Rabu, 05 November 2014

Di Balik Lembar Merajut Benang Cahaya; Perjalanan Sebuah Mimpi

Jika diretas-retas, maka ini dimulai dari kegiatan nge-blog yang saya kenal sejak kelas dua SMA, sekitar tahun 2006. Saya yang sudah menyukai dunia buku sejak kecil kemudian menemukan tempat yang nyaman saat dapat memuat tulisan di dunia maya, bahkan meski tidak ada orang lain selain saya yang membacanya. Lalu itu terus berlanjut dalam jangka waktu yang lama, sambil sesekali saya memindahkan beberapa tulisan ke note FB, kemudian dibaca serta dikomentari oleh beberapa kawan. Nah, dari sanalah ide tentang buku berasal.

Beberapa pembaca tulisan saya di FB maupun blog menyarankan agar tulisan-tulisan yang berhamburan itu dikumpulkan menjadi satu dalam sebuah buku. Awalnya saya berpikir, untuk apa membukukan (secara komersil) tulisan yang sebenarnya bisa dibaca secara gratis di blog? Namun saya tetap maju dan mengusahakan agar tulisan-tulisan itu dapat menjadi buku. Di kemudian hari saya sadar, bahwa langkah yang saya ambil sudah cukup tepat.
Seiring berjalannya waktu, akses internet sudah semakin lincah dan arus informasi tentang semua hal pun semakin deras. Dari seorang rekan blogger di Multiply bernama Kak Sari Yulianti, saya mendapat informasi tentang proses menerbitkan buku yang disebut selfpublishing. Ya, menerbitkan buku sendiri dengan membayar sejumlah ongkos terbit, lalu memodali stok buku, dan menjualnya sendiri. Lewat sebuah selfpublishing bernama Leutikaprio di Jogja, saya memulai proses itu.

Kemudian, di suatu hari di awal tahun 2012, Jeda Sejenak lahir. Judul itu saya ambil untuk mengepalai sejumlah esai dan puisi yang saya kumpulkan dari kedua blog saya kala itu. Saya membaginya menjadi tiga bagian besar; tentang kesyukuran, tentang dakwah, dan tentang kematian. Kesemuanya adalah tulisan bernuansa perenungan tentang kejadian-kejadian sehari-hari yang coba saya ambil hikmahnya. Sederhana saja, mungkin beberapa hal di sana juga pernah dialami, atau bahkan sering dialami oleh orang lain. Namun terkadang semua itu terlewat begitu saja, entah karena ia hanya rutinitas, atau karena terlalu biasa. Maka kita perlu jeda sejenak, untuk memaknainya, untuk merenunginya. 

Lalu saya pun menjalani sesuatu yang baru. Bukan hal yang mudah bagi orang yang buta masalah bisnis seperti saya, untuk memasarkan buku sendiri. Namun, saya sangat bersyukur karena meski hanya memanfaatkan dunia maya, sejumlah kawan berbaik hati ingin memiliki Jeda Sejenak. Mereka bahkan tidak banyak bertanya tentang ini dan itu dan langsung mendaftarkan diri sebagai calon pembaca, lalu menerima buku itu dengan mimik wajah yang begitu menyenangkan. Ada kehangatan yang saya rasakan setiap menjalani momen tersebut. 

Dan saya begitu menikmati prosesnya. Betul-betul independent. Menyiapkan modal untuk membeli buku sendiri. Memasarkannya. Membungkusnya satu per satu untuk dikirimkan jika pemesannya berada di luar jangkauan. Membawa segambreng paket buku ke kantor pos dekat fakultas dan menerima struk pengiriman yang panjang. Naik turun angkot untuk mengantarkan Jeda Sejenak pada pemesannya yang masih berada di kota yang sama. Menenteng sejumlah jilidnya untuk distok di toko buku-toko buku yang saya lobi karena punya kenalan orang dalam. Bahkan memajangnya  di ibu-ibu penjual nasi kuning yang malah membelinya paling pertama. Hingga menghitung saldo keuntungan dan menerima royalti dari Leutika –dan ini bagian paling melegakan. Hehehe...

