Kamis, 29 Desember 2011

Jalan Kumala dan Dia yang Telah Pergi


Beberapa hari yang lalu, saya dan ibu berkunjung ke rumah salah seorang kerabat di Jalan Kumala. Ibu berniat ingin mengambil beberapa bibit tanaman yang telah dijanjikan oleh nenek di sana (No more sansivera, Mom. Please… -_-“). Akhir-akhir ini memang beliau sedang hobi memasukkan perlbagai tanaman hias ke dalam rumah dengan pot-pot keramiknya. Dalam kondisi yang sedang baik, Ibu bisa teramat sibuk mengatur kembang-kembang itu, dan akan memperlakukan mereka seolah manusia; ada yang dianggapnya anak kecil perempuan yang lucu, ada yang seolah seorang pemuda yang gagah, dan lain sebagainya. Ah, personifikasi sekali Ibu ini..

Dan kunjungan saya ke jalan Kumala selalu mengingatkan saya pada seseorang. Seorang kakak yang dahulu turut berperan hingga saya dapat berada di jalan cahaya. Namanya Kak Riska. Saat saya kelas satu SMA dulu, beliau adalah ketua akhwat dari rohis di sekolah kami. Orangnya pendiam, dengan senyum hangat yang sesekali mampir di wajahnya. Dia juga anggota KIR yang meng-interview saya saat tes masuk ke organisasi tersebut. Dia, membonceng saya menuju sebuah tempat pengajian, tempat pertamakali saya bermajelis di luar sekolah.

Tapi, Kak Riska telah pergi.

Saat kami duduk di bangku kelas dua, di awal-awal tahun ajaran baru kami mendengar kabar yang kurang enak. Kak Riska sakit. Padahal, saat itu beliau harus bersiap-siap menghadapi ujian masuk perguruan tinggi. Kabar sakit beliau terus mampir di telinga saya, hingga akhirnya suatu hari, bersama dengan seorang sahabat yang juga anggota rohis, kami merencanakan untuk menjenguk beliau di keesokan harinya.

Namun, ternyata kami terlambat. Di hari dimana kami berniat datang menjenguk, ternyata agenda menjadi berubah. Kami, akhirnya harus datang ke sana, di rumah beliau di jalan Kumala, untuk bertakziyah. Kak Riska yang kami cintai, telah berpulang. Ada perasaan bersalah yang menghujam tiba-tiba saat mendengar kabar duka itu. Kenapa saya selalu menunda untuk mengunjungi beliau? Mengapa saya harus terlambat untuk momen semacam ini? Saat saya akhirnya hanya akan berhadapan dengan jasad tanpa nyawa, dari seorang kakak yang saya kenal dengan sujud panjangnya dalam sholat dhuha di mushalla kami.

Kami pun datang ke rumahnya. Begitu banyak air mata di sana. Ibu beliau, yang sudah menyiapkan sebuah tas baru untuk dipakai Kak Riska kuliah nanti, terlihat meraung dan menangis dengan sangat sedih. Saya hanya dapat memandang dengan pilu. Air mata saya semakin mengalir deras saat ingatan-ingatan tentang Kak Riska terus datang silih berganti. Saya, memang tidak begitu akrab dengan beliau yang terus terang teramat saya segani. Namun, saya selalu kagum disertai cemburu saat melihatnya teramat istiqamah, mengenakan jilbab syar’I hingga ajal menjemput.

Keesokan harinya, saya mendengar kabar bahwa Kak Riska sempat terbangun kembali. Ya, entahlah. Tapi kabar itu sahih dan member informasi kepada kami bahwa setelah kunjungan takziyah kemarin, Kak Riska yang telah dinyatakan meninggal sempat terbangun, lalu mengucap syahadat, kemudian kembali pergi, kali ini untuk selamanya. Mendengar itu, saya hanya dapat berusaha menyembunyikan air mata. Betapa beruntungnya. Yah, dia yang semasa hidupnya telah menghabiskan masa muda dengan kebaikan, dengan teladan yang begitu baik bagi kami ; adik-adik yang beliau tinggalkan.

Kak Riska, bagaimana kabarmu di sana? Semoga telah kau dapatkan apa yang selama ini dijanjikanNya. Semoga diterima segala amal dan diampuni segala dosa. Walau saya sadar betul bahwa telah ada sekat antara kita, namun lewat tulisan ini semoga telah tercurahkan; segala cinta pada sosokmu yang selalu kami rindukan.

Rabu, 28 Desember 2011

Gaudeamus Igitur


Gaudeamus igitur (Mari kita bersenang-senang). Pertamakali mendengar lagu ini pas PMB (Penerimaan Mahasiswa Baru) empat tahun empat bulan yang lalu. Kali ini, saya mendengarnya kembali dalam kondisi yang rasanya lebih tepat. Yah, agaknya memang lagu ini tidak begitu cocok untuk awal baru macam moment PMB itu. Memasuki dunia kampus jelaslah bukan saat yang tepat untuk bersenang-senang, khan? Tapi yo wis lah.. Saya sedang tidak ingin membicarakan lagu berbahasa aneh itu. Yah, kali ini saya hanya ingin membuat catatan ringan untuk mengabadikan hari rabu yang bahagia ini.

*tarik napas...hembuskan..*

Akhirnya saya wisuda juga! Ya, setelah beberapa bulan pasca KKN yang begitu menguras tenaga lahir dan batin, akhirnya semua perjuangan itu tertebus dengan bahagia di hari ini. Dan prosesi wisuda kali ini pun hanya akan berakhir sebagai seremoni belaka, kecuali jika mengingat tentang perjuangan untuk menuju kepadanya. Bukankah rasa manis terasa lebih nikmat setelah pahit yang berpayah-payah?

Saya jadi teringat perkataan seorang dosen kepada staff akademik di fakultas saya suatu hari,

“Permudahlah urusan birokrasi mahasiswa-mahasiswa ini... Akan banyak orang yang kalian bahagiakan jika mereka bisa wisuda Desember nanti...”

Benar. Hari ini saya menyaksikan begitu banyak wajah sumringah. Bukan hanya dari para wisudawan yang nampak begitu bercahaya dengan keceriaan mereka. Begitu pula dengan orang tua, sanak family yang ikut meramaikan, tukan foto, tukang kipas, tukang balon, sampai pedagang permen dan minuman dingin yan juga kebagian rejeki dari event hari ini. Ah, tidak terbayang pahala yang didapatkan oleh orang-orang yang mengambil bagian dari suksesnya hari ini. :D

Lalu saya, tanpa berniat untuk pengkultusan apapun, mencoba menarik benang merah dari beberapa peristiwa penting menuju wisuda. Lalu ternyata saya mendapati begitu banyak hari RABU yang menghiasinya. Yah, tanpa sengaja, namun tentu atas takdir Allah; Rabu untuk seminar proposal, Rabu untuk seminar hasil, Rabu untuk ujian sidang, dan hari Rabu ini pun untuk wisuda. Hehehe...

Tapi terlepas dari masalah hari tersebut, hari ini memang menjadi sebuah titik tempat kita kembali mengumpulkan segala semangat dan cita-cita. Maka benarlah apa yang menjadi wejangan Pak Rektor tadi, seolah seorang ayah yang sedang bernasihat pada anak-anaknya, Pak Rektor mengingatkan kami bahwa hari ini bukanlah akhir dari perjuangan. Perjuangan yang sebenarnya baru saja dimulai. Bahwa ilmu-ilmu dan nilai indeks prestasi memang hanya akan menjadi deret huruf dan angka tanpa makna jika tidak disertai dengan amalan nyata. Tanpa adanya kemanfaatan yang dapat dirasakan oleh masyarakat. Oleh ummat.

Akhirnya, teriring ucapan selamat; semoga berkah, semoga sukses selalu; untuk segenap wisudawan yang tadi telah mengakhiri masa kemahasiswaannya sebagai mahasiswa S1 di Universitas Hasanuddin: semoga ilmu kita bermanfaat. Juga kepada para orang tua dan para dosen yang telah mengajarkan begitu banyak hal kepada kami semua; kita sadar, sebenarnya justru merekalah yang paling pantas mendapatkan ucapan selamat yang paling banyak!

Gaudeamus igitur.

Tak mengapa, mungkin, kita mengambil jeda sejenak untuk bersenang-senang. Sekadar semacam istirahat untuk perjuangan selanjutnya, yang lebih berat. Ayo berjuang, juvenes dum sumus (selagi kita, masih muda)!

Sabtu, 24 Desember 2011

Aceh, Aku Masih Mengingatmu



Jika kau bertanya, apa kejadian yang paling tidak terlupakan di akhir tahun, di bulan Desember, maka saya akan menceritakan tentang hal itu. Tentang sebuah kejadian di sebuah pagi pada dua puluh enam Desember dua ribu empat yang lampau. Saat itu saya masih duduk di bangku SMP, sepertinya. Kabar beritanya pun sebenarnya baru saya dengar beberapa hari setelah petaka itu terjadi. Namun, hal itu tidak pula mengurangi kesan yang selalu muncul setiap tanggal itu berulang. Saya mengingat Aceh, dan Tsunami yang pernah menerjangnya.

Itu mungkin menjadi bencana alam yang paling dahsyat yang pernah kita saksikan. Saat berbagai macam material; mobil, pohon, kayu-kayu besar, bahkan rumah yang kokoh ikut terhanyutkan dalam kerasnya arus air yang terjadi. Ya, air yang dalam kondisi normal mungkin menjadi hal yang tidak terlalu mendapat perhatian kita. Namun hari itu, kita dapat dengan terbelalak menyaksikan, bagaimana jika kuasa Allah telah terjadi. Maka, berjatuhanlah korban jiwa hingga ratusan ribu nyawa. Seketika, anak kehilangan orangtuanya, ibu kehilangan anaknya, dan mungkin, sebuah generasi telah lenyap seketika.

