Senin, 30 September 2013

Wake Up!

Hari terus berganti. Matahari tenggelam lagi, lalu rembulan pun terbit. Mereka semua menjalankan perannya masing-masing sesuai ketentuan Tuhan. Tiada yang mengelak sedikitpun. Tiada yang menunggu sedetik pun. Tiada pula yang peduli apakah hari ini ada bahagia, ataupun tengah kita lewati dengan nestapa.

Rasanya, ingin sekali barang satu kali saja, tidak perlu peduli pada tanggapan siapa-siapa. Ingin saja menangis sekeras-kerasnya. Atau meluapkan amarah sebebas-bebasnya. Berteriak sekencang-kencangnya, tanpa ada yang perlu mendengarkannya. Tanpa ada yang perlu dikhawatirkan akan terkaget karenanya.

Tapi, nyatanya tidak bisa begitu. Tidak boleh begitu.

Sebab tidak perlu semua orang tau, semua hal yang bergelayut dalam pikiranmu. Tidak usah semua orang mengerti seberat apapun hidup yang tengah kau lalui. Tidak penting semua orang menyadari seberapa pelik pilihan yang sedang kau hadapi. Semuanya akan tetap baik-baik saja. Hari terus berganti. Matahari tenggelam lagi, lalu rembulan pun terbit. Dengan atau tanpa senyummu.

Tapi bukankah semua hal akan dipergilirkan? Seperti pagi dan malam. Seperti langkah kanan dan kiri yang bisa membuat kita berjalan. Seperti roda yang berputar, ke atas dan ke bawah. Maka segala liku dan haru, suatu waktu akan berubah menjadi bahagia, mungkin pula, jatuh cinta. Senja akan tetap menjelang, jingga akan muncul temaram. Seolah menghapuskan tiap bulir air mata. Seolah berjanji bahwa setelah hujan nanti, akan selalu ada kemungkinan munculnya lengkung pelangi. Bahwa setelah kesempatan hari ini, akan ada kesempatan dan kesempatan lagi.

Semua akan baik-baik saja. Seperti hari-hari kemarin yang berlalu seolah mimpi. Seperti tiap doa-doa rahasia yang dilangitkan tanpa pernah diketahui oleh sang pemilik nama. Seperti harapan-harapan masa depan yang tetap akan ada, dan membuat kita tersenyum, bahkan yang paling pahit sekalipun. Yang akan membuat kita tersenyum, saat bangun pagi, pada diri kita sendiri.

Semua akan baik-baik saja, yakinilah. Sebab pada kelam sekelamnya gelap, kaulah cahaya itu. Kaulah penerang itu. September telah berakhir, bolehkah aku membangunkanmu?

Makassar, 30 September 2013 

Jumat, 27 September 2013

sederhana?

Sebab setiap sungai akan kembali pulang kepada laut

Ingatkah kita waktu masih berumur beberapa bulan? Saat itu, satu-satunya 'sumber kehidupan' kita adalah apa yang kita dapatkan dari ibu. Sesuatu yang tidak perlu dibeli, namun ternyata begitu mahal harganya. Sederhana sekali kita waktu itu. Begitu pasrah pada apa saja yang diberikan oleh orang tua kita. Tubuh kita sedemikian mungil, dan telah puas dengan pakaian-pakaian yang kecil pula. Tapi, semuanya berubah, seiring dengan berjalannya waktu. 


Semakin kita tumbuh besar, semakian banyak hal yang kita butuhkan. Terlebih lagi yang kita inginkan. Kita sudah menjadi pemakan segala. Kita menginginkan lidah ini mengecap berbagai macam rasa. Berbagai macam hal kita lakukan untuk bisa mewujudkannya. Kita tidak lagi merasa cukup dengan pakaian yang sederhana. Kita mulai pintar untuk memilih berbagai macam warna dan model yang rupa-rupa. 

Kita mulai merasa terlalu besar untuk rumah kita. Kita menjadi selalu ingin melangkah dengan langkah-langkah yang panjang. Tapak-tapak kaki kecil yang sudah lelah hanya dengan mengitari dapur itu, kini sudah tidak lagi demikian. Kita kemana-mana. Menyusuri laut. Mengarungi langit. Berlari. Tidak lagi merasa cukup dengan sesuatu yang berjalan lambat, yang berputar lambat. Kita ingin segalanya dilakukan dengan serba cepat. Serba instant. 

Kita menjadi jauh dari sederhana. Surat yang ditulis dengan tinta pulpen, yang bisa kita rasakan wangi kertasnya, yang menempuh waktu berhari-hari untuk tiba di alamat tujuan, tidak lagi menjadi cocok dengan kita. Buku-buku konvensional yang lembarannya dapat sobek dan lusuh, yang dapat kita baca hingga tertidur, atau dapat kita peluk, tidak lagi menjadi istimewa. Ada berbagai macam perangkat canggih yang bisa menggantikannya. Kita tidak perlu lagi merasai rindu yang buncah untuk bertemu. Kita tidak perlu menunggu hari berlalu untuk berjumpa dan bertukar kata. Kita dapat mengetahui kabar dari orang-orang yang jauh, hanya lewat menggerakkan ujung-ujung jari saja. 

Kita menjadi begitu banyak keinginan. Kita menginginkan banyak hal, bahkan meski tidak pernah benar-benar kita butuhkan. Kita tidak lagi merasa cukup (bahkan mungkin bosan?) hanya dengan memandang wajah ibu,ayah, dan saudara-saudara kita. Kita ingin, bahkan bermimpi bertemu dengan banyak orang lainnya. Kita tidak lagi bisa merasakan bahagia, hanya dengan memandang langit, merasai angin yang berhembus perlahan, menikmati senja, atau mendengarkan bunyi hujan dari beranda rumah. Kita ingin melakukan banyak hal, merasai banyak hal, memiliki pengalaman tentang banyak hal, bahkan yang sama sekali tidak kita mengerti untuk apa. Kita bahkan menjadi sedih, kesulitan, gamang, dan gundah karena keinginan-keinginan tidak tercapai, yang kita buat-buat sendiri itu. Kita begitu senang menginginkan sesuatu meski itu diluar kendali kita. 

Kita ingin terus lebih dan lebih. Lebih dari orang lain. Lebih dari siapapun. Bahkan lebih dari diri kita sendiri, diri kita yang sebenarnya. Kita menjelajah kemana-mana, lalu lupa pulang ke tempat dimana kita sebenarnya berada; hati kita sendiri. 

Kita terlalu banyak mengetahui hal-hal yang sama sekali tidak perlu kita tahu. Kita terlalu banyak bertanya, untuk sebuah jawaban yang tidak akan pernah mengubah apapun. 

Mungkin itu semua sama sekali tidak salah. Tapi, perlahan tapi pasti, kita tidak lagi menjadi sederhana. That's it. 

Makassar, 27 September 2013

Kamis, 26 September 2013

Baim Tidak Pergi Sekolah

"Baim, kenapa tidak pergi sekolah?", bocah kecil itu hanya bergelayut tidak jelas saat ditanyai demikian. Jam dinding belum menunjukkan waktu seorang siswa taman kanak-kanak pulang sekolah. Tapi Baim sudah nampak berkeliaran di sekitar rumahnya. 


"Saya tidak punya baju olahraga", ucapnya, dengan bahasa cadelnya, tentu. "Kalau tidak pakai baju olahraga, tidak bisa ikut jalan berbaris sama teman-teman..", lanjutnya dengan bibir monyong. 

Ibunya meraih Baim ke pangkuannya. Lalu mengusap kepala bocah itu. Pagi itu, Ibu Baim sedang berkunjung ke rumah salah satu tetangga mereka. Menawarkan sebuah baju untuk dijual. 

"Belum ada uang untuk belikan baju olahraga, Bu...", ujar Ibu Baim sambil tersenyum kecut pada ibu pemilik rumah itu. 

Besoknya, saya kembali melihat Baim berkeliaran di jam seharusnya ia sekolah. Nampaknya, hari itu masih jadwal menggunakan baju olahraga. Baim belum punya. Maka ia kembali tidak datang ke taman kanak-kanaknya. 

Melihat kejadian itu, Ibu pemilik rumah tempat hari sebelumnya Ibu Baim menjual baju, memanggil Ibu Baim kembali ke rumahnya. Niat awalnya untuk membayarkan uang baju yang kemarin ia beli dari Ibu Baim. Rupanya, si Baim juga kembali ikut dengan Ibunya. Ia bergelayut dan berlari-lari lincah seperti biasanya. 

"Baim tidak sekolah lagi?", tanya ibu itu

Baim kembali menggeleng. Ia kembali menyebutkan alasan yang sama. Belum punya baju olah raga. 

Oleh ibu pemilik rumah itu, Baim lalu diberi sejumlah uang. Langsung diberi pada bocah itu, tidak kepada ibunya. Si Baim yang biasanya bila diberi uang jajan maka akan begitu lincah menyambarnya, kali ini nampak berbeda. Pelan-pelan ia julurkan tangannya untuk menerima uang itu. 

Dipegangnya uang itu dengan kedua belah tangannya dan dengan mata yang terbelalak. 

"Waaah.... Banyaknyaaa...", ujarnya dengan suara cempreng. Ia kegirangan.

"Buat beli baju olahraga ya...", ibu itu tersenyum padanya.

Baim berlari-lari dengan gembira. Ia begitu takjub bahkan hingga bersorak-sorakm "Saya diberi uang lima juta!!!". Ya, jika melihat uang banyak, Baim akan menyangka bahwa jumlah uang itu lima juta. Padahal uang untuk beli baju olahraga itu cuma tujuh puluh ribu, Baim...

***

Selalu ada rasa hangat di hati ketika kita tuntas membuat orang lain berbahagia. Mungkin, yang kita lakukan itu sama sekali tidak ada kaitannya dengan diri kita sendiri. Bukankah membantu orang lain kadang justru membuat kita kurang secara materi? Lelah, habisnya waktu, kurangnya harta, terlepasnya berbagai kesempatan, adalah hal-hal yang sangat mungkin terjadi saat kita memutuskan untuk membantu orang lain. Tapi, saat bantuan itu dapat membawa kegembiraan pada seseorang -bahkan sesederhana apapun itu, maka sadarlah kita bahwa sejatinya, yang merasakan bahagia paling pertama bukanlah orang yang dibantu, tapi justru hati dari yang membantu. 

Semakin berjalannya hari, berlalunya masa, dan bertambahnya umur, akan semakin menyadarkan kita bahwa; hidup bukan tentang diri kita sendiri. Pada suatu titik, berbagai kemungkinan dan pilihan bisa saja terjadi. Pada saat itu, terkadang kita tidak boleh hanya memikirkan kepentingan pribadi. Sebab satu manusia, selalu terkoneksi dengan manusia lainnya. Apakah ini menyulitkan? Tidak juga. 

Sebab jika hidup memang bukan tentang diri kita sendiri, maka kebahagiaan orang lain pun bukan tentang mereka sendiri, namun bisa jadi juga turut kita rasakan. Kebahagiaan Baim bisa ikut berolahraga dan 'jalan-baris' dengan kawan-kawannya 'hanya' karena diberi uang tujuh puluh ribu, ternyata dapat pula dirasakan oleh ibu tetangga yang membantunya tersebut. Dan kebahagiaan semacam ini, sama sekali tidak ternilai dengan berapa rupiah pun. 

Apalagi yang kita inginkan saat keberadaan kita disyukuri? Bahkan meski secara kasat mata beberapa orang memandangnya bukanlah sebagai sebuah kebanggaan, namun siapa yang peduli? Pada akhirnya, bahagia bukan hanya perihal keadaan. Bahagia adalah keputusan. Kita dapat meraihnya dengan berbagai macam cara, dan kebanyakan dari itu bukan hanya terkait dengan perihal materi belaka. 