Alhamdulillah, pada satu titik, Jeda Sejenak sempat berada dalam list best seller versi penerbitnya, Leutikaprio, judulnya tetap bertahan dalam list itu hingga di kemudian hari saya mencabut hak terbitnya dari self-publishing tersebut, setelah memutuskan untuk memulai hal baru untuk naskah ini.
Mengapa harus dicabut? Nah, inilah penjelasannya... Setelah cukup menyebar dari mulut ke mulut, pun lewat event bedah buku yang dilaksanakan beberapa pihak untuk Jeda Sejenak, muncullah ide baru. Ide itu lagi-lagi berasal dari kawan-kawan yang membaca buku saya. Dina, kenapa kamu tidak mencari penerbit yang lebih besar dan bisa mendistribusikan buku kamu lebih luas? Dan pertanyaan itu benar-benar menyadarkan saya; Jeda Sejenak harus mencoba memulai babak barunya.

Maka saya mulai melihat peluang itu. Apakah buku yang telah terbit indie bisa ‘diadopsi’ oleh penerbit mayor? Jika bisa, bagaimana prosedurnya?
Hingga akhirnya saya resmi untuk mencoba hal lain dengan Jeda Sejenak. Revisi saya lakukan di sana-sini. Jika dulu buku itu adalah kumpulan esai dan puisi, maka kali ini saya mencoba untuk lebih memahami pasar. Sepertinya lebih mudah jika puisi-puisi itu hanya saya gunakan sebagai pemanis pada tiap bab, bukannya mendominasi seperti halnya pada Jeda Sejenak. Dalam kurun waktu tersebut pula, saya tetap terus menulis di blog dan kemudian menambahkan tulisan-tulisan baru itu pada manuskrip Jeda Sejenak hasil revisi. Lalu saya memulai peruntungan.

Perlu waktu yang tidak singkat untuk menawarkan naskah ini ke beberapa penerbit hingga akhirnya ia menemukan jodohnya. Jangan tanyakan betapa geregetannya saya jika mendapatkan notifikasi email baru, saat ternyata itu bukan email jawaban atas naskah saya. Dan lewat seorang kawan yang begitu baik, yang saya kenal di komunitas Be a Writer –rumah maya yang sangat nyaman untuk belajar menulis, saya mendapatkan akses ke sebuah penerbit yang selama ini saya nantikan jawabannya. Mbak Linda Satibi, membukakan saya peluang itu, hingga akhirnya saya mengirimkan kembali naskah itu pada seorang editor di penerbit Bhuana Ilmu Populer.

Responnya sangat cepat, hingga membuat saya kaget. Pagi itu juga, hanya berselang beberapa jam, email saya mendapat balasan. Beliau menjanjikan masa satu bulan –paling lambat, untuk mereview naskah saya. Dan kejutan berikutnya datang saat ternyata sore harinya hasil review redaksi penerbit BIP sudah mendarat di email saya; Jeda Sejenak akan lahir kembali! Betapa bahagianya saya saat itu! Langsung saya kabarkan hal ini kepada Ibu –yang saat pertama kali membaca Jeda Sejenak, langsung meneteskan air mata saat membaca namanya dalam doa saya di halaman paling mula.

Lalu proses berikutnya pun saya jalani. Dalam masa yang tidak bisa dibilang singkat, hampir seperti seorang ibu yang mengandung anaknya, sembilan bulan lamanya. Sejak proses itu dimulai, Jeda Sejenak versi lama harus saya tarik dari peredaran. Tidak ada cetakan baru lagi, dan tidak ada stok lagi di manapun. Dalam rentang waktu tersebut beberapa orang masih ada yang menanyakan dan mencari Jeda Sejenak. Saya hanya dapat memberi kabar bahwa kelak Jeda Sejenak akan muncul kembali dalam bentuk yang baru. Semua prosesnya pun dimulai; editing, proof reading, hingga akhirnya saya mendapat kiriman desain cover yang langsung membuat saya jatuh cinta pada kali pertama. Judul Jeda Sejenak pun harus berubah nama menjadi Merajut Benang Cahaya, dengan menganalogikan hikmah dari setiap peristiwa sebagai cahaya dalam kehidupan. Saya berharap, buku ini dapat menemani pembacanya untuk merajut satu per satu benang cahaya hikmah itu menjadi pemahaman yang utuh untuk menjalani hidup dengan lebih baik.