Saya, mungkin tidak punya koneksi apapun dengan tanah serambi Makkah, kecuali karena nama depan saya yang mirip-mirip dengan pahlawan wanita dari tanah Aceh itu; Cut Nyak Dien. Tapi, entah mengapa saya selalu merasa terenyuh jika kembali diingatkan tentang kejadian itu. Dan pada masa tersebut, saya selalu menghabiskan hari sepulang sekolah dengan menyaksikan tayangan MetroTV yang memang paling sering memberikan informasi terbaru tentang bencana tersebut.

Di sana, saya menyaksikan bagaimana Najwa Shihab tidak mampu lagi menyembunyikan air matanya demi menjadi saksi begitu banyak nyawa yang hilang, begitu banyak nyawa yang melayang; seketika! Saya juga sempat menyaksikan tayangan seorang anak kecil yang berdiri di sebuah titik, dan sangat enggan beranjak dari sana sebab ia menunggu ayahnya bangun. Ayahnya, yang terkapar tanpa nyawa di hadapannya. Ah, terlalu banyak air mata dan kepedihan. Terlalu banyak hati yang kehilangan. Mayat-mayat tanpa busana, yang jika terlambat ditemukan maka akan tinggal membusuk atau jadi santapan anjing. Lalu, ditengah itu semua, Allah kembali menunjukkan betapa kecilnya kita, lewat masjid-masjid yang tetap berdiri kokoh ditengah puing-puing yang hancur di sekelilingnya.



Setahun kemudian, dalam sebuah event Penulis Masuk Sekolah, sekelompok penulis menghadiahkan saya sebuah buku; Aceh Dukaku, Sebuah Tanda Kabung. Bersama ketiga buku luar biasa lainnya, beliau-beliau memberikan buku yang begitu menyentuh tersebut, setelah saya menuliskan dan membacakan puisi di hadapan mereka. Ya, Aceh Dukaku memuat beberapa puisi dan esai yang memotret keadaan Tsunami Aceh; kegetiran, kesedihan, kehilangan, bahkan secercah harapan yang masih tersisa.

Maka saya tidak peduli bahwa tahun akan segera berganti. Namun bangsa kita agaknya harus diingatkan, bahwa sebuah peristiwa besar seharusnya selalu membuat kita tersadar, memberikan sebuah pelajaran, bukan untuk mengumbar luka lama, tapi untuk menjadi cerminan, bahwa kita pernah mengalami sebuah kehilangan yang besar. Bahwa kita pernah ditegur dengan teguran yang teramat keras. Lalu, kapan kita akan tersadar? Apakah kita sedang menunggu teguran berikutnya datang? Naudzubillah...

Kisah Seorang Penjual Kafan

Oleh: M. Aan Mansyur

Tidak seperti di kiri dan di kanan

Tokonya selalu sepi pelanggan

Meski ia juga menjual kain

Seperti toko-toko yang lain


Kalau ada orang yang mati

Apalagi penguasa yang suka korupsi

Ia sungguh bersenang hati

Sebab kainnya laku dibeli


Begitulah dari jaman ke jaman

Ia hanya berjualan kain kafan

Agar hidupnya bisa terus berjalan

Dan anak istrinya bisa makan


Semalam ia lihat dari tv disiarkan

Di Aceh sebuah musibah datang

Dimana-mana mayat berserakan

Mengiris hati, sungguh menyedihkan

Ia menangis, dan berucap pelan,

“Sungguh, itu bukan doaku, Tuhan!”

(Aceh Dukaku, pg. 144)

HENTIKAN!



Awal tahun, dua tahun yang lalu. Saat aktivitas di rumah saya berhenti begitu saja seiring dengan tubuh-tubuh yang lelah dan mata yang telah siap terpejam. Mungkin, sekitar pukul sebelas kurang beberapa menit, di tiga puluh satu Desember dua ribu sembilan. Nothing special seperti tahun-tahun sebelumnya. Dan seperti biasa, kami semua akan tidur sesuai dengan jam tidur masing-masing, lalu esoknya bangun seperti biasa, kecuali dengan angka tahun yang bertambah.

Tapi tidak dengan malam itu. Tepat pukul 00.00, kami terbangun, mungkin tepatnya; terperanjat. Bukan. Bukan oleh gempita pergantian tahun yang selalu heboh itu. Tapi justru oleh teriakan ibu saya yang tiba-tiba sudah berdiri di depan pintu kamarnya dengan nafas terengah. Wajah beliau nampak pucat dengan keringat yang tiba-tiba mengalir di dahinya dengan deras.

Yah. Rupanya ibu terkaget dengan bunyi petasan dan kembang api yang membahana tepat saat pergantian tahun. Baiklah, ibu kami memang tidak dalam kondisi baik selama beberapa tahun belakangan ini. Beliau begitu mudah terkaget oleh hal-hal yang mungkin kita anggap sepele. Dan kekagetan itu bukan hanya sampai di situ saja. Setelahnya, ibu kemudian mengalami kondisi kesehatan yang semakin drop selama lebih dari sepekan setelah kejadian tersebut. Ya, karena itu saya selalu benci tahun baru. Benci suara petasan dan kembang api. Benci kepada hal-hal tidak penting yang pernah membuat ibu saya sakit.

Setelah kejadian itu, setiap tahun baru, kami sekeluarga selalu merencanakan untuk mencari tempat lain selain rumah untuk melewati pergantian tahun. Bukan acara tahun baruan tentu, tapi justru semacam kegiatan pengungsian agar insiden yang sama tidak kembali terulang. Maka saya kembali kepada kaidah awal yang saya coba buat sendiri, bahwa; hal-hal yang membuat kita senang, bisa jadi membuat orang lain menderita.

Termasuk dengan pesta-pesta tahun baruan ini.

Baiklah, saya juga pernah melewati fase ingin-merayakan-tahun-baru tersebut di masa lalu, meski kemudian tidak pernah terealisasi karena tidak pernah pula mendapat izin dari orang tua. Dan kedongkolan karena larangan tersebut di masa lalu, kini telah berubah menjadi kesyukuran bahwa saya kemudian tidak pernah sempat untuk benar-benar merayakannya. Lagi pula, saya selalu bertanya; apa pentingnya merayakan tahun baru?

Bukankah pergantian tahun adalah sebuah pertanda semakin dekatnya kita dengan ajal. Bahwa diri kita ini adalah kumpulan masa yang tiap detiknya akan terus berkurang dan selangkah lebih dekat dengan kematian. Lalu apa yang sedang kita rayakan? Yah, betapa dekatnya perayaan-perayaan ini dengan simbol agama lain, lalu kita dengan mudah terpengaruh dengan jebakan generalisasi, lalu ikut-ikutan merayakannya dengan gembira. Seorang guru berkata; ikut-ikutan adalah kebiasaan bangsa yang kalah. Bahkan, beratus tahun yang lalu Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam pun bersabda;

“Barangsiapa menyerupai suatu kaum, maka ia termasuk golongan mereka.” (HR. Abu Dawud, Ahmad dan dishahihkan Ibnu Hibban.)

Maka saudaraku, saya mohon hentikan. Segala macam kebiasaan tanpa guna di malam pergantian tahun. Cukupkanlah diri kita dengan dua hari raya yang memang telah jelas disyariatkan oleh Allah; Idul Adha dan Idul Fitri. Bahkan, kita punya hari Jum’at yang selalu berulang tiap pekannya sebagai hari raya kita; ummat Islam, ummat yang telah dimenangkan Allah di atas ummat lainnya.

Maka saudaraku, saya mohon; hentikan.

Rabu, 14 Desember 2011

Iya, Kita Semua Lelah!



“Ini mahasiswa... Kalau bukan rusuh di kampusnya, demonstrasi di jalanan! Bikin macet saja!”

Celotehan itu keluar secara spontan dari seorang bapak yang sedang melintasi kampus merah dengan sepeda motornya. Di saat yang bersamaan, beberapa mahasiswa nampak sedang berorasi di jalanan depan kampus mereka. Berteriak-teriak meski tidak terlalu jelas. Menggunakan jaket merah dengan bangga, nampaknya sedang memperingati hari bebas korupsi, kalau tidak salah. Jalanan depan kampus yang dalam kondisi normal saja selalu diwarnai kemacetan, kini bertambah-tambah dengan aksi para mahasiswa tersebut. Dan sebab mereka tidak pernah memperkenalkan diri pribadi pada masyarakat, maka para pengguna jalan pun memukul rata para pelaku demo tersebut dengan menyebutnya sebagai mahasiswa secara umum.

Baiklah, saya juga mahasiswa.

Dan hal itulah yang membuat saya merasa perlu untuk membuat tulisan ini.

Masalah korupsi itu, Kawan... Entah sejak kapan kita mulai menganggapnya sebagai kata yang senantiasa berulang. Sebuah kata yang sangat lekat pada kehidupan kita dan sering kita lekatkan pada banyak hal. Dan tentang korupsi para pejabat-pejabat itu, dari dulu pun kita selalu tidak habis pikir mengapa mereka yang bergelimang harta masih merasa perlu untuk korupsi? Entahlah. Yang kita tahu, bahwa yang mereka korupsi adalah uang rakyat, uang kita. Uang yang seharusnya digunakan untuk menekan jumlah masyarakat yang hidup di bawah garis kemiskinan, uang yang sepatutnya dialokasikan untuk tujuan pendidikan yang lebih baik dan kesehatan menentramkan. Dan bahwa kasus-kasus semisal itu selalu saja terjadi, terungkap, heboh, lalu kemudian menghilang dan tidak begitu jelas pertanggungjawabannya; Ya, kita semua tentu telah lelah dengan itu semua!

