Rabu, 11 September 2013

Lab Mikrobiologi: tentang Cita, Cinta, dan Cerita (finale)

..lanjut!

Setelah mandat untuk mengulang kromatografi dari penelitian itu, saya langsung menggeser langkah menuju mushala. Di sana saya menitipkan sebuah tas kertas berisi beberapa alat dan bahan penelitian yang sudah saya bereskan karena menyangka petualangan di lab telah selesai. Sambil terus mempercepat langkah, saya berdoa semoga sampel berupa ekstrak dari metabolit fungi endofit saya masih aman sentosa di sana, meski saya sadar, alat dan bahan itu sudah tergeletak dalam tempo yang cukup lama. 

Dalam tiap langkah yang tergesa itu pula, saya mengingat kembali tiap hal yang sudah saya lakukan dalam penelitian ini. Dalam nyaris dua semester ini. Ya, selama itulah saya menggarap tugas akhir saya. Hampir setahun, dengan jeda dua bulan KKN. Penelitian saya memang tipe yang lama, sebab selain beberapa kali mengulang beberapa part prosedur, tiap stepnya kadang memang memakan waktu berhari-hari untuk diinkubasi, dihomogenkan, dan sebagainya. Saya sudah loncat dari satu lab ke lab lain untuk bisa menempuh semua prosedur itu, karena alasan kelengkapan alat dan kondisi lab. Mulai dari lab sementara di wilayah Baraya, lalu lab baru di farmasi lantai 4, loncat ke lantai 5, juga sempat menjelajah ke lab di gedung PKP, serta pernah pula di lab kimia pada fakultas MIPA, sempat juga menyebrang hingga lab mikro di Universitas Muslim Indonesia. Mengingat itu semua, dan mengingat bahwa ada kemungkinan saya akan mengulang semuanya, membuat langkah saya makin terbirit-birit. 

Mushala sudah sepi kala itu. Kampus secara keseluruhan pun demikian. Saya segera menuju bagian belakang, tempat ada sekat kecil untuk menyimpan inventaris mushala. Mengobok-obok tas kertas tempat peralatan penelitian saya berada. Berusaha menemukan vial-vial tempat saya menyimpan sampel untuk uji KLT. 

Dapat!

Alhamdulillahi rabbil 'alamin... Begitu besarnya kesyukuran saya saat itu. Saya seksamai sampel tersebut. Betapa beberapa cc cairan keruh kecoklatan hari itu telah membuat saya begitu bahagia. Saya menggenggamnya erat-erat, seolah vial-vial itu akan terbang jika saya lepaskan. Suasana hening. Cahaya matahari jingga menyeruak diantara rerimbun daun pohon. Angin senja mengelus wajah saya dengan lembut. Saya berbisik lirih, lebih kepada diri sendiri. I can do it. Yes, i can do it. 

Hari berikutnya, saya tidak membuang waktu. Saya segera memberi bahan-bahan yang diperlukan. Lalu kembali melenggang menuju lab di lantai lima. Semalam, saya sudah meminta tolong pada seorang kawan yang baik hatinya; ukhti Nurhainun Ibrahim yang selalu saya repotkan untuk banyak hal. Penelitian Ainun sudah rampung, dia tinggal melengkapi berkas untuk maju seminar hasil. Ainun mengiyakan untuk menemani saya mengulang KLT hari itu. Saya memang masih kagok sendiri jika bergiat di lab lantai lima. Rasanya beda dengan saat di lab mikro. Rasanya asing. 

Keberadaan Ainun sangat membantu saya. Sangat. Begitu juga dengan laboran di lantai lima, dan seorang senior yang ingin berbaik hati membantu dan memberi saya saran tentang beberapa hal. Beliau juga sedang melakukan penelitian untuk studi magisternya. Betapa baiknya beliau kepada junior 'nakal' macam saya ini. Ya, sebab di masa maba dulu, saya termasuk yang membangkang dan sering mangkir pada kegiatan lembaga yang diwajibkan pada maba. Meski saya punya alasan untuk itu, tapi memang tidak semua orang bisa menerimanya. Senior ini mungkin sudah lupa pada fakta tersebut, atau mungkin menganggapnya tidak lagi perlu dipermasalahkan lagi. 

Walhasil, akhirnya saya mendapatkan data yang baru. Dengan bantuan berbagai pihak, dan dengan instruksi-instruksi dari pembimbing ketiga saya, akhirnya skripsweet saya di ACC. Saya bisa maju untuk seminar hasil, meski dari plot waktu yang saya targetkan untuk bisa mengejar wisuda Desember, saya sudah tertinggal. Tapi tak mengapa. Saya harus berjalan terus. 

