Sabtu, 07 September 2013

Jika Nanti Kita Bertemu Lagi

Kepadamu, seseorang yang bening hatinya
Kutuliskan surat ini sebagai tanda ingat. Betapa kenangan dapat bekerja sebaik itu. Ia mereduksi setiap jarak, sehingga mendekatkan. Pun memutar balik waktu, sehingga kita seolah bisa duduk lagi pada masa-masa yang dikenang.

Selayaknya pertemuan yang bersahabat karib dengan perpisahan. Mereka telah membuat perjanjian untuk selalu datang bergiliran. Sungguh setia sekali mereka itu. Sehingga kita harus selalu menginsyafi, semanis apapun sebuah jumpa, akan datang titik dimana kita harus saling melepas. Memandang punggung yang menjauh, dan mengucapkan selamat tinggal. Meski pahit. Meski berat. 

Bagaimana kabarmu di sana? Apa kau baik-baik saja?

Bahkan sebab aku begitu yakin bahwa surat ini tidak akan sampai kepadamu, hingga aku tak perlu khawatir membeberkannya di sini; betapa aku tidak akan letih mendoakan kebaikanmu. Mengingati kembali hal-hal hebat tentang kau yang selalu membuatku lebih bersemangat menatap matahari pagi. Bukankah kehadiran seorang manusia untuk manusia lainnya adalah untuk itu? Ya, untuk membuat satu sama lain merasa lebih berarti.

Kita tentu ingin menjadi sebaik-baik orang seperti dalam sabda sang nabi. Orang yang bermanfaat. Di luar sana, begitu banyak hal-hal besar yang dibicarakan. Bermanfaat untuk dunia, tentu akan sangat luar biasa. Tapi, planet ini terlalu besar. Maka mari kita merentangkan saja kedua belah tangan kita, juga hati kita, tentu. Untuk memeluk hati-hati yang lain, agar kita lebih dekat pada posisi sebaik-baik manusia itu. Mari kita memeluk hati dengan kebenaran. Kebenaran itu serupa matahari, yang sebenarnya tetap bersinar, meski kita berada di bagian bumi yang kelam oleh malam.

Baiklah.

Ingin kuceritakan padamu tentang petualanganku beberapa waktu yang lalu. Lewat lembaran-lembaran buku yang ditulis oleh seorang lelaki yang luar biasa, aku seolah sedang melewati lorong waktu ke masa beratus tahun yang lalu. Masa dimana sekelompok manusia padang pasir yang hidup nomaden, demikian luar biasanya diangkat kedudukannya sebagai penguasa di muka bumi. Masa dimana setiap kebaikan ditinggikan, dan kelaliman ditumpas habis. Masa dimana bumi seolah memiliki dua matahari dan dua rembulan. Yang di langit, dan yang terus bersinar di sebuah tempat bernama Yatsrib. Di sana, lelaki berwajah purnama itu memulai peradaban. Kita mengenangnya kini, dengan hati haru dan penuh rindu, Muhammad Shallallahu alaihi wasallam.

Salah satu bagian dari perjalanan lembaran-lembaran itu mengguncang emosiku. Terutama pada bagian saat sang kekasih hati itu berpulang, sebab telah rampung segenap tugasnya. Para sahabat dikecam duka yang seolah berdarah-darah. Hari itu, adalah hari paling muram sepanjang bumi diciptakan. Para sahabat menjadi sedemikian bingung, seolah kehilangan kompas yang selama ini begitu setia tunjukkan arah kebenaran. Mereka, para sahabat itu begitu beruntung, dapat langsung bertanya, dapat segera mengadu saat ditimpa sesuatu. Tak tanggung-tanggung, mengadu pada manusia paling mulia itu.

Telah kukatakan tadi, perjumpaan adalah karib dari perpisahan. Bahkan, dalam kisah hidup seorang nabi. Maka, saat beliau telah pergi, tampuk pemerintahan harus tetap berjalan. Seorang pemimpin baru harus dipilih.

Maka lihatlah bagaimana tidak ada diantara mereka, para sahabat yang mulia, yang berlomba-lomba untuk memanfaatkan kesempatan itu. Alih-alih mempromosikan diri, mereka bahkan saling merekomendasikan satu sama lain. Bukankah itu jauh berbeda dengan kondisi kita saat ini? Saat dimana kota ini, sekarang sudah nampak seperti album foto. Baliho promosi pemimpin dimana-mana. Aku bergidik saat membayangkan di hari akhir nanti, betapa banyak jiwa yang harus mereka pertanggungjawabkan di hadapan Allah?