Kemudian, kita mencoba mengungkapkannya dengan cara kita masing-masing, media kita masing-masing. Sayangnya, segelintir teman-teman mahasiswa merasa mendemonstrasikannya dengan turun ke jalan, menutup sebagain atau bahkan seluruh badan jalan yang juga merupakan sarana umum, kadang diwarnai dengan aksi bakar ban yang semakin memperparah kondisi jalan yang sudah bopeng disana-sini, atau juga dengan sandera-sanderaan kendaraan lain yang melintas, lalu berkoar-koar dengan pengeras suara tentang keadilan yang penderitaan rakyat... Hey! Sebenarnya, apa yang sedang kalian perjuangkan?

Tengoklah tampang para penumpang angkot yang telah lelah bekerja seharian, atau bahkan ada yang sedang tergesa menuju tempat kerjanya, namun menjadi terhambat langkahnya karena demo-demoan itu? Ataupun setoran para supir yang menurun drastis karena harus terjebak macet. Atau mungkin begitu banyak orang yang harus rela menghabiskan waktunya dengan percuma karena sebuah alasan kalian yang menjadi begitu ironi; Atas nama rakyat. Tapi, rakyat yang mana?

Ya, kita pun semua lelah dengan kenyataan negeri kita. Dengan pemimpin kita yang selalu kita rindukan realisasi janji manisnya. Tapi, ah... Itu bukanlah alasan untuk mengganggu kehidupan orang lain yang sejak awal sudah susah. Ya, kita semua lelah. Tapi itu bukan alasan untuk membakar ban di tengah jalan, apalagi untuk bakar diri di depan istana. Kita lihat saja nanti, apa yang sedang kita tebus dengan harga mahal itu –bahkan dengan nyawa; Negeri ini, menjadi semakin baikkah?

gambar:http://blog.umy.ac.id/choirul/files/2010/11/hdhh.jpg

Senin, 12 Desember 2011

SEBELAS!


Baiklah. For the first time saya dapat tugas untuk mengerjakan tulisan berantai dari Ukhti nurmayantizain.blogspot.com -__-"

Awalnya, saya pikir ini ada hubungannya dengan tanggal, tapi ternyata tidak.. Rangkaian angka 11 itu adalah jumlah poin-poin yang harus dilaksanakan dalam tulisan berantai ini. Angka 11 yang pertama menunjukkan 11 hal yang harus ditulis tentang diri sendiri. Angka 11 kedua adalah 11 pertanyaan yang harus dijawab . Nah, 11 yang ketiga adalah adalah 11 pertanyaan yang harus diajukan kepada 11 blogger yang nanti akan mendapatkan tugas berantai selanjutnya. Hmm.., sebenarnya 11nya ada empat yak?


Baiklah, mari kita mulai!

11 Hal tentang Saya;

Hmm..bagian ini sebenarnya agak-agak riskan untuk dikerjakan, soalnya bisa-bisa identitas saya ketahuan oleh khalayak umum *halah*. Jadi, bagian yang ini di skip saja boleh tak? #lirik ukh maya -___-". Hehehe..., tapi berhubung yang memberi tugas kayaknya bakal ngamuk, saya akan tetap mengerjakan bagian ini dengan hati-hati dan penuh pertimbangan *halahlagi*. Check this out!

1. Biru

Entah kapan pertamakali saya menyukai warna biru. Yang jelas, warna ini memang adalah warna favorit saya untuk semua hal, baik itu berupa barang-barang maupun dalam berpakaian. Warna biru itu menenangkan, kawan! Kesan maskulin dan feminim bisa berpadu dalam biru. Biru juga cenderung bersahabat dengan warna-warna lainnya.

2. Kacamata

Benda ini telah menginspirasi saya untuk beberapa tulisan. Percayalah, alat bantu melihat yang paling nyaman adalah kacamata. Jujur, kadang ada juga rasa agak malas untuk menggunakannya, apalagi pas pakai kacamata yang agak berat dan membuat hidung kecapean menopangnya. Tapi kacamata sudah menjadi kebutuhan primer buat saya. Pada akhirnya saya harus menerima bahwa kebersamaan saya dengan benda ini memang tidak bisa semudah itu tergantikan *kecuali kalo operasi lasik yah.., tapi ngeri ah! Kata orang juga, pemakai kacamata itu kesannya smart dan rajin begitu...#maunya.... Tapi yah, terlepas bahwa saya juga pemakai kacamata, terus terang saya juga senang melihat orang berkacamata. Meski memang, menggunakannya akan membuat wajah kita terlihat agak berbeda. Selalu hapal dengan komentar orang-orang jika saya ngeloyor tanpa kacamata, "Ini Dina yah? Ooh..., saya kira tadi siapa..?" @_@

3. Buku

Yang ini juga sudah pernah saya ceritakan. Tentang persahabatan saya dengan buku sejak pintar membaca. Serta kesukaan saya mengoleksi buku dan berusaha untuk menjaganya. Makanya, saya senang sekali kalau ada buku yang menghadiahkan pembatas buku, jadi pas baca, ujungnya tidak usah kita lipat untuk menandai, jadi tidak perlu 'menyakiti' si buku. Ritual membungkus buku dengan plastik juga sempat jadi sebuah keharusan tersendiri (walaupun akhir2 ini jadi kurang disiplin saya kerjakan karena alasan sibuk dan karena plastiknya habis >_<). Bahkan, kalau meminjam buku orang yang belum disampul, saya kadang (ini kadang yah...) membungkuskan bukunya sebagai ucapan terimakasih dan untuk menghargai karya itu. Buku khan sumber ilmu, jadi menjaga buku sama juga dengan menjaga ilmu, khan? Walaupun, kembali lagi pada kaidah umumnya, bahwa ilmu itu bukan yang ada di kitab, tapi ada yang tersimpan di hati dan yang kita amalkan :)

4. Langit

Mungkin karena langit berwarna biru, entah mengapa akhir-akhir ini saya senang menatapnya. Mungkin juga karena setelah saya pindah rumah, saya mendapatkan akses yang lebih mudah untuk puas menatap langit. Saya suka dengan perpaduan biru dan oranye pada langit sore atau pas fajar. Juga warna putih dan biru pada langit siang yang cerah. Langit itu luas dan memandangnya bisa bikin pikiran fresh.

5. Gadget

Bukannya mau sok modern, tapi memang kita semua harus bersyukur telah hidup di zaman ini. Zaman dimana benda-benda elektronik semisal laptop, hape, camdig, printer, dll begitu memudahkan pekerjaan kita dan kehidupan kita sehari-hari. Tapi, kadang saya suka rindu juga dengan kegiatan manual menuliskan puisi atau buku harian dengan tulisan tangan. Konon, metode konvensional ini bisa meningkatkan kecerdasan, lho... Beda kalau kita menulis langsung lewat tuts-tuts keyboard. Wallahu a'lam.

6. Puisi

Saya mulai menulis puisi sejak jaman SMP. Waktu itu puisi-puisi saya saya kumpul dalam binder dan ditulis dengan rapi menggunakan tinta warna-warni yang kelap-kelip. Puisinya juga agak-agak sulit dimengerti dengan diksi yang lumayan aneh (gak tega menyebut 'lebay' untuk puisi sendiri >_<). Pas tau cara nge-blog, jadilah puisi saya hijrahkan ke dunia maya, sekalian biar bisa dibaca oleh lebih banyak orang. Terkadang, untuk hal-hal yang tidak ingin saya ungkap secara gamblang tapi ingin sekali saya curahkan, saya menggunakan media puisi ini. Biar saja pembaca menikmati puisi dengan caranya sendiri dan menafsirkannya sendiri, tugas saya cuma menulis. Puisi-puisi itu seperti anak-anak yang saya 'lahirkan' dan saya jaga dalam lembaran-lembaran. Beberapa dari mereka saya tugaskan untuk merantau ke berbagai tempat agar bisa dilihat oleh orang yang lebih banyak. Beberapa sudah berhasil dan nongol di media yang lebih umum untuk diakses, alhamdulillah....

7. Majalah

Saya pernah bergabung dalam organisasi jurnalistik yang menerbitkan mading dan majalah sekolah. Pengalaman itu adalah dasar saya untuk selanjutnya bergelut di dunia media, meski belum profesional-profesional amat. Dulu, saya agak malas beli majalah, dan lebih memilih untuk meminjamnya dari teman atau perpustakaan mushala. Entah mengapa rasanya berat untuk menyisihkan beberapa ribu rupiah untuk memilikinya. Tapi, setelah bergelut langsung dalam proses pembuatannya, saya jadi mengerti bagaimana pentingnya menghargai. Menghargai dalam arti harfiah; mengeluarkan uang untuk memilikinya. Tidak ada masalah dengan aktivitas pinjam-meminjam yang insyaAllah juga akan turut menebar manfaat ilmu. Tapi lebih dari itu, kepedulian untuk mengeluarkan harta agar roda perputaran sebuah media dapat terus terjaga, sangat saya rasakan saat ini. Sudah ah, entar malah promosi, lagi... Hehehe...

8. Intorvert

Kata ini sepertinya cukup mewakili beberapa kata lain yang menggambarkan tentang saya. Ya, saya introvert, dan saya menerima itu untuk diri saya sendiri. Saya takjub dengan orang-orang yang punya kemampuan bergaul yang sangat-sangat baik, atau yang bisa nyerocos dengan sangat lancar, dan saya menghargai mereka sebagaimana saya berharap bisa dihargai dengan the way i am. Tapi, sesuai dengan fakta itrovert itu sendiri, kepada orang-orang tertentu, saya juga bisa ngobrol dengan lepas bahkan hingga agak sulit berhenti. Untuk yang terakhir ini, adik saya adalah korban yang pertama dan utama untuk menerima cerita saya setelah seharian beraktivitas di luar rumah, makanya beberapa tulisan saya buat di kamarnya yang memang sering saya bajak dengan sengaja. Hohoho...

