Minggu, 08 September 2013

Lab Mikrobiologi; tentang Cita, Cinta, dan Cerita

Entah mengapa tiba-tiba kepikiran untuk kembali mengulang memori dua tahun silam ini. Wah, sudah lama juga rupanya ... Jadi, ceritanya waktu itu, sebagai seorang mahasiswi tingkat akhir, satu hal yang digalaukan adalah perihal persiapan menyongsong masa-masa mengurus skripsi. Sesuatu yang bagi kebanyakan mahasiswa bisa menjadi masa yang kelam nan penuh derita. Bagi yang belum menjalaninya, selalu muncul semacam ketakutan; bisakah nanti menghadapinya?


Sebagai seorang mahasiswi normal (bukan mahasiswi super, maksudnya...), saya pun mengalami hal yang sama. Keresahan ini bertambah memuncak manakala mendapati beberapa teman seangkatan yang jauh lebih mantap dan telah menentukan pilihan (judul penelitian). Maka pencarian pun dimulai. Kala itu, saya mengikuti salah satu mata kuliah pilihan (yang tidak diikuti oleh semua mahasiswa). Kuliah bioteknologi, namanya. Tidak seperti mata kuliah pilihan lain, yang cenderung ringan, mata kuliah ini cukup mengandung konsekuensi, yang paling nyata adalah; ada praktikumnya. Satu kata itu, kawan; praktikum, bagi kami -mahasiswa Farmasi, memiliki banyak makna; selain praktikum di lab, ada pula belajar persiapan untuk respon, buat jurnal yang lengkap, menuntaskan jurnal dengan laporan, dan siap-siap berdiskusi alias ditanya-tanya secara lisan oleh para asisten. Maka ya, bioteknologi sebagai sebuah mata kuliah pilihan, sungguh adalah pilihan yang (cukup) berat. 

Tapi alhamdulillah, praktikumnya lumayan menyenangkan, begitupun dengan kuliahnya. Bahkan, dari lab ini pula saya waktu itu mendapatkan inspirasi untuk calon judul saya. Saat itu sempat kepikiran untuk meneliti tentang fungi endofit. Maka mulailah saya menelusuri tentang fungi endofit. Penelitian ini bukan yang pertama di fakultas saya, dan memang cukup menarik, nampaknya. 

Dalam perkembangan selanjutnya, ternyata saya tidak bisa setia. Entah bagaimana ceritanya, saya mencoba melirik ranah lain; biofarmasi. Selama ini memang, saya lebih cenderung punya minat di bidang ini, setidaknya jika dibandingkan dengan mata kuliah lain yang berbau teknologi farmasi. Maka, saya pun mencoba untuk mencari bahan di bidang ini. Akhirnya, setelah merepotkan beberapa orang senior, bahkan berani-beraninya menghadap ke seorang dosen, saya mencoba merumuskan judul yang lain. Kali itu, tentang penelitian sari buah sirsak yang diujicobakan pada hewan coba. 

Dalam proses selanjutnya, bahkan saya sempat mendapat tawaran untuk mengerjakan proyek seorang dosen senior bersama beberapa kawan yang lain, termasuk di dalam tim itu adalah dua orang mahasiswa malaysia, kawan seangkatan kami. Menggarap proyek dosen untuk tugas akhir adalah sebuah tawaran yang menggiurkan. Sebab, selain kemudahan dalam konsultasi, juga secara pembiayaan pun kita akan terjamin. Namun, namanya juga belum jodoh, saya akhirnya memutuskan untuk mengundurkan diri dari proyek tersebut, sebab merencakan untuk mengikuti KKN di semester yang sama. Sementara, mengerjakan proyek sebagai penelitian tentu mengandung konsekuensi deadline dari si pemilik proyek. Saya khawatir keputusan ber-KKN nyambil penetian akan mengacaukan segalanya. Konsekuensinya berat, saya tidak ingin mengecewakan siapapun. Hidup ini pilihan, di dalamnya ada pula pilihan untuk melepaskan.

FYI, saya tidak KKN sesuai dengan normalnya siklus mahasiswa ber-KKN pada umumnya. Kawan-kawan saya yang seproyek itu semuanya sudah pada KKN. Semester lalu, saat sebagian besar teman seangkatan saya berangkat KKN, saya tertinggal untuk menuntaskan per-KKN-an ini karena di saat yang sama kesehatan ibu saya menurun. Saya tidak mungkin menyengajakan diri untuk jauh dari beliau di saat beliau sangat memerlukan saya. Maka, saya saat itu berazzam untuk bisa mengejar KKN di semester berikutnya. KKN yang kemungkinan besar akan dilaksanakan pada semester panjang, sehingga biasanya  lokasinya pun tidak terlalu jauh. Saya berpikir, mungkin masih sempat mengurus penelitian sambil KKN, meski pasti tidak akan maksimal hasilnya.   

Tapi, Allah punya kehendak lain.

Nyatanya, karena adanya penyataraan kurikulum, beberapa SKS yang sudah saya kumpulkan dengan segenap kesungguhan, harus rela terpangkas. Konsekuensinya, jumlah SKS saya berkurang. Kritis. Hingga tidak mencukupi untuk berhak mengikuti KKN. Apa daya, proyek penelitian lepas, KKN pun tak tergapai. Sempat merasa kacau juga. Namun kemudian saya berpikir, inilah yang terbaik. Saya mungkin ditakdirkan untuk berkonsentrasi pada penelitian dulu untuk semester itu. Maka pencarian judul pun saya lanjutkan, bersama dengan semangat yang saya kumpul satu per satu. 