Hingga akhirnya para sahabat bersepakat untuk membaiat Abu Bakar Ash Shiddiq. Sosok itu, kau tahu, aku selalu membangun cinta setiap mendapati sosoknya dalam lembaran kisah. Lelaki teduh dengan tutur kata yang lembut. Lelaki dengan tubuh kurus, namun  berhati lurus. Ia yang dicintai oleh sang nabi, dan keimanan kualitas langit. Kepemimpinan ada di tangannya, saat gelombang fitnah membabi buta. Saat arus murtad muncul dimana-mana, dan sebagian dari mereka menerima shalat namun enggan tegakkan zakat.

Kala itu, bahkan Umar bin Khattab yang terkenal tegas, meminta Abu Bakar untuk berlembut perangai pada mereka yang menolak berzakat. Namun, lihatlah bagaimana Abu Bakar tunjukkan ketegasan dalam kelembutannya. Diperanginya orang-orang itu; mereka yang berzakat hanya saat Rasulullah hidup, dan meninggalkannya saat Rasul tiada. Diteruskannya utusan Usamah bin Zaid nan belia untuk misi yang dahulu telah dicetuskan oleh Rasulullah. Dihadapinya gelombang perpecahan dengan kepalanya yang dingin dan cendikia. Sosoknya, begitu luar biasa. Kelak, aku bermimpi ingin menamai anakku dengan namanya. 

Namun, ya. Perjumpaan telah berkarib dengan perpisahan. Khalifah pertama pun menemui ajalnya. Saat hegemoni dunia kala itu, Persia sudah nyaris tumbang. Saat tentara Romawi sudah berhadap-hadapan dengan muslimin yang menyerang mereka. Tidak sempat ia saksikan tuntas. Amirul Mukminin, menyelesaikan takdirnya.

Apa kira-kira di pikiran Umar bin Khattab? Saat ia diangkat sebagai pemimpin berikutnya, tanpa Rasulullah di sisi, tanpa Abu Bakar yang menjadi kawan diskusi? Sungguh begitu berat... Begitu berat menanggung rindu pada para terkasih yang telah mendahului. Bahkan karena itu, Bilal sang muadzin, tak pernah lagi mampu tuntaskan lantunan azan, sebab ia langsung sesunggukan begitu sampai pada panggilan sang nabi.

Lalu bagaimana kita?

Bagaimana lagi kita, orang-orang yang hidup demikian jauh jarak dan masa dari mereka?

Suatu hari, saat mengalami perpisahan dengan orang-orang yang baik. Kadang, ada saat dimana sebuah perjumpaan kembali, begitu terasa mustahil. Namun, aku berpikir, bahwa ada satu cara, agar kembali dapat bertemu dengan orang-orang yang baik itu. Bahkan, pula bertemu dengn para manusia mulia yang kita ceritakan di atas. Cara itu adalah dengan istiqamah. Itulah berjalan dengan takwa, hingga menuju surga.

Di surga sana, tempat segala gundah dan sedih tertuntaskan. Bahkan segala jerih dan letih terbayarkan dengan lunas, hingga kita merasa hanya tinggal di dunia barang sekejap saja. Di surga itu, terdapat segala yang diidamkan hati, dan yang diingini diri. Di sana, bahkan kita dapat menatap wajahNya; wajah Allah yang kita ibadahi sepanjang usia. Berjumpa dengannya; Rasulullah Shallalahu alaihi wa sallam yang kita teladani, bertemu Abu Bakar Ash Shiddiq yang begitu dicintai, dan orang-orang terbaik yang peroleh balasan, atas setiap kebaikan.

Tapi Surga itu, adakah telah benar-benar kita yakini keberadaannya? Apakah kita telah sedemikian percaya pada eksistensinya? Ataukah hanya kita anggap sebagai dongeng orang-orang dahulu belaka? Entahlah. Semuanya nyatanya hanya bisa dijawab oleh setiap amal-amal kita.

Maka denganmu pun begitu, jika nanti kita bertemu lagi, bahkan meski kini pertemuan itu lebih tidak masuk akal daripada anak keledai yang melewati lubang jarum, nampaknya masih ada kemungkinan yang bisa kita percaya. Jika kita terus berjalan, meniti jalur cahaya. Sedikit demi sedikit. Bagai menghindari taman yang penuh dengan duri. Penuh dengan hati-hati. Mungkin, Dia akan berbaik hati berikan rahmatNya, agar kelak kita bisa berjumpa dalam keadaan yang lebih indah. Di sana. Di surga. In Syaa Allah. 

Makassar, 7 September 2013 

2 komentar:

Terima kasih sudah berkunjung. Jika kamu berkenan meninggalkan jejak di kolom komentar, lebih baik lagi :)