Besok-besok, saya berharap akan kembali menyaksikan dari jendela kamar saya, pemandangan saat Baim membawa tas ransel yang lebih besar dari punggungnya, kali ini dalam seragam olah raga taman kanak-kanak. 

"Baim!" seru saya dari balik jendela

"Kakak!!!", Baim akan balik menyapa sambil mendongak dan melambaikan tangan. Ia lalu berlari dan meloncat pada boncengan motor ibunya. Dan itu, bahagia. 

Makassar, 26 September 2013

 

Rabu, 25 September 2013

Sekali Lagi. Tentang Perpisahan

"Bu, besok akan datang adik kecil di rumah sebelah, khan Bu?", tanya gadis kecil itu dengan mata berbinar. Ibunya mengangguk-angguk sambil tersenyum. Tak lama lagi, tetangga mereka akan kedatangan anggota keluarga baru... 

***

Saya tidak menyangka harus menulis kalimat ini kembali. Bahwa dalam sehari, saya mendengar dua kabar perihal perpisahan. Yang pertama tentang seorang saudari seperjuangan di masa kuliah, yang besoknya akan kembali ke kampungnya, dan mengabdi di sana. Kami akan berpisah. Yang kedua, tentang perpisahan dengan kerabat yang amat sangat dekat. Dua perpisahan, namun dalam konteks yang sama sekali berbeda. 


Sosok pada perpisahan yang pertama itu, telah saya tulisan pada postingan sebelum ini. Sementara dengan yang kedua, ini terjadi antara saya dengan anak pertama dari kakak lelaki ayah. Ya, seorang sepupu satu kali, Kak Nina namanya. 

Kak Nina, bagi saya adalah sosok yang bagaikan lampu yang terang benderang. Semua tempat dengan kehadirannya bisa menjadi begitu gegap gempita dan bahagia. Ia bisa membawa tawa dimana-mana dengan celetukannya yang lucu. Sosoknya yang mungil menunjang kelincahannya yang super. Ia gunakan itu untuk membantu orang banyak. Saya berjumpa dengan Kak Nina sekitar sepekan lalu, saat acara arisan keluarga terjadwal di rumahnya. Saya saat itu tidak tahu, bahwa itu adalah pertemuan terakhir kami. 

Saya sengaja masuk lewat pintu belakang, hari itu. Sengaja pula datang lebih cepat dari jadwal seharusnya, sambil menenteng bungkusan berisi kue untuk Paman yang kemarin baru saja melewati hemodialisa. Paman saya itu, adalah seseorang yang tetap survive hidup dengan penyakit ginjalnya. Belasan tahun sudah ia cuci darah. Menurut pengakuan beliau, rekan-rekannya sesama pasien yang harus di-hemodialisa telah datang dan pergi satu persatu. Kalian tentu paham makna kata 'pergi' yang saya gunakan di sini. Paman saya itu, satu dari sedikit yang bertahan begitu lama. 

Kak Nina dengan sigap menyodorkan kue di piring kecil kepada saya. Belum lagi kue itu habis, ia kembali muncul dengan segelas es buah. Sesekali ia mengajak saya bercakap dan melucu hingga saya tertawa-tawa. Perutnya yang sudah semakin membuncit tidak mengurangi kelincahannya. 

"Tinggal tunggu hari, Dek. Itu kalau mau normal. Tapi kalau mau operasi sih, bisa kapan saja...", ucapnya, menerangkan perihal kehamilannya. Saya mengangguk-angguk sambil terus mengunyah.

Sebelum pamit dari rumahnya, saya masih sempat berjabat tangan dan mengelus perut Kak Nina. Ia terus tersenyum lebar sambil melepas kepergian saya. 

Hingga, kabar itu datang. Di suatu pagi yang harusnya biasa, Paman dan seorang menantunya sudah muncul di ruang tamu kami pagi itu. Mereka berdua menemui Bapak, dan mereka berbicara dengan nada yang begitu rendah. Saya yang sedang berbenah di kamar Ibu sama sekali tidak bisa menangkap pembicaraan mereka, sama sekali tidak ada bayangan tentang kabar yang mereka bawa. Setelah mendengar kabar itu, Bapak hanya diam. Tidak banyak bicara. Sudah sejak lama memang, Ibu saya tidak bisa mendengar berita buruk. Berita seputar meninggalnya orang-orang terdekat dari kami selalu dirahasiakan dari Ibu, demi menjaga kondisi kesehatan beliau yang akan langsung terganggu jika mendengar berita tak baik. Kami akan merahasiakannya, hingga Ibu akhirnya akan mengetahuinya sendiri, lewat perasaannya sendiri. 

Maka saat melihat Bapak hanya diam. Saya tahu, sesuatu telah terjadi. Saya berusaha menahan penasaran  hingga melepas Bapak berangkat pagi itu, lalu tak lama mengirimkan pesan singkat untuk bertanya perihal kabar tersebut. 

"Siapa yang meninggal, Pak?"

"Kakak Nina-mu, Nak."

Saya tertegun menatap layar handphone. Ada bulir bening yang tiba-tiba muncul di bola mata saya. Sesuatu yang tentu harus segera saya sembunyikan sebelum ibu bertanya macam-macam.

Akhirnya, saya baru berkesempatan untuk ke rumah duka pada malam harinya. Di sana, saya mendengar banyak cerita. Perihal Kak Nina yang dibawa ke rumah sakit umum tempat asuransi dari perusahaan suaminya bekerja dapat digunakan. Kondisinya tidak begitu baik, mengingat bulan lalu ia sempat mengalami pendarahan. Saat itu telah mengemuka opsi untuk langsung menjalankan SC, namun berat bayi tidak mendukung. Maka, ditundalah. 

Pada hari kelahiran itu, Kak Nina mengalami hipertensi. Kondisinya buruk. Sekitar DELAPAN JAM di rumah sakit tersebut tanpa ada tindakan yang berarti. Saya tidak paham apakah pelayanan menjadi begitu berlarut-larut sebab Kak Nina dan suaminya bukan pasien umum? Entahlah. Ia hanya berdua dengan suaminya, sebab Tante menemani Paman untuk cuci darah di rumah sakit yang lain. Katanya, penanganan pada Kak Ninan tidak memungkinankan di rumah sakit itu, namun entah mengapa tidak segera di rujuk ke rumah sakit lain. Dari cerita pada kerabat, ada yang mengatakan bahwa saat itu yang ada hanya koas, ada juga yang mengatakan bahwa sebenarnya ada dokter residen. Yang lain berkata, dokter ahli bedahnya sedang tidak di tempat. 

Hingga akhirnya, Kak Nina menghembuskan napasnya yang terakhir dengan janin yang masih di perut. Menurut hasil USG, calon keponakan baru saya itu adalah bayi lelaki. Ia, bahkan meninggal sebelum benar-benar lahir. Kak Nina meninggalkan seorang suami dan seorang anak perempuan berusia tiga tahun yang sangat mirip dengannya. 

Orang-orang yang datang melayat berkata tentang banyak hal, banyak kemungkinan. Seandainya segera dirujuk... Seandainya memilih rumah sakit lain... Seandainya waktu itu segera dioprasi saja... Dan seandainya-seandainya lain yang tidak akan mengubah apapun. 

"Mungkin inilah memang takdir anak saya. Kami dilarang untuk berkata seandainya...", ucap Ibu Kak Nina dengan air mata berlinang-linang. 

Malam itu saya memandangi bocah tiga tahun itu dengan perasaan yang sesak. Anak itu mengira, ibunya sedang pergi shalat. Ia hanya melihat sang ibu dalam balutan kain kafan putih seperti mukenah. Saat ibunya pulang nanti, ia akan dibawakan oleh-oleh dan mainan, katanya. Anak itu masih ceria dan melompat di pangkuan saya ketika saya datang. Saat akan pamit pulang, ia menjabat dan mencium tangan saya -kebiasaan yang diajarkan oleh Kak Nina semasa hidupnya. Saya memandangi bocah cantik itu, lalu mendapati wajah Kak Nina di sana. 

***

"Adik kecilnya tidak datang, Nak. Adik kecilnya tidak akan datang...", ucap Ibu Kak Nina sambil terisak, pada bocah tetangganya yang mengira akan segera bertemu dengan anak Kak Nina yang baru lahir. 

Makassar, 24 September 2013

Selasa, 24 September 2013

Kepadamu, dengan Penuh Cinta

Degup jantungnya seketika menjadi lebih cepat saat membaca pesan singkat itu. 


Pesan itu dari seorang kawannya yang sudah tiba di kampus lebih dahulu. Ia mengabarkan bahwa sebentar lagi seluruh MABA akan diminta untuk memasuki ruangan yang sudah disediakan oleh para senior. Ia memandang keluar jendela kendaraan roda empat yang ia tumpangi. Ia kini berada di titik jarak perjalanan setengah jam dari kampus. Dan para senior sebentar lagi akan menggiring MABA menuju ruangan? Celaka

Setibanya di areal kampus, ia segera mempercepat langkah menuju tangga. Lingkungan itu, sungguh masih asing bagi dirinya. Terlalu besar, terlalu luas. Ia menormalkan napasnya yang memburu saat tiba di lantai empat. Menyusuri koridor dengan kecepatan normal saat sahutan dari seorang senior membuat langkahnya harus kembali mengalami percepatan.

"Sudah terlambat, jalan santai lagi!", hardiknya. 

Dari kejauhan, ia bisa menangkap pemandangan segorombolan MABA lainnya di depan ruangan yang ia tuju. Nampaknya, mereka senasib dengannya; terlambat pula. Seorang senior terlihat memimpin gerombolan itu. Ia segera turut membaur di sana. Berusaha menangkap dan mencerna apa yang sedang terjadi sebenarnya. 

Senior di hadapan mereka itu berusaha menunjuk satu pimpinan untuk 'barisan-telat' tersebut. Lalu memprovokasi mereka untuk merangsek masuk ke ruangan dimana 'acara' untuk MABA sudah dimulai, sepertinya dari tadi. Senior di dalam ruangan tentu tidak tinggal diam. Mereka menolak. Mereka marah, dan tentu tidak terima forumnya diganggu oleh sekelompok orang yang datang terlambat. 

Yang telah datang tepat waktu pun tidak luput dari kegalauan. Mereka konon diminta memilih antara kesetiakawanan angkatan atau memulai kegiatan. Bukan mahasiswa baru namanya jika tidak dibuat merasa serba salah. 

Debat itu masih berlangsung, sengit. Pemimpin 'barisan-telat' setengah mati berargumen agar dapat tetap masuk ke ruangan, dan bukan hal yang sulit untuk para senior itu untuk mematahkan tiap pendapat tersebut. Sementara senior di luar ruangan tidak jemu-jemu meniupkan aroma 'perjuangan' agar kami yang terlambat tidak gentar untuk maju. Alamak. 

Ditengah kesengitan itu, tidak diduga tidak dinyana, seorang maba perempuan berani angkat suara. Dengan nada yang tegas ia turut meminta agar kami juga diperkenankan untuk masuk. Suara feminin itu tentu menjadi pusat perhatian. Termasuk olehnya, ia mengangkat kepala yang sedari tadi coba ia tundukkan. 

"Saya tidak suka sama kamu!", ujar salah seorang senior kepada maba perempuan itu sambil mengusir gerombolan keluar. Si maba perempuan tadi terus menerus berbicara, hanya terdiam sesaat saat dibentak. 

Ia sendiri mencoba merasai atmosfer yang tercipta kala itu. Di masa SMA dulu, ia senang sekali ikut berdiskusi, bahkan hingga nyerempet ke perdebatan. Namun kali ini, dikuncinya bibirnya rapat-rapat. Tidak ingin cari gara-gara. Dengan diam saja sudah cukup mencolok begini, jangan buat lebih mencolok lagi... Nasihatnya dalam hati, pada dirinya sendiri. 

