Selasa, 24 September 2013

Kepadamu, dengan Penuh Cinta

Degup jantungnya seketika menjadi lebih cepat saat membaca pesan singkat itu. 


Pesan itu dari seorang kawannya yang sudah tiba di kampus lebih dahulu. Ia mengabarkan bahwa sebentar lagi seluruh MABA akan diminta untuk memasuki ruangan yang sudah disediakan oleh para senior. Ia memandang keluar jendela kendaraan roda empat yang ia tumpangi. Ia kini berada di titik jarak perjalanan setengah jam dari kampus. Dan para senior sebentar lagi akan menggiring MABA menuju ruangan? Celaka

Setibanya di areal kampus, ia segera mempercepat langkah menuju tangga. Lingkungan itu, sungguh masih asing bagi dirinya. Terlalu besar, terlalu luas. Ia menormalkan napasnya yang memburu saat tiba di lantai empat. Menyusuri koridor dengan kecepatan normal saat sahutan dari seorang senior membuat langkahnya harus kembali mengalami percepatan.

"Sudah terlambat, jalan santai lagi!", hardiknya. 

Dari kejauhan, ia bisa menangkap pemandangan segorombolan MABA lainnya di depan ruangan yang ia tuju. Nampaknya, mereka senasib dengannya; terlambat pula. Seorang senior terlihat memimpin gerombolan itu. Ia segera turut membaur di sana. Berusaha menangkap dan mencerna apa yang sedang terjadi sebenarnya. 

Senior di hadapan mereka itu berusaha menunjuk satu pimpinan untuk 'barisan-telat' tersebut. Lalu memprovokasi mereka untuk merangsek masuk ke ruangan dimana 'acara' untuk MABA sudah dimulai, sepertinya dari tadi. Senior di dalam ruangan tentu tidak tinggal diam. Mereka menolak. Mereka marah, dan tentu tidak terima forumnya diganggu oleh sekelompok orang yang datang terlambat. 

Yang telah datang tepat waktu pun tidak luput dari kegalauan. Mereka konon diminta memilih antara kesetiakawanan angkatan atau memulai kegiatan. Bukan mahasiswa baru namanya jika tidak dibuat merasa serba salah. 

Debat itu masih berlangsung, sengit. Pemimpin 'barisan-telat' setengah mati berargumen agar dapat tetap masuk ke ruangan, dan bukan hal yang sulit untuk para senior itu untuk mematahkan tiap pendapat tersebut. Sementara senior di luar ruangan tidak jemu-jemu meniupkan aroma 'perjuangan' agar kami yang terlambat tidak gentar untuk maju. Alamak. 

Ditengah kesengitan itu, tidak diduga tidak dinyana, seorang maba perempuan berani angkat suara. Dengan nada yang tegas ia turut meminta agar kami juga diperkenankan untuk masuk. Suara feminin itu tentu menjadi pusat perhatian. Termasuk olehnya, ia mengangkat kepala yang sedari tadi coba ia tundukkan. 

"Saya tidak suka sama kamu!", ujar salah seorang senior kepada maba perempuan itu sambil mengusir gerombolan keluar. Si maba perempuan tadi terus menerus berbicara, hanya terdiam sesaat saat dibentak. 

Ia sendiri mencoba merasai atmosfer yang tercipta kala itu. Di masa SMA dulu, ia senang sekali ikut berdiskusi, bahkan hingga nyerempet ke perdebatan. Namun kali ini, dikuncinya bibirnya rapat-rapat. Tidak ingin cari gara-gara. Dengan diam saja sudah cukup mencolok begini, jangan buat lebih mencolok lagi... Nasihatnya dalam hati, pada dirinya sendiri. 

Akhirnya perdebatan itu berakhir dengan kekalahan 'barisan-telat'. Asas pertama sedang dijalankan; senior selalu benar, kali ini tentu didukung oleh fakta bahwa memang; junior sedang melakukan kesalahan. Maka sebenarnya wajar saja jika sekolompok itu sukses diusir dari arena. Mereka hanya bisa berjalan sambil menunduk melewati senior-senior yang mendapati kekalahan mereka. 

Ia pun harus segera bubar jalan. Mencari tempat lain untuk menunggu jam kuliah, sambil menerka-nerka hukuman apa yang nanti pasti akan ditimpakan. Saat itu, ia tidak sadar ternyata sedang berjalan bersisian dengan maba perempuan yang fenomenal tadi. 

"Kuliah kita dimulai jam sepuluh. Tidak seharusnya kita disuruh datang jam tujuh begini!", ujarnya. Sama sekali tidak ada ketakutan. Keduanya terus berjalan menuruni tiap anak tangga. Kedua gadis itu tidak tahu, bahwa pada titik itulah kebersamaan bertahun-tahun setelahnya diantara mereka, baru saja dimulai. 

Akhirnya, mereka mencoba untuk saling mengenal. Yang seorang adalah mahasiswa baru yang berasal dari kota universitas itu berada. Ia tinggal dengan kedua orang tuanya, di kota kelahirannya, aman sentausa. Sementara maba perempuan pemberani tadi itu adalah perantau. Itu adalah kali pertama ia menjejak tanah Sultan Hasanuddin. Di hari-hari berikutnya, keadaan jauh dari lingkungan kampung halamannya membuatnya harus bertahan menjadi seorang pejuang sejati sekaligus seorang pembelajar. Bertahan dalam arti benar-benar bertahan dengan segala masalah yang harus dihadapi tanpa kehadiran kedua orang tuanya seperti di masa-masa sebelumnya. 