Seminar hasil digelar. Kali ini saya berseminar dengan kawan sengakatan saya, Aurel namanya. Lima orang yang seminar saat itu semuanya seminar hasil. Selain saya dan Aurel, ada pula beberapa senior yang turut bersama kami. Penguji saya juga sudah ditentukan. Tiga orang yang cukup membuat saya bersyukur. Seorang dosen yang sempat saya tempati konsultasi saat berencana menggarap penelitian di biofarmasi (ternyata kami akhirnya berjodoh di titik tersebut), seorang dosen yang merupakan pembimbing utama dari Ainun, dan seorang profesor senior berwajah teduh.  Sempat terjadi tarik ulur pula untuk jadwal seminar. Hingga akhirnya hari itu tiba. 

Terus terang, saya lebih horor menghadapi seminar ketimbang ujian sidang nanti. Sebab dalam seminar, semua dosen bisa hadir dan datang untuk turut menyaksikan. Sebuah forum besar di hadapan kawan-kawan mahasiswa, yang bukan hanya menuntut penguasaan pada materi yang dipresentasikan, tapi juga pengelolaan emosi dan mental untuk menghadapi tekanan di majelis tersebut. Waktu sedang galau-galaunya menantikan masa seminar, seorang kawan berpesan..

"Tidak usah takut. Penelitian itu kan kamu yang kerjakan sendiri. Berarti kamu yang paling tahu seluk beluknya. Jadi jangan khawatir..."

Dan alhamdulillah, seminar hasil pun terlewati. Terus terang, saya merasakan kemudahan yang teramat sangat pada proses ini. Bahkan, saya merasa melewatinya dengan lebih mulus dibanding waktu seminar proposal lalu. Semua pertanyaan bisa saya jawab dengan cukup baik, dan semua dosen yang saya harapkan hadir, pun yang saya harapkan tidak hadir (hehehe..) juga sesuai dengan kenyataannya. Bahkan, meski hasil penelitian saya sempat dipertanyakan 'kesuksesannya', saya bisa tetap mempertahankan hal tersebut. 

Memang, bisa dibilang hasil yang saya dapatkan, terutama pada uji zona hambat, tidak begitu memuaskan. Saya sering terngiler-ngiler sendiri menyaksikan hasil zona hambat yang didapatkan oleh kawan-kawan lain yang juga melalui prosedur yang serupa. Zona hambat mereka lebar-lebar selebar Lapangan Karebosi *hiperbolamode:ON*

Sementara zona hambat yang dihasilkan oleh metabolit yang saya isolasi bisa dibilang sangat kecil. Ini menunjukkan bahwa daya antibioti sampel saya lemah. Bahkan, pada beberapa kode sampel, zona hambat itu perlu diterawang dengan mata batin untuk melihatnya (hehehe...). Tapi, bagaimanapun, saya harus tetap mempublikasikan fakta tersebut. Terlepas dari mungkin ada kekurangan dalam proses yang saya lakukan, sehingga hasilnya menjadi demikian, saya merasa tetap tidak boleh melakukan rekayasa. Saya tidak ingin, hanya karena meng-korupsi beberapa milimeter zona hambat, saya menjadi tidak lagi punya muka dihadapan segambreng ilmu farmasi yang selama ini saya tuntut. Saya sudah sepantasnya malu pada semua dosen yang capek-capek mengajarkannya, juga semua orang yang mengajarkan saya tentang kejujuran, terlebih dihadapan Allah yang Maha Menyaksikan. Tidak. Saya tidak mau begitu. Maka, saat dengan yakin saya memaparkan hal tersebut, alhamdulillah forum seminar hasil  (terutama para dosen yang menyaksikan) bisa menerima hasil tersebut. Seorang dosen juga berkata menanggapi hasil yang saya dapatkan..

"Ya, penelitian memang seperti itu. Kita harus selalu mengedepankan kejujuran di dalamnya. Jangan karena ingin mendapatkan hasil yang bagus, lalu kemudian merekayasa data..", ujar beliau. 

Betul. Mungkin penelitian saya ini tidak akan begitu berpengaruh pada perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Namun, jika untuk hasil yang kecil saja saya harus berdusta, bagaimana jika saya bertanggungjawab pada hal yang besar kelak? 

Selepas seminar hasil, saya menghembuskan napas lega. Meski nampaknya sudah tidak mungkin bagi saya untuk mendapatkan jadwal ujian sidang untuk wisuda Desember, saya tetap lega. Satu lagi paku di atas kepala sudah tercabut (kayak kuntilanak aja, hihihi..). 