Akhirnya perdebatan itu berakhir dengan kekalahan 'barisan-telat'. Asas pertama sedang dijalankan; senior selalu benar, kali ini tentu didukung oleh fakta bahwa memang; junior sedang melakukan kesalahan. Maka sebenarnya wajar saja jika sekolompok itu sukses diusir dari arena. Mereka hanya bisa berjalan sambil menunduk melewati senior-senior yang mendapati kekalahan mereka. 

Ia pun harus segera bubar jalan. Mencari tempat lain untuk menunggu jam kuliah, sambil menerka-nerka hukuman apa yang nanti pasti akan ditimpakan. Saat itu, ia tidak sadar ternyata sedang berjalan bersisian dengan maba perempuan yang fenomenal tadi. 

"Kuliah kita dimulai jam sepuluh. Tidak seharusnya kita disuruh datang jam tujuh begini!", ujarnya. Sama sekali tidak ada ketakutan. Keduanya terus berjalan menuruni tiap anak tangga. Kedua gadis itu tidak tahu, bahwa pada titik itulah kebersamaan bertahun-tahun setelahnya diantara mereka, baru saja dimulai. 

Akhirnya, mereka mencoba untuk saling mengenal. Yang seorang adalah mahasiswa baru yang berasal dari kota universitas itu berada. Ia tinggal dengan kedua orang tuanya, di kota kelahirannya, aman sentausa. Sementara maba perempuan pemberani tadi itu adalah perantau. Itu adalah kali pertama ia menjejak tanah Sultan Hasanuddin. Di hari-hari berikutnya, keadaan jauh dari lingkungan kampung halamannya membuatnya harus bertahan menjadi seorang pejuang sejati sekaligus seorang pembelajar. Bertahan dalam arti benar-benar bertahan dengan segala masalah yang harus dihadapi tanpa kehadiran kedua orang tuanya seperti di masa-masa sebelumnya. 

Maba perempuan nan pemberani itu pada akhirnya menjadi seorang mahasiswi yang tidak biasa. Ia bukan hanya menghabiskan waktunya untuk menimba ilmu di balik tembok-tembok kelas, tapi juga mengumpulkan kebenaran dari mana saja. Ia bukan hanya berkata, tapi juga bertindak. Ia tidak hanya beropini, namun juga bergerak. Sikap alamiahnya yang ramah, penyayang, dan perhatian, sangat membantunya untuk terjun dalam berbagai macam aksi sosial. Tidak adanya kekangan dari orang tua yang tinggal jauh darinya justru membuatnya menjadi punya banyak waktu untuk melakukan banyak hal. Untuk menemukan banyak hal, dalam koridor yang positif tentunya.  

Bagaimana dengan gadis yang kini menjadi sahabatnya itu? Sekilas, melihat keduanya mungkin memang terdapat perbedaan kepribadian. Gadis yang satunya itu tidak bisa digolongkan dalam orang-orang yang peramah. Menatap wajahnya pertama kali mungkin hanya akan melahirkan kesan cuek dan tidak peduli. Saat berbagai pikiran bergelut di kepalanya dan ia hanya bisa diam, di jidatnya seolah tertulis; jangan dekati aku. 

Namun, agaknya perbedaan itulah yang membuat mereka mengerti, bahwa dua orang tidak harus menjadi identik untuk dapat saling merasa nyaman. Pada akhirnya, mereka dapat bersama berjalan beriringan. 

Gadis cuek itu seringkali merasa bahwa kebekuan dan dinginnya dirinya selalu bisa menjadi mencair bersama sahabatnya itu. Kekakuannya dapat lebih dinetralisir. Warna hatinya telah berubah. Hanya sebab tidak semua orang belum tentu memahami, betapa setiap keramahan yang ia paksakan selalu membuat tenaganya lebih banyak terkuras, dan kesendirian dalam diam adalah re-charge baginya. Dan bahwa betapa ia selalu ingin memiliki -sedikit saja, dari kepribadian hangat itu. Tapi yang terpenting, dari gadis yang kini telah ia anggap saudari itu, ia telah belajar banyak hal. 

Ia yang pendiam bisa menjadi begitu cerewet bersamanya. Membicarakan hal-hal yang tidak penting, atau tertawa-tawa untuk sesuatu yang tidak perlu. Ia bisa mengatakan banyak hal, yang oleh orang lain mungkin ia bisa mendapatkan persetujuan, namun dari saudarinya itu, ia bisa menemukan pertimbangan lain. Ia, belajar tentang kehidupan. Bahwa terkadang, kita hanya perlu menerima keadaan, saat segalanya telah coba kita berikan. 

Ia pada akhirnya merasa bersalah, saat mengetahui bahwa hanya karena 'merasa sibuk', telah banyak hal yang dilewati saudarinya itu bahkan tanpa dukungan doa dari dirinya, apalagi keberadaan jasadnya. Dan bahwanya nyatanya, setiap perjumpaan pasti akan selalu menemukan perpisahannya. Begitupun dengan keduanya. 

Tentang sisi kekurangan dari saudarinya itu, sungguh ia yakin bahwa itu pun ada. Namun, bukankah indah jika kita pada akhirnya memilih untuk melihat dan membicarakan tentang yang baik saja? Selebihnya, kita tidak pernah tahu tentang kekurangan orang lain yang bisa saja telah dimaafkan olehNya. 

Ya, nyatanya setiap perjumpaan pasti akan menemukan perpisahannya. Kini tinggal menghitung hari untuk menuju masa itu. Mereka bahkan tidak tahu kapan akan bertemu lagi. Namun, mungkin memang sesekali jarak harus dibiarkan membentang untuk merasai rindu. Mungkin dengan itu, doa-doa diam-diam yang dilangitkan akan terasa lebih syahdu. Dengan itu, setiap detik kebersamaan akan dirasai dengan lebih berarti. Hingga tiba saat mereka akhirnya berjumpa lagi. Semoga, dalam keadaan yang lebih baik. Semoga.  

Makassar, 13 September 2013
Teruntuk dan hanya untuk, saudariku fillah; Ukhti Rismawati binti Burhanuddin
Agar kau tahu, saudarimu ini bersyukur telah mengenalmu
Jazakillah khairan untuk semuanya :')

Diposting pada hari kepulangan Ukh Risma kembali ke kampungnya.
Makassar, 25 Septermber 2013
I. Will. Miss. You. So. Much. Ukhti! :')

Jumat, 20 September 2013

Benih

Padang rumput itu begitu luas. Menatapnya dari sini, maka aku bisa melihat hamparan hijau yang memanjang tak terbatas. Lengang pula. 

Hingga suatu hari, seorang gadis datang ke sana. Entah darimana asalnya. Ia berlari-lari dengan begitu gembira. Seolah sedang menikmati kebebasan tak berujung itu. Ia nampak begitu senang dan sumringah. Sementara kedua telapak tangannya mengatup, entah tengah menggenggam apa. Ia menjaga baik-baik 'sesuatu' pada kedua belah telapak tangannya itu. Seolah jika ia lengah sedikit saja, maka benda itu akan hilang darinya. Ia terlihat begitu menjaga benda itu. Sambil terus tertawa-tawa bahagia. Membuncah. 

Gadis itu muncul di padang rumput tiap pagi dan petang hari. Namun, diwaktu-waktu tertentu, kerap kali ia kudapati tengah mengintip dari jauh. Seperti menunggu waktu yang tepat untuk kembali muncul. Semakin lama, ia semakin sering mengintip seperti itu. Lalu semakin lama, juga menjadi semakin sering berlari-lari di sana. 

Kemudian hari itu tiba. Hari dimana akhirnya aku bisa mengintip benda di tangannya. Ia membuka katup tangannya. Itu sebuah benih. Sebuah benih yang entah untuk tanaman apa, entah dimana pula ia mendapatkannya. Mungkin itu serupa benih pohon yang akan menumbuhkan buah-buah dari kristal es? Atau yang rantingnya beku? Entahlah. Aku tak pernah tahu. 

Setelah membuka katup tangannya dan memperlihatkan benih itu, akhirnya si gadis memutuskan untuk menanamnya. Ia meletakkan benih itu pelan-pelan di atas rumput. Seolah itu adalah sebutir permata atau kaca yang mudah retak. Lalu dengan kedua belah tangannya, ia menggali tanah seorang diri. Masih, dengan senyum merekah dan semua kekuatan yang ia punya. Ia bahkan tidak lagi peduli pada lecet-lecet pada jari jemarinya karena begitu semangat menggali. Ia terus menyimpan harapan meski tanpa sadar tengah menyakiti dirinya sendiri. Saat lubang yang ia gali sudah dirasa cukup, ia menanam benih itu dengan hati-hati. Dengan penuh kasih. Ditimbunnya kembali benih itu dengan tanah. Lalu disiramnya dengan air yang ia bawa. Pelan-pelan. Penuh penghayatan. 

Ia lalu memandang hasil kerjanya dari jauh. Menikmati setiap harapan yang ia titipkan pada sebiji benih yang kini mendekam dalam bumi. Gadis itu, nampaknya begitu yakin, bahwa benih itu akan tumbuh suatu hari. Meski sebenarnya ia pun tahu, bahwa tidak ada yang menjanjikan hal itu terjadi. 

Setelah prosesi menanam benih, si gadis menjadi bertambah bersemangat untuk datang ke padang rumput. Ia bahkan meninggalkan hatinya di sana. Sepotong hati yang merawat benih itu sepenuh jiwa. Oleh hati, benih itu disiraminya, dipupukinya, dan dirawatnya tanpa lelah. Sekali lagi, meski pengetahuan tentang tidak ada yang menjanjikan bahwa benih itu kelak akan tumbuh, ternyata tertinggal di otak gadis itu. Yang hatinya tahu hanyalah bahwa, pada benih itu, harapan ia telah titipkan bulat-bulat. 

Sesekali gadis itu pun datang. Menyaksikan sendiri bagaimana perkembangan si benih. Ia terus berdoa dalam sujud-sujudnya, betapa ia menginginkan benih itu bertumbuh suatu hari. 

Aku menyaksikan gadis itu. Entah ikut berharap, ataukah justru merasa ngeri. Adakah gadis itu akan siap, sekiranya benih itu tidak pernah benar-benar tumbuh? Adakah gadis itu akan mudah menerima, perihal segala pengorbanan dan harapannya yang tumpah ruah tentang benih itu nyatanya hanyalah sesuatu yang kosong belaka? Layaknya hembusan angin yang berlalu tanpa wujud yang nyata. Adakah gadis itu cukup kuat? Tak tahu. 

Aku masih menyaksikan gadis itu. Dari sini, dari tempatku sendiri. Tempat dimana awan dan matahari menumpang untuk beredar. Tempat dimana aku bisa melihat segalanya dengan lebih luas. 

Aku menyaksikan gadis itu. Tanpa sadar, betapa sebenarnya aku pun turut menginginkan apa yang gadis itu inginkan. Bahkan meski itu berarti harus merelakan...

Makassar, 20 September 2013 

Kamis, 19 September 2013

Perbincangan Dua Orang Lelaki

Lelaki itu nampak sedang menunggu seorang tamu. Beberapa tamu datang dan pergi menemuinya malam itu, namun yang ditunggu belum juga tampak. 


Hingga Isya tuntas, akhirnya bel rumahnya kembali berbunyi. Lelaki yang ditunggunya akhirnya tiba juga. Ia tidak lain adalah pamannya sendiri. Lelaki tuan rumah itu lalu mempersilakan paman yang sudah sepuh itu masuk. Diantara kebulan secangkir teh di atas meja, keduanya memulai pertemuan itu dengan basa-basi sekadarnya. Hingga akhirnya sang paman memulai pada pokok permasalahan. Pada tujuan sebenarnya mengapa ia bertamu malam itu. 

