Rabu, 25 Agustus 2010

Kita yang Mengaku Perindu Syurga


masih bisakah kita katakan itu,
saat tidur ternyata telah terlampau lelap
padahal kita mengaku saudara mereka
yang merinding takut oleh desing senapan
atau yang kedinginan di tenda pengungsian

mudah kita mengaku merindukan syurga
padahal berapa banyak ujub yang kita bawa saat bertemu denganNya
berapa banyak sujud yang tak ikhlas
sementara lidah terlalu tergesa mengeja ayat
mengejar setoran

dengan apa kita ingin masuk syurga?
dengan hardikan yang teralamat pada mereka yang masih bersyahadat
dengan tatap mata tajam pada sesama umat Muhammad?
atau dengan saling cerca tak berujung
berakhir dengan debat kusir yang tanpa akhir
sibuk merutuki kelam
padahal hatinya tak kalah temaram

sementara sibuk dengan ruku'nya yang panjang
di belakang,
ayah dan ibu meminta di kuburan
orang-orang tak lagi kenal Tuhan
lalu berharap perubahan
tapi tetap duduk diam

yang mengaku perindu syurga
berjalan terus masanya'
tak ada yang akan menantinya
dan derap-derap waktu terdengar begitu nyata
siap menggilas mereka dan mengantar pada alam selanjutnya
yah, seharusnya ini tidak cukup dengan rasa rindu saja!
(Agustus, 26 '10)

Jumat, 06 Agustus 2010

Ayo Lihat Lebih Dalam!

Dan saya pun memulai tulisan ini dengan hembusan napas panjang…. *tarik napas…hembuskan!* Sebuah tulisan untuk DIRI SAYA SENDIRI.

Baiklah.

Beberapa waktu belakangan ini, berhubung liburan kuliah sedang menerpa, saya jadi punya cukup banyak waktu untuk tidak terlalu tergesa-gesa melewati tiap peristiwa yang saya alami. Jadi ada sedikit jeda bagi saya untuk sejenak berpikir, dan melihat lebih dalam. Meskipun, secara manusiawi dalam banyak hal, terkadang letupan-letupan perasaan bercampur emosi masih kerap saya alami dalam beberapa fragmen.

Dalam kesempatakan yang berlalu itu, saya melihat banyak hal. Saya tertegun saat menyaksikan teman-teman saya, baik yang dari masa lalu maupun yang masih beredar di sekitar saya sekarang, meraih ‘kesuksesan’. Yah, kesuksesan di mata dunia yang tidak jauh dari prestasi akademik dan tepuk tangan serta sorot mata kagum. Lalu, saat saya melihat pada diri saya sendiri, saya selalu seolah ingin berkata, “Hey, kemana saja kamu selama ini? Kamu juga mampu begitu khan?”. Maka selanjutnya adalah, saya kebanyakan melihat mengkambinghitamkan hal-hal lain yang saya alami. Berbagai macam hal yang saya jadikan tersangka atas k’ketidakmampuan’ saya meraih predikat seperti yang teman-teman saya raih. Hmm…, betapa kekanak-kanakannya.

Padahal, bukankan kita tidak pernah benar-benar tahu tentang keadaan orang lain. Ya, tidak akan pernah! Setidaknya bagi saya sendiri, saya selalu menganggap, sebijak apapun seseorang, ia tidak akan pernah bisa benar-benar memahami apa yang sedang dirasakan oleh orang lain. Sekalipun ia melewati hal yang sama dalam waktu yang sama! Sebab kita baru bisa mengerti tentang seseorang jika kita berubah menjadi orang tersebut seutuhnya, sementara manusia tidak mungkin menjadi manusia lain, bukan?

Dan pemikiran-pemikiran picik saya itupun saya berondong dengan berbagai macam hal. Betapa kesyukuran dan kesabaran memang sudah seharusnya menjadi barang wajib yang kita punya. Membuat kita bisa segera tersadar saat mengkerut meliaht hijaunya rumput tetangga. Apalagi jika hal-hal itu sangat erat dengan perkara dunia.

Mungkin, sebab agama kita mengajarkan untuk menyembunyikan amalan saja, sehingga kita tidak tertunduk malu saat menyaksikan saudara kita yang lain. Jika kita bisa iri dengan sukses dunia yang diraih kawan di sana, maka sudah sepatutnya pula kita pun iri dengan jalan untuk meraih sukses akhirat yang sedang ditempuh oleh saudara kita. Sementara kita? “Lalu dengan apa kita ingin masuk syurga?”

Saat kita melihat sesuatu, cobalah lihat lebih dalam. Wajah-wajah yang penuh senyum itu, belum tentu tidak menyimpan tangis sedih yang ia sembunyikan dalam kornea matanya. Gerak-gerik cuek yang apa adanya itu, bisa jadi selalu hidup malamnya dengan berdua-duanya bersama sang Rabb. Bahkan sekali lagi, saya selalu merinding saat menyaksikan kakek pengemis di depan toko yang bersusah payah mengeja ayat-ayat Allah, ruku dan sujud diantara kerumunan manusia yang sibuk keluar masuk berbelanja, sementara tangannya cacat, sementara ia seolah sangat tak berdaya. Lalu sebelumnya, saat saya menyusuri jalan lain di salah satu sudut kota, seorang tukang becak bersandar pada becak tuanya, mencari semburat cahaya dari toko-toko yang sudah tutup untuk membaca buku wirid, dengan mulut yang terus komat-kamit. Ya, saya sedag berusaha melihat lebih dalam. Lebih dalam lagi!

gambar: https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEj2Lj9HKtyDMQfK437qXpXW5_fsAhxHCKL6m20bH9pn259Q4i8isyOrhjPspW5506G_Szoxv7d6kFa95uXLJcKs2TCY6xTGGrdq9WB8GNreCKnFTkzYiAuV3oWCkNscNuM2UmuRsBXodPxL/s320/Fall_Dew_page.jp