9. Anak kecil

Saya suka anak kecil. Apalagi yang imut dan menggemaskan *ya iyalah... Meski agak bermasalah dengan gendong-menggendong anak (nyatanya, saya memang kurang piawai dalam hal ini..., bocah-bocah itu kayaknya kok jadi kurang comfort yah kalo saya gendong..Heu.. -_-"), tapi sedikit demi sedikit saya belajar untuk melakukakannya. Ayo bersemangat!

10. Lambung

Ini adalah masalah klasik. Katanya, penyakitnya para mahasiswa, apalagi yang aktivis. Masalah lambung memang seringkali menimpa saya. Makanya, sebagai mahasiswa farmasi, golongan obat yang paling nempel di kepala saya adalah yang ada hubungannya dengan si lambung. Penyakit lambung memang bisa sangat mengganggu, bikin lemes, kuyu, terkapar menjadi seonggok manusia di atas kasur *halah*, dan seringnya datang pas masa-masa stress menimpa. Kemarin-kemarin, masalah lambung suka muncul jika saya intens bergaul dengan tugas akhir, makanya jadinya agak lambat selesainya... #alasan. Tapi, semoga bisa jadi penggugur dosa, thaharun InsyaAllah... :')

11. Tulalit

Yah, ini adalah kata yang kadang ditujukan Ibu saya kepada saya dan disebutnya secara berulang-ulang. Kadang saya juga suka protes kalau beliau melakukannya, nyatanya, hal itu memang tidak bisa lepas dari diri saya. Untuk beberapa hal, saya kadang memang sering mengalami tulalit yang agak akut. Hal ini bisa berimbas pada kacaunya perencanaan, pun dengan eksekusinya. Kata ibu saya juga, saya ini agak kurang inovatif dan suka stuck pada suatu masalah dan tidak kreativ mencari jalan keluar. Hadeuh...Kasian sekali saya ini... Semoga dengan bergaul sama orang-orang smart dan juga dengan Ibu saya yang solutif itu, saya bisa sedikit-demi sedikit kecipratan hal-hal baiknya, yah.. Biar tidak tulalit-tulalit amat.. Bantu-bantu yah... >_<


11 Pertanyaan dari Maya

1. Tuliskan tiga kata tentang aku!

Maya; Manis, Lucu, Jenius!


2. Jika kamu diberi kesempatan untuk mengambil apapun dariku, apa yang akan kamu ambil?

Saya akan ambil sifat Maya yang ramah kepada siapa saja! :)


3. Apa aku sudah pernah melakukan sesuatu untukmu?

Ya iyalah..., Eh, sesuatunya apa dulu, nih? :p


4. Apa target utamamu di tahun 2012 mendatang InsyaAllah?

Tahun 2012 itu harapan, ukhti... Saya berharap bisa jadi lebih baik; bisa belajar farmasi dengan lebih bertanggungjawab, menulis hal-hal yang lebih berisi, dan jadi lebih dewasa dalam menjalani hidup *ceile..*


5. Benda apa yang kamu inginkan -harganya murah- tetapi kamu belum memilikinya?

Apa yah? Benda-benda yang belum saya miliki kayaknya mahal-mahal semua.., makanya belum kebeli.. Hehehe...


6. Apakah kamu ingin bertemu denganku?

Menurut Maya bagaimana? Rindu juga kan, sama saya... *GR mode ON


7. Apa penyesalan terbesar dalam hidupmu?

Menyesal karena kurang tegas pada diri sendiri. Ini harusnya jadi poin ke 12 pada part di atas. >_<


8. Mau ditraktir makan apa?

Agak tidak teladan juga yah... Tapi saya mau ditraktir junkfood, ukh... Kebab, pizza, burger,..habis itulah baru kita netralisir dengan bahan-bahan alami.. #alasan


9. Jika aku menghilang, apa yang akan kamu lakukan?

Mencari dirimu hingga menemukanmu :'). Eh, jangan hilang-hilang yah, masih banyak hal yang perlu kita temukan dalam hidup! :D


10.Apa kamu mau membeli bukuku?

Bolehlah.., tapi beli bukuku juga nah.. *eeaaa...


11.Pernahkah terpikir untuk mendonorkan organ tubuhmu ketika kamu meninggal?

Hmm...fatwa ulama tentang hal ini gimana yah? Kayaknya masuk ikhtilafiyah apa gimana gitu tentang donor organ tubuh.. Bagaimanapun, kita tentu ingin 'kembali' dengan sempurna, khan? Tapi terlepas dari itu, rasanya ingin mendonorkan jantung, deh... Kan organ ini sangat vitas buat seseorang. Sekiranya mata saya normal, kayaknya juga pengen mendonorkan mata deh, penglihatan juga sangan urgen, bukan?

11 Pertanyaan untuk Blogger:

1. 1.Kamu lebih suka saya menulis puisi atau artikel bebas?

2. 2.Apa judul tulisan saya yang paling kamu suka? *ini kalau ada yah...

3. 3.Jika bertemu dengan saya di dunia nyata, apa yang akan kamu katakan?

4. 4.Siapa penulis favorit kamu? Mengapa?

5. 5.Apa yang kamu lakukan di waktu senggang selain membaca dan blogging?

6. 6.Apakah kamu sudah pernah berbekam? Bagaimana rasanya?

7. 7.Jika kamu tidak mengenal saya, saat membaca tulisan saya, kamu pikir saya laki-laki atau perempuan?

8. 8.Siapa shahabat Rasulullah Shalallahu Alaihi Wasallam yang paling kamu kagumi? Mengapa?

9. 9.Menurutmu, apa hadiah yang paling cocok untuk saya selain buku?

10. 10.Apa pendapat kamu jika saya menulis sebuah buku?

11. 11.Jika sebelas jam lagi kamu akan meninggal dunia, apa yang akan kamu lakukan untuk menghabiskan waktumu?

Hokeh. Rasa-rasanya pertanyaan-pertanyaan di atas itu sesuatu banget yah... Mudah-mudahan bisa dijawab dengan baik oleh kesebelas blogger yang beruntung ini! ^_^

1. 1.Ummu Abdirrahman (http://catatankecilmuslimah.blogspot.com/)

2. 2.Kak Fitri Salsabila (http://veeidea.blogspot.com/)

3. 3.Kak Nurul Rizqy (http://​www.nurul-rizqi.blogs​pot.com)

4. 4.Mama Rani (http://www.andyhardiyanti.com/)

5. 5.Kak Fuzah (http://mencarimatahariku.blogspot.com/)

6. 6.Kak Ai (http://akuai.multiply.com/)

7. 7.Pak Iqbal Lathief (http://mylathief.multiply.com/)

8. 8.Kak Mugniar (http://mugniarm.blogspot.com/)

9. 9.Ukh Hilya (http://​www.al-aina.blogspot.​com)

10. 10.Kak Wahyu Tasmin (http://www.wahyutasmin.blogspot.com/)

11. 11.Ummu Abdillah Sri Muliana (http://​www.tamanbuahhati.com)

Sip. Semoga tugasnya bisa dikerjakan dengan baik ditengah kesibukan blogger masing-masing. Hitung-hitung untuk bersenang-senang dengan dunia tulisan dan menambah koleksi di blog kamu. Saya tidak sabar menantikan jawaban-jawaban kalian, teman! Selamat menulis! ^_*

Sesuatu tentang Luka


Saat kita berada di masa kanak-kanak, kita berbicara dan berbuat sesuatu, nyaris tanpa pertimbangan apapun. Kita melakukan hal-hal yang mungkin seharusnya tidak kita lakukan, lalu membuat orang lain marah. Jika yang marah adalah para orang tua, maka kita cukup menangis dengan takut bercampur sedikit sesal, lalu segalanya selesai. Mungkin, sedikit diwarnai dengan omelan atau cubitan, namun setelah itu segalanya tetap selesai. Jika yang marah adalah teman sepermainan, mungkin ia akan ngambek untuk beberapa saat, atau malah hanya melampiaskan kemarahannya secara langsung dengan melempar apa-apa yang bisa dilempar, atau membalas hal-hal yang perlu dibalas hingga kita pun ikut menangis bercampur marah. Namun, setelah itu? Ya, semuanya kembali selesai. Hanya dalam sekejap, kawan tadi kembali menjadi partner yang asyik untuk bermain petak umpet atau lompat tali. Ya, saat kita berada di masa kanak-kanak; semuanya terasa begitu sederhana.



Namun apa yang terjadi seiring dengan pergerakan waktu? Sedikit demi sedikit kita mulai mengenal ‘pertimbangan’. Mulai berpikir sebelum mengeluarkan kata-kata. Pun mulai tidak sembarangan melakukan sesuatu, baik yang berhubungan dengan diri sediri, apalagi yang sudah menyangkut orang lain. Sebab, berucap dan bertindak tanpa berpikir bisa berakibat fatal bagi banyak hal. Tidak semua orang dapat menerima ucapan maupun perlakuan sembarangan dari siapapun. Dan mendapatkan sesuatu yang tidak menyenangkan ini, tentunya akan meninggalkan bekas tersendiri bagi siapa saja.



