Kamis, 24 November 2011

Bu, Memangnya Berapa Harga Kaca Spion Anda?


Setelah beberapa hari ini berkutat dengan hal-hal yang menuntut untuk segera di selesaikan, saya pikir haruslah ada satu tulisan diantaranya. Yah, sekadar untuk melatih diri agar tidak terbuai dengan kevakuman menulis dan juga untuk membagi sebuah pengalaman, meski sebenarnya tidak begitu menyenangkan untuk diceritakan...

Hari itu seharusnya menjadi sempurna, kecuali karena terjadilah peristiwa itu. Ya, hal ini kemudian menginsyafkan saya bahwa; sebagaimana kita memahami bahwa sesudah kesulitan akan datang kemudahan, maka seperti itu pula kita harus mengerti bahwa setelah kemudahan, mungkin saja akan muncul kesulitan. Hidup memang keras, begitu kata beberapa orang kawan.

Setelah menempuh seminar hasil yang dinanti-nantikan dengan harap-harap cemas, akhirnya moment itu datang juga. Alhamdulillah, banyak kemudahan yang saya peroleh setelah beberapa halang rintangan yang harus dilalui. Maka, saya pun berada dalam kondisi mood yang teramat sangat baik dan seolah menjadi begitu siap dengan apapun yang terjadi setelahnya. Singkat cerita, saya kemudian berada di ruko salah seorang kawan dimana saya menitipkan tas dan beberapa barang lainnya. Sore itu hujan mengguyur dengan cukup deras setelah siang yang panas dan gerah berlalu.

Karena sebuah keperluan, saya dan kawan saya itu kemudian keluar dari ruko dengan bermodalkan sebuah payung pinjaman. Kami berjalan meniti di pinggir-pinggir jalanan sambil menghindari genangan-genangan air yang mulai muncul dimana-mana. Saat itulah kejadian itu terjadi. Saya terhentak saat tiba-tiba tubuh kawan saya itu tidak seimbang dan menimpa saya. Saya pun ikut jatuh, atau lebih tepatnya menjatuhi sebuah pot bunga besar di depan rumah seseorang. Sakitnya belum begitu terasa saat itu. Semuanya berlangsung begitu cepat saat saya kemudian sadar bahwa kawan saya itu bukan hanya sekadar kehilangan keseimbangan atau terpeleset sesuatu yang licin. Ternyata, kami baru saja diserempet oleh sebuah mobil yang kini menghentikan lajunya beberapa meter di depan kami.

Kami pun berjalan menuju mobil itu sambil masih meringis menahan sakit yang mulai muncul, belum lagi pakaian kami yang basah sebab hujan yang deras itu. Pikiran positif saya mengira-ngira bahwa pemilik mobil itu berhenti untuk –mungkin, turun dari kendaraannya atau sekadar membuka jendela mobil dan mengucapkan maaf dengan raut wajah cemas. Apalagi, saat ternyata saya mendapati bahwa pengemudinya adalah seorang ibu yang membawa mobil itu seorang diri.

Tapi ternyata tidak.

Ya, jangankan meminta maaf, raut wajah cemas ataupun merasa bersalah sama sekali tidak ditunjukkan olehnya. Dia malah nampak sedikit cemberut sambil menatap kaca spion mobilnya yang patah, saking kerasnya menambrak punggung kawan saya tadi. Ia mengulurkan tangannya untuk memperbaiki letak kaca spion yang kini menjuntai-juntai itu, lalu ia kemudian menggumamkan kalimat yang sama sekali tidak saya mengerti;

“Aduh...bagaimana sih cara kalian jalan..”, ucapnya dengan raut wajah masih cemberut.

Saya terperangah. Ya, ibu itu malah mempertanyakan cara kami jalan! Kami yang sudah berusaha meniti di pinggir-pinggir jalanan karena menghindari hujan. Kami yang kemudian diseruduk dari belakang hingga terjungkal dan jatuh kebasahan. Kami yang ditabrak olehnya hingga kaca spionnya patah! Lalu, dengan entengnya, dan juga dengan raut wajahnya yang seolah tidak terima dan mencoba menempatkan diri sebagai korban, ia masih bertanya bagaimana cara kami jalan? Ingin rasanya saya melotot padanya dan menghamburkan pertanyaan balik kepada ibu itu, “MEMANGNYA BAGAIMANA CARA ANDA MENGENDARAI MOBIL HINGGA BISA MENYEREMPET PEJALAN KAKI YANG SUDAH MENEPI HINGGA KE PINGGIR?”

