Selasa, 10 September 2013

Lab Mikrobiologi: tentang Cita, Cinta, dan Cerita (part3)

Ok, lanjut lagi!


Setelah menuntaskan seminar proposal, saya memasuki masa penelitian yang sebenarnya. Penelitian saya ini memang susah-susah gampang. Tidak seperti teman-teman lain yang misalnya penelitian di biofarmasi, stresspoint-nya kadang adalah hewan percobaan yang mati atau tidak bisa ditangani dengan baik, dan itu menelan biaya. Nah, saya pun berhubungan dengan 'flora-percobaan', yaitu fungi endofit dan beberapa mikroba uji. Dalam penelitian ini, musuh yang bisa menjadi duri dalam daging adalah apa yang disebut dengan; kontaminan.

Kontaminan ini bisa berupa bakteri atau fungi yang tumbuh di medium uji, namun sebenarnya tidak diinginkan. Mereka-mereka ini bisa nongol jika pelaksanaan percobaan tidak aseptis. Makanya, dalam penelitian ini salah satu bukti bahwa saya sudah menjalankan praktikum dengan baik dan benar adalah adanya kontrol. Kontrol ini baik berupa kontrol medium (tempat menumbuhkan fungi), dan kontrol ruangan. 

Nah, jadi ceritanya dalam penelitian ini, kerjaan saya adalah mengisolasi fungi endofit yang berasal dari sampel. Sampel berupa potongan daun sambiloto itu saya 'tanam' pada medium, sehingga fungi endofitnya 'keluar', lalu saya isolasi lagi ke medium-agar-miring sebagai stok. Dalam proses ini, saya tidak boleh tertipu, jangan sampai mengisolasi fungi yang merupakan kontaminan dari luar, bukannya fungi dari sampel yang saya harapkan punya daya antibiotik. Dan itu yang ribet. Jika kontaminasi terjadi, saya harus mengulang lagi... Mengulang lagi... Mengulang lagi...

Hingga alhamdulillah, titik terang itu muncul. Kontrol medium dan ruangan tidak lagi menunjukkan adanya kontaminan. Saya akhirnya bisa mengisolasi fungi yang saya idamkan. Namun, perjuangan belum berakhir saudara-saudara. Masih paaaaaaaaaaaaaaaaaaanjang sekali proses yang harus saya lewati. Diantaranya adalah dengan menggunakan medium lain untuk 'memaksa' si mungil fungi agar menghasilkan metabolit yang saya hipotesis dapat menjadi antibiotik. Setelah itu, saya harus menguji apa benar metabolit itu memiliki daya antibiotik yang baik dengan menggunakan beberapa bakteri uji. Setelah itu, saya harus mengidentifikasi lagi apa jenis fungi tersebut secara makroskipik dan mikroskopik. Lalu setelahnya diidentifikasi lagi apa jenis metabolit yang dihasilkan dengan menggunakan kromatografi. Bingung? Iya, memang. Ribet? Iya juga, sih..

Dan satu hal yang cukup memengaruhi proses ini adalah karena saya melewatinya; sendiri. Sendiri dalam arti saya tidak punya rekan separtner yang bisa ditempati saling berbagi pikiran, kecuali tentu para pembimbing saya yang juga punya kesibukannya pula; tidak mungkin mencurahkan seluruh perhatiannya pada saya seorang. Maka lawan terbesar saya saat itu adalah rasa malas. Malas berangkat ke lab, malas konsultasi, malas mengulang hasil yang jelek, malas menambah referensi, dan berbagai kemalasan lain yang bisa timbul kapan saja. Apalagi jika jenuh menimpa. 

Alhamdulillah, saya sebenarnya tidak benar-benar sendiri, sih (maksud, Lo? -__-"). Di lab, pada saat saya sibuk grasa-grusu, selalu ada dua orang laboran nan cantik dan baik hati yang selalu menemani hari-hari berat itu ^_^ . Beliau adalah Kak Dewi dan Kak Lia. Keduanya ini adalah partner setia para peneliti di lab Mikro. Kak Dewi selalu mempermudah kami, terutama mengelola medium yang akan disterilkan, pun dengan alat-alat yang akan digunakan. Kak Lia bahkan sempat membantu saya, mencarikan link (yang merupakan suami beliau) di kampus lain saat lab akan pindah kembali ke fakultas dan beberapa saat harus 'nonaktif', namun penelitian saya harus terus berlanjut. Maka saya pun meminjam alat dan menitip sampel di lab mikro di UMI saat itu. Atas rahmat Allah, Kak Lia adalah jalan yang membuat sampel saya tercinta tidak jadi rusak. Ada juga ukhti Agustina yang juga meneliti di lab yang sama, serta juga topik yang sama dengan sampel yang berbeda. Saya sering merepotkan Tina dengan hal-hal teknis kecil yang tidak saya mengerti saat melakukan penelitian. Jazakumullah kharian katsira untuk ketiganya :')