Salim A. Fillah menuliskan dalam sebuah bukunya, tentang konsep ‘luka’ yang selalu saya ingat. Bahwa luka pada hati seseorang dapat diibaratkan seperti seseorang yang sedang tertusuk duri pada telapaknya. Pada saat hal itu terjadi, maka meski ia mendapat jabat tangan hangat saja, dapat membuatnya merasa kesakitan dan tidak nyaman. Begitupula saat yang terluka adalah hati kita. Maka, saat orang yang melukainya melakukan suatu hal, bahkan yang mungkin terlihat sebagai sesuatu yang baik sekalipun, maka bisa saja ia akan merasa sakit dan tidak enak. Minimal, ngedumel dalam hati dan merasa kesal tanpa ada alasan yang jelas.



Pernahkah kamu merasa jengkel hanya dengan melihat tampang seseorang saja? Kemudian menjadi agak bingung mencari alasan mengapa rasa tidak enak itu bisa muncul seketika? Hati-hatilah, mungkin kamu sedang terluka. Mungkin ada sebuah celah kecewa yang pernah hinggap, meski kata maaf telah mantap terucap. Namun, bukankah kepercayaan yang mungkin sulit terbangun, tapi ternyata begitu mudah untuk porak-poranda? Lalu untuk menyusunnya kembali, ternyata bukan hanya sekadar sulit; namun lebih lagi dari itu.



Maka, jika kita pernah merasa begitu sulit untuk menghadapi hal itu, tempatkanlah diri kita menjadi orang yang bisa saja menjadi penyebab luka. Bahwa kita bukan lagi di masa bertahun yang lalu, saat kanak-kanak masih lekat pada diri dan dapat berucap pun bertindak dengan sesuka hati. Kini, segalanya terhitung, tertakar. Agama, budaya, maupun kultur dan adat memiliki aturan umumnya masing-masing. Lalu, orang-orang yang melangkahi aturan-aturan tersebut, besar kemungkinan dapat menjadi penoreh luka yang potensial. Hari ini, di dunia, mungkin kita hanya akan menghadapi wajah masam atau boikot bicara dari orang yang kita lukai. Namun, tidak takutkah pada apa yang menunggu kita di akhirat kelak, atas semua hal yang tidak luput dari catatan, juga tidak lepas dari ganjaran?



“…dan satu perjanjian, jika kata ‘ya’ tadi tidak dapat kau wujudkan, maka sembunyikanlah hal buruk itu dari saya, agar saya tidak perlu luka dan kecewa. Cukup Allah yang mengetahuinya, cukup Allah yang membalasnya. Sepakat?”

gambar:devianart.com

Minggu, 04 Desember 2011

Saat Harus Memilih


Baiklah. Anggap saja ini tulisan suka-suka, untuk menemani langit yang seharian mendung dan hujan yang selalu turun. Haruslah ada tulisan untuk hujan kali ini..., begitu seorang kawan berkata.

Saya teringat saat seorang senior terperanjat saat saya dan seorang kawan sefakultas membantu pengurusan tetek-bengek bukti penyerahan skripsi seorang senior lain yang sudah lamaaaaaa sekali lulusnya. Yah, beliau telah lulus bertahun lalu, namun kemudian baru sempat memikirkan tentang penyerahan skripsi itu. Itupun dengan mengamanahkannya kepada kami, junior yang terpaut bertahun lamanya dengan angkatannya. Ia memang sekarang sedang sibuk dengan urusan rumah tangga dan urusan-urusan lain yang sebenarnya nampak sama sekali tidak ada hubungannya dengan jurusan tempat ia menimba ilmu selama bertahun-tahun di kampus.

"Berarti kakak itu belum mengambil ijazahnya sampai sekarang?" tanya senior yang kaget tadi, kepada kami. Kami berdua hanya mengangguk. Kami kemudian menjelaskan bahwa beliau mungkin memang tidak sangat membutuhkan ijazah itu, sehingga tidak menjadi prioritas baginya untuk segera mengurusnya. Bahwa beliau sekarang sedang berkutat dengan hal-hal lain yang telah ia jadikan pilihan hidup. Ya, pilihan hidup.

"Hmm...saya juga sepertinya harus segera menentukan pilihan hidup. Menentukan apa yang akan saya lakukan setelah ini... Ya khan?" ujar senior tadi setelah sempat termenung beberapa saat, lalu ia berlalu. Saya hanya menatap punggungnya yang menjauh. Pikiran saya ikut melayang. Ya, saya juga harus menentukan pilihan hidup...

Berada di fase ini, berbagai macam opsi memang begitu mudah datang. Baik itu berupa kesempatan yang terlihat secara personal, maupun tawaran-tawaran pilihan dari orang lain. Terutama dari kedua orang tua yang pastinya merasa ikut bertanggungjawab atas masa depan anaknya. Walau terkadang, bahkan seringnya, apa yang diinginkan oleh keduanya tidak begitu match dengan apa yang seorang anak inginkan. Namun, pada akhirnya, kita tahu, sebesar apapun seseorang terpengaruh atas pilihan orang lain, keputusan kembali pada dirinya sendiri. Dan yang paling penting dari itu adalah, menjalani keputusannya itu dengan tanggungjawab penuh, tanpa pernah ada pikiran untuk mengkambinghitamkan siapapun jika ternyata yang ia jalani tidak begitu mulus. Hmm..begitu mudah menuliskan ini, namun betapa berat aplikasinya, bukan?

Suatu sore dalam perjalanan pulang, seorang kakak bertanya pada saya tentang masa depan. Tentang apa rencana saya setelah melewati sebuah fase yang kini telah terlewati. Berbagai opsi ia sebutkan sebagai tebakan atas apa yang mungkin akan saya pilih. Selanjutnya, kami berbincang-bincang tentang banyak hal, terutama tentang pengalaman hidupnya yang tentu lebih kompleks dari saya.

Setelah sampai di rumah, saya mulai berpikir. Ya, sepertinya memang begitu banyak hal yang harus selalu kita pertimbangkan. Selalunya, kita tidak boleh egois dengan diri kita sendiri, bahwa bahkan atas hidup kita secara pribadi, ada bagian-bagian yang akan sangat berhubungan dengan orang lain di sekeliling kita, dengan ummat. Dan tiap pilihan yang kita ambil akan turut mempengaruhi mereka, sedikit atau banyak. Saya mulai merenda-renda pikiran dan masih terus mencari formula terbaik untuk hidup saya sendiri. Tidak sekadar membuatnya mengalir seperti air. Sebab kata seorang guru, air hanya mengalir ke tempat yang lebih rendah. Sedangkan kita, selalu ingin adanya peningkatan dalam hidup; hari yang lebih baik dari kemarinnya.

Maka setelah perbincangan sore itu, malamnya saya mengirimkan sebuah pesan singkat kepada kakak tadi. Pesan yang sangat personal dan berbeda dengan sms-sms tentang urusan-urusan yang biasa saya kirimkan kepadanya. Saya mengabarkannya, betapa setelah perbincangan tadi, saya mulai menelaah kembali peta hidup saya sendiri, dan atas itu, saya berterima kasih.Tak lama setelah itu, kakak tadi membalasnya, dan pesannya itu tidak akan pernah saya lupa;

Apapun keputusanmu, Dina. Janganlah seperti saya. Jangan mengkhianati mimpimu sendiri.

(Kamar Indy, December 4 '11)
gambar: deviantart.com

Sabtu, 03 Desember 2011

[Semacam Review] Catatan Hati Seorang Istri-nya Asma Nadia; Buku yang Membuat Saya Bertanya-Tanya



Akhirnya, hari itu jugalah yang ditakdirkan Allah untuk saya berjodoh dengannya. Awalnya, tidak pernah terbersit niat untuk itu... Yeah, untuk membeli sebuah buku yang menjadi National-Best-Seller itu. Namun, saya akhirnya berjodoh dengan karya Asma Nadia tersebut di sebuah pertengahan Oktober saat bertandang ke tempat favorit saya; Gramedia. Buku bersampul foto seorang muslimah dalam jilbab ungu muda itu, kemudian saya tangkap bayangannya dengan ujung mata. Lalu tangan saya tergerak untuk meraihnya, kemudian membuka lembar demi lembarnya yang berisi banyak kata.

Lalu saya terhenyak!

Bagaimana bisa sebuah buku menyelamatkan mahligai rumah tangga yang hampir kandas? Seperti apakah karya yang telah membuat seorang wanita insyaf dari mengganggu suami orang? Apa pula yang menggerakkan seorang pria untuk kembali jatuh cinta pada istrinya setelah membaca buku yang kini berada di tangan saya?

Dan ah, betapa saya teramat cemburu pada beliau; Mbak Asma Nadia, penulis peraih berbagai macam penghargaan itu. Penulis yang telah menyentuh banyak hati pembacanya, yang mungkin seumur hidup tidak pernah ia jumpa. Betapa beruntungnya!

Buku ini berisi empat belas catatan dengan beragam kisah yang menggetarkan. Ditulis bersama dengan empat orang wanita peserta pilihan Asma Nadia Writing Workshop. Kisah-kisah di dalamnya adalah nyata dan dituliskan secara apik dan dengan sukses dapat mengaduk-aduk emosi pembaca. Kisah tentang sejumlah wanita yang menghadapi lika-liku rumah tangga yang ternyata (ehem!) tidak selamanya indah. Ya, saya ulangi; tidak selamanya indah.

Seorang wanita dikisahkan memiliki suami yang bukan hanya selingkuh secara terang-terangan, tapi juga menghambur-hamburkan uang jerih payah istrinya lalu meninggalkan banyak hutang. Saya sungguh tidak habis pikir, bagaimana si istri kemudian tetap bertahan dalam pernikahan macam itu dan dengan sisa-sisa kekuatan yang ia punya, berusaha melunasi tiap utang yang disebabkan oleh lelaki bejat yang tidak lain adalah pasangan hidupnya. Suami yang tetap ia pertahankan.