"Saya tidak tahu, Nak. Mengapa justru anak saya yang sudah punya pekerjaan tetap itu, hidupnya menjadi tidak tenang...", ujar lelaki berusia tujuh puluhan tahun itu. Ia sedang bercerita tentang seorang anak perempuannya. Anaknya itu janda dengan usia masih cukup produktif. Ia memiliki seorang saudara perempuan pula, namun saudaranya ini tidak bekerja, hanya bergantung pada penghasilan suami. Sedangkan ia adalah seorang pegawai tetap pada sebuah instansi. Namun nyatanya, saudaranya yang berprofesi sebagai full-time-mom itu justru lebih 'aman' secara finansial dibandingkan dirinya. 

"Anak saya itu terlilit hutang. Sampai harus meminjam di bank sebesar seratus juta rupiah...", ujar sang paman. Ada getir pada nada bicaranya saat menyebut nominal angka yang tidak sedikit itu. Lelaki tuan rumah itu terbelalak. Mengapa bisa begitu kejadiannya? 

"Saya juga heran. Sementara wujud uang itupun tidak jelas. Entah dia berbisnis apa, lalu gagal. Atau memang sejak awal sudah kena tipu... Sekarang banyak orang yang menawarkan iming-iming modal yang berganda berkali-kali lipat..." ujar sang paman. 

Lelaki yang kini hidup dari uang pensiun yang terbatas dan tabungan seadanya itu kemudian menceritakan, bahwa sudah tiga bulan anaknya tidak mampu membayar cicilan di bank yang dia targetkan baru lunas setelah dua tahun. Belum lagi dengan bunga bank yang melilit. Hendak melakukan gali-lubang-tutup-lubang, perempuan itu lalu mencoba meminjam pada sebuah tempat peminjaman yang juga ribawi, demi menutupi pinjaman di bank. Nyatanya, ia makin terbelilit. Pinjaman di bank tidak tuntas, di tempat yang lain pun akhirnya menjadi beban baru. Sungguh ironi. 

"Lalu apa yang dijadikan jaminan di pihak banknya, Paman?" tanya tuan rumah dengan nada prihatin. 

"Rumah yang saya tinggali sekarang, Nak.", kata lelaki tua itu dengan suara bergetar. Terbayang olehnya rumah yang telah ia tinggali bertahun-tahun. Dari sana semua cerita tentang keluarganya ia rajut. 

Dua orang lelaki itu terdiam. Sibuk dalam pikiran masing-masing. Angin malam berhembus lewat pintu yang mereka biarkan terbuka. Udaranya yang dingin tidak serta merta mendinginkan kepala keduanya. 

"Saya boleh menawarkan saran, Paman?", tanya tuan rumah sambil menatap wajah pamannya. Lelaki tua itu mengangguk. 

"Bagaimana kalau Paman menjual rumah yang paman tempati itu. Sebab jika rumah itu disita, maka Paman tidak akan mendapatkan apa-apa.." ujar lelaki paruh baya itu. 

Pamannya tersenyum getir sambil mengangguk. 

"Ya, sudah berusaha saya jual, tapi memang belum ada pembeli yang cocok, Nak." ujarnya. 

"Tapi, kalau paman jual rumah itu, paman tinggal di mana? Bukankah mencari rumah lain pun tak kalah sulit?" 

"Ya..", lelaki tua itu tersenyum lagi, kali ini lebih pahit. "Dimanapun tempat yang bisa kami tinggali..", ia mungkin membayangkan wajah istrinya yang kini telah sakit-sakitan itu. "Asal ada tempat berteduh, Nak..", lanjutnya. 

Ada selapis bening yang serta merta muncul di mata si tuan rumah. Kesedihan itu merebak tiba-tiba. Lelaki tua dihadapannya ini, di masa lalu bukan tidak pernah pula berjaya. Namun sayang, di hari tuanya, nyatanya ia masih disibukkan dengan perkara-perkara yang sungguh berat. Dimasa dimana seharusnya ia sudah bisa hidup tenang, menikmati gaji pensiun dan pendapatan anak-anaknya. Bukankah pernikahan tidak akan memutuskan hubungan antara ayah dan anak? Bukankah justru sebuah pasangan harus saling bahu membahu, bahkan saling mengingatkan untuk terus membantu kenyamanan hidup orang tua mereka? Faktanya, bukan itu yang terjadi pada kehidupan lelaki tua itu. Dan ternyata, cerita itu belum berakhir sampai di sana..

"Sekarang, anak saya yang terlilit utang itu ternyata pun sedang sakit. Ada pembengkakan di kelenjar getah bening di lehernya... Sementara biaya berobat dan tindakan medis untuk itu pun tidak sedikit..", ujarnya. 

Lelaki tuan rumah itu terbelalak. Ia menelan ludah. Apakah ini yang dimaksud dengan sudah jatuh tertimpa tangga pula? 

Malam semakin merangkak. Sinar bintang masih tertutup lampu-lampu kota. 

Sebelum pamannya pamit, sang tuan rumah sempat menyelipkan bantuan sekadarnya. Sebuah amplop yang segera berpindah tangan itu diterima lelaki tua dengan mata berkaca. Ucap terima kasihnya begitu lirih dan nampak hanya sebagai gerakan bibir. Berat. Begitu berat yang tengah ia hadapi. 

Lelaki tuan rumah itu memandang punggung pamannya yang bergerak menjauh. Menghampiri sepeda motor tua yang menemaninya dalam kunjungan itu. Dirapatkannya jaket lusuh yang ia gunakan untuk menahan angin malam. Ia mengangguk sedikit sebelum benar-benar pergi berlalu.

Lelaki tuan rumah itu masih berdiri di depan pagarnya. Ia mengingati kembali pesan agama tentang bahaya riba. Riba yang membuat pelakunya berdiri layaknya berdirinya orang yang kemasukan setan. Ia mengingati kembali bahwa jalan kesuksesan memang tidaklah mudah, tidak dapat disulap dengan seketika, apalagi dengan modal-modal besar yang tidak jelas juntrungannya. 

Ia menatap rumahnya yang kini sudah semakin layak. Mengenang kembali masa-masa dimana ia memulai segalanya dari bawah. Berkuliah sambil menjadi kuli. Menikah lalu tinggal di rumah tripleks. Menabung untuk membangun rumah batu yang selesai begitu lambat. Hingga akhirnya mencapai apa yang ia capai sekarang. 

"Orang-orang terkadang memandang kesuksesan pada titik suksesnya saja. Mereka lupa, bahwa ada begitu banyak anak tangga yang harus didaki bersusah payah untuk mencapainya. Mereka tidak tahu, bahwa bapak dulu pernah jadi kuli bangunan..." ujarnya pada putrinya di suatu kesempatan. "Nak, kita mungkin memang tidak punya bakat bisnis, tapi kita masih punya keahlian lain tempat kita bisa bekerja keras... Kelak, warisan kami bukanlah sawah berpetak-petak, atau kebun yang banyak. Tapi pada saat itu, kamu harusnya sudah tahu, apa warisan paling berharga yang sudah kamu miliki sebenarnya..", lanjutnya. 

Makassar, 19 September 2013
Saat malam ini, Mama untuk kesekian kali kembali bertanya perihal kabar seorang tante yang sebenarnya sudah lama tiada. Sampai kapan Mama akan terus menunggunya datang?

Perempuan Tua dan Puzzle

Gadis itu menatap perempuan tua di hadapannya. Ia masih belum mengerti, bagaimana bisa perempuan ini mencintai satu orang saja sepanjang hidupnya. Ya, cinta yang terus menerus dan tidak pernah berhenti. Lelaki itu mati, dan seolah membawa serta sebuah kunci ke dalam liang kuburnya. Kunci itu adalah kunci hati perempuan tadi. Hati yang seolah tidak akan pernah terbuka untuk siapapun, kecuali untuk lelakinya. Padahal, meski waktu telah memanggil gurat dan kerutan pada wajah perempuan tua itu, nyatanya itu semua hanya bisa mengangkat bendera putih; tidak mempu menutupi kecantikan alami perempuan itu. Gadis itu belum mengerti, bagaimana bisa perempuan ini jatuh cinta berkali-kali kepada orang yang sama. Ia sepanjang musim duduk di depan jendela, seolah menunggu lelaki itu pulang dikala senja. Pulang, atau membawanya serta pergi. Entah kemana. 

Di hadapannya terhampar sebuah puzzle raksasa. Beberapa bagian sudah tersusun rapi di sana. Terlihat betul bagaimana gigihnya gadis itu menyusunnya satu per satu seorang diri. Segala halangan dan rintangan ia lewati tanpa letih dengan kepala yang selalu ia tegakkan. Ia percaya, bahkan pada titik terlemah, satu-satunya orang yang bisa menolongnya, pada akhirnya adalah dirinya sendiri. Meski ia sadar betul, semua kepingan puzzle itu ia susun berdasarkan sebuah instruksi dari kertas yang kini ia genggam dengan tangan bergetar. 

"Kenapa berhenti? Instruksi selanjutnya khan sudah jelas sekali? Puzzle itu selesai lebih cepat, akan lebih baik...", perempuan tua itu bertanya sambil memandang telapak tangan gadis yang kini basah itu. 

Gadis itu kembali memandangnya. Lalu memandang kertas di tangannya. Menggigit bibir. Ada ragu pada matanya, bercampur ketakutan pula. Ada juga kesedihan di sana. Jika saja ia sedang berdiri di tepi laut, ingin sekali rasanya ia berteriak sekuat tenaga, melepaskan beban yang seolah mencengkramnya begitu rupa. 

Ia kemudian meraih satu kepingan puzzle di dekatnya. Lalu menerka-nerka dimana ia akan meletakkan kepingan itu. 

"Jangan bercanda. Keping yang itu tidak pernah ada dalam catatan...", ujar perempuan tua itu sambil tersenyum. Guratan-guratan halus muncul di kulit dekat matanya. 

Gadis itu melepaskan kepingan yang tadi ia genggam. Menarik napas panjang dan menghembuskannya dengan berat. Lalu kembali menggenggam kepingan yang lain. Lalu menatap pada perempuan tua. Seolah meminta persetujuan. Perempuan itu menggeleng lembut. Ia menunjuk kertas di tangan si gadis dengan dagunya. 

"Aku tahu...", akhirnya gadis itu berkata dengan lemah. Suaranya bergetar. "Aku tahu mengapa selama ini dapat menyusun puzzle dengan mudah. Mungkin, sebab semua instruksi di kertas ini selalu kujalani tanpa cela.", lanjutnya. Sebuah kalimat keyakinan, namun ia ucapkan dengan nada yang begitu sedih. Pedih. Seolah begitu pasrah pada keadaan. 

"Dan selalu begitu. Bukan kertas ini yang salah." ia menatap lekat pada kertas penuh coretan itu. "Hanya saja, aku yang selalu tidak punya pilihan lain untuk diperjuangkan.", ujarnya. Perempuan tua itu mengangguk-angguk, seolah sudah sangat paham pada permasalahan gadis muda di hadapannya. 

Gadis itu kembali meraih satu kepingan puzzle yang sudah ia letakkan. Menatapnya lekat-lekat seolah benda itu akan terbang jika ia tidak waspada. Lalu, dengan sisa-sisa tenaga yang ia punya, ia akhirnya meletakkan kepingan itu pada susunan puzzle yang lain. Sejurus kemudian, ia tersenyum, lega sekali. Bahkan hingga ada lapisan bening di kedua bola matanya. Ia terharu. Tuntas sudah pada sebuah pilihan yang ia letakkan pada susunan puzzle raksasa itu. Masih banyak kepingan lain yang dikemudian hari harus kembali ia susun.

"Kali ini saja. Izinkan aku menentukan hidupku sendiri." ucapnya pada perempuan tua yang sekilas nampak kaget pada kepingan yang gadis itu letakkan. Kini, rupa puzzle itu telah sedemikian berubah. 

"Kau yakin?", tanya perempuan itu, menyelidik. 

Gadis itu mengangguk. 

