Kamis, 26 September 2013

Baim Tidak Pergi Sekolah

"Baim, kenapa tidak pergi sekolah?", bocah kecil itu hanya bergelayut tidak jelas saat ditanyai demikian. Jam dinding belum menunjukkan waktu seorang siswa taman kanak-kanak pulang sekolah. Tapi Baim sudah nampak berkeliaran di sekitar rumahnya. 


"Saya tidak punya baju olahraga", ucapnya, dengan bahasa cadelnya, tentu. "Kalau tidak pakai baju olahraga, tidak bisa ikut jalan berbaris sama teman-teman..", lanjutnya dengan bibir monyong. 

Ibunya meraih Baim ke pangkuannya. Lalu mengusap kepala bocah itu. Pagi itu, Ibu Baim sedang berkunjung ke rumah salah satu tetangga mereka. Menawarkan sebuah baju untuk dijual. 

"Belum ada uang untuk belikan baju olahraga, Bu...", ujar Ibu Baim sambil tersenyum kecut pada ibu pemilik rumah itu. 

Besoknya, saya kembali melihat Baim berkeliaran di jam seharusnya ia sekolah. Nampaknya, hari itu masih jadwal menggunakan baju olahraga. Baim belum punya. Maka ia kembali tidak datang ke taman kanak-kanaknya. 

Melihat kejadian itu, Ibu pemilik rumah tempat hari sebelumnya Ibu Baim menjual baju, memanggil Ibu Baim kembali ke rumahnya. Niat awalnya untuk membayarkan uang baju yang kemarin ia beli dari Ibu Baim. Rupanya, si Baim juga kembali ikut dengan Ibunya. Ia bergelayut dan berlari-lari lincah seperti biasanya. 

"Baim tidak sekolah lagi?", tanya ibu itu

Baim kembali menggeleng. Ia kembali menyebutkan alasan yang sama. Belum punya baju olah raga. 

Oleh ibu pemilik rumah itu, Baim lalu diberi sejumlah uang. Langsung diberi pada bocah itu, tidak kepada ibunya. Si Baim yang biasanya bila diberi uang jajan maka akan begitu lincah menyambarnya, kali ini nampak berbeda. Pelan-pelan ia julurkan tangannya untuk menerima uang itu. 

Dipegangnya uang itu dengan kedua belah tangannya dan dengan mata yang terbelalak. 

"Waaah.... Banyaknyaaa...", ujarnya dengan suara cempreng. Ia kegirangan.

"Buat beli baju olahraga ya...", ibu itu tersenyum padanya.

Baim berlari-lari dengan gembira. Ia begitu takjub bahkan hingga bersorak-sorakm "Saya diberi uang lima juta!!!". Ya, jika melihat uang banyak, Baim akan menyangka bahwa jumlah uang itu lima juta. Padahal uang untuk beli baju olahraga itu cuma tujuh puluh ribu, Baim...

***

Selalu ada rasa hangat di hati ketika kita tuntas membuat orang lain berbahagia. Mungkin, yang kita lakukan itu sama sekali tidak ada kaitannya dengan diri kita sendiri. Bukankah membantu orang lain kadang justru membuat kita kurang secara materi? Lelah, habisnya waktu, kurangnya harta, terlepasnya berbagai kesempatan, adalah hal-hal yang sangat mungkin terjadi saat kita memutuskan untuk membantu orang lain. Tapi, saat bantuan itu dapat membawa kegembiraan pada seseorang -bahkan sesederhana apapun itu, maka sadarlah kita bahwa sejatinya, yang merasakan bahagia paling pertama bukanlah orang yang dibantu, tapi justru hati dari yang membantu. 

Semakin berjalannya hari, berlalunya masa, dan bertambahnya umur, akan semakin menyadarkan kita bahwa; hidup bukan tentang diri kita sendiri. Pada suatu titik, berbagai kemungkinan dan pilihan bisa saja terjadi. Pada saat itu, terkadang kita tidak boleh hanya memikirkan kepentingan pribadi. Sebab satu manusia, selalu terkoneksi dengan manusia lainnya. Apakah ini menyulitkan? Tidak juga. 

Sebab jika hidup memang bukan tentang diri kita sendiri, maka kebahagiaan orang lain pun bukan tentang mereka sendiri, namun bisa jadi juga turut kita rasakan. Kebahagiaan Baim bisa ikut berolahraga dan 'jalan-baris' dengan kawan-kawannya 'hanya' karena diberi uang tujuh puluh ribu, ternyata dapat pula dirasakan oleh ibu tetangga yang membantunya tersebut. Dan kebahagiaan semacam ini, sama sekali tidak ternilai dengan berapa rupiah pun. 

Apalagi yang kita inginkan saat keberadaan kita disyukuri? Bahkan meski secara kasat mata beberapa orang memandangnya bukanlah sebagai sebuah kebanggaan, namun siapa yang peduli? Pada akhirnya, bahagia bukan hanya perihal keadaan. Bahagia adalah keputusan. Kita dapat meraihnya dengan berbagai macam cara, dan kebanyakan dari itu bukan hanya terkait dengan perihal materi belaka. 

Besok-besok, saya berharap akan kembali menyaksikan dari jendela kamar saya, pemandangan saat Baim membawa tas ransel yang lebih besar dari punggungnya, kali ini dalam seragam olah raga taman kanak-kanak. 

"Baim!" seru saya dari balik jendela

"Kakak!!!", Baim akan balik menyapa sambil mendongak dan melambaikan tangan. Ia lalu berlari dan meloncat pada boncengan motor ibunya. Dan itu, bahagia. 

Makassar, 26 September 2013

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih sudah berkunjung. Jika kamu berkenan meninggalkan jejak di kolom komentar, lebih baik lagi :)