Terceritakan pula tentang pasangan kakek-nenek berusia lanjut yang hingga usia senja tetap mesra dan begitu harmonis satu sama lain. Saling menyapa dengan sapaan manis dan bertingkah layaknya pasangan yang baru kemarin saling jatuh cinta. Lalu siapa yang mengira jika ternyata di masa lalu, sang kakek pernah menikah diam-diam tanpa diketahui istrinya saat ia bertugas di sebuah daerah terpencil. Lalu saya kembali terbelalak saat mendapati pernyataan Ene’, nenek yang terus mendampingi suaminya itu; “Jangan-jangan...Menikahnya Aki dengan gadis kubu itu adalah cara Allah mengabulkan doa, menjaga suami Ene’ dari maksiat, atau supaya suami Ene’ ada yang merawat nun jauh di hutan sana..”

Kisah tentang Aba Agil juga masih saya ingat. Tentang seorang lelaki dengan status sosial yang menjanjikan, namun kemudian didahului oleh sang istri untuk menghadap Allah. Lalu mengapa ia suatu hari begitu marah pada seorang anaknya? Hmm..., ternyata ia tidak dapat menerima usulan sang anak agar ayahnya mencari wanita lain. Di hatinya hanya ada Ibu yang telah teramat baik sebagai seorang istri, dan demikianlah ia menunjukkan cinta kepada kekasihnya yang telah pergi. Tetap memilih sendiri, meski ia sangat mungkin untuk menikah lagi, bahkan saat sang istri masih hidup sekalipun.

Cerita yang menyentak saya juga ada dalam bagian “Suami yang Menyebabkanku di Sini”. Kisah tentang seorang istri yang belakangan mendapati suaminya gemar menghabiskan waktu di lokalisasi pelacuran. Sang suami kemudian meninggalkan istri dan anak-anaknya lalu menyisakan beban ekonomi di pundak wanita itu. Maka, akhirnya sang istri harus menafkahi anak-anaknya dengan mencari rejeki di tempat yang dulu sering dikunjungi suaminya itu. Miris sekali...

Maka rangkaian kisah dalam buku ini menunjukkan pada saya satu hal; betapa luar biasa seorang wanita. Tak heran jika Nabi Adam Alaihissalam tetap merasa kurang meski di surga tempat ia tinggal. Ia meminta diciptakannya Hawa; seorang pasangan untuk membersamainya, melengkapinya.

Lalu ketangguhan para pelakon kisah ini menjadi teramat lengkap sebab ia adalah sebuah kisah nyata yang benar adanya. Ketegaran mereka untuk berdamai dengan perasaan, menghadapi kenyataan hidup yang pahit, bahkan memutuskan hal-hal yang berat hingga kini selalu membuat saya bertanya; Bagaimana cara mereka menghadapi itu semua? Semoga kelak, saya akan temukan jawabannya.

(Rifa'ahWritingZone, December 3 '11)

Rabu, 30 November 2011

Finally, Tahun Kelima di Kampus Merah

Pagi ini, ingatan saya langsung tertuju pada benda itu. Saya hanya ingin memastikan, kapan tepatnya saya menginjakkan kaki pertamakali sebagai seorang mahasiswa di kampus merah. Tapi ternyata, benda itu –diary bersampul biru yang sudah penuh, tidak memberikan info tersebut. Disana hanya ada cerita tentang kali pertama saya mendapatkan kartu mahasiswa, lalu langsung meloncat ke cerita saat saya begitu stress di awal-awal perkuliahan di Agustus 2007. Tapi tak mengapa.

Yah, tahun kelima. Mungkin, tepatnya empat tahun lebih sekitar empat bulan. Maka cerita di tahun kelima ini tentunya ‘hanya’ menyisakan semester terakhir yang penuh dengan harapan. Harapan untuk mengakhiri masa kuliah S1 dengan baik dan sesuai dengan target pencapaian. Rangkaian penyelesaiannya mungkin tidak akan pernah lepas dari semester-semester sebelumnya, juga pada empat moment penting bagi mahasiswa tingkat akhir; seminar proposal, KKN, seminar hasil, dan ujian sidang. Dan bagi saya, keempat peristiwa itu, ternyata terlalui dengan caranya masing-masing.

Di seminar proposal, terus terang, saya merasa lumayan dibantai pada forum dua jam lebih itu. Kejadian itu akhirnya membuat saya semalaman merutuki diri yang di hari sebelumnya memutuskan untuk tidak mempelajari materi yang justru dipertanyakan saat seminar. Untuk moment KKN, sepertinya sudah cukup gamblang saya ceritakan dalam sebuah tulisan lengkap, ditambah beberapa tulisan-tulisan lainnya yang ditulis ditengah-tengah kegiatan KKN itu, Nah, untuk seminar dua, kisahnya diwarnai dengan semacam delay. Penundaan sebab kondisi kampus yang ditutup oleh huru-hara. Penundaan yang membuat saya mengalami semacam antiklimaks untuk persiapan seminar, tapi ternyata, dalam moment ini saya mendapatkan kemudahan (baca: tidak dibantai-bantai amat :p).

Finally, moment terakhir saya lewati kemarin (30/11). Akhir November yang hujan itu menjadi berbeda dengan hujan-hujan sebelumnya. Whiteboard kamar saya masih menyisakan tulisan ‘Road 2 The Wonderfull December’ yang memuat kalender bulan September, Oktober, dan November yang tanggalnya saya lingkar-lingkari dengan berbagai macam target; untuk kuliah dan untuk hal-hal lainnya. Setelah sebelumnya sempat give up karena peristiwa delay pada seminar hasil –yang menyebabkan saya nampaknya tidak dapat mengejar deadline untuk bisa wisuda bulan 12, ternyata masih ada jalan menuju ke sana. Ternyata masih ada injury-time buat saya untuk berlari-lari, bukan untuk mengejar bola, kau tahu, tapi untuk mengumpulkan berkas-berkas yang sebelumnya telah saya tatap dengan miris karena saya pikir tidak akan bisa masuk tepat waktu.

Bahkan diantara injury-time itu, saya masih belum dapat meyakinkan diri bahwa semuanya akan selesai dengan tepat waktu. Berbagai macam hal yang saya lalui selama perkuliahan telah mengajarkan saya untuk selalu menyiapkan diri pada kondisi terburuk, pada harapan yang tidak kesampaian. Dan untuk yang ini, saya tahu, mungkin menyakitkan jika terlalu tinggi bermimpi. Tapi ternyata semuanya dapat terkejar! Yah, terkejar dalam arti konotasi dan denotasi, sebab sejatinya saya memang banyak berlari-lari dalam prosesnya, baik dengan dua belah kaki ini, pun bersama rekan seperjuangan saya saat di atas roda-dua-nya, bahkan meski harus menerobos hujan di malam yang dingin.

Maka atas ini semua, saya tahu, kami –mahasiswa yang seolah begitu bernafsu agar bisa wisuda pada Desember, bukan hanya sekadar menganggap ini sebagai semacam selebrasi saja. Ini pencapaian. Ini target yang mungkin telah lama digadang-gadang, pun mungkin telah mengalami sekian kali penundaan atau pemakluman karena target sebelumnya yang tinggal kenangan. Namun, atas teman-teman yang belum mendapatkannya, betapa saya sadar, hal itu bukan karena mereka tidak benar-benar ingin atau tidak benar-benar berusaha. Tapi, tiap orang memiliki masalahnya masing-masing, dan mereka semua berusaha menghadapinya dengan cara terbaik. Beberapa kawan saya saksikan telah menghadapi banyak hal berat dan masih dapat tersenyum. Yang lainnya, saya tahu, telah memilih untuk mengerjakan hal lain yang mungkin mereka anggap lebih penting untuk saat ini. Teman-teman yang telah melewatinya terlebih dahulu pun, baik yang telah duluan ber-jas-krem-mahasiswa-Apoteker, maupun yang duluan menyelesaikan sidangnya, tetap berusaha memberikan support dan sama sekali tidak berubah. Maka semua itu, tetap tidak dapat merubah kesyukuran saya, betapa saya bahagia memiliki teman-teman seangkatan seperti mereka. Mixtura’07, i love you all, guys! :’)

Maka bagian favorit saya dalam skripsi setebal lima puluh tiga halaman itu, tetap saja berada lembaran ucapan terima kasih :p. Di dua paragraf akhir saya menulis;

Penulis sangat menyadari bahwa lembaran-lembaran ini tidak akan pernah cukup untuk mewakili setiap ucapan terima kasih kepada semua pihak yang telah memberikan sumbangsihnya, baik dengan sepengetahuan penulis, maupun yang telah membantu secara tidak langsung. Maka biarlah Allah Subhana Wata’ala, Sebaik-baik Pemberi Balasan, yang membalas semua itu dengan pahala yang tidak terhingga.

Ya, ucapan terima kasih tidak akan pernah cukup. Maka atas semua itu, secara khusus ucapan ini saya haturkan dalam doa yang semoga diijabah oleh Allah; Jazakumullah khairan katsiran; terkhusus kepada Ibu saya yang telah menenangkan saya saat meminta didoakan olehnya; “Mama sudah doakan kamu sebelum kamu minta, Nak...”. Juga kepada dua orang rekan seperjuangan yang telah teramat baiknya kepada saya; Tina dan Ainun. Di awal semester ini, kita pernah berbincang bertiga, dan tidak muluk-muluk untuk dapat wisuda tahun ini, lalu hanya menjadikan ‘bisa-daftar-apoteker’ sebagai target. Tapi kalian tahu, saya justru begitu optimis, sebenarnya bukan untuk diri saya sendiri, tapi justru untuk kalian, bahwa kalian dapat mendapatkan yang lebih dari itu.