Meski Merajut Benang Cahaya adalah versi revisi dari Jeda Sejenak, bagaimanapun, saya tetap merasa bahwa ada yang berbeda dari keduanya. Ada tulisan yang muncul di Merajut Benang Cahaya dan tak ada di Jeda Sejenak. Namun, ada pula bagian yang Jeda Sejenak miliki, namun tidak akan bisa ditemui pada Merajut Benang Cahaya. Pada dasarnya, keduanya saling melengkapkan satu sama lain.

Sampai pada akhirnya, di suatu hari saat hectic-nya hidup saya mulai mereda ba’da menggelar sebuah acara besar, kabar bahagia itu datang. Tanpa pernah tahu kapan naskah baru saya naik cetak, saya langsung menerima info bahwa ia sudah turun cetak! Merajut Benang Cahaya tidak lama lagi akan beredar di seluruh Indonesia di bawah naungan penerbit Qibla –lini penerbit BIP untuk buku-buku Agama Islam.

Apakah ini seperti kebahagiaan seorang ibu yang berhasil melahirkan anaknya? Ah, sebab saya belum pernah melahirkan, maka mungkin memang akan lain lagi ceritanya. Namun saya sangat bersyukur atas semua itu dan kebahagiaan memang akan selalu terasa begitu menyenangkan, dengan segala makna yang dikandung oleh kata ‘bahagia’ tersebut.

Jeda Sejenak, sejak dulu adalah proyek dunia-akhirat saya. Saya telah berazzam bahwa ia harus saya usahakan agar dibaca oleh sebanyak-banyaknya manusia. Ini bukan tentang royalti yang diterima oleh seorang penulis. Bukan. Uang yang dibelanjakan untuk makanan akan menjadi kotoran, jika untuk pakaian maka akan usang, dan bila untuk tempat berteduh maka suatu hari akan kita tinggalkan. Lebih dari itu, Jeda Sejenak yang bertransformasi menjadi Merajut Benang Cahaya adalah cara saya untuk bertutur kepada semua orang; bahwa ada cara menjalani hidup dengan lebih indah, selama kita ingin mengikuti jalanNya. Meminjam perkataan Asma Nadia, maka setiap buku yang terbit adalah kado untuk umat. Untuk itu, ia harus diperjuangkan. Diusahakan dengan sebaik-baiknya. Dan Jeda Sejenak –seperti yang dikatakan Arul Chandrana, sesama member di Komunitas Be a Writer, telah mengalami kelahirannya yang kedua. Dan kelahirannya kembali ini adalah bagian dari implementasi azzam saya itu.

Maka saat akhirnya saya dapat menyaksikan sendiri Merajut Benang Cahaya telah melanglangbuana di berbagai toko buku, di tempat-tempat yang mungkin tidak akan pernah saya jejaki seumur hidup, dibaca oleh orang-orang yang mungkin tidak akan pernah saya tatap wajahnya hingga saya mati, saya tidak tahu lagi harus berkata apa selain bersyukur kepada Allah. Segala puji bagiNya, yang bahkan dalam melakukan kebaikan pun kita masih tetap memerlukan nikmat dariNya.

Saya melihat Merajut Benang Cahaya telah terpajang di salah satu rak di toko buku yang saya kunjungi, dan rasanya saya sangat ingin menggamit tangan seorang gadis kecil yang selalu menganggap toko buku sebagai tempat yang istimewa. Ia selalu menunggu datangnya awal bulan saat ayahnya mengajaknya ke sana. Saya ingin sekali bertakbir dan bersyukur bersamanya, menatap ke dalam bola matanya lalu berseru riang; “Yeay! We made it!!!”



Bocah belasan tahun yang lalu itu bernama; Diena Rifa’ah, dan dia selalu bermimpi, suatu saat dapat menulis buku yang dijual di berbagai tempat di seluruh negeri. Dan kini, Allah telah menakdirkan mimpinya menjadi nyata. Dan, demikianlah perjalanannya. 

Makassar, November 2014

2 komentar:

  1. wahh.. gak percaya lohh saya, kalau ini blog penulisnya :D

    BalasHapus
  2. MasyaAllah, niat cari sinopsis buku ini malah nyasar ke blog penulisnya.. Buku terfavorit, yang sayangnya tertinggal di kampung saya nun jauh sana. Pengen baca lagi lembar-demi lembar bukunya.. Terimakasih mbak, semoga semakin sukses dunia akherat

    BalasHapus

Terima kasih sudah berkunjung. Jika kamu berkenan meninggalkan jejak di kolom komentar, lebih baik lagi :)