Perempuan tua itu mengembuskan napas, lalu tersenyum. "Kalau begitu, jangan pernah khianati mimpimu sendiri."

Gadis itu mengangguk lagi. 

Makassar, 19 September 2013

Sabtu, 14 September 2013

Beberapa Orang...


Beberapa orang hadir dalam kehidupan kita, untuk menjadi pengingat agar kita lebih mudah bersyukur.


Beberapa orang datang pada satu hari kita, untuk mengajarkan agar kita memperbarui sabar.

Beberapa orang menjadi cerita yang akan kita kenang, untuk mengisyaratkan bahwa memang tidak semua yang kita inginkan bisa kita dapatkan

Seseorang, ditakdirkan berjumpa dengan kita, justru untuk membuktikan, bahkan atas hal yang tidak pernah kita rencanakan, ia bisa menjadi kenyataan. 



Makassar, 14 September 2013
Setelah 'berlomba' dengan bapak 
menemukan arti dari 'kokoronotomo'

Rabu, 11 September 2013

Lab Mikrobiologi: tentang Cita, Cinta, dan Cerita (finale)

..lanjut!

Setelah mandat untuk mengulang kromatografi dari penelitian itu, saya langsung menggeser langkah menuju mushala. Di sana saya menitipkan sebuah tas kertas berisi beberapa alat dan bahan penelitian yang sudah saya bereskan karena menyangka petualangan di lab telah selesai. Sambil terus mempercepat langkah, saya berdoa semoga sampel berupa ekstrak dari metabolit fungi endofit saya masih aman sentosa di sana, meski saya sadar, alat dan bahan itu sudah tergeletak dalam tempo yang cukup lama. 

Dalam tiap langkah yang tergesa itu pula, saya mengingat kembali tiap hal yang sudah saya lakukan dalam penelitian ini. Dalam nyaris dua semester ini. Ya, selama itulah saya menggarap tugas akhir saya. Hampir setahun, dengan jeda dua bulan KKN. Penelitian saya memang tipe yang lama, sebab selain beberapa kali mengulang beberapa part prosedur, tiap stepnya kadang memang memakan waktu berhari-hari untuk diinkubasi, dihomogenkan, dan sebagainya. Saya sudah loncat dari satu lab ke lab lain untuk bisa menempuh semua prosedur itu, karena alasan kelengkapan alat dan kondisi lab. Mulai dari lab sementara di wilayah Baraya, lalu lab baru di farmasi lantai 4, loncat ke lantai 5, juga sempat menjelajah ke lab di gedung PKP, serta pernah pula di lab kimia pada fakultas MIPA, sempat juga menyebrang hingga lab mikro di Universitas Muslim Indonesia. Mengingat itu semua, dan mengingat bahwa ada kemungkinan saya akan mengulang semuanya, membuat langkah saya makin terbirit-birit. 

Mushala sudah sepi kala itu. Kampus secara keseluruhan pun demikian. Saya segera menuju bagian belakang, tempat ada sekat kecil untuk menyimpan inventaris mushala. Mengobok-obok tas kertas tempat peralatan penelitian saya berada. Berusaha menemukan vial-vial tempat saya menyimpan sampel untuk uji KLT. 

Dapat!

Alhamdulillahi rabbil 'alamin... Begitu besarnya kesyukuran saya saat itu. Saya seksamai sampel tersebut. Betapa beberapa cc cairan keruh kecoklatan hari itu telah membuat saya begitu bahagia. Saya menggenggamnya erat-erat, seolah vial-vial itu akan terbang jika saya lepaskan. Suasana hening. Cahaya matahari jingga menyeruak diantara rerimbun daun pohon. Angin senja mengelus wajah saya dengan lembut. Saya berbisik lirih, lebih kepada diri sendiri. I can do it. Yes, i can do it. 

Hari berikutnya, saya tidak membuang waktu. Saya segera memberi bahan-bahan yang diperlukan. Lalu kembali melenggang menuju lab di lantai lima. Semalam, saya sudah meminta tolong pada seorang kawan yang baik hatinya; ukhti Nurhainun Ibrahim yang selalu saya repotkan untuk banyak hal. Penelitian Ainun sudah rampung, dia tinggal melengkapi berkas untuk maju seminar hasil. Ainun mengiyakan untuk menemani saya mengulang KLT hari itu. Saya memang masih kagok sendiri jika bergiat di lab lantai lima. Rasanya beda dengan saat di lab mikro. Rasanya asing. 

Keberadaan Ainun sangat membantu saya. Sangat. Begitu juga dengan laboran di lantai lima, dan seorang senior yang ingin berbaik hati membantu dan memberi saya saran tentang beberapa hal. Beliau juga sedang melakukan penelitian untuk studi magisternya. Betapa baiknya beliau kepada junior 'nakal' macam saya ini. Ya, sebab di masa maba dulu, saya termasuk yang membangkang dan sering mangkir pada kegiatan lembaga yang diwajibkan pada maba. Meski saya punya alasan untuk itu, tapi memang tidak semua orang bisa menerimanya. Senior ini mungkin sudah lupa pada fakta tersebut, atau mungkin menganggapnya tidak lagi perlu dipermasalahkan lagi. 

Walhasil, akhirnya saya mendapatkan data yang baru. Dengan bantuan berbagai pihak, dan dengan instruksi-instruksi dari pembimbing ketiga saya, akhirnya skripsweet saya di ACC. Saya bisa maju untuk seminar hasil, meski dari plot waktu yang saya targetkan untuk bisa mengejar wisuda Desember, saya sudah tertinggal. Tapi tak mengapa. Saya harus berjalan terus. 

Seminar hasil digelar. Kali ini saya berseminar dengan kawan sengakatan saya, Aurel namanya. Lima orang yang seminar saat itu semuanya seminar hasil. Selain saya dan Aurel, ada pula beberapa senior yang turut bersama kami. Penguji saya juga sudah ditentukan. Tiga orang yang cukup membuat saya bersyukur. Seorang dosen yang sempat saya tempati konsultasi saat berencana menggarap penelitian di biofarmasi (ternyata kami akhirnya berjodoh di titik tersebut), seorang dosen yang merupakan pembimbing utama dari Ainun, dan seorang profesor senior berwajah teduh.  Sempat terjadi tarik ulur pula untuk jadwal seminar. Hingga akhirnya hari itu tiba. 

Terus terang, saya lebih horor menghadapi seminar ketimbang ujian sidang nanti. Sebab dalam seminar, semua dosen bisa hadir dan datang untuk turut menyaksikan. Sebuah forum besar di hadapan kawan-kawan mahasiswa, yang bukan hanya menuntut penguasaan pada materi yang dipresentasikan, tapi juga pengelolaan emosi dan mental untuk menghadapi tekanan di majelis tersebut. Waktu sedang galau-galaunya menantikan masa seminar, seorang kawan berpesan..

"Tidak usah takut. Penelitian itu kan kamu yang kerjakan sendiri. Berarti kamu yang paling tahu seluk beluknya. Jadi jangan khawatir..."

Dan alhamdulillah, seminar hasil pun terlewati. Terus terang, saya merasakan kemudahan yang teramat sangat pada proses ini. Bahkan, saya merasa melewatinya dengan lebih mulus dibanding waktu seminar proposal lalu. Semua pertanyaan bisa saya jawab dengan cukup baik, dan semua dosen yang saya harapkan hadir, pun yang saya harapkan tidak hadir (hehehe..) juga sesuai dengan kenyataannya. Bahkan, meski hasil penelitian saya sempat dipertanyakan 'kesuksesannya', saya bisa tetap mempertahankan hal tersebut. 

Memang, bisa dibilang hasil yang saya dapatkan, terutama pada uji zona hambat, tidak begitu memuaskan. Saya sering terngiler-ngiler sendiri menyaksikan hasil zona hambat yang didapatkan oleh kawan-kawan lain yang juga melalui prosedur yang serupa. Zona hambat mereka lebar-lebar selebar Lapangan Karebosi *hiperbolamode:ON*

Sementara zona hambat yang dihasilkan oleh metabolit yang saya isolasi bisa dibilang sangat kecil. Ini menunjukkan bahwa daya antibioti sampel saya lemah. Bahkan, pada beberapa kode sampel, zona hambat itu perlu diterawang dengan mata batin untuk melihatnya (hehehe...). Tapi, bagaimanapun, saya harus tetap mempublikasikan fakta tersebut. Terlepas dari mungkin ada kekurangan dalam proses yang saya lakukan, sehingga hasilnya menjadi demikian, saya merasa tetap tidak boleh melakukan rekayasa. Saya tidak ingin, hanya karena meng-korupsi beberapa milimeter zona hambat, saya menjadi tidak lagi punya muka dihadapan segambreng ilmu farmasi yang selama ini saya tuntut. Saya sudah sepantasnya malu pada semua dosen yang capek-capek mengajarkannya, juga semua orang yang mengajarkan saya tentang kejujuran, terlebih dihadapan Allah yang Maha Menyaksikan. Tidak. Saya tidak mau begitu. Maka, saat dengan yakin saya memaparkan hal tersebut, alhamdulillah forum seminar hasil  (terutama para dosen yang menyaksikan) bisa menerima hasil tersebut. Seorang dosen juga berkata menanggapi hasil yang saya dapatkan..

"Ya, penelitian memang seperti itu. Kita harus selalu mengedepankan kejujuran di dalamnya. Jangan karena ingin mendapatkan hasil yang bagus, lalu kemudian merekayasa data..", ujar beliau. 

Betul. Mungkin penelitian saya ini tidak akan begitu berpengaruh pada perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Namun, jika untuk hasil yang kecil saja saya harus berdusta, bagaimana jika saya bertanggungjawab pada hal yang besar kelak? 

Selepas seminar hasil, saya menghembuskan napas lega. Meski nampaknya sudah tidak mungkin bagi saya untuk mendapatkan jadwal ujian sidang untuk wisuda Desember, saya tetap lega. Satu lagi paku di atas kepala sudah tercabut (kayak kuntilanak aja, hihihi..). 

Nah, seusai dari seminar, saya sudah berjanji akan menemani Ainun untuk berbelanja keperluan ujian sidang kawan kami, Agustina. Diantara kami, Tina memang yang paling lincah. Selain itu, Tina juga mendapatkan proyek penelitian dari dosen. Beberapa hari lagi dia akan sidang. Saya dan Ainun menjadi sidang-organizernya. Maka bertolaklah kami dari kampus menuju supermarket dekat kampus. Dalam perjalanan itu, saya tau bahwa Ainun, meski sudah seminar hasil duluan, nyatanya juga tidak bisa mengejar jadwal untuk ujian sidang. Pendaftaran untuk memasukkan berkas sudah tutup. 

Kami sedang berbelanja dan sibuk memilih tas kertas saat hp Ainun berbunyi. Telepon dari Kak Tini, seorang staff akademik yang biasanya mengurus tetek-bengek berkas mahasiswa. Ternyata, Kak Tini mengabarkan bahwa Ainun masih ada kesempatan memasukkan berkasnya. Kami saling pandang. Lalu, tanpa tunggu banyak waktu, kami menangguhkan kegiatan belanja tersebut. Balik ke rumah Ainun dan menyiapkan berkas-berkasnya, lalu bertolak kembali ke kampus untuk mengumpulkannya. 

Kami grasa-grusu mengumpulkan berkas di ruang akademik. Saya masih lengkap dengan kostum putih-hitam seminar hasil, saat turut mengekor Ainun mengurus berkasnya. Saat itulah keajaiban datang. Keajaiban itu bisa dalam bentuk apa saja, termasuk dalam bentuk seorang dosen yang memberi kabar baik. 

Pak dosen itu menegur saya. Menanyakan sejauh mana saya sudah melangkah. Saya hanya menjelaskan bahwa saya baru saja seminar hasil, dan bahwa sudah tidak keburu untuk mengejar-Desember. Masih ada beberapa berkas yang perlu diurus ba'da seminar hasil, sementara pengurusan berkas sidang sudah akan tertutup beberapa saat lagi. Ainun nampaknya akan jadi pengumpul terakhir. 