Saya menyaksikan keduanya, selama ini, bukan hanya berkampus ria untuk diri mereka sendiri, tapi juga bersibuk-sibuk mengerjakan hal-hal lainnya yang secara kasat mata terlihat untuk kepentingan orang lain. Untuk itulah saya selalu salut, dan selalu yakin dengan janji Allah yang pasti kalian pun yakini... “maka Allah akan menolongmu, dan meneguhkan kedudukanmu...”. Ya, dan itu telah terbukti, bukan? Dan kalian pantas menerimanya. Sementara saya, mungkin hanya sekadar dapat melewati ini semua, karena doa-doa kalian yang diijabah.

Semoga ilmu kita bermanfaat. Semoga ilmu kita bermanfaat. Untuk kebaikan ummat. Aamiin...

Kamar saya, December 1 '11

Minggu, 27 November 2011

Bisakah Kau Berhenti Bertanya “Kenapa?”



Pada masa yang lampau, pernah salah seorang ukhti tiba-tiba menjauh dari kami. Saat itu, kami menduga-duga bahwa beliau sedang ada masalah di rumah atau dengan anggota keluarganya. Hal ini membuatnya lebih sering diam dan tidak bergabung seperti biasanya. Maka, kami pun mulai bertanya-tanya; ada apa gerangan? Satu per satu kami berusaha untuk mendekatinya. Mencoba membuat pergerakan sehalus mungkin, mengingat ia sepertinya akan menjadi sensitif jika kami melakukan sesuatu yang frontal terhadapnya. Maka layaknya cara memperlakukan seseorang yang mungkin membutuhkan bantuan, kami mulai sedikit demi sedikit berusaha mendekatinya secara personal. Nah, pada saat giliran saya belum tiba, saya mencoba bertanya pada seorang ukhti yang sudah lebih dahulu mencoba ‘mengorek’ inti permasalahannya, dan saat itulah, ukhti tersebut memberitahukan kepada saya informasi yang ia dapatkan.

“ Saya sudah berusaha mendekatinya, lalu bertanya padanya, ukh...Tapi beliau justru mengatakan kepada saya; Bisakah kau berhenti bertanya ‘kenapa?’” ucap ukhti tersebut dengan nada suara yang sulit untuk dijelaskan. Saya tertegun.

Bisakah Kau berhenti bertanya ‘kenapa?’.

Ya, kalimat itu selalu terngiang di telinga saya meski sudah bertahun lamanya ia berlalu. Dari sana saya belajar bahwa terkadang, tidak semua hal membutuhkan penjelasan atau pun membutuhkan alasan. Bahkan, sekalipun ia memiliki alasan, maka tidak semuanya pantas untuk kita ketahuai atau kita campuri. Saya kadang berspekulasi, bahwa (mungkin) semua orang di dunia ini memiliki suatu rahasia yang hanya ia dan Tuhan yang tahu. Suatu rahasia yang akan ia bawa hingga ke liang lahat, hingga ke pejaman matanya yang paling akhir. Dan untuk itu, tidak seorang pun berhak untuk memaksa orang lain agar menceritakan hal tersebut.

Dari sana saya juga belajar, tentang betapa pentingnya memahami seseorang. Memahami yang setingkat lebih tinggi dari sekadar mengenal. Menjengkelkan rasanya jika ada seseorang yang merasa ‘telah mengenal’ orang lain –bahkan yang sangat dekat dengannya sekalipun, hingga kemudian merasa dapat benar-benar mengerti perasaannya, hingga kemudian merasa berhak untuk ikut menentukan pilihan hidupnya, apalagi yang sampai merasa berhak memberikan judge terhadap ini dan itu.

Perkataan seperti; Kalau orang lain bisa, kenapa kamu tidak bisa? Mungkin kerap kali menjadi motivasi dosis tinggi yang membuat kita terus berusaha untuk berhasil melakukan banyak hal. Namun, perkataan tersebut (setidaknya menurut saya) justru menjadi menafikan persetujuan kita bahwa tiap manusia itu memiliki keunikan masing-masing, konsekuensinya adalah: tiap orang punya kebisaannya sendiri-sendiri yang tentunya akan sangat tidak adil jika harus dibandingkan dengan kebisaan orang lain.

Atas sesuatu yang tidak dapat saya lakukan, seseorang pernah melontarkan hal demikian pada saya; Kalau dia bisa, lalu kenapa kamu tidak bisa? Saya hanya tersenyum kecut dan dalam hati berujar; Mungkin, karena ada juga sesuatu yang saya bisa dan orang itu tidak bisa...

Yah, hingga saat ini saya masih percaya bahwa tiap orang itu berbeda. Berbeda dalam hal melakukan sesuatu, pun dengan cara tepat untuk memperlakukannya. Kesalahan fatal dalam memahami hal ini bisa membuat segalanya menjadi runyam. Misalnya, salah dalam memperlakukan seseorang yang sedang ngambek; dimana ada orang yang senangnya untuk dibujuk, ada pula yang lebih nyaman jika ditinggal sendiri. Atau saat seorang sahabat memiliki masalah; ada yang memilih untuk menceritakannya dalam curhatan panjang, namun ada pula yang menganggap diam dan menyelesaikannya sendiri adalah pilihan yang terbaik. Yah, meski mungkin sulit, semoga kita setidaknya dapat memilih cara yang paling tepat, dan sebab manusia bukanlah kaca bening yang transparan untuk diketahui isi hatinya, maka ada baiknya bila kita dapat berbicara, menjelaskan setidaknya pada orang terdekat, cara seperti apa yang paling kita inginkan untuk diperlakukan. Ini tentunya juga harus diikuti dengan kesediaan memperlakukan seseorang juga dengan cara yang ia minta.

Maka semoga dengan itu semua, kita dapat membersamai dengan cara-cara yang lebih menghangatkan, dan bukan justru membekukan.

Kamar Saya, 27 November 2011

Ini khan harusnya saya belajar? Endofit.. mana endofit??? #lalu printer menderit

gambar:http://browse.deviantart.com/?q=colorfull%20flower&order=9&offset=72#/d28td9n


Kamis, 24 November 2011

Bu, Memangnya Berapa Harga Kaca Spion Anda?


Setelah beberapa hari ini berkutat dengan hal-hal yang menuntut untuk segera di selesaikan, saya pikir haruslah ada satu tulisan diantaranya. Yah, sekadar untuk melatih diri agar tidak terbuai dengan kevakuman menulis dan juga untuk membagi sebuah pengalaman, meski sebenarnya tidak begitu menyenangkan untuk diceritakan...

Hari itu seharusnya menjadi sempurna, kecuali karena terjadilah peristiwa itu. Ya, hal ini kemudian menginsyafkan saya bahwa; sebagaimana kita memahami bahwa sesudah kesulitan akan datang kemudahan, maka seperti itu pula kita harus mengerti bahwa setelah kemudahan, mungkin saja akan muncul kesulitan. Hidup memang keras, begitu kata beberapa orang kawan.

Setelah menempuh seminar hasil yang dinanti-nantikan dengan harap-harap cemas, akhirnya moment itu datang juga. Alhamdulillah, banyak kemudahan yang saya peroleh setelah beberapa halang rintangan yang harus dilalui. Maka, saya pun berada dalam kondisi mood yang teramat sangat baik dan seolah menjadi begitu siap dengan apapun yang terjadi setelahnya. Singkat cerita, saya kemudian berada di ruko salah seorang kawan dimana saya menitipkan tas dan beberapa barang lainnya. Sore itu hujan mengguyur dengan cukup deras setelah siang yang panas dan gerah berlalu.

Karena sebuah keperluan, saya dan kawan saya itu kemudian keluar dari ruko dengan bermodalkan sebuah payung pinjaman. Kami berjalan meniti di pinggir-pinggir jalanan sambil menghindari genangan-genangan air yang mulai muncul dimana-mana. Saat itulah kejadian itu terjadi. Saya terhentak saat tiba-tiba tubuh kawan saya itu tidak seimbang dan menimpa saya. Saya pun ikut jatuh, atau lebih tepatnya menjatuhi sebuah pot bunga besar di depan rumah seseorang. Sakitnya belum begitu terasa saat itu. Semuanya berlangsung begitu cepat saat saya kemudian sadar bahwa kawan saya itu bukan hanya sekadar kehilangan keseimbangan atau terpeleset sesuatu yang licin. Ternyata, kami baru saja diserempet oleh sebuah mobil yang kini menghentikan lajunya beberapa meter di depan kami.

Kami pun berjalan menuju mobil itu sambil masih meringis menahan sakit yang mulai muncul, belum lagi pakaian kami yang basah sebab hujan yang deras itu. Pikiran positif saya mengira-ngira bahwa pemilik mobil itu berhenti untuk –mungkin, turun dari kendaraannya atau sekadar membuka jendela mobil dan mengucapkan maaf dengan raut wajah cemas. Apalagi, saat ternyata saya mendapati bahwa pengemudinya adalah seorang ibu yang membawa mobil itu seorang diri.

Tapi ternyata tidak.

Ya, jangankan meminta maaf, raut wajah cemas ataupun merasa bersalah sama sekali tidak ditunjukkan olehnya. Dia malah nampak sedikit cemberut sambil menatap kaca spion mobilnya yang patah, saking kerasnya menambrak punggung kawan saya tadi. Ia mengulurkan tangannya untuk memperbaiki letak kaca spion yang kini menjuntai-juntai itu, lalu ia kemudian menggumamkan kalimat yang sama sekali tidak saya mengerti;

“Aduh...bagaimana sih cara kalian jalan..”, ucapnya dengan raut wajah masih cemberut.