Seperti yang sudah saya ceritakan di atas, salah satu stressing-point penelitian saya juga adalah karena semua hal harus dilakukan secara aseptis. Steril. Tentu ini adalah sebuah cobaan bagi saya yang tentu bukanlah pribadi yang se-steril itu.. (???). Semua pekerjaan harus dilakukan di dalam Laminar Air Flow (LAF), di belakang sebuah spiritus yang menyala. Semua Erlenmeyer dan tabung-tabung berisi sampel atau medium harus selalu tertutup rapat oleh kapas, dan saat ingin dibuka pun harus dalam suasana aseptis. 

Suatu hari, saya sedang melakukan suatu prosedur bersama spiritus tercinta. Saat itu, sedang ada sekelompok mahasiswa lain yang sedang praktikum-ria pula. Tapi saya harus tetap fokus. Selama mereka tidak mengganggu wilayah terotorial saya, tidak jadi soal. Namun, saya melakukan kesalahan. Saat membuka tutup kapas dari tabung, kapas itu jatuh. Meski masih dalam lingkungan LAF, namun kontaminasi bisa saja terjadi. Maka, untuk mencegah itu, seperti yang biasanya dilakukan, saya mengibas-ngibaskan kapas penutup itu pada api dari spiritus. Niatnya sih agar kontaminasi tidak terjadi. Tapi nyatanya, si kapas malah terbakar. Saya setres dong, ya. Dengan gerakan cepat dan peluh yang mulai membanjir, serta mimik panik yang tertutup masker, saya segera mennyingkirkan kapas terbakar yang sudah berasap-asap itu, lalu menutupnya dengan penutup spiritus. Tapi, asapnya tidak bisa bohong. Si asap tetap membumbung kemana-mana. 

Beberapa praktikan yang sedang asyik praktek menoleh pada saya sambil mengendus. Waktu itu saya dalam posisi membelakangi mereka, sambil sok stay calm. Beberapa dari mereka berbisik-bisik. Wajarlah mereka heran melihat sesosok mahasiswa penelitian dengan asap di sekitarnya, namun tetap melanjutkan prosedur seolah tak ada yang terjadi. Iya, mahasiswa itu adalah saya... T_T

Cerita lain datang saat saya melanjutkan penelitian di lab lainnya untuk keperluan kromatografi. Saat itu, saya sedang sibuk sendiri di depan lemari asam guna menyemprotkan pereaksi pada lempeng KLT tempat sampel sudah saya totolkan. Saat itu, salah seorang dosen lewat di samping saya. Dia sempat menengok pada saya. Sudah lewat sebenarnya ia, namun dia berbalik lagi dan menegur saya. 

"Mana baju lab kamu!" ujarnya. Semua orang di lab itu menoleh. 

"Ini Pak..", ujar saya sambil menarik ujung jas praktikum yang menjuntai ke bawah. FYI, saya selalu mengenakan jas praktikum di dalam jilbab. Saya rasa, mengenakannya di luar jilbab akan menutupi fungsi jilbab saya untuk menutup seluruh tubuh. Mengenakan jas praktikum di luar jilbab akan membuat lekukan tubuh terbentuk dan jilbab saya tidak ada gunanya lagi. Saya mengenakan jilbab biru saat itu. Dan karena 'model nge-jas' saya yang demikian, praktis memang hanya bagian bawah jas saya yang terlihat. 

Dosen itu mengulang pertanyaannya. Saya mengulang jawaban saya. Beberapa kali demikian. Makin lama nada beliau makin tinggi, nada saya makin rendah (ya iyalah...). Hingga akhirnya saya paham maksud pertanyaan beliau. 

"Saya bukannya melarang kamu pakai jilbab begitu yah. Tapi kalau model kamu begitu, jas kamu itu tidak ada gunanya. Apa gunanya jas lab?!" tanyanya. Oke, ini bukan pertanyaan retoris. Saya mencoba menjawab.

"Untuk melindungi diri saat sedang lab, Pak.

"Nah, sekarang kamu berdiri di depan lemari asam, jas lab kamu di dalam jilbab begitu, lalu apa gunanya?". ujarnya. Saat itu, saya sukses menjadi pusat perhatian. Ruangan itu hanya diisi oleh suara dosen dan saya. Yang lain hening, menyimak. 

"Kamu harusnya cari model jas lab sendiri. Supaya kamu tetap bisa terlindungi saat di lab. Saya tidak mau lagi ya, liat model seperti ini!" tutup dosen itu sambil berlalu, diikuti oleh beberapa mahasiswa yang mengekor pengen konsul. 