Kawan saya nampak cemas dan khawatir diminta untuk ganti rugi. Ia kemudian menggumam dengan takut-takut, “Bu..., kami ini mahasiswa..Tidak ada uang buat ganti kaca spion ibu...”. Tapi saya kemudian segera menyenggol tangannya dan berkata bahwa kami sama sekali tidak salah, bahwa kami justru adalah korban yang seharusnya menerima pertanggungjawaban dari ibu itu.

Ibu itu kemudian menatap lurus ke jalanan yang nampak lengang. Ia seolah sedang menimbang-nimbang untuk meminta kami bertanggung jawab, namun sepertinya ia pun ragu karena kami di matanya mungkin nampak tidak akan sanggup untuk itu. Saya pun tetap berdiri di samping mobil itu sambil menatap si ibu, berusaha menahan-nahan emosi yang mulai muncul, dan berpikir bahwa mungkin si ibu akan berubah pikiran dan setidaknya mengucap maaf atas apa yang baru saja ia lakukan.

Sekali lagi, ternyata tidak.

Setelah memperbaiki letak kaca spionnya, ia menaikkan jendela lalu pergi berlalu tanpa mengucapkan apa-apa. Mengerikan. Ya, begitu mengerikan sekaligus menyedihkan harus menjadi saksi dari ketdakpedulian tersebut. Hingga tulisan ini di buat, bekas tubrukan akibat jatuh menimpa pot itu masih terasa bahkan kini meninggalkan bekas lebam yang membiru. Saya tidak bisa membayangkan bekas macam apa yang dialami oleh kawan saya yang sampai membuat kaca spion yang kokoh itu patah. Tapi, ini bukan hanya tentang rasa sakit yang kami derita, bukan pula tentang rasa sakit hati kami karena si pelaku yang begitu berat untuk sekadar mengucap maaf. Tapi, ini tentang sebuah kenyataan bahwa betapa kepedulian kini menjadi begitu rendah posisinya jika disandingkan dengan hal-hal yang berbau material.

Saya tidak tahu, apakah ibu itu akan bersikap yang sama bila saja kaca spionnya tidak patah. Apakah dia akan ada kesadaran untuk meminta maaf? Atau justru akan terus melaju karena merasa tidak ada kepentingan apapun karena tidak rugi apapun? Tapi, semoga saja ini hanyalah masalah kasuistik yang tidak menimpa semua hal. Cukup ibu itu saja yang tidak memiliki kepedulian dan perasaan tidak bersalah setelah jelas-jelas melakukan hal yang merugikan orang lain. Cukup ibu itu saja yang lebih khawatir pada nasib kaca spionnya dibandingkan keselamatan dua orang manusia yang telah ia celakakan. Lalu semoga kita, tetap memiliki itu semua.

Saya membayangkan bahwa ibu itu juga mungkin memiliki anak-anak yang pasti akan sangat ia inginkan keamanan atasnya. Dan jika saja ia berada dalam posisi ibu saya, tentu ia tidak akan terima jika seseorang menjadi penyebab rasa aman itu terenggut dan menyisakan kedongkolan. Hmm..., semoga masih tersisa nurani pada diri kita untuk tidak selalu memandang dunia ini pada sisi materi saja. Bahwa masih begitu banyak hal lain yang mungkin memang bersifat abstrak, namun begitu penting untuk kita pertimbangkan. Lalu sebagaimana kita menginginkan orang lain untuk mempunyai kepedulian dan rasa tanggungjawab, semoga kita pun menjadi orang yang pertama mengusahakannya.

Semoga Allah mengganti kaca spion ibu itu dengan sesuatu yang lebih baik. Lalu lamat-lamat saya sering mendengar hati saya bertanya dalam diam; Bu, memangnya berapa harga kaca spion Anda?

gambar:http://klimg.com/kapanlagi.com/p/carmirr_wikimedia.jpg

2 komentar:

  1. Ck ck ck ... orang kalo kelamaan di atas nuraninya buta.
    Berapa sih harga kaca spionnya?
    Jangan2 miliaran lagi
    Huft.
    Oya ... saya dah follow blognya yah.
    Ditunggu foll backnya yah ...
    Idih maksa qiqiqi

    BalasHapus
  2. @Kak Mugniar: Sudah di folback yah kak..Terimakasih sudah berkunjung :)

    BalasHapus

Terima kasih sudah berkunjung. Jika kamu berkenan meninggalkan jejak di kolom komentar, lebih baik lagi :)