Nah, seusai dari seminar, saya sudah berjanji akan menemani Ainun untuk berbelanja keperluan ujian sidang kawan kami, Agustina. Diantara kami, Tina memang yang paling lincah. Selain itu, Tina juga mendapatkan proyek penelitian dari dosen. Beberapa hari lagi dia akan sidang. Saya dan Ainun menjadi sidang-organizernya. Maka bertolaklah kami dari kampus menuju supermarket dekat kampus. Dalam perjalanan itu, saya tau bahwa Ainun, meski sudah seminar hasil duluan, nyatanya juga tidak bisa mengejar jadwal untuk ujian sidang. Pendaftaran untuk memasukkan berkas sudah tutup. 

Kami sedang berbelanja dan sibuk memilih tas kertas saat hp Ainun berbunyi. Telepon dari Kak Tini, seorang staff akademik yang biasanya mengurus tetek-bengek berkas mahasiswa. Ternyata, Kak Tini mengabarkan bahwa Ainun masih ada kesempatan memasukkan berkasnya. Kami saling pandang. Lalu, tanpa tunggu banyak waktu, kami menangguhkan kegiatan belanja tersebut. Balik ke rumah Ainun dan menyiapkan berkas-berkasnya, lalu bertolak kembali ke kampus untuk mengumpulkannya. 

Kami grasa-grusu mengumpulkan berkas di ruang akademik. Saya masih lengkap dengan kostum putih-hitam seminar hasil, saat turut mengekor Ainun mengurus berkasnya. Saat itulah keajaiban datang. Keajaiban itu bisa dalam bentuk apa saja, termasuk dalam bentuk seorang dosen yang memberi kabar baik. 

Pak dosen itu menegur saya. Menanyakan sejauh mana saya sudah melangkah. Saya hanya menjelaskan bahwa saya baru saja seminar hasil, dan bahwa sudah tidak keburu untuk mengejar-Desember. Masih ada beberapa berkas yang perlu diurus ba'da seminar hasil, sementara pengurusan berkas sidang sudah akan tertutup beberapa saat lagi. Ainun nampaknya akan jadi pengumpul terakhir. 

"Kalau saya beri kamu waktu lagi bagaimana? Kamu bisa urus nilai skripsi dan academic record kamu hari ini juga?", tanya Pak Dosen itu. Pupil mata saya berdilatasi. Benarkah? Benarkah saya masih ada waktu untuk berwisuda pada bulan dua belas? 

Setelah itu, saya tancap gas. Tadinya mau leye-leye, nyatanya perjuangan saya belum bisa diistirahatkan. Saya segera mengurus nilai seminar hari itu juga. Berikutnya memperbaiki skripsi dan segera mengurus nilai skripsinya. Tidak lupa pula mengontak Aurel dan kawan seminar yang lain untuk bisa bersama mengejar deadline berkas sidang. Qadarullah, hanya saya seorang yang lolos. Alhamdulillah, meski harus tunggang langgang dan bersikukuh menebalkan muka didepan para staff akademik, berkas sidang saya bisa meluncur ke rektorat di waktu yang begitu mepet.

Nah, sekarang saya harus menunggu SK sidang keluar. Semuanya mungkin bisa berjalan lancar, namun nyatanya ada hal lain yang terjadi. Sebuah perhelatan di kalangan fakultas membuat beberapa proses melambat. Termasuk keluarnya SK sidang saya dan Ainun. Waktu sidang sudah ditentukan, dan SK seharusnya keluar tiga hari sebelum itu. Nyatanya, lembaran kertas nan sakral itu baru nongol di sebuah sore, saat besoknya adalah tanggal sidang kami, itu terjadi setelah kami menunggu dari pagi-pagi sekali. 

Menyebar undangan sidang dalam semalam lalu besoknya sidang? Jangan bercanda! Namun, nyatanya itulah yang terjadi. Allah seolah ingin menguji kesungguhan dan ikhtiar kami, lalu kemudian  memudahkan hasilnya. Sore itu juga, kami mengurus semua keperluan undangan. Lalu, saya dan Ainun mulai menyebar undangan ke rumah dosen penguji kami satu per satu. Sore itu makin nyata menguji kesabaran saat hujan turun dengan derasnya. Kendaraan yang kami harapkan adalah sebuah sepeda motor milik Ainun yang hanya punya satu jas hujan, itupun setelah meminjam pada seorang junior. Hujan membuat suasana makin seru, ia makin lama makin deras. 

Dengan tubuh basah karena menerjang hujan dengan sehelai jas hujan saja, kami menuju rumah pembimbing Ainun di sekitar asrama mahasiswa. Hujan makin deras. Turun seperti jempol-jempol. Fakta tersebut membuat saya memutuskan untuk singgah dahulu di sebuah supermarket untuk membeli jas hujan pula. 