"Kalau saya beri kamu waktu lagi bagaimana? Kamu bisa urus nilai skripsi dan academic record kamu hari ini juga?", tanya Pak Dosen itu. Pupil mata saya berdilatasi. Benarkah? Benarkah saya masih ada waktu untuk berwisuda pada bulan dua belas? 

Setelah itu, saya tancap gas. Tadinya mau leye-leye, nyatanya perjuangan saya belum bisa diistirahatkan. Saya segera mengurus nilai seminar hari itu juga. Berikutnya memperbaiki skripsi dan segera mengurus nilai skripsinya. Tidak lupa pula mengontak Aurel dan kawan seminar yang lain untuk bisa bersama mengejar deadline berkas sidang. Qadarullah, hanya saya seorang yang lolos. Alhamdulillah, meski harus tunggang langgang dan bersikukuh menebalkan muka didepan para staff akademik, berkas sidang saya bisa meluncur ke rektorat di waktu yang begitu mepet.

Nah, sekarang saya harus menunggu SK sidang keluar. Semuanya mungkin bisa berjalan lancar, namun nyatanya ada hal lain yang terjadi. Sebuah perhelatan di kalangan fakultas membuat beberapa proses melambat. Termasuk keluarnya SK sidang saya dan Ainun. Waktu sidang sudah ditentukan, dan SK seharusnya keluar tiga hari sebelum itu. Nyatanya, lembaran kertas nan sakral itu baru nongol di sebuah sore, saat besoknya adalah tanggal sidang kami, itu terjadi setelah kami menunggu dari pagi-pagi sekali. 

Menyebar undangan sidang dalam semalam lalu besoknya sidang? Jangan bercanda! Namun, nyatanya itulah yang terjadi. Allah seolah ingin menguji kesungguhan dan ikhtiar kami, lalu kemudian  memudahkan hasilnya. Sore itu juga, kami mengurus semua keperluan undangan. Lalu, saya dan Ainun mulai menyebar undangan ke rumah dosen penguji kami satu per satu. Sore itu makin nyata menguji kesabaran saat hujan turun dengan derasnya. Kendaraan yang kami harapkan adalah sebuah sepeda motor milik Ainun yang hanya punya satu jas hujan, itupun setelah meminjam pada seorang junior. Hujan membuat suasana makin seru, ia makin lama makin deras. 

Dengan tubuh basah karena menerjang hujan dengan sehelai jas hujan saja, kami menuju rumah pembimbing Ainun di sekitar asrama mahasiswa. Hujan makin deras. Turun seperti jempol-jempol. Fakta tersebut membuat saya memutuskan untuk singgah dahulu di sebuah supermarket untuk membeli jas hujan pula. 

Adzan maghrib berkumandang. Masjid Baiturrahman hari itu menjadi saksi kami. Singgah shalat di sana dalam keadaan kuyup, lalu melanjutkan perjalanan menuju daerah Jln. Sunu. Sekitar pukul sembilan malam baru semuanya rampung kami sebarkan. Jangan ditanya seberapa lelahnya kami hari itu. Kami bersyukur karena mereka masih berkenan menerima alasan kami mengantarkan undangan dalam waktu yang begitu mendesak. Pembimbing ketiga saya bahkan menyuruh saya pulang saja untuk belajar dan nanti esoknya meminta undangan di ruangan sidang. Betapa baiknya beliau :')

Sebenarnya, sungguh tidak pantas dua orang muslimah bergentayangan di atas jam sembilan malam. Namun, karena lambung yang sudah gemerucuk, saya dan Ainun memutuskan untuk singgah di sebuah warung demi menuntaskan lapar. Saya berpisah dengan Ainun di sebuah persimpangan tempat saya melanjutkan perjalanan dengan angkot. Jabat tangan perpisahan kami malam itu menjadi penuh dengan doa. Kami saling menjabat telapak tangan yang dingin dan menggigil itu. Entah apa yang masih bisa kami lakukan malam ini. Tapi hari esok akan tetap datang, dan kami akan tetap ujian sidang. 

Saya tiba dirumah hampir pukul sepuluh. Bisa dibilang saat itu bukan saatnya lagi belajar. Saya hanya membaca halaman hasil penelitian selintas. Lalu berdoa semoga semua proses penelitian, studi pustaka, dan diskusi dengan pembimbing selama ini bisa turut hadir dalam memori saya saat sidah besok. Hari itu begitu panjang dan melelahkan. Sebelum terlelap, dalam remang lampu tidur saya berdoa, semoga Allah memudahkan lisan kami di sidang nanti. Ikhtiar kami telah tuntas hingga titik akhir. Detik paling akhir. Oh Allah, Engkau menjadi saksi. 

Dan hari itupun tiba. Hari sidang nasional, saking banyaknya yang menghelat sidang saat itu. Ya, itu memang adalah batas waktu terakhir ujian sidang bagi mereka yang ingin berwisuda di bulan Desember. Suatu Rabu yang cerah saat saya muncul di kampus sambil membawa perlengkapan dan konsumsi ujian sidang, lengkap dengan seragam putih-hitam. Ainun sidang lebih dahulu dari saya. Saya membantu menyiapkan meja sidang Ainun. Tina juga hadir saat itu. Ah, saudari kami yang satu ini tentu begitu repot menggawangi dua sidang saudarinya sekaligus dalam satu hari. Kami begitu berterima kasih.. :')

Ujian sidang Ainun selesai sebelum sidang saya dimulai. Begitu bahagia rasanya melihat wajah sumringah itu keluar dari ruangan setelah dinyatakan lulus. Terlebih, setelah perjuangan kami semalam menerobos hujan, dan saya begitu tahu bahwa semalam Ainun harus menghadapi sebuah masalah terkait sidang yang membuat ia menangis saat menelepon saya. Saya pun jadi tergugu untuknya setelah menutup pembicaraan. 

Kini giliran saya. Perasaan tegang itu terus menggelayut. Perasaan itu luntur sedikit demi sedikit seiring dengan proses ujian sidang yang terus bergulir. Alhamdulillah semua terlewati dengan lancar tanpa hambatan berarti. Bahkan, beberapa menit diawal dihabiskan para penguji dengan membahas 'Bagaimana cara benar melafalkan namamu; Diena Rifaah Amaliah, dan apa artinya?'. Awalan yang sukses menggugurkan sekian persen ketegangan. Hingga tanpa terasa pertanyaan-pertanyaan terlewati. Sampai pada titik saat semua penguji menggeleng saat ditanya 'Apa masih punya pertanyaan?'. Akhirnya. Akhirnya. Akhirnya, ujian sidang saya berakhir. 

Seluruh rangkaian peristiwa ini, bukan hanya menambah ilmu di bidang yang saat itu kami tekuni. Tapi juga menempa banyak hal yang ada pada diri kami. Ketekukan, keseriusan, kesabaran, dan semangat betul-betul turut teruji. Juga yang paling penting, baik sangka pada Allah, Sang Penentu Takdir, bahwa segala hal yang kita dapatkan, bahkan yang tidak kita dapatkan, adalah yang terbaik bagi diri kita. Setiap perjuangan akan menemui kesulitan, namun juga bisa saja melahirkan keajaiban; dan kita hanya perlu percaya. Sekali lagi percaya, bahwa benarlah perkataanNya; sesuah kesulitan itu ada kemudahan. Sungguh, sesudah kesulitan itu ada kemudahan. Jadi, bersemangatlah!

Makassar, 12 September 2013
Saat manisnya hasil begitu terasa setelah berlelah-lelah dalam perjuangan

Selasa, 10 September 2013

Lab Mikrobiologi: tentang Cita, Cinta, dan Cerita (part3)

Ok, lanjut lagi!


Setelah menuntaskan seminar proposal, saya memasuki masa penelitian yang sebenarnya. Penelitian saya ini memang susah-susah gampang. Tidak seperti teman-teman lain yang misalnya penelitian di biofarmasi, stresspoint-nya kadang adalah hewan percobaan yang mati atau tidak bisa ditangani dengan baik, dan itu menelan biaya. Nah, saya pun berhubungan dengan 'flora-percobaan', yaitu fungi endofit dan beberapa mikroba uji. Dalam penelitian ini, musuh yang bisa menjadi duri dalam daging adalah apa yang disebut dengan; kontaminan.

Kontaminan ini bisa berupa bakteri atau fungi yang tumbuh di medium uji, namun sebenarnya tidak diinginkan. Mereka-mereka ini bisa nongol jika pelaksanaan percobaan tidak aseptis. Makanya, dalam penelitian ini salah satu bukti bahwa saya sudah menjalankan praktikum dengan baik dan benar adalah adanya kontrol. Kontrol ini baik berupa kontrol medium (tempat menumbuhkan fungi), dan kontrol ruangan. 

Nah, jadi ceritanya dalam penelitian ini, kerjaan saya adalah mengisolasi fungi endofit yang berasal dari sampel. Sampel berupa potongan daun sambiloto itu saya 'tanam' pada medium, sehingga fungi endofitnya 'keluar', lalu saya isolasi lagi ke medium-agar-miring sebagai stok. Dalam proses ini, saya tidak boleh tertipu, jangan sampai mengisolasi fungi yang merupakan kontaminan dari luar, bukannya fungi dari sampel yang saya harapkan punya daya antibiotik. Dan itu yang ribet. Jika kontaminasi terjadi, saya harus mengulang lagi... Mengulang lagi... Mengulang lagi...

Hingga alhamdulillah, titik terang itu muncul. Kontrol medium dan ruangan tidak lagi menunjukkan adanya kontaminan. Saya akhirnya bisa mengisolasi fungi yang saya idamkan. Namun, perjuangan belum berakhir saudara-saudara. Masih paaaaaaaaaaaaaaaaaaanjang sekali proses yang harus saya lewati. Diantaranya adalah dengan menggunakan medium lain untuk 'memaksa' si mungil fungi agar menghasilkan metabolit yang saya hipotesis dapat menjadi antibiotik. Setelah itu, saya harus menguji apa benar metabolit itu memiliki daya antibiotik yang baik dengan menggunakan beberapa bakteri uji. Setelah itu, saya harus mengidentifikasi lagi apa jenis fungi tersebut secara makroskipik dan mikroskopik. Lalu setelahnya diidentifikasi lagi apa jenis metabolit yang dihasilkan dengan menggunakan kromatografi. Bingung? Iya, memang. Ribet? Iya juga, sih..

Dan satu hal yang cukup memengaruhi proses ini adalah karena saya melewatinya; sendiri. Sendiri dalam arti saya tidak punya rekan separtner yang bisa ditempati saling berbagi pikiran, kecuali tentu para pembimbing saya yang juga punya kesibukannya pula; tidak mungkin mencurahkan seluruh perhatiannya pada saya seorang. Maka lawan terbesar saya saat itu adalah rasa malas. Malas berangkat ke lab, malas konsultasi, malas mengulang hasil yang jelek, malas menambah referensi, dan berbagai kemalasan lain yang bisa timbul kapan saja. Apalagi jika jenuh menimpa. 