Baiklah, lutut saya bergetar. Wajah saya pastilah pucat. Meski prosedur saya hari itu belum tuntas, saya putuskan untuk hengkang dahulu dari lab. Dosen itu tidak salah, sungguh tidak salah. Beliau memang benar. Saya hanya perlu melakukan penyesuaian agar semua fungsi; jilbab dan baju lab dapat tercover dengan baik. Saya menatap sekeliling. Beberapa pasang mata masih menengok pada saya. Saya berusaha menyembunyikan mimik syok yang pasti masih kentara. 

Sejak saat itu, saya memutuskan untuk selalu menggunakan 'jilbab-lab'. Jilbab putih yang tetap saya gunakan di luar baju lab putih yang juga tetap saya pakai. Nanti, jika ada yang tanya apa yang melindungi saya saat nge-lab, saya akan menjawab dengan ceria; jilbab lab inilah yang melindungi saya! (^_^)/

(kok saya jadi tegang sendiri mengingat pengalaman itu yah.. Hehehe...)

Tapi ketegangan yang sebenarnya belum terjadi, kawan. Ok, let me tell you the hardest part of it...

Jadi, ceritanya, penelitian saya ini dijeda oleh KKN. Qadarullah, saya dapat KKN di tempat yang lumayan jauh. Jadi praktis saya tidak bisa melanjutkan penggarapan praktikum. Sayangnya, bu dosen menambahkan satu prosedur tambahan yang tadinya tidak ada di proposal, yakni identifikasi makro dan mikro yang tadinya tidak terencana. Dan serunya, prosedur itu dititahkan pada saya pada dua hari sebelum keberangkatan. Dan saya, menghabiskan dua hari itu lab sambil ngintip-ngintip mikroskop tanpa membawa hasil apapun. *sigh*

Alhamdulillah, untuk makroskopik tidak ada masalah. Namun, saya memang terkadang merasa menghabiskan waktu seharian tanpa ada progress. Lucunya, meski hal itu terjadi, saat keluar dari lab dan meninggalkan kampus bersama matahari senja, saya tetap bisa menghembuskan napas lega. Bagi saya, bukan masalah apakah penelitian itu ada hasil atau tidak untuk hari itu, namun apakah saya sudah melakukan sesuatu atau tidak. Saya akan lebih galau jika hanya seharian tinggal di rumah dan tidak melakukan apapun, dibanding bersusah-susah di lab namun juga tidak mendapatkan apapun. Bagi saya, yang penting ada ikhtiar yang terlalui pada satu hari. Masalah hasil, progres, dan peningkatan, saya yakin akan bisa mencapainya, in syaa Allah, selama saya terus maju. Kalau kata Taufik Ismail; Tidak ada lagi pilihan lain/ Kita harus berjalan, terus/ Sebab berheti atau mundur berarti hancur. 

Sepulang dari KKN, saya melanjutkan penelitian saya. Pada titik tersebut, saya sudah sangat jarang berkonsultasi pada pembimbing ketiga, sebab saat itupun beliau sedang sibuk menyelesaikan program doktornya. Pembimbing pertama saya pun meraih gelar doktornya dalam proses membimbing saya. Duh, saya jadi merasa kami sedang bertumbuh bersama (halah, padahal jelas-jelas pencapaian saya kagak ada apa-apanya dibanding beliau-beliau :p). Pembimbing ketiga saya sempat meminta maaf atas keterbatasan itu. Namun, pembimbing pertama saya pun memaklumi. Sebagai besar proses penelitian memang ada di bawah pengawasan beliau. Beliau hanya meminta saya untuk setidaknya mengkonsultasikan hasil KLT pada pembimbing ketiga. Itu saja. KLT adalah proses paling akhir dan final pada penelitian saya. Hasilnya adalah salah satu kesimpulan yang penting dalam rangkaian penelitian ini. 

Nah, akhirnya semua proses telah saya lewati. Oleh pembimbing pertama dan kedua -dosen suami istri tersebut, saya sudah ACC. Waktunya saya menghadap pada pembimbing ketiga. Biasanya jika kondisinya sudah begitni, maka kemungkinan pembimbing 3 akan 90% meng-ACC pula. Tadinya, itu yang akan terjadi. Namun, ternyata tidak semudah itu saudara-saudara... 

"Ooh, sudah ACC ya.." ujar ibu pembimbing tiga setelah beberapa saat saya berusaha menyamai langkah beliau hingga tiba di sebuah ruangan di depan ruang dekan. Ada senior lain yang waktu itu juga sedang ngantri konsultasi di belakang saya. 

"Iya, bu. Tapi saya diminta untuk ibu mengecek kembali bagian KLT. Kalau dari pembimbing yang lain sudah ACC semua." ujar saya dengan sumringah. Mengira hari itu saya akan pulang dengan triple ACC. Ibu pembimbing 3 ini memang expert di bidang KLT. 

