telah kehilangan sosok ibu di usia sangat belia. Kedewasaan dan
ketenangan dalam bersikap juga dapat dengan mudah kita saksikan dalam kisah
saat wahyu pertama turun. Saat Muhammad bin Abdullah berlari ke rumahnya pasca
berjumpa Malaikat Jibril, ia mengetuk pintu dan segera meminta diselimuti.
Fitrah seorang perempuan yang biasanya ‘kepo’ dan senang untuk mengorek
informasi secara detil (bahkan meski tidak begitu penting untuk merumuskan
solusi), ternyata tidak kita dapati pada bunda Khadijah. Beliau serta merta
melakukan apa yang dipinta oleh suaminya, apa yang memang paling dibutuhkan
oleh Rasul kala itu; menyelimuti, memberi ketenangan, memberikan pandangan
positif. Lalu kehidupan keduanya setelah turunnya berita dari langit itu, kita
tahu, tidak lagi mudah.
Segala harta milik Khadijah ia infakkan untuk dakwah suaminya. Ia
benar-benar menjadi penopang yang selalu siap menjadi ‘rumah untuk pulang’ bagi
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam.
Dari rahimnya lahir anak-anak yang menjadi cahaya mata keduanya. Kita tahu, salah
satu dari mereka kelak ikut dalam deretan wanita penghulu surga bersama sang
ibunda, nama putri itu; Fatimah binti Muhammad. Muhammad Shallallahu ‘alaihi wassalam dan Khadijah binti Khuwailid Radhiyallahu ‘anhu adalah potret
keluarga yang sebelum turunnya wahyu senantiasa berada dalam jalur lurus dan
bebas dari perilaku jahiliyah sebagaimana kaumnya, dan pasca diangkatnya Nabi
Muhammad sebagai Rasul menjadi lentera yang menerangi kota Makkah dengan cahaya
tauhid. Keduanya bertahan menjalani kehidupan pernikahan bersama anak-anaknya
di tengah tradisi poligami yang sah-sah saja di kala itu. Maka meski sang Rasul
telah mengakui Aisyah sebagai wanita yang paling ia cintai, namun Khadijah,
selalu punya tempat tersendiri dalam hati lelaki mulia itu. Sosok yang membuatnya
begitu bersedih kala kehilangannya, dan selalu ia ingat setelah kepergiannya. Khadijah
bagi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wasallam, adalah kenangan atas cinta.
Lain Khadijah, lain pula Aisyah. Sosoknya yang muda, cerdas, dan lincah
adalah gambaran tentang ibunda kita yang satu ini. Kala itu, dakwah memasuki
masa yang sama sekali berbeda. Saat kaum muslimin siap menata pemerintahan
Islam yang kokoh di kota Madinah. Maka agaknya, Aisyah bagi Muhammad adalah
warna-warni yang ceria untuk melepas kepenatannya saat mengatur urusan kaum
muslimin yang sedemikian kompleks. Ya, Aisyah dengan semua karakter yang ada
pada dirinya; bukan hanya dengan ilmunya yang mendalam, parasnya yang jelita,
namun juga cemburunya yang terkadang meletup-letup itu.
Maka dari kedua sosok ini, izinkan saya mengikat sebuah simpul perihal ‘istri
yang baik’; adalah dia yang dapat menampilkan sikap yang benar, di waktu yang
tepat, sesuai dengan kondisi yang dihadapi pasangannya.
Lalu, apakah itu selalu dalam makna ‘positif’ seperti yang kita urai di
atas? Agaknya, tidak selalu. Sebab, jika kita menilik pada sosok lain yang
namanya juga tersebut sebagai wanita penghulu surga, maka ceritanya akan
berbeda.
Tersebutlah nama Asiyah. Ia adalah istri dari seorang lelaki yang namanya
termahsyur hingga kini. Sayang, kita akan selalu menyebut nama suaminya sebagai
contoh paling buruk dalam sejarah umat manusia. Maksud saya, apa yang lebih
buruk dari seseorang yang mengaku sebagai Tuhan? Ya, Fir’aun. Maka Asiyah tidak
bisa kita sebut sebagai istri yang buruk ‘hanya’ karena ia tidak taat pada
titah suaminya, bukan? Bahkan kita bisa menilai keteguhan itu dari sana. Saat
lelaki yang harusnya ia cintai jutru menjadi seseorang yang paling
berseberangan dari fitrah hatinya yang suci. Maka Asiyah memberikan definisi
baru kepada kita, bahwa istri yang baik adalah ia yang siap menghadapi kondisi
suaminya, seburuk apapun itu. Alih-alih mengajak pasangan ke arah keburukan
untuk kesenangan pribadi, istri yang baik adalah ia yang tegak untuk menentang segala
kesalahan, bahkan meski pelakunya adalah suami sendiri. Dan Asiyah mencontohkan teladan itu kepada
kita, saat ia teguh pada Allah, dan berlepas diri dari Fir’aun.
Ya, perihal ketaatan itu memang adalah perkara yang sangat patut untuk
diperhatikan oleh seorang wanita. Ini jelas memiliki hakikat yang jauh lebih
tinggi dibandingkan hal-hal artifisial lainnya yang kadang dijadikan standar
untuk menilai kualitas seorang istri. Meski kita tahu, bahwa tugas domestik-kerumahtanggaan
juga menjadi satu hal yang patut untuk diperhatikan pula. Bagaimana tidak,
bukankah kita ingat cerita tentang Umar bin Khattab Radhiyallahu ‘anhu yang tegas dan keras itu, namun ia memberi
nasihat yang begitu lembut pada sahabat lainnya untuk bersabar pada istrinya,
tersebab hal-hal yang bagi banyak pria mungkin adalah sesuatu yang remeh temeh;
sebab ia yang menyiapkan makananku,
mencucikan pakaianku, dan mengurusi anak-anakku! Demikianlah kekata Umar al
Faruq tentang jasa sang istri yang patut untuk mendapat apresiasi.
Bayangkanlah seorang anak perempuan yang selama hidup di bawah pengasuhan
dan kasih sayang kedua orang tuanya. Yang kemudian sampai pada masa di mana ia
sudah cukup sanggup untuk beralih mengurusi kebutuhan ayah dan ibunya,
berhikmat kepada keluarga tempat ia dibesarkan. Namun, di masa yang sama,
biasanya seorang perempuan harus memilih, untuk ‘mengalihkan’ totalitas
pengabdian itu kepada lelaki yang belum lama ia kenal, namun akan ia habiskan
sisa hidup dengannya, dan dengan anak keturunannya. Ini bukan perkara mudah.
Dan sesiapa yang sanggup melewati fase itu –fase yang berlangsung sepanjang
usia itu, dengan kesadaran pada tugas yang meliputi ranah ruhiyah, jasad, dan
pemikiran, maka saya rasa ia patut untuk kita beri sebuah sebutan yang terasa
ringan di lidah, namun berat penjabarannya; istri
yang baik. Wallahu a’lam.
Makassar, 21 November 2014
“Tulisan ini diikutkan Giveaway Istri yang Baik
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih sudah berkunjung. Jika kamu berkenan meninggalkan jejak di kolom komentar, lebih baik lagi :)