Nah, saya sudah punya judul. Judul di lab bioteknologi (digarap di ruang lingkup lab mikrobiologi), dan judul dari bidang biofarmasi. Saya, dengan penuh percaya diri, akhirnya mengisi form pengajuan judul. Ya, fakultas kami memang mengharuskan kami mencari dua judul sebagai alternatif. Keputusan fix nya ditentukan oleh WD 1 dengan pertimbangan dari dosen-dosen kepala lab. Dan dengan kesungguhan tingkat kecamatan, saya menempatkan judul biofarmasi saya diurutan pertama, disusul dengan judul tentang fungi endofit. Alasannya, saya merasa lebih punya hati ke judul pertama itu. Referensi dan tanya sana sini yang sudah saya lakukan, baik untuk melengkapi teori maupun metode penelitiannya, lebih siap pada judul pertama itu. Judul kedua, seolah hanya jadi pelengkap penderita untuk memenuhi form tersebut. Akhirnya, bismillah, saya mengumpulkan form itu. 

Hidup ini tentang menunggu. Menunggu keputusan dari WD 1 termasuk di dalamnya. Sambil menanti itu, saya mulai bergerilya untuk membuat proposal penelitian, bahkan meski keputusan itu belum keluar. Begitu sok taunya saya saat itu, hingga kemudian rapi-lah proposal tiga bab perihal sari buah sirsak untuk mengatasi asam urat. Bahkan, saat meminta tanda tangan dari pembimbing akademik sebelum mengajukan judul, saya sudah menjanjikan pada ibu dosen itu untuk kelak memberikan beliau soft copy dari (calon) penelitian itu. Pembimbing saya itu senang, saya pun tambah semangat, proposal selesai sudah. Ceritanya, saat SK Pembimbing saya dirilis, saya bisa langsung menghadap ke pembimbing. Dalam hal ini, prinsip lebih cepat lebih baik, betul-betul saya kedepankan. 

Hingga hari itu tiba. Hari dimana dengan penuh spirit dan optimisme saya berjalan menuju tempat untuk mengecek keberadaan SK Pembimbing saya. Setelah mengubrek-ubrek sana sini, akhirnya; voila! Ketemu juga SK itu! Saya mengambilnya, lalu sambil berjalan menjauh, membaca nama saya yang tertera di sana. Penelitian nih kita! Begitu bahagianya saya, merasa akan memasuki masa-masa penyelesaian studi itu. Saya bahkan tidak mengecek judul yang ter-ACC. Langsung saja mata saya loncat ke bagian pembimbing. Saya berharap, dosen yang sudah sempat saya temui beberapa kali itulah yang menjadi pembimbing saya. 

Namun...

   Namun...

Namun...

Saya terlonjak saat ternyata, nama yang muncul di sana adalah nama dosen lain, bukan nama dosen di bidang biofarmasi. 

Sudah tertebak? Ya, ternyata judul kedua saya yang diterima. WD 1 dengan segala kewenangannya pun telah menentukan tiga nama yang menjadi pembimbing saya, tentu dari bidang mikrobiologi. Saya merasa, tulang belulang saya telah dilucuti saat itu. Saya memandang sedih pada lembaran proposal penelitian yang sudah teronggok manis dalam map plastik yang saya bawa kesana kemari. Sekali lagi bukan jodoh, saya merasa seolah para mencit, tikus, dan kelinci di lab biofarmasi tengah melambaikan tangan kepada saya. Selamat tinggal, kawan. Kita tidak tertakdir untuk bekerja bersama, nampaknya. 

Sampai di rumah saya melengos. Meleleh. Terbayang semangat beberapa hari sebelumnya untuk berpayah-payah menyusun proposal yang nyatanya kini tidak lagi punya arti. 

Tapi, saya mencoba bangkit. Life must go on. Lab mikrobologi, bersiaplah menyambut kedatangan saya yang akan pagarumbang di sana! (-__-)/

Sambil memunguti semangat yang terhabur kesana kemari, saya memulai lagi dari awal. Mengumpul kembali jurnal-jurnal yang dulu sempat saya cuekin saat berpaling ke judul lain. Berkutat lagi dengan pustaka yang membahas tentang fungi endofit. Menentukan lagi jadwal kapan saya harus menyelesaikan proposal dan menghadap ke pembimbing. 

Nah, tentang tiga orang pembimbing saya; ah, betapa saya bersyukur ditakdirkan bertugas akhir bersama mereka. Sungguh, mereka adalah orang-orang cerdas nan baik yang mengajarkan saya tentang banyak hal. Bahkan meski kala itu, ada kesulitan sendiri untuk menggarap penelitian ini, karena lab mikro waktu itu sedang mengungsi ke wilayah lain di luar kampus, setelah insiden kebakaran di fakultas kami. Jadilah saya sering bolak-balik kampus-dan lab mikro dengan kenyataan bahwa saya seorang angkoters sejati. Posisi 'lab sementara' tempat saya meneliti pun bisa dibilang tidak begitu strategis, harus dilanjut dengan naik becak,. Kerap kali saya juga memilih berjalan kaki saja, biar tidak terlalu makan ongkos. Karena hal ini, saya bersyukur sebab kerap kali saat jalan kaki, saya berpapasan dengan teman yang mengendari motor, ditawari nebeng deh! Duh, baik sekali sih mereka itu... #terharu

(bersambung)

Makassar, 8 September 2013
Sambil mengenang-ngenang masa lalu

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih sudah berkunjung. Jika kamu berkenan meninggalkan jejak di kolom komentar, lebih baik lagi :)