Alhamdulillah, saya sebenarnya tidak benar-benar sendiri, sih (maksud, Lo? -__-"). Di lab, pada saat saya sibuk grasa-grusu, selalu ada dua orang laboran nan cantik dan baik hati yang selalu menemani hari-hari berat itu ^_^ . Beliau adalah Kak Dewi dan Kak Lia. Keduanya ini adalah partner setia para peneliti di lab Mikro. Kak Dewi selalu mempermudah kami, terutama mengelola medium yang akan disterilkan, pun dengan alat-alat yang akan digunakan. Kak Lia bahkan sempat membantu saya, mencarikan link (yang merupakan suami beliau) di kampus lain saat lab akan pindah kembali ke fakultas dan beberapa saat harus 'nonaktif', namun penelitian saya harus terus berlanjut. Maka saya pun meminjam alat dan menitip sampel di lab mikro di UMI saat itu. Atas rahmat Allah, Kak Lia adalah jalan yang membuat sampel saya tercinta tidak jadi rusak. Ada juga ukhti Agustina yang juga meneliti di lab yang sama, serta juga topik yang sama dengan sampel yang berbeda. Saya sering merepotkan Tina dengan hal-hal teknis kecil yang tidak saya mengerti saat melakukan penelitian. Jazakumullah kharian katsira untuk ketiganya :')

Seperti yang sudah saya ceritakan di atas, salah satu stressing-point penelitian saya juga adalah karena semua hal harus dilakukan secara aseptis. Steril. Tentu ini adalah sebuah cobaan bagi saya yang tentu bukanlah pribadi yang se-steril itu.. (???). Semua pekerjaan harus dilakukan di dalam Laminar Air Flow (LAF), di belakang sebuah spiritus yang menyala. Semua Erlenmeyer dan tabung-tabung berisi sampel atau medium harus selalu tertutup rapat oleh kapas, dan saat ingin dibuka pun harus dalam suasana aseptis. 

Suatu hari, saya sedang melakukan suatu prosedur bersama spiritus tercinta. Saat itu, sedang ada sekelompok mahasiswa lain yang sedang praktikum-ria pula. Tapi saya harus tetap fokus. Selama mereka tidak mengganggu wilayah terotorial saya, tidak jadi soal. Namun, saya melakukan kesalahan. Saat membuka tutup kapas dari tabung, kapas itu jatuh. Meski masih dalam lingkungan LAF, namun kontaminasi bisa saja terjadi. Maka, untuk mencegah itu, seperti yang biasanya dilakukan, saya mengibas-ngibaskan kapas penutup itu pada api dari spiritus. Niatnya sih agar kontaminasi tidak terjadi. Tapi nyatanya, si kapas malah terbakar. Saya setres dong, ya. Dengan gerakan cepat dan peluh yang mulai membanjir, serta mimik panik yang tertutup masker, saya segera mennyingkirkan kapas terbakar yang sudah berasap-asap itu, lalu menutupnya dengan penutup spiritus. Tapi, asapnya tidak bisa bohong. Si asap tetap membumbung kemana-mana. 

Beberapa praktikan yang sedang asyik praktek menoleh pada saya sambil mengendus. Waktu itu saya dalam posisi membelakangi mereka, sambil sok stay calm. Beberapa dari mereka berbisik-bisik. Wajarlah mereka heran melihat sesosok mahasiswa penelitian dengan asap di sekitarnya, namun tetap melanjutkan prosedur seolah tak ada yang terjadi. Iya, mahasiswa itu adalah saya... T_T

Cerita lain datang saat saya melanjutkan penelitian di lab lainnya untuk keperluan kromatografi. Saat itu, saya sedang sibuk sendiri di depan lemari asam guna menyemprotkan pereaksi pada lempeng KLT tempat sampel sudah saya totolkan. Saat itu, salah seorang dosen lewat di samping saya. Dia sempat menengok pada saya. Sudah lewat sebenarnya ia, namun dia berbalik lagi dan menegur saya. 

"Mana baju lab kamu!" ujarnya. Semua orang di lab itu menoleh. 

"Ini Pak..", ujar saya sambil menarik ujung jas praktikum yang menjuntai ke bawah. FYI, saya selalu mengenakan jas praktikum di dalam jilbab. Saya rasa, mengenakannya di luar jilbab akan menutupi fungsi jilbab saya untuk menutup seluruh tubuh. Mengenakan jas praktikum di luar jilbab akan membuat lekukan tubuh terbentuk dan jilbab saya tidak ada gunanya lagi. Saya mengenakan jilbab biru saat itu. Dan karena 'model nge-jas' saya yang demikian, praktis memang hanya bagian bawah jas saya yang terlihat. 

Dosen itu mengulang pertanyaannya. Saya mengulang jawaban saya. Beberapa kali demikian. Makin lama nada beliau makin tinggi, nada saya makin rendah (ya iyalah...). Hingga akhirnya saya paham maksud pertanyaan beliau. 

"Saya bukannya melarang kamu pakai jilbab begitu yah. Tapi kalau model kamu begitu, jas kamu itu tidak ada gunanya. Apa gunanya jas lab?!" tanyanya. Oke, ini bukan pertanyaan retoris. Saya mencoba menjawab.

"Untuk melindungi diri saat sedang lab, Pak.

"Nah, sekarang kamu berdiri di depan lemari asam, jas lab kamu di dalam jilbab begitu, lalu apa gunanya?". ujarnya. Saat itu, saya sukses menjadi pusat perhatian. Ruangan itu hanya diisi oleh suara dosen dan saya. Yang lain hening, menyimak. 

"Kamu harusnya cari model jas lab sendiri. Supaya kamu tetap bisa terlindungi saat di lab. Saya tidak mau lagi ya, liat model seperti ini!" tutup dosen itu sambil berlalu, diikuti oleh beberapa mahasiswa yang mengekor pengen konsul. 

Baiklah, lutut saya bergetar. Wajah saya pastilah pucat. Meski prosedur saya hari itu belum tuntas, saya putuskan untuk hengkang dahulu dari lab. Dosen itu tidak salah, sungguh tidak salah. Beliau memang benar. Saya hanya perlu melakukan penyesuaian agar semua fungsi; jilbab dan baju lab dapat tercover dengan baik. Saya menatap sekeliling. Beberapa pasang mata masih menengok pada saya. Saya berusaha menyembunyikan mimik syok yang pasti masih kentara. 

Sejak saat itu, saya memutuskan untuk selalu menggunakan 'jilbab-lab'. Jilbab putih yang tetap saya gunakan di luar baju lab putih yang juga tetap saya pakai. Nanti, jika ada yang tanya apa yang melindungi saya saat nge-lab, saya akan menjawab dengan ceria; jilbab lab inilah yang melindungi saya! (^_^)/

(kok saya jadi tegang sendiri mengingat pengalaman itu yah.. Hehehe...)

Tapi ketegangan yang sebenarnya belum terjadi, kawan. Ok, let me tell you the hardest part of it...

Jadi, ceritanya, penelitian saya ini dijeda oleh KKN. Qadarullah, saya dapat KKN di tempat yang lumayan jauh. Jadi praktis saya tidak bisa melanjutkan penggarapan praktikum. Sayangnya, bu dosen menambahkan satu prosedur tambahan yang tadinya tidak ada di proposal, yakni identifikasi makro dan mikro yang tadinya tidak terencana. Dan serunya, prosedur itu dititahkan pada saya pada dua hari sebelum keberangkatan. Dan saya, menghabiskan dua hari itu lab sambil ngintip-ngintip mikroskop tanpa membawa hasil apapun. *sigh*

Alhamdulillah, untuk makroskopik tidak ada masalah. Namun, saya memang terkadang merasa menghabiskan waktu seharian tanpa ada progress. Lucunya, meski hal itu terjadi, saat keluar dari lab dan meninggalkan kampus bersama matahari senja, saya tetap bisa menghembuskan napas lega. Bagi saya, bukan masalah apakah penelitian itu ada hasil atau tidak untuk hari itu, namun apakah saya sudah melakukan sesuatu atau tidak. Saya akan lebih galau jika hanya seharian tinggal di rumah dan tidak melakukan apapun, dibanding bersusah-susah di lab namun juga tidak mendapatkan apapun. Bagi saya, yang penting ada ikhtiar yang terlalui pada satu hari. Masalah hasil, progres, dan peningkatan, saya yakin akan bisa mencapainya, in syaa Allah, selama saya terus maju. Kalau kata Taufik Ismail; Tidak ada lagi pilihan lain/ Kita harus berjalan, terus/ Sebab berheti atau mundur berarti hancur. 

Sepulang dari KKN, saya melanjutkan penelitian saya. Pada titik tersebut, saya sudah sangat jarang berkonsultasi pada pembimbing ketiga, sebab saat itupun beliau sedang sibuk menyelesaikan program doktornya. Pembimbing pertama saya pun meraih gelar doktornya dalam proses membimbing saya. Duh, saya jadi merasa kami sedang bertumbuh bersama (halah, padahal jelas-jelas pencapaian saya kagak ada apa-apanya dibanding beliau-beliau :p). Pembimbing ketiga saya sempat meminta maaf atas keterbatasan itu. Namun, pembimbing pertama saya pun memaklumi. Sebagai besar proses penelitian memang ada di bawah pengawasan beliau. Beliau hanya meminta saya untuk setidaknya mengkonsultasikan hasil KLT pada pembimbing ketiga. Itu saja. KLT adalah proses paling akhir dan final pada penelitian saya. Hasilnya adalah salah satu kesimpulan yang penting dalam rangkaian penelitian ini. 

Nah, akhirnya semua proses telah saya lewati. Oleh pembimbing pertama dan kedua -dosen suami istri tersebut, saya sudah ACC. Waktunya saya menghadap pada pembimbing ketiga. Biasanya jika kondisinya sudah begitni, maka kemungkinan pembimbing 3 akan 90% meng-ACC pula. Tadinya, itu yang akan terjadi. Namun, ternyata tidak semudah itu saudara-saudara... 

"Ooh, sudah ACC ya.." ujar ibu pembimbing tiga setelah beberapa saat saya berusaha menyamai langkah beliau hingga tiba di sebuah ruangan di depan ruang dekan. Ada senior lain yang waktu itu juga sedang ngantri konsultasi di belakang saya. 

"Iya, bu. Tapi saya diminta untuk ibu mengecek kembali bagian KLT. Kalau dari pembimbing yang lain sudah ACC semua." ujar saya dengan sumringah. Mengira hari itu saya akan pulang dengan triple ACC. Ibu pembimbing 3 ini memang expert di bidang KLT. 

Saya pun membukakan halaman tempat terpajang dengan indah foto hasil KLT berikut kesimpulan yang saya tarik di sana. Si senior yang ngantri turut menjolorkan kepalanya memandang hasil itu. 

Sejenak, ibu dosen memandang. Membuka-buka dua halaman yang saya minta dikoreksi. Beberapa kali begitu, hingga saya mendapati dengan jelas bahwa alis beliau mengernyit. 

"Ini tidak bisa dipakai..." ujarnya dengan nada yang cukup halus, nyaris berbisik. Saya berusaha memasang telinga baik-baik. Apa?

"Ini salah... Saya tidak akan bertanggungjawab pada penelitian kamu kalau kamu tetap menggunakan hasil yang ini..." lanjutnya. 

"Hasil ini tidak bisa dipakai.", ujarnya. Menatap saya. Lalu kembali menunjuk pada gambar. Menjelaskan beberapa hal yang menjadi kesalahan saya dan terpampang nyata di gambar tersebut. Menurut beliau, kesimpulan yang saya tarik terlalu terburu-buru. Senior yang harusnya mengambil jarak demi tidak menyaksikan kejadi naas itu, malah semakin mendekat dari kami. Ikut menyeksamai lebaran akhir skiripsi bab empat saya itu. Lalu juga turut mengecek ekspresi saya yang pucat pasi. Jika ia adalah perempuan, mungkin ia sudah menepuk pundak saya untuk menyadarkan saya dari syok. 

"Jadi... Bu...?" ujar saya, terbata-bata. Ibu dosen menatap saya. Kasian. 

"Kalau kamu ingin tetap maju dengan hasil ini, silakan. Tapi saya tidak bisa bertanggungjawab jika nanti justru setelah seminar hasil, kamu malah disuruh mengulang penelitian kamu.." ujarnya. 

Ada petir yang menggelegar di kepala saya. Saya menggeleng lemah. Tersenyum miris. "Saya tidak berani, Bu..."