Saya terperangah. Ya, ibu itu malah mempertanyakan cara kami jalan! Kami yang sudah berusaha meniti di pinggir-pinggir jalanan karena menghindari hujan. Kami yang kemudian diseruduk dari belakang hingga terjungkal dan jatuh kebasahan. Kami yang ditabrak olehnya hingga kaca spionnya patah! Lalu, dengan entengnya, dan juga dengan raut wajahnya yang seolah tidak terima dan mencoba menempatkan diri sebagai korban, ia masih bertanya bagaimana cara kami jalan? Ingin rasanya saya melotot padanya dan menghamburkan pertanyaan balik kepada ibu itu, “MEMANGNYA BAGAIMANA CARA ANDA MENGENDARAI MOBIL HINGGA BISA MENYEREMPET PEJALAN KAKI YANG SUDAH MENEPI HINGGA KE PINGGIR?”

Kawan saya nampak cemas dan khawatir diminta untuk ganti rugi. Ia kemudian menggumam dengan takut-takut, “Bu..., kami ini mahasiswa..Tidak ada uang buat ganti kaca spion ibu...”. Tapi saya kemudian segera menyenggol tangannya dan berkata bahwa kami sama sekali tidak salah, bahwa kami justru adalah korban yang seharusnya menerima pertanggungjawaban dari ibu itu.

Ibu itu kemudian menatap lurus ke jalanan yang nampak lengang. Ia seolah sedang menimbang-nimbang untuk meminta kami bertanggung jawab, namun sepertinya ia pun ragu karena kami di matanya mungkin nampak tidak akan sanggup untuk itu. Saya pun tetap berdiri di samping mobil itu sambil menatap si ibu, berusaha menahan-nahan emosi yang mulai muncul, dan berpikir bahwa mungkin si ibu akan berubah pikiran dan setidaknya mengucap maaf atas apa yang baru saja ia lakukan.

Sekali lagi, ternyata tidak.

Setelah memperbaiki letak kaca spionnya, ia menaikkan jendela lalu pergi berlalu tanpa mengucapkan apa-apa. Mengerikan. Ya, begitu mengerikan sekaligus menyedihkan harus menjadi saksi dari ketdakpedulian tersebut. Hingga tulisan ini di buat, bekas tubrukan akibat jatuh menimpa pot itu masih terasa bahkan kini meninggalkan bekas lebam yang membiru. Saya tidak bisa membayangkan bekas macam apa yang dialami oleh kawan saya yang sampai membuat kaca spion yang kokoh itu patah. Tapi, ini bukan hanya tentang rasa sakit yang kami derita, bukan pula tentang rasa sakit hati kami karena si pelaku yang begitu berat untuk sekadar mengucap maaf. Tapi, ini tentang sebuah kenyataan bahwa betapa kepedulian kini menjadi begitu rendah posisinya jika disandingkan dengan hal-hal yang berbau material.

Saya tidak tahu, apakah ibu itu akan bersikap yang sama bila saja kaca spionnya tidak patah. Apakah dia akan ada kesadaran untuk meminta maaf? Atau justru akan terus melaju karena merasa tidak ada kepentingan apapun karena tidak rugi apapun? Tapi, semoga saja ini hanyalah masalah kasuistik yang tidak menimpa semua hal. Cukup ibu itu saja yang tidak memiliki kepedulian dan perasaan tidak bersalah setelah jelas-jelas melakukan hal yang merugikan orang lain. Cukup ibu itu saja yang lebih khawatir pada nasib kaca spionnya dibandingkan keselamatan dua orang manusia yang telah ia celakakan. Lalu semoga kita, tetap memiliki itu semua.

Saya membayangkan bahwa ibu itu juga mungkin memiliki anak-anak yang pasti akan sangat ia inginkan keamanan atasnya. Dan jika saja ia berada dalam posisi ibu saya, tentu ia tidak akan terima jika seseorang menjadi penyebab rasa aman itu terenggut dan menyisakan kedongkolan. Hmm..., semoga masih tersisa nurani pada diri kita untuk tidak selalu memandang dunia ini pada sisi materi saja. Bahwa masih begitu banyak hal lain yang mungkin memang bersifat abstrak, namun begitu penting untuk kita pertimbangkan. Lalu sebagaimana kita menginginkan orang lain untuk mempunyai kepedulian dan rasa tanggungjawab, semoga kita pun menjadi orang yang pertama mengusahakannya.

Semoga Allah mengganti kaca spion ibu itu dengan sesuatu yang lebih baik. Lalu lamat-lamat saya sering mendengar hati saya bertanya dalam diam; Bu, memangnya berapa harga kaca spion Anda?

gambar:http://klimg.com/kapanlagi.com/p/carmirr_wikimedia.jpg

Sabtu, 05 November 2011

Me-Time


Ya, manusia tidak dapat hidup sendiri. Tapi terkadang, kita memang butuh waktu untuk sendiri.

Rempong. Satu kata yang akhir-akhir ini sering saya gumamkan, minimal dalam hati. Yah, kerepotan dalam berbagai hal, di berbagai tempat, di hampir semua komponen kehidupan yang saya punya. Memang tidak dapat dipungkiri bahwa apa yang saya hadapi sekarang memang menuntut segala kerempongan itu. Hal-hal yang menyangkut banyak orang dan tidak dapat saya tentukan dengan pilihan sendiri dan semau-gue. Sehingga terkadang, begitu terasa, bahwa memang terkadang hidup ini bukan hanya tentang diri kita, tapi juga tentang 'dia', 'dia', 'dia', 'dan' banyak 'dia' lainnya. *sigh*

Benar, manusia adalah makhluk sosial yang tidak dapat hidup sendirian. Hal ini telah didoktrin kepada kita sejak bangku sekolah dasar, dan selanjutnya dibenarkan oleh diri kita sendiri, bahwa memang kita membutuhkan orang lain dalam hidup ini. Sebagaimana Nabi Adam 'Alahissalam dahulu membutuhkan Hawa untuk membersamainya, padahal itu masih di surga, lho... Apalagi kita, manusia yang telah ditakdirkan hidup di dunia dengan segala -sekali lagi, kerempongannya. Tidak dapat dinafikan bahwa kemampuan kita yang terbatas membutuhkan adanya simbiosis dengan manusia lain, bahkan dengan makhluk hidup lain untuk dapat bertahan hidup, bahkan untuk 'selamat' setelah mati.

Namun, yah... Akhir-akhir ini saya sering menganggap bahwa sosialiasasi dengan manusia lain justru hanya menambah kerempongan yang ada. Baiklah, hal ini tidak sepenuhnya benar, saya akui. Tapi, adanya pemikiran ini membuat saya kemudian menjadi teramat sangat menghargai moment bersama diri saya sendiri. Humm.., semacam 'me-time' begitu...


Saya kemudian berandai-andai, terlepas dari segala kenyataan yang ada dan segala tuntutan yang menuntut, saya ingin punya rumah sendiri. Yah, semacam rumah impian yang sejuk dan terbuat dari kayu. Rumah itu menghadap ke arah sawah yang menghijau dan dapat dinikmati sejauh mata memandang. Saya pernah menyaksikan itu di lokasi tempat saya KKN, dan meski di dekat rumah saya sekarang pun ada sawah, namun tetap berbeda dengan yang di sana. Sawah di sini sangat jelas dibatasi oleh bangunan-bangunan perumahan dan tembok-tembok yang seolah memagarinya. Jika memandangnya, rasanya mata ini tertumbuk dan tidak bebas. Yah, bukan sawah yang seperti itu. Tapi, sawah yang seperti di lokasi KKN saya dulu. Sawah yang hijaunya begitu menenangkan, sama seperti birunya laut yang mengagumkan. Dapat menyaksikan itu secara langsung, setiap hari dari jendela rumah sendiri, pasti sangat menyenangkan.

Rumah kayu itu sejuk. Celah-celahnya dapat dialiri oleh embusan angin, tapi tidak bocor saat hujan turun (maunya... ;p). Beberapa sisi dindingnya ditutupi oleh rak buku kayu tempat saya menyimpan buku-buku favorit. Lalu, walaupun suasanya cenderung terkesan ndeso, tapi jaringan internetnya bagus dan unlimited (ckckckc...) jadi bisa OL dan blogwalking ke blog-blog favorit juga. :D

Lalu halaman rumah itu dihiasi oleh pot-pot kaktus yang mulai berbunga. Ada juga sebuah lahan khusus tempat budidaya sambiloto, tanaman yang banyak khasiatnya itu (tanaman yang membantu saya untuk nanti meraih gelar sarjana farmasi, aamiin... Sambiloto, bantu-bantu yah... :p). Mungkin, ada juga beberapa jenis bunga berwarna putih, kuning, biru, dan merah sebagai pemanis.

Setiap sudut rumah itu menyenangkan untuk di huni. Menyenangkan untuk ditempati membaca buku dan belajar, juga mengejar ketertinggalan hapalan. Rumah itu hening, sunyi, dan hanya saya yang berhak menciptakan bunyi di sana. Lantainya bersih dan kinclong, wangi melati pula. Pokoke, nyaman dan aman meski saya menghuninya seorang diri. Sinyal handphone juga bagus, jadi sesekali saya dapat mengabari ibu, bahwa saya baik-baik saja di sini.

Rumah itu, tempat saya benar-benar ingin pulang. Tempat saya beristirahat dengan tenang tanpa gangguan siapapun. Tempat saya beribadah dengan tenang tanpa harus khawatir niat terusik karena disaksikan siapapun. Tempat saya belajar dengan tenang tanpa dipaksa siapapun. Dan tempat saya berkarya dengan tenang tanpa diintervensi siapapun.

*tulisan mengkhayal sejadi-jadinya diantara suara takbir
*selamat Idul Adha, blogger :)