Saya pun membukakan halaman tempat terpajang dengan indah foto hasil KLT berikut kesimpulan yang saya tarik di sana. Si senior yang ngantri turut menjolorkan kepalanya memandang hasil itu. 

Sejenak, ibu dosen memandang. Membuka-buka dua halaman yang saya minta dikoreksi. Beberapa kali begitu, hingga saya mendapati dengan jelas bahwa alis beliau mengernyit. 

"Ini tidak bisa dipakai..." ujarnya dengan nada yang cukup halus, nyaris berbisik. Saya berusaha memasang telinga baik-baik. Apa?

"Ini salah... Saya tidak akan bertanggungjawab pada penelitian kamu kalau kamu tetap menggunakan hasil yang ini..." lanjutnya. 

"Hasil ini tidak bisa dipakai.", ujarnya. Menatap saya. Lalu kembali menunjuk pada gambar. Menjelaskan beberapa hal yang menjadi kesalahan saya dan terpampang nyata di gambar tersebut. Menurut beliau, kesimpulan yang saya tarik terlalu terburu-buru. Senior yang harusnya mengambil jarak demi tidak menyaksikan kejadi naas itu, malah semakin mendekat dari kami. Ikut menyeksamai lebaran akhir skiripsi bab empat saya itu. Lalu juga turut mengecek ekspresi saya yang pucat pasi. Jika ia adalah perempuan, mungkin ia sudah menepuk pundak saya untuk menyadarkan saya dari syok. 

"Jadi... Bu...?" ujar saya, terbata-bata. Ibu dosen menatap saya. Kasian. 

"Kalau kamu ingin tetap maju dengan hasil ini, silakan. Tapi saya tidak bisa bertanggungjawab jika nanti justru setelah seminar hasil, kamu malah disuruh mengulang penelitian kamu.." ujarnya. 

Ada petir yang menggelegar di kepala saya. Saya menggeleng lemah. Tersenyum miris. "Saya tidak berani, Bu..."

"Ya, sudah. Kalau memang kamu mau mengulang, nanti panggil saja saya. Saya bisa mengikuti step by step prosedur ini supaya hasilnya bagus..." ujar beliau. Saya mengangguk. Membereskan bentangan skripsi di atas meja, lalu minta izin pamit pada beliau. Mengangguk sejenak pula pada senior yang sudah jadi saksi kenelangsaan saya sore itu. 

Keluar dari ruangan, saya menatap langit yang membentang. Mencari-cari, jangan-jangan sudah ada gunung yang beterbangan bagai anai-anai di angkasa. Jangan-jangan hari itu kiamat datang lebih cepat. Jika boleh menangis, ingin menangis saja rasanya. Tapi, air mata saya tidak boleh tumpah hanya untuk masalah seperti ini. Saya menarik napas dan menghembuskannya. Mencoba menstabilkan kembali aliran darah yang tadi memompa jantung saya lebih cepat. Menenangkan lambung saya yang didera kucuran asam lambung berlebihan gara-gara syok tadi. Begitu pula dengan gerakan peristaltik usus yang sempat terasa tidak normal. 

Saya mengangkat wajah. 

Satu-satunya yang saya pikirkan sekarang adalah; apakah stok sampel untuk KLT saya masih tersedia? Sebab jika tidak, saya harus mengulang semuanya dari awal. Ya, SEMUANYA.  

(bersambung)
sampai di bagian sulit ini, akhirnya... :')

Makassar, 11 September 2013

2 komentar:

  1. Assalaamu'alaykum Warrahmatullahi Wabarakatuh.
    Kak, mau tanya ya? Kalau pakai jas lab kan bisa disiasati dg jilbab putih (supaya jasnya ttp di dalam, tidak membentuk). Nah, kalau masuk ke lab formulasi steril bgmn mensiasatinya? Karena setahu saya 'seragam' lab formulasi steril itu 'beda' sendiri kan. Jazakillah Khoiron -Auliya

    BalasHapus
    Balasan
    1. Waalaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh
      Jazakillah khairan untuk kunjungannya, Auliya :)
      Wallahu a'lam Dik, karena di lab steril kampus saya itu alhamdulillah tdk diharuskan menggunakan seragam khusus, jadi jas labnya pun tetap saja sama dengan jas lab yang lain, hanya ditambahkan penutup kepala untuk laki-laki atau untuk teman perempuan yang tidak berjilbab. Selain itu sama saja. Jadi waktu menjalani lab steril pun saya tetap menggunakan 'model' yang sama dengan lab-lab lainnya dengan jilbab putih di luar jas lab.

      Hapus

Terima kasih sudah berkunjung. Jika kamu berkenan meninggalkan jejak di kolom komentar, lebih baik lagi :)