Maba perempuan nan pemberani itu pada akhirnya menjadi seorang mahasiswi yang tidak biasa. Ia bukan hanya menghabiskan waktunya untuk menimba ilmu di balik tembok-tembok kelas, tapi juga mengumpulkan kebenaran dari mana saja. Ia bukan hanya berkata, tapi juga bertindak. Ia tidak hanya beropini, namun juga bergerak. Sikap alamiahnya yang ramah, penyayang, dan perhatian, sangat membantunya untuk terjun dalam berbagai macam aksi sosial. Tidak adanya kekangan dari orang tua yang tinggal jauh darinya justru membuatnya menjadi punya banyak waktu untuk melakukan banyak hal. Untuk menemukan banyak hal, dalam koridor yang positif tentunya.  

Bagaimana dengan gadis yang kini menjadi sahabatnya itu? Sekilas, melihat keduanya mungkin memang terdapat perbedaan kepribadian. Gadis yang satunya itu tidak bisa digolongkan dalam orang-orang yang peramah. Menatap wajahnya pertama kali mungkin hanya akan melahirkan kesan cuek dan tidak peduli. Saat berbagai pikiran bergelut di kepalanya dan ia hanya bisa diam, di jidatnya seolah tertulis; jangan dekati aku. 

Namun, agaknya perbedaan itulah yang membuat mereka mengerti, bahwa dua orang tidak harus menjadi identik untuk dapat saling merasa nyaman. Pada akhirnya, mereka dapat bersama berjalan beriringan. 

Gadis cuek itu seringkali merasa bahwa kebekuan dan dinginnya dirinya selalu bisa menjadi mencair bersama sahabatnya itu. Kekakuannya dapat lebih dinetralisir. Warna hatinya telah berubah. Hanya sebab tidak semua orang belum tentu memahami, betapa setiap keramahan yang ia paksakan selalu membuat tenaganya lebih banyak terkuras, dan kesendirian dalam diam adalah re-charge baginya. Dan bahwa betapa ia selalu ingin memiliki -sedikit saja, dari kepribadian hangat itu. Tapi yang terpenting, dari gadis yang kini telah ia anggap saudari itu, ia telah belajar banyak hal. 

Ia yang pendiam bisa menjadi begitu cerewet bersamanya. Membicarakan hal-hal yang tidak penting, atau tertawa-tawa untuk sesuatu yang tidak perlu. Ia bisa mengatakan banyak hal, yang oleh orang lain mungkin ia bisa mendapatkan persetujuan, namun dari saudarinya itu, ia bisa menemukan pertimbangan lain. Ia, belajar tentang kehidupan. Bahwa terkadang, kita hanya perlu menerima keadaan, saat segalanya telah coba kita berikan. 

Ia pada akhirnya merasa bersalah, saat mengetahui bahwa hanya karena 'merasa sibuk', telah banyak hal yang dilewati saudarinya itu bahkan tanpa dukungan doa dari dirinya, apalagi keberadaan jasadnya. Dan bahwanya nyatanya, setiap perjumpaan pasti akan selalu menemukan perpisahannya. Begitupun dengan keduanya. 

Tentang sisi kekurangan dari saudarinya itu, sungguh ia yakin bahwa itu pun ada. Namun, bukankah indah jika kita pada akhirnya memilih untuk melihat dan membicarakan tentang yang baik saja? Selebihnya, kita tidak pernah tahu tentang kekurangan orang lain yang bisa saja telah dimaafkan olehNya. 

Ya, nyatanya setiap perjumpaan pasti akan menemukan perpisahannya. Kini tinggal menghitung hari untuk menuju masa itu. Mereka bahkan tidak tahu kapan akan bertemu lagi. Namun, mungkin memang sesekali jarak harus dibiarkan membentang untuk merasai rindu. Mungkin dengan itu, doa-doa diam-diam yang dilangitkan akan terasa lebih syahdu. Dengan itu, setiap detik kebersamaan akan dirasai dengan lebih berarti. Hingga tiba saat mereka akhirnya berjumpa lagi. Semoga, dalam keadaan yang lebih baik. Semoga.  

Makassar, 13 September 2013
Teruntuk dan hanya untuk, saudariku fillah; Ukhti Rismawati binti Burhanuddin
Agar kau tahu, saudarimu ini bersyukur telah mengenalmu
Jazakillah khairan untuk semuanya :')

Diposting pada hari kepulangan Ukh Risma kembali ke kampungnya.
Makassar, 25 Septermber 2013
I. Will. Miss. You. So. Much. Ukhti! :')

2 komentar:

  1. yaah,Risma sudah balik ya?
    semoga ada kesempatan untuk bertemu lagi ya.entah di Bima, di Ambon, atau dimana saja :')

    ~ terima kasih sdh mau berbagi ttg persaudaraan kalian

    BalasHapus

Terima kasih sudah berkunjung. Jika kamu berkenan meninggalkan jejak di kolom komentar, lebih baik lagi :)