"Ya, sudah. Kalau memang kamu mau mengulang, nanti panggil saja saya. Saya bisa mengikuti step by step prosedur ini supaya hasilnya bagus..." ujar beliau. Saya mengangguk. Membereskan bentangan skripsi di atas meja, lalu minta izin pamit pada beliau. Mengangguk sejenak pula pada senior yang sudah jadi saksi kenelangsaan saya sore itu. 

Keluar dari ruangan, saya menatap langit yang membentang. Mencari-cari, jangan-jangan sudah ada gunung yang beterbangan bagai anai-anai di angkasa. Jangan-jangan hari itu kiamat datang lebih cepat. Jika boleh menangis, ingin menangis saja rasanya. Tapi, air mata saya tidak boleh tumpah hanya untuk masalah seperti ini. Saya menarik napas dan menghembuskannya. Mencoba menstabilkan kembali aliran darah yang tadi memompa jantung saya lebih cepat. Menenangkan lambung saya yang didera kucuran asam lambung berlebihan gara-gara syok tadi. Begitu pula dengan gerakan peristaltik usus yang sempat terasa tidak normal. 

Saya mengangkat wajah. 

Satu-satunya yang saya pikirkan sekarang adalah; apakah stok sampel untuk KLT saya masih tersedia? Sebab jika tidak, saya harus mengulang semuanya dari awal. Ya, SEMUANYA.  

(bersambung)
sampai di bagian sulit ini, akhirnya... :')

Makassar, 11 September 2013

Minggu, 08 September 2013

Lab Mikrobiologi; tentang Cita, Cinta, dan Cerita (part 2)

Sip, lanjut. 


Akhirnya, pada suatu pagi menjelang siang, saya menghadap pada pembimbing pertama saya, untuk pertama kalinya pula. Dengan berbekal SK Pembimbing yang sudah dicopy dan distempel di map, dan kesungguhan serta semangat di hati, saya menuju lab sementara, tempat pembimbing saya itu memang biasanya ada jika masih pagi begini. 

Dan setiap pengalaman pertama memang selalu bikin deg-degan. Untungnya dosen pembimbing saya itu adalah orang yang baik dan ramah, jauh dari kesan killer. Grogi saya sedikit teratasi oleh fakta tersebut. Maka mulailah saya menghadap beliau. Ruangannya di bagian dalam lab itu. Saya sempat melewati beberapa mahasiswa lain yang juga sedang menjalankan penelitiannya. Saat itu, jadwal praktikum mahasiswa memang belum dimulai. Lab masih relatif sepi. 

Setelah bertatap wajah dengan pembimbing dan menjelaskan perihal penelitian yang akan saya lakukan, saya semakin yakin bahwa saya bersama orang yang tepat. Ibu dosen itu memang sudah beberapa kali menangani penelitian dengan topik itu, bahkan beliau juga concern di tema tersebut. Bab pertama proposal saya pun disimak. Beberapa bagian dikoreksi, dihilangkan, dan ada pula yang dipertahankan. Ibu dosen juga memberikan saya referensi beberapa jurnal yang belum saya miliki. Walhamdulillah, segalanya berjalan lancar. Hingga kemudian seorang mahasiswa lain datang, duduk di samping saya, juga menghadap pada bu dosen itu. Di sanalah 'petaka' itu dimulai. 

Mahasiswa yang merupakan senior saya itu masih lengkap dengan jas lab-nya. Dia pun sedang menggarap penelitian di lab itu. Pada bu dosen, dia nampak mengkonfirmasi metode kerjanya. Saya cuma ikut menyimak dan mengangguk-angguk sok tau. Rupanya, sambil konsultasi, dia pun menghadap untuk meminjam corpis (corong pisah; sebuah alat dari bahan kaca berbentuk labu dengan corong, digunakan untuk memisahkan dua jenis larutan) dari dosen itu. Corpis itu masih nampak baru, masih dalam balutan kertas koran pembungkus, malah. Pada saat corpis baru itu berpindah tangan ke si mahasiswa, entah bagaimana ceritanya, semuanya terjadi begitu cepat. Si corpis tiba-tiba saja sudah melayang di udara, dengan sukses menghantam lantai, lalu pecah berkeping-keping. 

Saya terbelalak

Mahasiswa itu terbelalak.

Ibu dosen terbelalak. 

Sepersekian detik, yang ada hanya hening. Saya dengan pelan-pelan mengalihkan pandangan dari corpis naas itu ke wajah dosen saya. Ada semacam kekecewaan dan raut tidak enak di sana. Oke, mahasiswa itu nampaknya sukses mengacaukan mood ibu dosen. Gaswat. Ya, ini gaswat saudara-saudara. 

"Kamu itu bagaimana...", ujar bu dosen. Si mahasiswa nampak pucat. Speechless-lah dia.

"Kalau begini, kamu mau penelitian pakai apa?", ujar bu dosen. Waw, rupanya yang beliau khawatirkan bukan perihal brand-new-corpis-yang-pecah itu, tapi tentang penelitian anak bimbingannya. 

"Maaf, bu... Saya ganti bu... Nanti saya ganti...", ujar si mahasiwa, takut-takut. 

Kalau dari penerawangan saya sih, corpis itu kayaknya yang bagus punya. Pasti harganya mahal. Dalam hati, saya geleng-geleng. Kasian kakak ini... Sekiranya dia bukan laki-laki, pasti sudah saya tepuk-tepuk bahunya. 

"Kamu kos di sini? Orang tua kamu di mana?", tanya bu dosen. Si mahasiswa menyebutkan satu nama daerah yang cukup jauh. Di luar Sulawesi. 

"Kamu masih berharap kiriman orangtua kan? Kasian orang tua kamu. Sudah, kamu pakai corpis yang lama saja. Tidak usah pikirkan dulu masalah ganti-ganti. Yang penting penelitian kamu jalan dulu...", ujar ibu dosen

Mahasiswa itu lega

Saya pun ikut lega. Hehehe...

MasyaAllah, betapa baiknya Allah menakdirkan saya bekerja sama dengan orang sebaik beliau. Mendapati kejadian tersebut, semangat saya terpompa. Benar, inilah yang terbaik. Sekiranya dulu judul pertama saya yang ACC, belum tentu saya bertemu dengan pembimbing sebaik ibu dosen ini :')

Akhirnya, saya pun diminta untuk segera memulai orientasi. Menurut definisi saya, orientasi adalah kegiatan pra-penelitian dimana seorang mahasiswa akan mencoba-coba penelitiannya itu, biasanya dalam skala kecil. Hasil dari orientasi ini, jika sudah bagus, maka bisa langsung dilanjut ke penelitian. Jika tidak, maka akan ada pertimbangan tertentu. Pengalaman orientasi ini juga cukup bagus sebagai bahan mempertahankan proposal penelitian di depan seminar proposal nanti. Idealnya, penelitian baru akan dimulai setelah majelis dalam seminar proposal menerima proposal kita, atau telah memberikan masukan dan saran perihal jalannya penelitian kedepannya. 

Saya pun memulai orientasi. Tadinya, saya begitu kemaruk ingin meneliti tentang bakteri dan fungi endofit dari sampel terpilih; daun sambiloto (Andrographis paniculata). Tapi, setelah orientasi saya lakukan, pembimbing saya mengarahkan untuk fokus pada fungi saja, karena hasil yang ditunjukkan oleh bakteri tidak begitu bagus. 

Oiya, tentang tiga orang pembimbing saya, dua diantaranya adalah sepasang suami istri. Pembimbing pertama saya itu ibu dosen yang saya ceritakan di atas. Pembimbing kedua saya adalah suami beliau, seorang profesor yang disegani di fakultas kami. Dan pembimbing ketiga saya adalah dosen wanita yang saya hormati dan diam-diam saya adalah fans beliau. Hehehe...

Nah, hal inilah yang memudahkan saya untuk konsultasi. Karena dalam satu kali jalan, saya bisa langsung menemui dua pembimbing sekaligus, karena mereka berdua memang tidak terpisahkan. Berada di bidang, lab, dan ruangan yang sama. Ibu dosen begitu banyak membantu saya saat akan menghadapi pak profesor. Beliau berdua itu, memang adalah pasangan serasi. Keren deh, pokoknya. Entah mengapa, tiap saya memandang ibu dosen pembimbing pertama, saya seringkali tiba-tiba teringat pada sosok ibu Ainun Habibie. Auranya mirip. Hehehe..

Lalu dosen perempuan yang merupakan pembimbing ketiga saya pun sangat luar biasa. Kenapa saya nge-fans? Selain karena baliau adalah dosen yang cerdas dan mengajarnya bagus, beliau juga orang yang sangat humble. Beliau tidak segan menyapa mahasiswa duluan saat berpapasan di luar wilayah fakultas. Saya pernah mengalami itu saat turun dari angkot dan tidak sadar bahwa beliau ada di belakang saya. Sama-sama ingin menyebrang. Melihat sosok beliau selalu mendatangkan keteduhan. Ibu dosen ini selalu mengenakan gamis dan jilbab rapi yang menjulur menutupi dada, senyumannya juga sangat menenangkan. Bahkan, saat saya dan seorang kawan datang ke rumah beliau untuk berkonsultasi, meski kami sama-sama wanita, ibu dosen tetap berpakaian rapi dengan gamis dan jilbabnya saat akan menemui kami. Seorang senior bercerita tentang beliau, tidak seperti beberapa orang yang kadang tidak menanggapi sms atau tidak boleh dihubungi lewat telepon, ibu ini bahkan bersedia menelepon mahasiswa. 

"Jika ingin menghubungi ibu, dan sedang tidak ada pulsa, sms atau misscalled saja, maka beliau akan menelepon balik. Katanya, karena beliau tau kita-kita ini masih dibiayai oleh orang tua, seharusnya selektif dalam memilih pos-pos pengeluaran, termasuk pulsa..." demikian senior itu menjelaskan. Duh, saya langsung terharu... Mudah-mudahan makin banyak dosen seperti beliau. :')

Setelah digarap beberapa bulan, dan mondar mandir kampus-"lab sementara" berkali-kali, alhamdulillah saya bisa maju untuk mengajukan proposal dalam majelis seminar. Pengalaman pertama seminar itu betul betul bikin dag-dig-dug-dhuer deh. Tegang abis. Saya sih suka pura-pura tenang, padahal dalam hati cenat-cenut. Partner seminar saya dari kalangan kawan seangkatan waktu itu adalah Noela Natalia (bagaimana yah kabar dia sekarang? :') Entah mengapa, sejak masa maba, saya memang seringkali bersinggungan dengan anak ini. Orangnya ceria dan lincah, juga agak panikan. Ela juga termasuk mahasiswi farmasi yang cukup tekun, buktinya, di kemudian hari dia lebih dahulu ujian sidang daripada saya. Untungnya saya bisa mengejar sehingga kami wisuda sama-sama. Etapi, kondisi Ela yang suka panik membuat saya jadi tidak panik. Lho? Iya, entah mengapa dari dulu, saya selalu begitu. Jika sekitar saya panik, maka saya akan sebaliknya, jadi tenang. Maka, jika orang-orang tenang, saya yang suka panik sendiri. Hehehe, iya, saya memang aneh :) #bangga.

Seminar proposal pun terlewati. Sedikit flashback pada seminar proposal, alhamdulillah 'ala kulli hal, di awal-awal semuanya berjalan lancar. Beberapa pertanyaan bisa saya jawab sambil mempertahankan mimik sok tenang. Namun, diakhir-akhir waktu, pertanyaan berikutnya muncul dan sempat membuat saya kelabakan. Pada saat seperti itu, jawaban andalan adalah: "Iya Pak, nanti dikonsultasikan lagi dengan pembimbing", atau "Baik bu, nanti akan saya pelajari lagi.". Tjakep. -__-"

(bersambung)
Makassar, 9 September 2013
Masih mengenang-ngenang masa lalu