Adzan maghrib berkumandang. Masjid Baiturrahman hari itu menjadi saksi kami. Singgah shalat di sana dalam keadaan kuyup, lalu melanjutkan perjalanan menuju daerah Jln. Sunu. Sekitar pukul sembilan malam baru semuanya rampung kami sebarkan. Jangan ditanya seberapa lelahnya kami hari itu. Kami bersyukur karena mereka masih berkenan menerima alasan kami mengantarkan undangan dalam waktu yang begitu mendesak. Pembimbing ketiga saya bahkan menyuruh saya pulang saja untuk belajar dan nanti esoknya meminta undangan di ruangan sidang. Betapa baiknya beliau :')

Sebenarnya, sungguh tidak pantas dua orang muslimah bergentayangan di atas jam sembilan malam. Namun, karena lambung yang sudah gemerucuk, saya dan Ainun memutuskan untuk singgah di sebuah warung demi menuntaskan lapar. Saya berpisah dengan Ainun di sebuah persimpangan tempat saya melanjutkan perjalanan dengan angkot. Jabat tangan perpisahan kami malam itu menjadi penuh dengan doa. Kami saling menjabat telapak tangan yang dingin dan menggigil itu. Entah apa yang masih bisa kami lakukan malam ini. Tapi hari esok akan tetap datang, dan kami akan tetap ujian sidang. 

Saya tiba dirumah hampir pukul sepuluh. Bisa dibilang saat itu bukan saatnya lagi belajar. Saya hanya membaca halaman hasil penelitian selintas. Lalu berdoa semoga semua proses penelitian, studi pustaka, dan diskusi dengan pembimbing selama ini bisa turut hadir dalam memori saya saat sidah besok. Hari itu begitu panjang dan melelahkan. Sebelum terlelap, dalam remang lampu tidur saya berdoa, semoga Allah memudahkan lisan kami di sidang nanti. Ikhtiar kami telah tuntas hingga titik akhir. Detik paling akhir. Oh Allah, Engkau menjadi saksi. 

Dan hari itupun tiba. Hari sidang nasional, saking banyaknya yang menghelat sidang saat itu. Ya, itu memang adalah batas waktu terakhir ujian sidang bagi mereka yang ingin berwisuda di bulan Desember. Suatu Rabu yang cerah saat saya muncul di kampus sambil membawa perlengkapan dan konsumsi ujian sidang, lengkap dengan seragam putih-hitam. Ainun sidang lebih dahulu dari saya. Saya membantu menyiapkan meja sidang Ainun. Tina juga hadir saat itu. Ah, saudari kami yang satu ini tentu begitu repot menggawangi dua sidang saudarinya sekaligus dalam satu hari. Kami begitu berterima kasih.. :')

Ujian sidang Ainun selesai sebelum sidang saya dimulai. Begitu bahagia rasanya melihat wajah sumringah itu keluar dari ruangan setelah dinyatakan lulus. Terlebih, setelah perjuangan kami semalam menerobos hujan, dan saya begitu tahu bahwa semalam Ainun harus menghadapi sebuah masalah terkait sidang yang membuat ia menangis saat menelepon saya. Saya pun jadi tergugu untuknya setelah menutup pembicaraan. 

Kini giliran saya. Perasaan tegang itu terus menggelayut. Perasaan itu luntur sedikit demi sedikit seiring dengan proses ujian sidang yang terus bergulir. Alhamdulillah semua terlewati dengan lancar tanpa hambatan berarti. Bahkan, beberapa menit diawal dihabiskan para penguji dengan membahas 'Bagaimana cara benar melafalkan namamu; Diena Rifaah Amaliah, dan apa artinya?'. Awalan yang sukses menggugurkan sekian persen ketegangan. Hingga tanpa terasa pertanyaan-pertanyaan terlewati. Sampai pada titik saat semua penguji menggeleng saat ditanya 'Apa masih punya pertanyaan?'. Akhirnya. Akhirnya. Akhirnya, ujian sidang saya berakhir. 

Seluruh rangkaian peristiwa ini, bukan hanya menambah ilmu di bidang yang saat itu kami tekuni. Tapi juga menempa banyak hal yang ada pada diri kami. Ketekukan, keseriusan, kesabaran, dan semangat betul-betul turut teruji. Juga yang paling penting, baik sangka pada Allah, Sang Penentu Takdir, bahwa segala hal yang kita dapatkan, bahkan yang tidak kita dapatkan, adalah yang terbaik bagi diri kita. Setiap perjuangan akan menemui kesulitan, namun juga bisa saja melahirkan keajaiban; dan kita hanya perlu percaya. Sekali lagi percaya, bahwa benarlah perkataanNya; sesuah kesulitan itu ada kemudahan. Sungguh, sesudah kesulitan itu ada kemudahan. Jadi, bersemangatlah!

Makassar, 12 September 2013
Saat manisnya hasil begitu terasa setelah berlelah-lelah dalam perjuangan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih sudah berkunjung. Jika kamu berkenan meninggalkan jejak di kolom komentar, lebih baik lagi :)